IV.5. Hasil Uji Hipotesis
IV.5.5. Analisis Regresi Berganda
Tabel 4.24
Hasil Regresi Nilai Koefisien Beta Dan Nilai t Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat
Koefisisena
Model
Koefisian Tak Standar
Koefisien Standar t Sig. B Std. Error Beta 1 (Konstan) 48.206 8.197 5.881 .000 Kecerdasan_Emosi .128 .068 .181 1.901 .060 Pola_Asuh_Otoritatif .235 .080 .282 2.961 .004
a. Variabel Terikat: Perilaku_Prososial
Berdasarkan Tabel 4.24 di atas diperoleh persamaan regresi yang dapat disusun, yaitu:
Y = a + b1 X1 + b2 X2, sehingga dapat ditulis
Y = 48,206 + 0,181 kecerdasan emosi + 0,282 pola asuh otoritatif.
Dapat dilihat bahwa koefisien regresi menunjukkan tanda positif (+), hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kondisi yang searah yaitu peningkatan variabel bebas (kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif) akan menyebabkan peningkatan variabel terikat (perilaku prososial).
Persamaan regresi berganda dapat diartikan sebagai berikut:
1. Konstansa (a) sebesar 48,206 menyatakan bahwa jika variabel bebas dianggap konstan, maka nilai variabel perilaku prososial sebesar 48,206.
2. Koefisien regresi kecerdasan emosi sebesar 0,128 memberikan pemahaman bahwa setiap penambahan satu satuan atau satu tingkatan kecerdasan emosi akan berdampak pada meningkatnya perilaku prososial sebesar 0,128. Dengan kata lain, semakin baik kualitas kecerdasan emosi yang dimiliki siswa SD Negeri 2 Passo akan
101 berdampak pada peningkatan kualitas perilaku prososial. Dengan sebuah asumsi bahwa variabel bebas lainnya (dalam hal ini pola asuh otoritatif) konstan.
3. Koefisien regresi pola asuh otoritatif sebesar 0,235 memberikan pemahaman bahwa setiap penambahan satu satuan atau satu tingkatan pola asuh otoritatif akan berdampak pada meningkatnya perilaku prososial sebesar 0,235. Dengan kata lain, semakin baik kualitas pola asuh otoritatif yang dimiliki siswa SD Negeri 2 Passo akan berdampak pada peningkatan kualitas perilaku prososial. Dengan sebuah asumsi bahwa variabel bebas lainnya (dalam hal ini kecerdasan emosi) konstan.
Jenis kelamin merupakan hal yang menarik untuk diteliti guna mengetahui apakah ada perbedaan perilaku prososial antara siswa laki-laki dan perempuan. Penulis menggunakan uji beda t-test untuk mengetahui perbedaan tersebut. Adapun analisisnya sebagai berikut:
Tabel 4.25
Hasil Uji t Untuk Perilaku Prososial Siswa Laki-laki dan Perempuan
Grup Statistik Gender N Rata-rata Std. Deviasi Rata-rata Std. Error Perilaku_Prososial Laki-laki 61 80.15 6.277 .804 Perempuan 46 81.96 6.640 .979
Tabel 4.25 menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan perilaku prososial yang signifikan. Dimana nilai rata-rata untuk perempuan sebesar 81,96, sedangkan laki-laki memiliki nilai rata-rata sebesar 80,15.
102 Tabel 4.26
Hasil uji Signifikansi Perilaku Prososial Ditinjau dari Jenis Kelamin
Independent Samples Test Uji Levene Kesamaan Varians
Uji t Kesamaan nilai Rata-rata
F Sig. T Df Sig. (2-tailed) Perilaku_Prososial Asumsi Varians yg Sama .008 .928 -1.440 105 .153 Asumsi Varians Tak Sama -1.428 94.050 .157
Dari Tabel 4.26 di atas dapat diketahui bahwa uji homogenitas dengan Levenes Test memperoleh Fhitung sebesar 0,008 dengan nilai signifikansi sebesar 0,928 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa varian dari kedua kategori homogen. Hasil uji t yaitu t = -1,440 dengan signifikansi 0,153 (p>0,05) yang bermakna tidak ada perbedaan perilaku prososial antara siswa laki-laki dan perempuan.
