• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Sistem Klaster Industri Rumput Laut

Sistem klaster industri rumput laut merupakan suatu sistem yang kompleks. Kompleksitas sistem klaster industri rumput laut terlihat dari elemen-elemen yang terlibat didalamnya saling berkaitan sangat erat satu sama lain. Pemahaman terhadap karakteristik sistem klaster industri rumput laut sangat diperlukan dalam rangka membangun suatu model generik dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Kerangka dasar pengembangan klaster industri rumput laut mengacu pada model berlian yang dikembangkan oleh Porter (1990). Pengembangan model berlian klaster industri rumput laut dilakukan melalui studi pustaka dan brainstorming dengan stakeholders. Berdasarkan model tersebut dapat dipetakan kondisi 4 (empat) faktor kunci yang dapat mendeskripsikan struktur analisis dinamik klaster industri rumput laut di Indonesia yang meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Model berlian klaster industri rumput laut dapat dilihat pada Gambar 10.

Kondisi Faktor

Kondisi faktor (factor condition) merupakan faktor input dalam pengembangan klaster industri rumput laut, yaitu faktor-faktor yang sudah dimiliki dan menjadi kekuatan dalam pengembangan klaster. Menurut Porter (1990), faktor-faktor ini merupakan faktor-faktor-faktor-faktor produksi, yaitu input yang dibutuhkan untuk bersaing bagi klaster. Lebih lanjut Porter menjelaskan bahwa faktor-faktor terpenting bagi keunggulan daya saing hampir semua industri (terutama sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi) sebenarnya bukanlah yang bersifat alamiah (basic

factors) melainkan yang diciptakan/dikembangkan secara tepat (advanced factors).

Asumsi yang mendasarinya adalah semakin tinggi kualitas faktor input ini, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. Faktor-faktor penting ini diantaranya adalah ketersediaan SDM, potensi sumberdaya perairan, dan keberadaan industri rumput laut.

Gambar 10 Model Berlian klaster industri rumput laut (diadopsi dari Porter 1990).

Sumberdaya Manusia

Sektor kelautan dan perikanan di Indonesia menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2009 mencapai 6.369.114 orang. Jumlah nelayan menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 2009 tercatat sebesar 2.752.490 orang, sementara jumlah pembudidaya mencapai 2.827.005 orang. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan pada tahun 2009 tercatat mencapai 789.619 orang. Rata-rata kenaikan jumlah tenaga kerja pada tahun 2005 – 2009 sebesar 3,23%.

Pada tahun 2005 jumlah rumah tangga perikanan (RTP) perikanan tangkap tercatat sebanyak 930.946 RTP, sementara pada perikanan budidaya tercatat sebanyak 1.435.213 RTP (BPS 2007). Jumlah RTP yang terlibat dalam pembudidayaan rumput laut terbanyak, terdapat di Provinsi Bali yakni 106.083 RTP, diikuti NTB 23.954 RTP, NTT 20.389 RTP, Sulawesi Selatan 19.158 RTP dan Sulawesi Tengah 13.250 RTP (DKP 2005).

  2.590.364 2.506.614 526.931 2.700.174 2.275.307 553.278 2.755.794 2.344.183 594.774 2.736.566 2.759.471 729.552 2.752.490 2.827.005 789.619 0 1.500.000 3.000.000 4.500.000 6.000.000

Jumlah tenaga kerja (orang) 2005

2006 2007 2008 2009

Nelayan perikanan tangkap Nelayan perikanan budidaya T enaga kerja pengolahan dan pemasaran

Gambar 11 Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan (KKP 2009).

Data perkembangan tenaga kerja pada sektor kelautan dan perikanan diatas menunjukkan bahwa potensi ketersediaan sumberdaya manusia untuk pengembangan klaster industri rumput laut cukup besar. Peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor ini sangat dimungkinkan, khususnya pada usaha budidaya rumput laut mengingat teknologi budidaya rumput laut relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, sehingga usaha tersebut dapat dilakukan secara massal.

