• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KEADAAN UMUM WILAYAH

6.3 Analisis Ketersediaan Lahan

6.3.1 Kemampuan Lahan

Analisis sebaran kelas kemampuan lahan atau peta kemampuan lahan, menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu didalam membuat peta bio capacity. Ini disebabkan karena dengan mempergunakan peta kemampuan lahan dapat terdeliniasi lahan-lahan yang sesuai dengan kriteria lokasi untuk lahan terbangun, lahan pertanian, lahan penyangga, dan lahan lindung. Dengan batasan tersebut, maka klasifikasi kelas lahan pada peta bio capacity dapat dilakukan secara lebih spesifik sesuai dengan basis kemampuan lahan yang mendukungnya.

Spesifikasi kemampuan lahan dimaksud sangat bergantung pada hasil analisis satuan-satuan kemampuan lahan yang membentuknya seperti satuan kemampuan lahan morfologi yang melihat dari sisi potensi pengembangan pulau. Satuan kemampuan lahan berikutnnya melihat dari sisi kemudahan untuk dikerjakan, kemudian ada juga yang melihat dari sisi kestabilan lereng dan pondasi, serta dari sisi ketersediaan air dan drainase, sedemikian rupa sehingga terdeliniasi suatu klasifikasi kemampuan lahan untuk keperluan budidaya dan non-budidaya. Hasil analisis sebaran kelas kemampuan lahan sebagaimana dimaksud diatas dalam bentuk peta kemampuan lahan ditunjukkan melalui Gambar 19.

Dalam peta kemampuan lahan pada Gambar 19, nampak ada 5 kelas kemampuan lahan yang teridentifikasi di wilayah penelitian dan di notasikan sebagai kelas A, B, C, D, dan E. Berdasarkan arahan untuk pengembangan pertanian, maka kelas A dikategorikan sebagai kawasan yang harus dilindungi karena memiliki tingkat kekritisan lahan yang tinggi. Selanjutnya kelas B yang dikategorikan sebagai kawasan penyangga, demikian dengan kelas C yang dikategorikan sebagai kawasan yang sesuai untuk tanaman pertanian yang berumur diatas 1 tahun, dan kelas D serta E, yang dikategorikan sebagai kawasan yang sesuai untuk tanaman pertanian yang berumur dibawah 1 tahun.

Berdasarkan arahan untuk bangunan, maka kelas A dan B dikategorikan sebagai lahan yang tidak sesuai untuk bangunan. Selanjutnya untuk kelas C dan D dikategorikan sebagai lahan yang bisa dipergunakan untuk bangunan tetapi ketinggiannya harus dibawah 4 lantai. Sedangkan Kelas E dikategorikan sebagai lahan yang paling stabil dan ideal untuk dipergunakan sebagai lahan terbangun. Selain teridentifikasinya berbagai klasifikasi lahan sebagaimana diperlihatkan dalam peta kemampuan lahan diatas, maka hasil analisis sebaran kemampuan lahan juga memperlihatkan besarnya luasan dari masing-masing kelas kemampuan lahan dimaksud.

Pada Tabel 53, terlihat bahwa jumlah cell untuk kelas kemampuan lahan A adalah sebanyak 421.850 cell, dimana setiap cell ini berukuran 50m x 50m. Dengan demikian luas lahan untuk kelas kemampuan lahan A adalah

1.054.625.000 m2. Selanjutnya untuk kelas B, C, D, dan E yang secara berurutan luas lahannya adalah 1.387.275,000 m2, 1.287.577.500 m2, 3.778.875.000 m2, dan 1.040.900.000 m2. Total jumlah dari keseluruhan kelas diatas adalah merupakan total luas daratan dari seluruh pulau-pulau kecil yang ada di wilayah penelitian yaitu sebesar 8.549.252.500 m2.

Tabel 53. Luas Sebaran Kelas Kemampuan Lahan

No Jumlah Kemampuan KL

[cell] Lahan Pertanian Tinggi Bangunan [m2]

1 421,850 Kelas A Lindung Non bangunan 1,054,625,000

2 554,910 Kelas B Penyangga Non bangunan 1,387,275,000

3 515,031 Kelas C Tanaman > 1 thn < 4 Lantai 1,287,577,500 4 1,511,550 Kelas D Tanaman < 1 thn < 4 Lantai 3,778,875,000 5 416,360 Kelas E Tanaman < 1 thn > 4 Lantai 1,040,900,000

Total Luas Lahan Darat 8,549,252,500

Arahan

Sumber : Hasil Analisis BC, (2011), Lampiran 3

6.3.2 Bio capacity

Setelah sebaran kemampuan lahan diketahui, maka sebaran bio

capacity dapat teridentifikasi dengan melakukan analisis overlay atau analisis

penggabungan peta kemampuan lahan dengan peta guna lahan, tanah, geologi, dan iklim. Hasil analisis tersebut, diperlihatkan dalam bentuk peta bio

capacity melalui Gambar 20.