Selain jenis kelamin, usia juga merupakan hal yang menarik untuk diketahui apakah ada perbedaan perilaku prososial antar kelompok usia siswa SD Negeri 2 Passo. Penulis menggunakan uji one way ANOVA untuk mengetahui perbedaan perilaku prososial siswa berdasarkan usia yang telah disyaratkan mulai dari usia 9, 10, dan 11 tahun. Adapun analisisnya sebagai berikut:
103 Tabel 4.27
Analisis Deskriptif Perilaku Prososial Berdasarkan Usia
Berdasarkan Tabel 4.27 nampak bahwa siswa yang berusia 9 tahun memiliki nilai rata-rata perilaku prososial sebesar 79,19, siswa yang berusia 10 tahun memiliki nilai rata-rata perilaku prososial sebesar 82,90, sedangkan siswa yang berusia 11 tahun memiliki nilai rata-rata perilaku prososial sebesar 80,84. Dapat dianalisis bahwa siwa yang berusia 10 tahun lebih mempunyai perilaku prososial yang tinggi di banding siswa berumur 11 tahun dan 9 tahun.
Tabel 4.28
Hasil Uji Homogenitas Berdasarkan Perbedaan Usia
Dari Tabel 4.28 terlihat bahwa hasil uji menunjukkan ketiga kelompok usia tersebut sama (p = 0,534), sehingga uji Anova dapat dipakai.
Deskriptif Perilaku_Prososial
N Rata-rata Std. Deviasi Std. Error
95% Kelayakan Interval untuk Rata-rata Min Max Rendah Terikat Tinggi Terikat 9 tahun 43 79.19 6.500 .991 77.19 81.19 61 96 10 tahun 39 82.90 5.647 .904 81.07 84.73 68 97 11 tahun 25 80.84 6.968 1.394 77.96 83.72 60 95 Total 107 80.93 6.467 .625 79.69 82.16 60 97
Uji Homogenitas Varian Perilaku_Prososial
Statistik Levene df1 df2 Sig.
104 Tabel 4.29
Uji Signifikansi Perilaku Prososial Berdasarkan Usia
Dari Tabel 4.29, dapat dilihat pada nilai signifikansi sebesar 0,033. Dengan demikian p < 0,05 maka dapat dianalisis bahwa ada perbedaan perilaku prososial pada kelompok usia siswa.
Tabel 4.30
Perbandingan Perilaku Prososial Berdasarkan Usia
Beberapa Perbandingan Perilaku_Prososial
(I) Usia (J) Usia
Perbedaan
Rata-rata (I-J) Std. Error Sig.
95% Kelayakan Interval Rendah Terikat Tinggi Terikat
9 tahun 10 tahun -3.711* 1.397 .025 -7.03 -.39 11 tahun -1.654 1.589 .553 -5.43 2.12 10 tahun 9 tahun 3.711* 1.397 .025 .39 7.03 11 tahun 2.057 1.619 .415 -1.79 5.91 11 tahun 9 tahun 1.654 1.589 .553 -2.12 5.43 10 tahun -2.057 1.619 .415 -5.91 1.79
*. Perbedaan rata-rata signifikan pada tingkat 0,05.
Berdasarkan Tabel 4.30 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata perilaku prososial kelompok siswa, dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,025 (p < 0,05) atau dapat ditandai dengan tanda bintang (*) adalah kelompok siswa yang berusia 9 tahun dan 10 tahun.
ANOVA Perilaku_Prososial
Jumlah Squares Df Rata-rata Square F Sig.
Hubungan Grup 281.940 2 140.970 3.532 .033
Jarak Grup 4151.461 104 39.918
105
IV.7. Diskusi
Berdasarkan hasil pengukuran analisis data di atas, diketahui bahwa kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif secara simultan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap perilaku prososial. Besarnya pengaruh kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif terhadap perilaku prososial tercermin dalam hasil penelitian dengan uji F (uji signifikansi simultan) dengan nilai Fhitung sebesar 8,617 pada taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Temuan ini juga didukung dengan pembuktian nilai R Square (R2) sebesar 0,142 yang berarti 14,2% dari total varians perilaku prososial dapat dijelaskan secara simultan oleh kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif, sisanya sebesar 85,8% dipengaruhi oleh variabel lain.