Sumberdaya Perairan

Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lahan yang sangat luas dan iklim tropik yang sesuai untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut (DKP 2005).

Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia mencapai 1.110.900 ha. Namun demikian, pemanfaatan potensi lahan tersebut relatif masih kecil, yaitu hanya sekitar 20% dari potensi yang ada, atau baru sebesar 222.180 ha (Kustantiny et al. 2009). Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia

No. Provinsi Kabupaten/Kota Potensi

(ha) 1 NAD Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, Aceh Utara,

Aceh Timur, Aceh Selatan, Simeulu, Singkil, Sabang

104.100

2 Sumatera Utara Sumatera Utara 2.000

3 DKI Jakarta Kepulauan Seribu 1.800

4 Jawa Barat; Banten Perairan Sumur, P. Panjang 2.400 5 Jawa Tengah Jepara, Kebumen, Rembang 5.200 6 Jawa Timur Situbondo, Sumenep, Pacitan 29.500 7 Bali Buleleng, Karangasem, Klungkung, Badung,

Jembrana

18.100 8 NTB Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok

Tengah, Sumbawa, Dompu, Bima

12.000

9 NTT Kupang 1.000

10 Sulawesi Utara; Gorontalo

Manado, Minahasa, Bitung, Sangihe Talaud, Bolaang Mongondow, Gorontalo

10.500 11 Sulawesi Tengah Donggala, Banggai, Banggai Kepulauan 106.300 12 Sulawesi Selatan Sinjai, Selayar, Bulukumba, Jeneponto, Takalar,

Maros, Pangkep, Bantaeng, Mamuju

26.500 13 Sulawesi Tenggara Kendari, Kolaka, Buton, Muna 83.000 14 Maluku Maluku Utara, Maluku Tengah, Maluku

Tenggara, Halmahera, Ternate

206.600 15 Papua Biak Numfor, Yapen Waropen, Manokwari,

Sorong

501.900

Jumlah 1.110.900

Sumber: DKP 2005

Industri Rumput Laut

Industri rumput laut merupakan industri yang mengolah rumput laut (Eucheuma sp) menjadi karaginan. Industri rumput laut yang beroperasi di Indonesia saat ini jumlahnya sekitar 20 buah, yang mencakup industri pengolahan ATC, SRC, dan RC, yang berlokasi wilayah di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar industri karaginan berlokasi di Jawa Timur. Nama-nama perusahaan pengolahan rumput laut di Indonesia disajikan pada Lampiran 13.1. Total kapasitas produksi produsen karaginan di Indonesia pada tahun 2007 tercatat sebesar 17.000 ton, atau sebesar 20% total kapasitas produksi karaginan dunia (Dakay 2008).

Saat ini tercatat ada sekitar 22 produsen besar karaginan yang tersebar di dunia. Nama perusahaan dan lokasi negara dapat dilihat pada Lampiran 13.2. Total kapasitas produksi produsen karaginan dunia pada tahun 2007 tercatat mencapai

 

84.700 ton, dimana sebagian besar produsen karaginan tersebut berada di Filipina yang menguasai sekitar 41% produksi karaginan dunia (Dakay 2008).

Industri pengolahan rumput laut di Indonesia saat ini semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia. Sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia, industri pengolahan rumput laut berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 2014, Indonesia mentargetkan produksi rumput laut bisa mencapai 10 juta ton. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut didalam negeri, maka hal ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi industri pengolahan sehingga dapat menyerap seluruh produksi rumput laut yang dihasilkan.

Kondisi Permintaan

Rumput laut dan produk olahannya yang berupa karaginan merupakan komoditas penting dalam dunia perdagangan. Dengan berbagai manfaat dan kegunaan dari produk karaginan untuk berbagai keperluan industri, farmasi dan makanan, permintaan produk ini sangat tinggi, baik untuk pasar didalam negeri maupun pasar di luar negeri.