Proses penggabungan tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan suatu karakteristik lahan baru yang lebih spesifik dari sekedar kemampuan lahan yang hanya berorientasi pada karakter lahan bersifat fisik. Dengan proses penggabungan ini maka karakter produktifitas lahan biologi dapat bersandingan dengan kapasitas fisik dan dapat menciptakan suatu klasifikasi lahan baru sesuai dengan karateristik dari bio capacity dan ecological

footprint. Dengan perkataan lain, proses penggabungan ini menciptakan

suatu kerangka kerja yang sama antar kebutuhan penduduk di wilayah penelitian akan lahan dengan kemampuan lahan di wilayah penelitian didalam menyediakan lahan sesuai yang diinginkan oleh penduduk.

Dalam peta bio capacity diatas, nampak ada 4 kelas lahan bio capacity

yang teridentifikasi di wilayah penelitian dan di notasikan sebagai kelas lahan hutan, kelas lahan pertanian, kelas lahan peternakan, dan kelas lahan terbangun. Selain 4 kelas lahan dimaksud yang dihasilkan dari peta wilayah daratan, maka dalam peta bio capacity teridentifikasi juga kelas lahan yang dihasilkan dari peta wilayah perairan di sekitar pulau-pulau kecil di wilayah penelitian dan notasikan sebagai kelas lahan perikanan. Luas dari masing masing kelas bio capacity dimaksud dijelaskan melalui Tabel 54.

Tabel 54. Luas Sebaran Kelas Bio capacity

No. Jumlah Bio Capacity Luas EQF BC

[cell] Lahan [m2] [gm2/m2] [gm2] Darat 3,419,701 1 364,280 Terbangun 910,700,000 2.20 2,003,540,000 2 453,562 Peternakan 1,133,905,000 0.50 566,952,500 3 1,378,819 Pertanian 3,447,047,500 2.20 7,583,504,500 4 765,390 Hutan Produksi 1,913,475,000 1.30 2,487,517,500 5 457,650 Hutan Lindung 1,144,125,000 1.30 1,487,362,500 8,549,252,500 14,128,877,000 Laut 22,051,540 1 18,631,839 Perairan 46,579,597,500 0.40 18,631,839,000 Jumlah Total Bio Capacity yg berasal dari Lahan Darat dan Laut 32,760,716,000 Sumber : Hasil Analisis BC, (2011), Lampiran 3

Sama halnya dengan sistem cell yang dipergunakan dalam peta kemampuan lahan, maka dalam tabel diatas nampak juga bahwa jumlah cell

untuk kelas lahan terbangun adalah sebanyak 364.280 cell, dimana setiap

cell ini berukuran 50m x 50m. Dengan demikian luas kelas lahan terbangun adalah 910.700.000 m2. Demikian selanjutnya untuk kelas lahan peternakan dengan luasnya sebesar 1.133.905.000 m2, lahan pertanian dengan luasnya sebesar 3.447.047.500 m2, lahan hutan produksi dengan luasnya sebesar 1.913.475.000 m2, hutan lindung dengan luasnya sebesar 1.144.125.000 m2, dan lahan perikanan dengan luasnya sebesar 46.576.597.500 m2. Jika luas yang dihasilkan melalui analisis lahan bio capacity diatas, kemudian dibandingkan dengan data eksisting berupa data luasan hutan yang ada,

seperti Hutan Konservasi seluas 42.440.000 m2, Hutan Lindung seluas 119.175.000 m2, Hutan Produksi Terbatas seluas 1.188.480.000 m2, Hutan Produksi Tetap seluas 1.936.895.000 m2, Hutan Produksi Konversi seluas 4.130.605.000 m2, dan penggunaan lahan untuk keperluan lainnya seluas 1.067.495.000 m2, maka total luas dari ketiga jenis hutan pertama diatas yang fungsinya dianggap setara dengan hutan lindung pada lahan bio capacity

yaitu sebesar 1.350.095.000, ternyata tidak berbeda jauh dengan luas hutan lindung pada lahan bio capacity.

