• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN YULI WIBOWO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN YULI WIBOWO"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

YULI WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2011

Yuli Wibowo

(3)

ii

YULI WIBOWO. The Design of Sustainable Seaweed Industry Cluster Development Model. Supervised by M. SYAMSUL MA'ARIF, ANAS M. FAUZI, and LUKY ADRIANTO

The application of cluster approach is performed to further utilize and develop seaweed industry to become an integrated, powerful industry from upstream to downstream and highly competitive one. The purpose of this research was to design a model of seaweed industry cluster development by using economic, social and environmental aspects of sustainable development approach. This model was composed of three key sub-models, i.e.: diagnosis of feasibility of development, operations development, and prediction of performance development. The model formulation used both of soft and hard system methodology. This research produced a decision support system named Model KlasteRula, which used a programming language called Visual Basic Version 6. This model can be used to assist in the decision making process of sustainable seaweed industry cluster development. The model design was implemented in Sumenep district, East Java province. From the result of model implementation, it showed that the model has been able to perform simulations and produced behaviors that match the expected system. Sustainable seaweed industry cluster development was predicted to be able to enhance profits of business actors in the cluster, increase labor absorption, and suppress potential environmental pollution caused by agro-industry liquid waste through the recycling process, so as to increase water-use efficiency.

Keywords: seaweed industry cluster, sustainable development, decision support system, model implementation

(4)

iii

YULI WIBOWO. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, ANAS M. FAUZI, dan LUKY ADRIANTO

Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan

Eucheuma spinosum. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut

di Indonesia, penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Strategi pengembangan industri rumput laut di Indonesia masih kurang terencana dengan baik, karena belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya. Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, baik pada tingkat pembudidaya, pengepul atau kolektor, maupun di tingkat industri pengolahan. Permasalahan industri rumput laut di Indonesia pada umumnya terkait dengan permasalahan budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran.

Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir, diantaranya melalui pendekatan klaster industri. Penerapan pendekatan klaster industri rumput laut dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi industri yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi.

Penelitian ini bermaksud untuk merancang model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Rancangan model tersusun atas tiga submodel utama, yaitu submodel diagnosis kelayakan pengembangan, operasi pengembangan, dan kinerja pengembangan. Formulasi model menggunakan soft

system metodhology dan hard system metodhology, yang meliputi teknik heuristic, independent preference evaluation (IPE), ordered weighted averaging (OWA),

sistem pakar, interpretive structural modeling (ISM), analytical hierarchy process (AHP), serta analisis kelayakan usaha. Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi, sementara validasi model menggunakan teknik face validity, event validity, sensitivity analysis,

animation dan predictive validation.

Rancangan model diimplementasikan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Hasil implementasi model memperlihatkan bahwa model telah mampu melakukan simulasi dan menghasilkan perilaku yang sesuai dengan sistem yang diharapkan. Kabupaten Sumenep merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan klaster industri rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari penilaian prasyarat ekologi yang memperlihatkan bahwa wilayah perairan di Kabupaten Sumenep “sesuai” untuk budidaya rumput laut. Selain itu, penilaian prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan juga menunjukkan bahwa wilayah ini memang “cukup layak” untuk dikembangkan klaster industri rumput laut.

(5)

iv

koperasi, dan agroindustri. Kualitas rumput laut yang baik menjadi faktor pendorong dalam penciptaan produk alkali treated cottonii (ATC) yang berkualitas dengan harga yang kompetitif. Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong peningkatan harga pada setiap simpul rantai usaha didalam klaster rata-rata sebesar 19,06% dengan asumsi kualitas produk (gel strength/GS) meningkat dari 775 gr/cm2 menjadi 900 gr/cm2.

Pengembangan klaster industri rumput laut dirancang untuk menghasilkan produk karaginan semi murni dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC) dengan kapasitas sebesar 1.575 kg/hari, atau 472,5 ton/tahun. Berdasarkan target kapasitas tersebut, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering (Eucheuma cottonii) sebagai bahan baku ATC adalah 1.575 ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku yang sesuai dengan kapasitas tersebut, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Kebutuhan lahan ini dapat terpenuhi mengingat potensi luas lahan budidaya di Kabupaten Sumenep cukup besar, yaitu 11.500 ha.

Terkait dengan permasalahan limbah yang dihasilkan agroindustri ATC, penanganannya diprioritaskan pada upaya pemanfaatan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian (bobot=0,462), yang diikuti oleh upaya peningkatan nilai tambah limbah menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis (bobot=0,430). Sementara, peningkatan kinerja IPAL belum menjadi prioritas utama dalam penanganan permasalahan limbah industri (bobot=0,108). Penanganan limbah melalui proses daur ulang selain bermanfaat untuk mengurangi permasalahan pencemaran lingkungan, maka hal ini juga dapat menjadi solusi bagi agroindustri ATC yang mempunyai keterbatasan dalam penyediaan air bersih.