Selama periode 1996-2004, produksi karaginan Indonesia relatif konstan, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,92% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah produksi karaginan mencapai 3.230 ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 3.960 ton. Hal ini terjadi karena jumlah unit pengolahan dan utilitas kapasitas produksi terpasang tidak mengalami perubahan secara signifikan pada kurun waktu tersebut (DKP 2005). Sebagian besar hasil produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan didalam negeri, atau rata-rata hanya sebesar 17% dari total produksi.

Meskipun secara relatif tingkat permintaan karaginan untuk pasar domestik masih kecil, namun permintaan karaginan di dalam negeri cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 7,79% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah permintaan karaginan mencapai 473 ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 696 ton. Permintaan penggunaan karaginan di dalam negeri didominasi oleh industri pasta gigi yang menyerap 58,2%, kemudian diikuti industri

jelly, industri pengolahan daging, industri es krim, pengolahan ikan dan lainnya

(DKP 2006a). Tingkat kejenuhan pasar rumput laut diperkirakan masih belum dicapai untuk jangka waktu yang relatif lama, seiring dengan semakin meningkatnya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku berbagai industri farmasi, makanan, dan lain-lain. 2.757 473 3.182 547 3.587 542 3.753 841 3.476 980 3.578 781 3.156 740 3.250 544 3.264 696 0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000 Permint aan Karaginan (T on)

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Ekspor Domestik

Gambar 12 Permintaan karaginan Indonesia (DKP 2005).

Permintaan karaginan untuk pasar ekspor juga cenderung meningkat. Karaginan yang diproduksi di Indonesia sebagian besar diekspor ke luar negeri, yaitu sebesar 83% dari total produksi industri dalam negeri (DKP 2005). Selama periode 1996-2004, permintaan ekspor karaginan Indonesia cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 2,49% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah ekspor karaginan mencapai 2.757 ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 3.264 ton (DKP 2005).

Kapasitas produksi produsen karaginan di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 17.000 ton (Dakay 2008). Dengan asumsi utilisasi kapasitas sebesar 70%, maka produksi karaginan di Indonesia mencapai 11.900 ton pada tahun 2007. Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas produksi tersebut, bahan baku yang diperlukan adalah 64.751 ton rumput laut kering. Kebutuhan bahan baku ini dapat dipenuhi didalam negeri dimana pada tahun yang sama jumlah produksi rumput laut kering Indonesia mencapai 92.000 ton.

  21.500 4.200 30.120 6.030 37.500 7.500 51.900 10.400 71.700 14.300 76.600 15.400 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000

Produksi Rumput Laut (T on) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 E. Cott onii E. Spinosum

Gambar 13 Produksi rumput laut Indonesia (BPS 2007).

Pada tahun 2014, produksi karaginan di Indonesia ditargetkan sebesar 30.000 ton dengan upaya peningkatan pertumbuhan industri karaginan didalam negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku produksi karaginan, pertumbuhan produksi budidaya rumput laut didalam negeri juga dipacu hingga ditargetkan mencapai 10 juta ton pada tahun 2014. Pada tahun 2010, jumlah produksi rumput laut basah mencapai 2.672.800 ton. Jumlah produksi rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Produksi rumput laut tahun 2011 hingga 2014 merupakan angka proyeksi.

910.636 1.374.462 1.728.475 2.145.060 2.574.000 2.672.800 3.504.200 5.100.000 7.500.000 10.000.000 0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000

Produksi Rumput Laut Indonesia (Ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 14 Proyeksi produksi rumput laut Indonesia (KKP 2009)

Kapasitas produksi produsen karaginan di dunia pada tahun 2007 mencapai 84.700 ton (IMR International 2008). Filipina merupakan negara terbesar penghasil karaginan (41%), kemudian diikuti oleh Indonesia (20%) dan China (11%). Dengan asumsi utilisasi kapasitas produksi sebesar 70%, maka total produksi karaginan dunia

pada tahun 2007 adalah sebesar 59.290 ton. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka kebutuhan rumput laut sebagai bahan baku karaginan adalah 245.350 ton rumput laut kering. Jumlah produksi rumput laut dunia pada tahun yang sama tercatat sebesar 201.550 ton, sehingga pada tahun 2007 terdapat kekurangan bahan baku sebesar 43.800 ton rumput laut kering (Dakay 2008).