Demikian halnya dengan luas hutan produksi tetap sebesar 1.913.475.000 m2 dibandingkan luas hutan produksi pada lahan bio capacity, luas hutan produksi konversi sebesar 4.130.605.000 m2 yang hampir setara dengan jumlah luas pertanian dan peternakan pada lahan bio capacity, begitu juga dengan luas penggunaan lain sebesar 1.067.495.000 m2 yang juga mendekati luas lahan terbangun pada lahan bio capacity. Secara lebih detail perbandingan luas antara data eksisting dengan luas lahan hasil analisis bio

capacity diperlihatkan melalui Tabel 55.

Tabel 55. Perbandingan Luas Lahan Model dengan Data Eksisting

Kelas Lahan m2 m2 Kelas Lahan

H Konservasi 42,440,000

H Lindung 119,175,000

H P Terbatas 1,188,480,000

Total 1,350,095,000 1,144,125,000 Hutan Lindung

H P Tetap 1,936,895,000 1,913,475,000 Hutan Produksi 2

3,447,047,500 Pertanian 1,133,905,000 Peternakan H P Konversi 4,130,605,000 4,580,952,500 Total

Guna Lain 1,067,495,000 910,700,000 Terbangun 4

Total Lahan 8,485,090,000 8,549,252,500 Kel 1 3 Model Data - 500,000,000 1,000,000,000 1,500,000,000 2,000,000,000 2,500,000,000 3,000,000,000 3,500,000,000 4,000,000,000 4,500,000,000 5,000,000,000 1 2 3 4 m2 Kelompok Data Vs Model

Sumber : Hasil Analisis BC, (2011) dan BPS (2006)

Lebih lanjut dari apa yang bisa kita dapatkan melalui hasil analisis bio

capacity adalah besarnya kapasitas dari masing masing kelas lahan bio

dengan mengalikan setiap luasan kelas lahan yang dihasilkan (m2) dengan

equivalen faktor (gm2/m2) yang ditetapkan oleh Wackernagel et.al (2005)

untuk setiap kelas lahan sedemikian rupa sehingga kapasitas dari masing masing lahan bio capacity dimaksud dapat diketahui.

Dengan demikian sebagaimana diperlihatkan dalam tabel diatas, besarnya bio capacity untuk lahan terbangun adalah 2.003.540.000 gm2, lahan peternakan adalah 566.952.500 gm2, lahan pertanian adalah 7.583.504.500 gm2, lahan hutan produksi adalah 2.487.517.00 gm2, lahan hutan lindung adalah 1.487.362.500 gm2, dan lahan perikanan adalah 18.631.839.000 gm2.

6.4 Tingkat Keberlanjutan.

Dengan diketahuinya besaran lahan ecological footprint yang diperlukan oleh penduduk dan besaran bio capacity yang mampu dihasilkan oleh lahan di wilayah penelitian, maka tingkat keberlanjutan pulau-pulau kecil di wilayah penelitian dapat diperhitungkan. Secara ruang, proses analisis keberlanjutan dalam penelitian ini dihitung dalam tingkatan skala kabupaten, kecamatan dan pulau kecil.

6.4.1 Skala Kabupaten

Jika diasumsikan luasan lahan lindung sebagaimana dimaksud dalam hasil analisis bio capacity pada sub-bab sebelum ini adalah lahan yang tidak dapat dipergunakan oleh penduduk setempat, maka secara keseluruhan wilayah penelitian, besarnya luas lahan daratan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat menjadi 12.641.514.500 gm2, sehingga total luas lahan bio capacity darat dan laut menjadi sebesar 31.273.353.500 gm2. Dengan membagi total luas lahan bio capacity dimaksud diatas terhadap banyaknya penduduk pada tahun 2006, yaitu sebesar 161.342 orang, maka besarnya bio capacity perkapita pertahun adalah 193.832.69 gm2. Secara lebih detail besarnya bio capacity untuk setiap jenis klasifikasi bio capacity

Tabel 56. Perbandingan EF dan BC.