Strukturisasi elemen-elemen sistem pengembangan klaster industri rumput laut menghasilkan: (a) elemen kendala dalam pengembangan, dengan elemen kunci yaitu keterbatasan SDM yang berkualitas serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk; (b) elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, dengan elemen kunci yaitu penurunan potensi pencemaran lingkungan dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster; (c) elemen aktivitas pengembangan, dengan elemen kunci yaitu memberikan bimbingan dan pendampingan serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran dan elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan; (d) elemen pelaku pengembangan, dengan elemen kunci meliputi industri inti, pembeli, kelompok usaha pembudidaya, dan masyarakat lokal. Elemen-elemen ini digunakan untuk merumuskan model konseptual dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

Prediksi kinerja pengembangan klaster bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis sampai sejauh mana tingkat pencapaian kinerja klaster sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hasil prediksi kinerja klaster menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong tercapainya keberlanjutan klaster, baik keberlanjutan pada aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

(6)

v

dimana nilai tambah tersebut sebagian besar dinikmati oleh pembudidaya secara agregat dengan proporsi 66,14% kemudian disusul agroindustri sebesar 20,67%, dan selebihnya dinikmati oleh koperasi dan kelompok pembudidaya masing-masing sebesar 4,55% dan 8,64%. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster sangat bermanfaat bagi pelaku usaha yang terlibat dalam rantai usaha rumput laut karena dapat meningkatkan pendapatannya. Pengembangan klaster juga bermanfaat bagi daerah karena dapat menciptakan sumber pendapatan bagi daerah. Kontribusi klaster industri terhadap PAD mencapai 1,14%.

Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong penyerapan jumlah tenaga kerja, khususnya tenaga kerja pada usaha budidaya rumput laut. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster berbanding lurus dengan jumlah kapasitas produksi yang ditetapkan didalam klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap akan semakin bertambah dengan meningkatnya kapasitas produksi klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster industri rumput laut mencapai 14,56% dari total angkatan kerja yang ada.

Penanganan limbah industri didalam klaster mampu mengurangi potensi pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah cair yang dihasilkan oleh agroindustri rumput laut (ATC) melalui proses daur ulang. Proses daur ulang limbah cair juga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air dalam proses pengolahan rumput laut dengan pemakaian kembali air yang telah didaur ulang untuk proses produksi. Efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang limbah mencapai 60,71%. Jika kebutuhan air untuk proses pengolahan ATC dalam setahun sebesar 114.660 m3, maka dalam setahun air yang dapat dihemat mencapai 69.615 m3. Penanganan limbah melalui proses daur ulang dapat menjadi solusi bagi agroindustri ATC yang umumnya berada di daerah pesisir dimana ketersediaan air bersih terbatas. Penghematan air ini sangat bermanfaat utamanya dengan semakin meningkatnya harga air yang relatif tinggi.

(7)

vi

© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

(8)

Yuli Wibowo

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(9)

Ujian Tertutup

Penguji Luar Komisi

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. Dr. Ir. Sukardi, MM.

Ujian Terbuka

Penguji Luar Komisi

Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS. Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc.

(10)

Nama Mahasiswa : Yuli Wibowo

NIM : F361050041

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. Ketua

Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MEng. Anggota

Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(11)

xi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul “Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan”. Penelitian ini menghasilkan sistem penunjang keputusan yang dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dan pihak-pihak terkait dalam rangka mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Disertasi ini dapat terselesaikan berkat peran yang besar dari komisi pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sangat tulus dan mendalam kepada Prof.Dr.Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Prof.Dr.Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng. dan Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat dan dorongan moral dengan penuh dedikasi kepada penulis dari awal hingga selesainya disertasi ini.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan pelayanan yang diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. dan Dr. Ir. Sukardi, MM. atas segala masukan dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Tertutup. Penulis juga tidak lupa menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS. dan Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc. yang telah banyak memberikan masukan berupa kritik dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Terbuka.

Terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jember, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih yang sama juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan staf pengajar dan pegawai pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember atas segala bantuan dan dorongan moralnya.

Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional atas dukungan dana beasiswa yang telah diberikan. Terimakasih yang sama penulis

(12)

xii

Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep, Ketua KUB Rumput Laut Mitra Bahari Kabupaten Pamekasan, Pimpinan PT. Indonusa Algaemas Prima, pengusaha rumput laut di Kabupaten Sumenep, dan semua nara sumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala waktu, pengalaman, ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama penulis melakukan pengumpulan data di lapangan.