Hingga tahun 2010, diprediksi pasar dunia untuk karaginan semi refine (SRC) meningkat 10% dan karaginan refine (RC) sebesar 5% (DKP 2006a). Kebutuhan dunia untuk karaginan hingga tahun 2010 diprediksi mencapai 80.630 ton, yang terdiri dari SRC sebesar 48.830 ton dan RC sebesar 31.800 ton, dengan jumlah kebutuhan bahan baku sebesar 322.500 ton rumput laut kering. Pasar karaginan terbesar adalah di Eropa (35%), Amerika Utara (25%), dan Amerika Selatan (15%) (Anggadiredja et al. 2006). 26.160 33.350 27.470 36.690 28.850 40.355 30.285 44.390 31.800 48.830 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 Kebutuhan Karaginan (Ton)

2006 2007 2008 2009 2010 RC SRC

Gambar 15 Estimasi kebutuhan pasar karaginan (Anggadiredja et al. 2006). Meningkatnya kebutuhan karaginan dunia mempunyai implikasi pada meningkatnya permintaan rumput laut kering sebagai bahan baku. Permintaan rumput laut dunia dapat dilihat dari volume impor yang dilakukan oleh negara-negara importir. Jepang merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, kemudian diikuti oleh China, dan Amerika. Berdasarkan data yang diperoleh FAO (2008), selama kurun waktu 2001 hingga 2006, ketiga negara tersebut mengimpor 55,37% dari seluruh volume impor rumput laut dunia. Permintaan rumput laut dunia dapat dilihat pada Tabel 6.

 

Tabel 6 Permintaan rumput laut dunia

2002 2003 2004 2005 2006 Japan 73.061 71.204 95.293 83.100 73.063 395.721 79.144 25,07 China 43.400 50.436 60.253 64.441 78.780 297.310 59.462 18,83 USA 43.896 40.467 40.772 25.858 30.056 181.049 36.210 11,47 France 16.637 12.232 16.467 32.261 14.631 92.228 18.446 5,84 Korea 18.001 15.693 16.084 16.401 15.707 81.886 16.377 5,19 Taiwan 12.808 13.564 15.947 15.236 14.196 71.751 14.350 4,55 Denmark 14.739 17.021 15.534 12.513 6.905 66.712 13.342 4,23 China 14.928 14.488 14.959 9.752 9.919 64.046 12.809 4,06 United Kingdom 9.429 13.532 11.060 11.792 23.154 68.967 13.793 4,37 Spain 11.471 9.517 11.181 9.198 7.505 48.872 9.774 3,10 Negara lain 28.461 39.286 39.172 49.849 53.334 210.102 42.020 13,31

Volume impor dunia 286.831 297.440 336.722 330.401 327.250 1.578.644 315.729 100,00 Volume (Ton)

Importir Total Rata-rata Proporsi

(%)

Sumber: FAO (2008)

Jumlah permintaan rumput laut Indonesia sebagian besar berasal dari negara pengimpor seperti China, Hongkong, Filipina, Spanyol, Denmark, USA, Korea, dan Prancis. Permintaan rumput laut Indonesia disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan data BPS (2007), pangsa pasar rumput laut Indonesia terus meningkat seiring dengan tingginya permintaan dunia akan produk olahan berbasis karaginan dan agar dengan rata-rata per tahun sebesar 17,76% dengan kecenderungan yang semakin meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2002 pangsa pasar rumput laut Indonesia adalah 9,96%, maka pada tahun 2006 pangsa pasarnya meningkat menjadi 29,22%. Data ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan volume ekspor rumput laut Indonesia, khususnya kepada negara-negara importir rumput laut dunia.