Biaya Energi Pertanian Peternakan Hutan Lahan Perikanan TOTAL

Fosil Terbangun Rp [gm2] [gm2] [gm2] [gm2] [gm2] [gm2] [gm2] MAKANAN 1,437,384 2,469.94 2,336.55 54.64 0.00 0.00 13,783.83 18,644.95 PERUMAHAN 1,240,080 1,127.03 0.00 0.00 1,804.64 66.28 0.00 2,997.95 TRANSPORTASI 577,236 53.70 0.00 0.00 0.00 2.46 0.00 56.15 BARANG 411,360 2,530.39 824.80 16.15 684.25 37.77 0.00 4,093.37 ANEKA JASA 324,000 131.09 0.00 0.00 0.00 4.24 0.00 135.32 LIMBAH 12,000 2,480.37 0.00 0.00 566.10 37.02 0.00 3,083.49 Total (a) 4,002,060 8,792.52 3,161.35 70.79 3,055.00 147.76 13,783.83 29,011.24 0.07 0.02 0.20 0.01 0.12 0.15 47,002.67 3,513.98 15,417.67 12,417.97 115,480.40 193,832.69 7,583,504,500 566,952,500 2,487,517,500 2,003,540,000 18,631,839,000 31,273,353,500 KATEGORI KEBUTUHAN

Perkapita Per Tahun

E c o lo g ic a l F o o tp ri n t (g m 2 )

Bio Capacity (gm2) Perkapita (b) Total Tingkat

Keberlanjutan (a) / (b)

Sumber : Hasil Analisis EF dan BC, (2011)

Jika ukuran besarnya tingkat keberlanjutan dianggap sebagai perbandingan antara besarnya lahan yang dibutuhkan perkapita (EF) dibagi lahan yang tersedia per kapita (BC), maka dari Tabel 56, dapat terlihat bahwa ukuran tingkat keberlanjutan pulau-pulau kecil di wilayah penelitian belum mencapai nilai maksimum atau masih lebih kecil dari 1 (EF/BC < 1), baik untuk setiap klasifikasi lahan yang ada, maupun secara total. Terlihat bahwa untuk kelas lahan pertanian tingkat keberlanjutannya adalah 0.07, untuk kelas lahan peternakan 0.02, untuk kelas lahan hutan 0.20, untuk kelas lahan terbangun 0.01, untuk lahan perikanan 0.12 dan untuk keseluruhan kelas lahan 0.15. Dengan demikian masih tersedia lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan lahan di wilayah penelitian terutama untuk lahan terbangun dan peternakan. Selain tingkat keberlanjutan, maka berdasarkan Tabel 56. di atas, terlihat hubungan interaksi antara besarnya biaya pengeluaran per kapita per tahun dari penduduk di wilayah penelitian terhadap besarnya setiap klasifikasi lahan ecological footprint yang di butuhkannya sesuai dengan kategori kebutuhan penduduk tersebut akan makanan, perumahan, transportasi, barang, jasa dan pengelolaan limbah yang dihasilkannya.

Dengan demikian Tabel 56 di atas dapat dipergunakan sebagai matriks karakteristik hubungan biaya dengan besarnya ecological footprint yang dihasilkan dari penduduk di wilayah penelitian. Karakteristik hubungan ini juga mengindikasikan bahwa dengan semakin meningkatnya pengeluaran penduduk, maka nilai ecological footprint penduduk yang dihasilkannya juga akan meningkat.

Jika berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Maluku Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003 sampai dengan tahun 2008, diketahui bahwa total pengeluaran penduduk setempat didalam memenuhi kebutuhan hidup minimum untuk kategori makanan dan non makanan berkisar antara Rp. 189.240 sampai dengan Rp. 400.920 perkapita per bulan, maka dengan memproyeksikan data series ini secara grafis, terlihat bahwa selama kurun waktu tersebut, telah terjadi perubahan pola konsumsi sebagaimana diperlihatkan melalui Gambar 21.

y = 14.935ln(x) + 93.58 R² = 0.8719 y = 33.41ln(x) + 48.258 R² = 0.8938 y = 29.948ln(x) + 3.3822 R² = 0.8896 y = 15.061ln(x) + 3.0429 R² = 0.7488 y = 24.796ln(x) + 20.679 R² = 0.8751 y = 0.1771x + 0.6467 R² = 0.659 Rp- Rp20.00 Rp40.00 Rp60.00 Rp80.00 Rp100.00 Rp120.00 Rp140.00 2,003 2,004 2,005 2,006 2,007 2,008 Makanan Rumah Barang Jasa Transport Limbah Log. (Makanan) Log. (Rumah) Log. (Barang) Log. (Jasa) Log. (Transport) Linear (Limbah)

Gambar 21. Trend Perkembangan Pola Konsumsi Penduduk

Pada Gambar 21, diperlihatkan bahwa besarnya pengeluaran per kapita penduduk di wilayah penelitian untuk setiap jenis kebutuhan seperti makanan, perumahan, barang, transportasi, jasa serta limbah dari tahun 2003

sampai tahun 2008 menunjukan trend yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan trend diatas sekaligus memperlihatkan bahwa meskipun secara total biaya pengeluaran penduduk semakin bertambah dari waktu kewaktu, namun presentase dari masing masing kebutuhan tersebut cenderung bergeser prioritasnya.