Kepada rekan-rekan seperjuangan TIP Angkatan 2005, Dr.Ir. Luluk Sulistiyo Budi, MP., Dr.Ir. I Gusti Bagus Udayana, MS., Dr.Ir. Novizar Nazir, MS., Dr.Ir. Cut Meurah Rosnelly, MT., Ir. Fahmi Riadi, MSi., Henny Purwaningsih, SSi, MSi., dan Herfiani Rizkia, STp, MSi., penulis menyampaikan terimakasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama mengikuti pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bambang Herry Purnomo, STp, MSi., atas segala kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin selama ini khususnya selama mengkuti pendidikan. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan sampai selesainya disertasi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, disampaikan terimakasih.

Rasa hormat dan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Ayahanda Soedarminto (almarhum) dan Ibunda Sunarti yang tidak kenal lelah untuk memberikan doa, motivasi, semangat, dan pengorbanan yang tulus kepada penulis selama mengikuti pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pada pendidikan tinggi. Kepada Bapak Mertua Muhammad Santoso (almarhum) dan Ibu Mertua Nastuti Heruwati yang juga telah memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam mengikuti pendidikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik semuanya yang telah memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan dan kebanggaan yang tak terhingga dengan segala ketulusan penulis sampaikan kepada istri tercinta Rr. Rizkika Hidayasanti dan ananda tersayang Arya Mahdi Panji Wibowo atas segala pengorbanan, pengertian, ketulusan, ketabahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Disertasi ini. Semoga disertasi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Terimakasih.

Bogor, September 2011

Yuli Wibowo NRP. F361050041

(13)

xiii

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 30 Juli 1972. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Soedarminto (almarhum) dan Sunarti. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Jember pada tahun 1995. Penulis menyelesaikan Pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005. Kemudian pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional.

Selama mengikuti program S3, penulis berkesempatan menulis artikel dan terpublikasi secara ilmiah pada beberapa jurnal, antara lain: (i) Strategi Pengembangan Agroindustri Karaginan Menggunakan Perspektif Keunggulan Bersaing yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 1 Tahun 2009, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; (ii) Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 3 Tahun 2011, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; dan (iii) Strategi Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agritek: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Eksakta Volume 12 Nomor 1 Tahun 2011, Universitas Merdeka Madiun.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember mulai tahun 1999 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Rr. Rizkika Hidayasanti, STp. dan dikaruniai satu orang putra yang bernama Arya Mahdi Panji Wibowo.

(14)

xv Halaman KATA PENGANTAR... xi DAFTAR ISI... xv DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvii xix xxi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... Tujuan…………... Ruang Lingkup... Manfaat... 1 5 5 6 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Rumput Laut... Klaster Industri... Pembangunan Berkelanjutan... Pendekatan Sistem... Penelitian Terdahulu... 7 14 24 29 36 METODOLOGI... 41 Kerangka Pemikiran... Tahapan Penelitian... Tempat Penelitian... Metode Pengumpulan Data...

41 42 50 51 ANALISIS SISTEM... 53

Deskripsi Sistem Klaster Industri Rumput Laut... Analisis Kebutuhan... Formulasi Permasalahan... Identifikasi Sistem... 53 65 67 70 PEMODELAN SISTEM... 75

Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster... Model Operasi Pengembangan Klaster... Model Prediksi Kinerja Pengembangan... Perancangan Sistem Penunjang Keputusan...

77 85 97 108

(15)

xvi

Verifikasi dan Validasi Model... Implementasi Model... Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut... Keterbatasan Model...

113 115 163 173 SIMPULAN DAN SARAN... 177 Simpulan ...

Saran...

177 178 DAFTAR PUSTAKA... 181

(16)

xvii

Tabel Halaman

1 Nilai nutrisi rumput laut jenis Eucheuma sp... 9

2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri... 16

3 Struktur model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan... 46

4 Formulasi model pengembangan klaster industri... 47

5 Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia... 56

6 Permintaan rumput laut dunia... 61

7 Permintaan rumput laut Indonesia... 62

8 Analisis kebutuhan komponen sistem... 66

9 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut……... 78

10 Kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut... 78

11 Indikator prasyarat ekonomi... 80

12 Indikator prasyarat sosial... 80

13 Indikator prasyarat kelembagaan... 81

14 Nilai label output dan input sistem pakar... 84

15 Skala dasar perbandingan pada proses hirarki analitik... 95

16 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut... 116

17 Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut... 117

18 Penilaian prasyarat ekonomi... 119

19 Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep... 120

20 Penilaian prasyarat sosial... 121

21 Penilaian prasyarat kelembagaan... 121

22 Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster... 123

23 Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri... 125

24 Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri... 126

25 Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi... 127

26 Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya... 128

27 Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya... 129

(17)