Hingga tahun 2007, produksi rumput laut penghasil karaginan dunia masih didominasi oleh Filipina. Namun demikian, dominasi Filipina sebagai penghasil rumput laut (E. cottonii dan E. spinosum) cenderung tergeser oleh Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Rata-rata produksi rumput laut Filipina (tahun 2002-2007) cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku untuk produksi karaginan didalam negeri, pada tahun 2007 Filipina harus mengimpor sebanyak 43.850 ton (Dakay 2008).

Tabel 7 Permintaan rumput laut Indonesia 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Japan 179 392 202 375 537 604 2.289 382 0,60 Hongkong 7.164 7.867 9.214 8.385 15.674 20.890 69.194 11.532 18,27 South Korea 229 1.510 1.152 5.143 3.843 5.421 17.298 2.883 4,57 Taiwan 407 422 749 505 535 635 3.253 542 0,86 Rep. of China 4.187 9.337 13.785 24.926 35.834 23.318 111.387 18.565 29,41 Thailand 60 260 334 423 1.077 269 0,43 Singapore 88 21 64 76 83 111 443 74 0,12 Philippines 1.472 4.574 5.302 8.060 11.145 10.878 41.431 6.905 10,94 Malaysia 262 259 321 143 1.235 1.091 3.311 552 0,87 Egypt 9 9 9 0,01 Australia 256 430 613 436 321 2.056 411 0,65 USA 1.804 2.128 1.750 1.065 5.751 2.454 14.952 2.492 3,95 Canada 36 221 108 365 122 0,19 United Kingdom 499 400 395 832 848 671 3.645 608 0,96 Netherland 20 5 24 60 40 0 149 25 0,04 France 1.833 1.355 1.575 2.919 604 2.192 10.478 1.746 2,77 RF Germany 209 339 441 782 418 415 2.604 434 0,69

Belgia & Luxemburg 252 210 630 254 314 305 1.965 328 0,52

Denmark 3.948 4.499 6.294 3.754 2.125 2.098 22.718 3.786 6,00 Italy 82 36 21 56 48 243 49 0,08 Spain 4.700 3.364 4.716 4.736 4.431 4.493 26.440 4.407 6,98 Polandia 63 63 42 168 56 0,09 Russia 42 42 84 42 0,07 Negara lainnya 1.224 3.146 3.887 6.315 11.060 17.555 43.187 7.198 11,40 Jumlah 28.559 40.165 51.012 69.266 95.629 94.115 378.746 63.124 100,00 Total Proporsi (%) Rata-rata

Negara Tujuan Volume (Ton)

Sumber: BPS (2007) 25.700 36.150 45.000 62.300 86.000 92.000 96.120 94.960 102.820 96.600 93.000 92.700 0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Produksi (Ton) Philippines Indonesia

Gambar 16 Produksi rumput laut Indonesia dan Filipina (Dakay 2008)

Industri Terkait dan Pendukung

Industri-industri terkait dan pendukung mempunyai kontribusi signifikan dalam penciptaan daya saing dan produktivitas klaster. Adanya industri terkait dan pendukung akan meningkatkan efisiensi dan sinergi didalam klaster. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi, informasi

 

maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri lainnya (Porter 1990). Industri pendukung dan industri terkait dan hubungannya didalam klaster dalam suatu jaringan merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam strategi pengembangan klaster industri rumput laut.

Kehadiran industri pemasok lokal yang kompetitif sangat penting artinya terutama karena akses yang efisien, cepat, dan cost-effective. Dalam konteks pengembangan klaster industri rumput laut, pemasok bahan baku rumput laut mempunyai peran penting untuk menentukan keberlanjutan industri rumput laut, terkait dengan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, waktu, dan harga. Pemasok utama bahan baku rumput laut adalah pembudidaya rumput laut. Hasil budidaya selanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul baik pedagang pada tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota, atau dijual kepada koperasi.