Hal ini dimungkinkan karena adanya kecenderungan penduduk setempat yang selalu ingin memperbaiki status sosial mereka, khususnya status sosial dibidang jasa pendidikan dan kesehatan yang relatif rendah pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp. 30.000 – Rp. 40.000 per rumah tangga perbulannya. Demikian juga halnya kebutuhan barang yaitu sebesar 171.000 per rumah tangga perbulan. Dengan semakin bertambahnya kemampuan rumah tangga setempat didalam membiayai kebutuhan kebutuhan dimaksud, maka pergeseran prioritas pengeluaran akan terus terjadi. Pergeseran prioritas pengeluaran ini juga sekaligus memperlihatkan akan adanya peningkatan status sosial penduduk setempat.

Pergeseran prioritas kebutuhan dimaksud ditunjukkan melalui semakin menurunnya porsi kebutuhan makanan jika dibandingkan dengan kebutuhan perumahan yang cenderung tetap. Demikian halnya juga dengan presentase kebutuhan lainnya seperti kebutuhan barang, transportasi, jasa dan penanganan limbah yang justru semakin bertambah dari waktu kewaktu. Hal ini dimungkinkan karena adanya kecenderungan penduduk setempat yang selalu ingin memperbaiki status sosial mereka, khususnya status sosial dibidang jasa pendidikan dan kesehatan yang relatif sangat minim di awal tahun dari model ini yaitu sebesar Rp. 30.000 sampai dengan Rp. 40.000 per rumah tangga per bulannya. Demikan juga halnya dengan kebutuhan akan barang yang hanya sekitar Rp. 171.000 per rumah tangga per bulannya. Seiring dengan semakin bertambahnya kemampuan rumah tangga setempat didalam membiayai kebutuhan-kebutuhan dimaksud, maka tidak mengherankan kalau tingkat pertumbuhan per tahun dari ketiga klasifikasi kebutuhan diatas kemudian menjadi semakin meningkat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pergeseran persentase pengeluaran diatas sekaligus juga memperlihatkan akan adanya peningkatan status sosial dari masyarakat

setempat dari kebutuhan yang bersifat primer kearah kebutuhan yang bersifat sekunder dan seterusnya.

Lebih lanjut jika pendekatan terhadap trend pengeluaran perkapita penduduk tersebut diatas diindikasikan melalui beberapa fungsi garis yang dianggap paling mendekati pola sebaran dari masing masing kebutuhan penduduk tersebut, maka untuk kebutuhan makanan, fungsi yang terbentuk adalah y = 14.935ln(x) + 93.58, dengan nilai R² = 0.8719. Sedangkan untuk kebutuhan perumahan, fungsi yang terbentuk adalah y = 33.41ln(x) + 48.258, dengan nilai R² = 0.8938. Demikian halnya juga untuk sebaran kebutuhan barang, pendekatan fungsinya adalah y = 29.948ln(x) + 3.3822, dengan nilai R² = 0.8896, sebaran kebutuhan transportasi, pendekatan fungsinya adalah y = 24.796ln(x) + 20.679, dengan nilai R² = 0.8751, sebaran kebutuhan jasa, pendekatan fungsinya adalah y = 15.061ln(x) + 3.0429 dengan nilai R² = 0.7488, dan sebaran kebutuhan penanganan limbah, pendekatan fungsinya adalah y = 0.1771x + 0.6467 dengan nilai R² = 0.659.

Dengan menginteraksikan : (1) matriks hubungan biaya dan ecological

footprint, (2) fungsi trend pengeluaran, (3) tingkat pertumbuhan penduduk

rata-rata di wilayah penelitian sebesar 1.2% per tahun, (4) nilai bio capacity, dalam bentuk suatu sistem dinamik, maka kualitas tingkat keberlanjutan dari pulau-pulau kecil di wilayah penelitian secara keseluruhan dapat disimulasikan sampai pada batas optimalnya. Desain interaksi dari ke empat unsur diatas, beserta output dari sistemnya diperlihatkan melalui diagram dinamika keberlanjutan pulau-pulau kecil pada Gambar 22.