Kekuatan kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif sebagai pengaruh perilaku prososial pada anak usia 9 – 11 tahun pada SD Negeri 2 Passo juga dapat dilihat melalui hasil analisis regresi menunjukkan tanda positif (searah) yang berarti semakin baik kualitas kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif akan berdampak pada peningkatan perilaku prososial. Penelitian Afolabi (2013) tentang kecerdasan emosi dan Altay dan Gürea (2012) tentang pola asuh otoritatif secara terpisah mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif masing-masing merupakan faktor internal dan eksternal yang mendorong siswa untuk berperilaku prososial terhadap orang lain. Husada (2013) yang telah meneliti dua variabel ini secara bersama-sama terhadap remaja memperoleh hasil berdasarkan uji hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh otoritatif (demokratis) dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial. Penelitian ini kembali meneliti tentang hal tersebut, tetapi agak sedikit berbeda. Penulis lebih melihat pada subjek anak-anak yang berusia 9 – 11 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Adanya kekuatan
106 hubungan yang berpengaruh secara posif dan signifikan disebabkan karena secara psikologis kecerdasan emosi dan pola asuh otoritatif berinteraksi dan saling melengkapi dalam meningkatkan perilaku prososial siswa SD Negeri 2 Passo.
Dilihat dari determinasi parsial diketahui bahwa kecerdasan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 4,8% dengan determinasi parsial sebesar 0,181 atau dengan kata lain naik turunnya perilaku prososial yang mampu di jelaskan oleh kecerdasan emosi adalah sebesar 18%. Nilai signifikansi kecerdasan emosi secara parsial sebesar 0,060 (p > 0,05) itu berarti variabel kecerdasan emosi secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku prososial siswa SD Negeri 2 Passo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi atau rendahnya kecerdasan emosi siswa SD Negeri 2 Passo tidak berpengaruh terhadap perilaku prososial mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena orang Ambon secara umum dikenal mempunyai temperamen tinggi, emosi mudah bergejolak dan mengalahkan nalar serta akal sehat (Anwar, 2004). Emosi yang sering bergejolak pada orang Ambon bukan baru terbentuk saat mereka dewasa tetapi mungkin juga emosional tersebut sudah terbentuk semenjak masa kanak-kanak. Berdasarkan hal tersebut, mungkin saja itu sangat berpengaruh bagi perilaku menolong anak-anak sejak dini.
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Afolabi (2013) terhadap 200 mahasiswa di Nigeria, dimana bila kecerdasan emosi dipasangkan dengan keseluruhan variabel maka bernilai positif signifikan, tetapi bila diukur secara parsial dengan perilaku prososial maka tidak signifikan. Berbeda dengan Husada (2013) dalam penelitiannya terhadap 96 siswa SMP Citra Hati Surabaya dengan teknik sampel acak proposional sederhana, sehingga harga t = 2,961 pada p = 0,008 (p < 0,05) untuk korelasi
107 antara variabel kecerdasan emosi dengan perilaku prososial, artinya variabel kecerdasan emosi juga berkorelasi sangat signifikan dengan perilaku prososial. Kontribusi kecerdasan emosi pada penelitian Husada (2013) sangat besar dibandingkan dengan penelitian ini, hal ini disebabkan karena lokasi penelitian dan perbedaan sampel berdasarkam usia serta realita emosi orang Ambon yang sering bergejolak.
Psikolog Gustavo Carlo (dikutip oleh Carpenter, 2001, dalam Baron & Byrne, 2005) yang berkata, “Terdapat perbedaan individual yang besar dalam disposisi simpati, dan kita mengetahui bahwa anak-anak yang berkarakter simpatik umumnya berasal dari lingkungan yang hangat dan suportif. Anak-anak yang karakter simpatiknya tinggi juga cenderung menjadi anak yang memiliki penalaran moral yang cukup canggih serta cenderung baik dalam mengelola emosi mereka.”
Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif memberikan sumbangan efektif sebesar 9,4% dengan determinasi parsial sebesar 0,282. Artinya naik turun perilaku prososial yang mampu dijelaskan oleh pola asuh otoritatif adalah sebesar 28,2%. Nilai signifikansi pola asuh otoritatif secara parsial sebesar 0,004 (p < 0,05) itu berarti variabel pola asuh otoritatif secara parsial mempunyai hubungan secara signifikan dengan perilaku prososial siswa SD Negeri 2 Passo. Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa semakin tinggi pola asuh otoritatif orang tua maka semakin tinggi pula perilaku prososial pada anak. Sebaliknya, jika semakin rendah pola asuh otoritatif orangtua maka semakin rendah pula perilaku prososial pada anak. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Psikiater Rober Coles (1997) menekankan pentingnya ibu dan ayah dalam membentuk perilaku-perilaku seperti itu dalam bukunya The Moral Intelligence of Children. Coles menyatakan bahwa kuncinya
108 adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi “baik” dan untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri.
Penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Altay dan Gürea (2012) yang menemukan bahwa ibu yang menunjukkan gaya pengasuhan otoritatif terhadap anak maka perilaku prososial anak lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang gaya pengaguhannya permisif. Selain itu, studi yang dilakukan Hastings, Mcshane, Parker, dan Ladha (2007) juga menemukan adanya kontribusi positif orang tua otoritatif terhadap perilaku prososial anak dalam hal ini ketika anak berinteraksi dengan orang asing. Bumrid dan Black (dalam Kusjamilah, 2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang otoritatif akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan prososial, mandiri serta mampu membuat keputusan sendiri yang akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.
Menurut Schohib (2010) pola asuh otoritatif menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orang tua. Pola asuh otoritatif yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak merupakan interaksi yang terjadi antara anak dengan orang tua selama melakukan kegiatan pengasuhan. Kegiatan pengasuhan ini tidak hanya berarti bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak, tetapi juga bagaimana orang tua mendidik, membimbing, mendisiplinkan, melindungi dan mengawasi anak untuk mencapai perkembangan sesuai dengan norma, ketentuan dan harapan masyarakat pada umumnya.
Menurut Hurlock (2006) ditinjau dari cara menanamkan disiplin pola asuh otoritatif, adalah dengan cara menggunakan penjelasan diskusi
109 dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tertentu diperlukan. Metode ini lebih menekankan aspek pendidikan dan disiplin dari pada aspek hukumannya.
Secara historis, pola asuh otoritatif sangat bertolak belakang dengan pola asuh yang diterapkan oleh sebagian orang tua di Ambon. Pola asuh yang diterapkan sebagian orang tua Ambon lebih banyak adalah pola asuh otoriter yaitu pola asuh yang berkarakter “keras” dan cenderung kasar. Hal ini terbentuk dalam konteks masyarakat “tangsi” (militer). Karakteristik yang demikian sudah membudaya bagi orang Ambon, karakteristik budaya “militeristik” yang sudah cukup lama mendominasi kehidupan sosial orang Maluku termasuk Ambon sejak keterlibatan orang Maluku sebagai tentara kolonial (KNIL). Inilah yang membuat orang tua-orang tua Ambon mendidik anak dengan keras, baik secara verbal maupun nonverbal. Mungkin dengan realita pengasuhan sebagian orang tua Ambon yang bertolak belakang dengan pengasuhan otoritatif inilah, sehingga dalam penelitian ini sumbangan efektif variabel pola asuh otoritatif terlihat lebih kecil dari pada sumbangan efektif variabel pola asuh demokratis (otoritatif) pada penelitian yang dilakukan oleh Husada (2013).
Sebagai informasi tambahan hasil penelitian ini, secara demografi jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.25 dan Tabel 4.26 bahwa tidak ada perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,982 (p > 0,05) dan nilai Sig. (2-tailed) sebesar 0,153 dan 0, 157 (p > 0,05). Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Strayer (1996), Hastings dkk., (2007) bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam perilaku prososial. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan gender bukan faktor yang mempengaruhi tingkat perilaku prososial seseorang, khususnya siswa SD Negeri 2 Passo.
110 Secara spesifik laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk berperilaku prososial. Perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda karena dalam hal-hal tertentu perempuan lebih mudah memberikan pertolongan, namun pada situasi lain laki-laki juga akan lebih mudah bereaksi untuk memberikan pertolongan (Dayakisni dan Hudaniah, 2009).
Selain jenis kelamin, secara demografi usia dapat dilihat pada Tabel 4.27, Tabel 4.28, Tabel 4.29, Tabel 4.30. Bahwa ada perbedaan usia terhadap perilaku prososial dengan nilai Sig. 0,033 (p < 0,05). Perbedaan tersebut pada kelompok usia 9 dan 10 tahun dengan nilai signifikansi sebesar 0,025 (p < 0,05). Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Retnaningsih (2005) bahwa kelompok anak usia muda menunjukkan lebih tinggi dalam perilaku prososial, berbagi, bekerjasamadan menolong dibanding kelompok anak yang usianya lebih tua. Berbeda dengan penelitian Fabes dan Einsenberg (1998) dimana semakin tua kelompok usia dibuktikan perilaku prososialnya lebih besar. Dengan bertambahnya usia seseorang akan makin memahami atau menerima norma-norma sosial, lebih empti dan lebih dapat memahami nilai ataupun makna dari tindakan prososial yang ditunjukkan (Staub, 1978; Peterson, 1983, dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Hal ini berarti meningkatnya usia, bukan merupakan jaminan akan meningkat pula perilaku prososial anak, bahkan malah dapat menurunkan perilaku prososialnya.