Industri pendukung klaster industri rumput laut diantaranya adalah usaha pembibitan rumput laut dan usaha penyedia sarana produksi. Investasi usaha penyedia bibit rumput laut saat ini belum berkembang secara komersial. Pada umumnya pembudidaya membeli bibit rumput laut cukup sekali saja dan hasil selanjutnya digunakan untuk bibit dan produksi kering (BI 2008). Secara umum pembudidaya rumput laut menggunakan bibit rumput laut dari hasil panen sendiri. Pembelian bibit rumput laut dari pembudidaya lain terjadi karena pembudidaya tersebut mengalami gagal panen atau kualitas rumput laut yang dihasilkan kurang baik (Zulham et al. 2007). Dengan terbentuknya kelompok-kelompok pembudidaya, diharapkan kedepan kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengembangkan sistem kebun bibit dimana bibit diperoleh dari lembaga yang tersertifikasi agar menghasilkan rumput laut yang berkualitas.

Usaha penyedia sarana produksi didalam klaster difokuskan pada sarana produksi untuk budidaya rumput laut. Sarana produksi utama yang diperlukan oleh usaha budidaya rumput laut terdiri dari bambu dan tali (dikenal sebagai tali ”ris”). Bambu digunakan untuk membentuk rakit sebagai tempat mengikat tali yang telah terdapat bibit rumput laut. Bambu untuk rakit tempat budidaya rumput laut ini tahan antara 3 sampai 5 kali panen. Sementara tali yang digunakan untuk mengikat bibit rumput laut yang dibudidayakan tahan sekitar 6 kali panen. Usaha yang secara

khusus menyediakan sarana produksi untuk budidaya rumput laut sangat jarang ditemui pada sentra produksi rumput laut. Hal ini disebabkan karena bambu dapat diperoleh dari desa-desa sekitar, sementara tali ris dapat diperoleh pada toko material di ibu kota kecamatan atau kabupaten/kota (Zulham et al. 2007).

Kehadiran industri terkait lokal yang kompetitif juga merupakan bagian penting dalam pengembangan daya saing klaster. Industri ini dapat berkoordinasi atau berbagi aktivitas dalam rantai nilai manakala berkompetisi, atau yang melibatkan produk yang saling komplementer. Industri terkait yang perlu dikembangkan didalam klaster industri rumput laut adalah industri transportasi (Zulham et al. 2007; DKP 2008). Industri ini diperlukan untuk jasa distribusi pengangkutan barang, baik jasa transportasi domestik maupun ekspor. Hubungan industri pemasok dan industri terkait lokal pada umumnya masih belum tertata dengan baik, artinya hubungan kerjasama antar industri tersebut dibangun atas dasar mekanisme pasar.

Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan Usaha

Indonesia diakui merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia sudah melampaui produksi rumput laut Filipina. Namun demikian, peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan dan masih memiliki peluang cukup besar. Penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan, karena meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia untuk jenis E. cottonii dan E. spinosum, tetapi harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri.

Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan baik. Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan. Lemahnya penguatan struktur industri rumput laut nasional, menyebabkan Indonesia masih dapat dikendalikan oleh pembeli dari luar. Oleh karena itu, langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir,

 

kemudian membuat cetak biru (blue print) pengembangan industri rumput laut nasional yang berkelanjutan (BPPT 2010).

Dalam cetak biru perlu diatur penguatan struktur usaha atau industri rumput laut yang sudah ada dari hulu ke hilir, termasuk industri nasional pengolahan makanan dan farmasi berbasis rumput laut. Program penguatan struktur industri dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank. Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian cetak biru dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan.