Berdasarkan tahun model dasar yang dimulai pada tahun 2002, maka tampak dalam Gambar 22, bahwa disatu sisi pada tahun model ke 45 yaitu tahun 2047 jumlah penduduk di wilayah penelitian diperkirakan akan mencapai 246.004 orang. Sementara disisi yang lain besarnya nilai ecological

footprint perkapita dan bio capacity perkapita, secara total akan mencapai

nilai sebesar 69.243.92 gm2dan 127.125.60 gm2. Dengan membandingkan kedua nilai tersebut, maka tingkat keberlanjutan dari pulau-pulau kecil secara keseluruhan di wilayah penelitian akan mencapai nilai 0.54 di tahun 2047. Hal

ini menjelaskan bahwa secara keseluruhan tingkat kebutuhan akan sumberdaya lahan darat dan laut belum optimal atau masih tersisa 46%.

Gambar 22. Diagram Dinamik Keberlanjutan Pulau Kecil

Namun demikian, jika dilihat berdasarkan sumberdaya daratan pulau- pulau kecil yang tersedia, maka pada tahun 2047 terlihat bahwa, disatu sisi

BC Lahan BC Perkapita EF Perkapita EF / BC Tahun N.Thn c_thnK X Pengeluaran Perkapita Jml Penduduk Jml Kelahiran Kesuburan Jml Kematian AHH Tambah Penduduk EF Energi 2 EF Ternak 2 EF Hutan 2 EF Tbang 2 EF Ikan 2 EF Tani 2 BC Tani 2 BC Hutan 2 BC Tbang 2 BC Ikan 2 BC Darat 2 BC Ternak 2 BC Tani 1 BC Hutan 1 BC Tbang 1 BC Ikan 1 BC Darat 1 BC Ternak 1 Jml Penduduk EF Darat 2 EF per BC Ternak EF per BC Hutan EF per BC Tbang EF per BC Ikan EF per BC Tani EF per BC Darat P1 P2 P3 P4 P5 P6 S1 S2 S3 S4 S5 S6 EF Energi 2 EF Tani 2 EF Ternak 2 EF Hutan 2 EF Tbang 2 EF Ikan 2 d_thn b_thn a_thn Makanan Perumahan Barang Transport Jasa Limbah e_thn GR thn BC Total 2 BC Total 1

EF Total 2 EF per BC Total

45.00 246,003.58 O rg 30,826.81 gm ²/O rg 10,111.71 gm ²/O rg 8,144.35 gm ²/O rg 75,738.08 gm ²/O rg 51,387.52 gm ²/O rg 2,304.65 gm ²/O rg 51,935.61 gm ²/O rg 0.05 1.01 0.07 0.23 0.18 1.01 627,315.47 R p 35,300.03 gm ²/O rg 5,701.02 gm ²/O rg 122.79 gm ²/O rg 10,238.03 gm ²/O rg 573.73 gm ²/O rg 17,308.31 gm ²/O rg 150,432.50 R p 175,438.59 R p 117,384.13 R p 115,069.00 R p 60,375.04 R p 8,616.20 R p 2,047.00 1.01 per yr 127... gm ²/O rg 69,243.92 gm ²/O rg 0.54

nilai bio capacity perkapita turun hingga mencapai nilai 51.387.52 gm2, atau setara dengan 5.1 gha, sementara disisi lain nilai ecological footprint

perkapita naik hingga mencapai 5.1 gha. Dengan demikian pada tahun 2047 nilai ecological footprint dan bio capacity daratan sudah mencapai keseimbangan. Keseimbangan ini ditunjukkan melalui besarnya nilai EF/BC

daratan yang mencapai nilai 1.01.

Dengan demikian untuk menghilangkan bias dari sumberdaya laut yang relatif sangat besar pada wilayah pulau-pulau kecil, maka nilai EF yang dibandingkan dengan nilai BC adalah nilai EF dan nilai BC daratan. Mengacu pada hal tersebut, maka dalam skala kabupaten dapat dipastikan bahwa setelah tahun 2047 pulau-pulau kecil di wilayah penelitian akan mengalami defisit sumberdaya lahan darat yang diperlukan untuk mendukung proses kelangsungan hidup penduduk setempat di daratan pulau-pulau kecil.

Hal lain yang terlihat dalam diagram dinamik pada Gambar 23, adalah nilai pencapaian nilai keberlanjutan maksimum dari masing masing klasifikasi lahan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Lahan hutan merupakan lahan yang paling kritis karena tingkat kebutuhannya yang cenderung tinggi jika dibandingkan dengan ketersediaannya. Diperkirakan pada tahun model ke 45 atau tahun 2047 masyarakat setempat sudah tidak bisa lagi memanfaatkan lahan hutan sesuai dengan karakter kebutuhannya.

6.4.2 Kecamatan

Dalam skala kecamatan, analisis keberlanjutan pulau-pulau kecil dilihat dari perspektif luasan wilayah administratif. Di wilayah penelitian terdapat 17 wilayah kecamatan, dimana setiap kecamatan dimaksud ada yang semuanya terdiri atas pulau-pulau kecil, dan ada pula yang merupakan bagian dari salah satu pulau kecil. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pengelompokan pulau berdasarkan kecamatan memberikan respon tingkat keberlanjutan yang berbeda jika dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan wilayah kabupaten sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini. Perbedaan ini berkaitan dengan pola sebaran kualitas bio capacity, luas

kecamatan, serta jumlah penduduk yang cenderung terpusat pada kecamatan-kecamatan tertentu.

Jika berdasarkan desain sistem dinamik sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 22, dihasilkan keluaran berupa nilai ecological footprint darat (EFdarat) dan bio capacity darat (BCdarat) dari waktu ke waktu, maka dengan memplot hasil keluaran dimaksud akan dihasilkan grafik EFdarat dan BCdarat

sebagaimana terlihat dalam Gambar 23 berikut ini, maka dengan melakukan analisis trend line, maka didapat persamaan EFdarat yaitu y = 81644.e-0.01x

dengan R2 = 1, dan persamaan BCdarat yaitu y = 9957.2.x0.423 dengan R2 =

0.9962. Jika persamaan ini diintegrasikan kedalam tabel matriks keberlanjutan pulau-pulau kecil pada skala kecamatan, maka dapat diketahui besarnya jumlah penduduk yang dapat diakomodir oleh sebuah sebagaimana yang ditunjukkan Tabel 57.

y = 9957.2x0.423 R² = 0.9962 y = 81644e-0.01x R² = 1 0.00 10,000.00 20,000.00 30,000.00 40,000.00 50,000.00 60,000.00 70,000.00 80,000.00 90,000.00 2003 2008 2013 2018 2023 2028 2033 2038 2043 EF Darat (gm2) BC Darat (gm2) Power (EF Darat (gm2)) Expon. (BC Darat (gm2))

Tabel 57. Keberlanjutan Pulau Kecil dalam Skala Kecamatan Tahun 2006

Jml Pddk D Pddk Luas Kecamatan BC Darat Q_BCD BC Perkap EF Perkap Kap_Pdk Bal_Pdk Sampai

[org] [org/km2] [m2] [gm2] [gm2/m2] [gm2] [gm2] [org] [org] Thn ke

Babar Timur 10,230 33.17 308,412,481.2 519,498,710.2 1.87 50,782.3 17,436.2 0.34 29,794 19,564 Lanjut 26

Damer 7,280 37.27 195,335,033.6 363,757,192.0 1.86 49,964.8 17,436.2 0.35 20,862 13,582 Lanjut 26

Kormomolin 5,932 16.08 368,832,959.3 627,986,031.6 1.70 105,858.8 17,436.2 0.16 36,016 30,084 Lanjut 61

Leti 7,738 84.44 91,638,463.6 140,674,283.3 1.54 18,179.2 17,436.2 0.96 8,068 330 Lanjut 5

Mdona Hiera 5,429 43.38 125,160,338.1 200,652,994.1 1.60 36,959.4 17,436.2 0.47 11,508 6,079 Lanjut 17

Moa Lakor 9,593 21.49 446,403,047.9 406,267,075.6 0.91 42,352.4 17,436.2 0.41 23,300 13,708 Lanjut 20

Nirunmas 7,928 31.68 250,274,170.9 510,047,545.8 2.04 64,335.3 17,436.2 0.27 29,252 21,324 Lanjut 36

P.P.Babar 8,745 22.07 396,244,510.6 652,545,527.8 1.79 74,621.1 17,436.2 0.23 37,425 28,680 Lanjut 42