Berdasarkan gambaran model berlian Porter, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kekuatan dalam sistem klaster industri rumput laut di Indonesia, namun juga masih banyak kelemahan yang masih perlu ditingkatkan sebagai upaya penguatan industri rumput laut yang berbasis pada sistem klaster industri. Kekuatan pasar luar negeri dan potensi pasar domestik yang ditunjang dengan kondisi sumberdaya yang memadai merupakan faktor kunci untuk keberlanjutan daya saing klaster industri rumput laut. Hal ini harus diimbangi dengan dukungan seluruh stakeholder klaster sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan adanya dukungan infrastruktur baik ekonomi maupun teknologi yang memadai dari pemerintah maupun institusi dan industri pendukung lainnya.

Analisis Kebutuhan

Klaster industri merupakan bentuk aktivitas bisnis yang terintegrasi dari elemen-elemen sistem pembentuk klaster yang saling terkait. Analisis kebutuhan sistem klaster industri rumput laut menguraikan kebutuhan elemen-elemen sistem pembentuk klaster. Sistem pengembangan klaster harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan stakeholders, yaitu pelaku atau lembaga yang ikut berperan dalam pengembangan klaster, sehingga tercipta sistem yang dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh elemen yang terlibat didalamnya. Identifikasi

kebutuhan sistem diawali dengan melakukan karakteristik sistem secara lengkap diantaranya entiti dan atribut dari masing-masing elemen pembentuk sistem.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis kebutuhan sistem klaster adalah metode bottom up, dimana pendekatan pengembangan dimulai dengan menganalisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam sistem klaster industri rumput laut. Analisis kebutuhan sistem pengembangan klaster industri rumput laut didasarkan pada hasil identifikasi dan telaahan terhadap kondisi empiris, observasi lapangan, diskusi dengan pakar serta rujukan pustaka yang relevan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis kebutuhan komponen sistem

No. Elemen Sistem Kebutuhan 1 Pembudidaya • Kepastian pasar produksi rumput laut

• Produksi meningkat • Kualitas meningkat

• Harga rumput laut stabil sesuai kualitas • Bertambahnya pendapatan

2 Kelompok pembudidaya

• Harga rumput laut stabil sesuai kualitas • Kualitas rumput laut meningkat • Peningkatan pendapatan kelompok

3 Agroindustri • Jaminan pasokan bahan baku sesuai kebutuhan • Bahan baku sesuai spesifikasi kualitas yang diinginkan • Harga bahan baku rasional dan proporsional

• Pasar produk terjamin

• Peningkatan pendapatan perusahaan

• Tidak ada keluhan masyarakat terkait limbah agroindustri 4 Pembeli • Produk sesuai dengan standar kualitas yang dikehendaki

• Kontinuitas pasokan produk olahan rumput laut 5 Koperasi • Transparansi informasi harga dan kualitas rumput laut

• Peningkatan pendapatan koperasi 6 Penyedia sarana

produksi

• Peningkatan produksi • Pasar produk terjamin 7 Penyedia jasa distribusi

dan transportasi

• Peningkatan frekuensi pemakaian jasa distribusi dan transportasi 8 Lembaga pembiayaan • Pertambahan jumlah nasabah potensial

• Jaminan kelancaran pembayaran kredit (risiko rendah) 9 Penyedia layanan

pengembangan bisnis

• Peningkatan kapasitas layanan pengembangan bisnis 10 Masyarakat lokal • Peningkatan penyerapan lapangan kerja

• Keamanan dan kenyamanan lingkungan 11 Pemerintah • Lapangan kerja bertambah

• Percepatan pembangunan daerah

• Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Sumber: Zulham et al. (2007); DKP (2007); Data Primer (2008)

 

Formulasi Permasalahan

Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah, maka berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf definitif (Eriyatno 1999). Permasalahan utama pada pengembangan klaster industri rumput laut saat ini adalah belum dipenuhinya kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan.

Dokumen terkait