P.P.Terselatan 16,505 61.79 267,124,785.2 509,614,290.9 1.92 30,877.1 17,436.2 0.56 29,227 12,723 Lanjut 12

P.P.Wetar 5,457 2.17 2,518,748,760.7 2,154,608,267.4 1.50 394,844.7 17,436.2 0.04 123,571 118,114 Lanjut 149

Selaru 12,243 36.23 337,949,357.2 681,562,566.1 2.02 55,669.1 17,436.2 0.31 39,089 26,846 Lanjut 30

Tanimbar Selatan 22,045 56.36 391,120,648.8 752,697,644.4 1.92 34,143.7 17,436.2 0.51 43,169 21,124 Lanjut 15

Tanimbar Utara 14,056 32.09 438,070,843.1 916,788,209.1 2.09 65,223.0 17,436.2 0.27 52,580 38,523 Lanjut 36

Wermaktian 10,317 8.84 1,166,860,000.9 1,888,872,820.8 1.62 183,091.5 17,436.2 0.10 108,331 98,014 Lanjut 94 Wertamrian 9,614 19.26 499,081,025.0 885,491,227.0 1.77 92,102.4 17,436.2 0.19 50,785 41,170 Lanjut 53 Wuarlabobar 8,269 11.59 713,793,811.7 1,375,310,349.2 1.93 166,314.6 17,436.2 0.10 78,877 70,607 Lanjut 88 Yaru 5,019 146.74 34,199,943.3 55,525,433.4 1.62 11,064.1 17,436.2 1.58 3,184 (1,834)Tdk Lanjut 2 Kabupaten 161,343 18.87 8,549,250,180.9 12,641,900,168.7 1.71 78,354.3 17,436.2 0.22 725,038 563,696 Lanjut 44 Tahun Ke ( X ) = 4.00 Tahun 2,006

KECAMATAN EF/BC Status Lanjut

Pada Tabel 57, memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, dari 17 kecamatan pulau-pulau kecil yang berada di wilayah penelitian, kecamatan Yaru merupakan kecamatan yang paling singkat waktunya didalam mencapai keseimbangan yaitu selama 2 tahun. Sedangkan kecamatan P.P Wetar adalah kecamatan yang paling lama membutuhkan waktu untuk mencapai keseimbangan yaitu sekitar 149 tahun.

Lebih cepatnya kecamatan Yaru mencapai keseimbangan disebabkan karena karakteristik lahannya yang didominasi oleh hutan lindung dan luas wilayah kecamatannya hanya mencapai 34.199.943.3 m2, serta jumlah penduduknya yang berjumlah 5.019 orang, sehingga bio capacity kecamatan Yaru yang tersisa bagi penduduk setempat relatif sangat sedikit yaitu sekitar 11.064.1 gm2 per kapita. Sebaliknya untuk kecamatan P.P. Wetar, meskipun memiliki kawasan hutan lindung yang cukup besar, akan tetapi karena luas kecamatannya yang mencapai 2.518.748.760.7 m2, serta jumlah penduduknya hanya sekitar 5.457 orang, maka kecamatan ini memiliki cadangan bio capacity per kapita yang relatif paling besar diantara kecamatan yang ada wilayah penelitian, yaitu sebesar 384.844.7 gm2 per kapita.

Jika besarnya ecological footprint perkapita mengikuti fungsi trend line

sebagaimana dijelaskan dalam desain sistem dinamik pada sub-bab sebelum ini, maka pada tahun 2006 diketahui bahwa kapasitas daya tampung penduduk dari kecamatan Yaru sudah mengalami defisit sebesar -1.834 orang. Sedangkan untuk kecamatan P.P wetar masih tersisa ruang yang sangat banyak untuk menampung penduduk sebanyak 118.114 orang sampai dengan tahun model ke 149. Hal ini berarti pada tahun 2006, keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil yang berada di kecamatan Yaru dapat dikategorikan sudah tidak berlanjut lagi. Selanjutnya dalam bentuk ruang, sebaran tingkat keberlanjutan kecamatan pulau-pulau kecil yang diukur berdasarkan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh setiap kecamatan pulau- pulau kecil tersebut didalam mencapai kondisi keseimbangan EF dan BC, diperlihatkan melalui Gambar 24.

6.4.3 Pulau-Pulau Kecil

Hasil analisis keberlanjutan dalam skala pulau-pulau kecil

Dokumen terkait