xviii

29 Prioritas penanganan limbah cair ATC... 148

30 Skenario keuntungan pembudidaya... 150

31 Tingkat keuntungan pembudidaya... 151

32 Analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut... 151

33 Perubahan teknik budidaya rumput laut... 153

34 Skenario peningkatan keuntungan pembudidaya... 154

35 Skenario pendapatan agroindustri... 155

36 Skenario peningkatan keuntungan agroindustri... 155

37 Ikhtisar hasil analisis kelayakan finansial agroindustri ATC... 156

38 Skenario keuntungan koperasi... 157

39 Skenario keuntungan kelompok pembudidaya... 157

40 Proporsi keuntungan klaster... 158

41 Kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah... 159

42 Penyerapan tenaga kerja klaster... 160

(18)

xix

Gambar Halaman

1 Rumput laut (Eucheuma cottonii)... 8

2 Proses pembuatan ATC... 11

3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut... 12

4 Tata niaga rumput laut... 13

5 Model Berlian... 15

6 Metodologi pendekatan sistem... 31

7 Struktur dasar sistem penunjang keputusan... 35

8 Kerangka pemikiran penelitian... 42

9 Tahapan penelitian... 43

10 Model berlian klaster industri rumput laut... 54

11 Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan... 55

12 Permintaan karaginan Indonesia... 58

13 Produksi rumput laut Indonesia... 59

14 Proyeksi Produksi rumput laut Indonesia... 59

15 Estimasi kebutuhan pasar karaginan... 60

16 Produksi rumput laut Indonesia dan Filipina... 62

17 Diagram lingkar sebab akibat pengembangan klaster industri rumput laut... 71

18 Diagram input – output sistem pengembangan klaster rumput laut... 72

19 Rancangan model pengembangan klaster industri rumput laut... 76

20 Diagram alir model prasyarat ekologi... 79

21 Diagram alir model prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan... 82

22 Diagram alir model agregasi prasyarat kelayakan pengembangan... 84

23 Diagram alir model penentuan harga di tingkat agroindustri... 86

24 Diagram alir model penentuan harga di tingkat koperasi... 87

25 Diagram alir model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya... 87

(19)

xx

27 Diagram alir model keseimbangan bahan baku... 90

28 Diagram alir model strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan... 91

29 Diagram alir model penanganan limbah industri ATC... 94

30 Diagram alir model penentuan tingkat pendapatan pembudidaya... 99

31 Diagram alir model peningkatan pendapatan pembudidaya... 99

32 Diagram alir model pendapatan agroindustri... 100

33 Diagram alir model peningkatan pendapatan agroindustri... 100

34 Diagram alir model kontribusi agroindustri terhadap pembangunan daerah... 103

35 Diagram alir model perhitungan jumlah rakit budidaya... 104

36 Diagram alir model tingkat penyerapan tenaga kerja... 105

37 Model prediksi kinerja lingkungan... 107

38 Konfigurasi SPK pengembangan klaster industri rumput laut... 109

39 Struktur Model KlasteRula... 110

40 Tampilan awal Model KlasteRula... 111

41 Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep... 118

42 Rantai usaha klaster industri rumput laut... 130

43 Hubungan antara produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku... 133

44 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster... 135

45 Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster... 137

46 Klasifikasi elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster... 139

47 Struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan... 140

48 Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster... 142

49 Struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster... 144

50 Klasifikasi elemen pelaku pengembangan klaster... 145

51 Struktur hirarki elemen pelaku pengembangan klaster... 146

52 Struktur hirarki penanganan limbah... 148

53 Pengolahan ATC dan daur ulang limbah... 161

54 Rantai usaha rumput laut saat ini... 163

55 Rantai usaha rumput laut didalam klaster... 164

(20)

xxi

Lampiran Halaman 1 Kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma

cottonii) di Kabupaten Sumenep...

189

2 Penilaian indikator prasyarat ekonomi, sosial dan kelembagaan kelayakan

pengembangan klaster industri rumput laut... 195

3 Aturan-aturan yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut... 203

4 Penentuan harga rumput laut... 215

5 Harga pokok produksi usaha budidaya... 219

6 Keseimbangan bahan baku... 221

7 Strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster... 223

8 Prioritas penanganan limbah agroindustri... 231

9 Analisis usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan metode rakit di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep... 237

10 Analisis kelayakan finansial usaha agroindustri pengolahan rumput laut (alkali treated cottonii/ATC)... 245

11 Proporsi keuntungan pelaku usaha di dalam klaster... 255

12 Efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang... 261

13 Industri rumput laut... 263

(21)

1

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi (Dahuri 2003). Sebagai negara kepulauan, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya hayati laut sebaik-baiknya, termasuk diantaranya adalah pengembangan komoditas rumput laut (seaweed).

Rumput laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam bidang kelautan disamping udang dan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha atau 20% dari luas areal potensial. Hal ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut di Indonesia. Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dimana sebagian besar potensi berada di daerah Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali (DKP 2005). Jenis rumput laut yang dikembangkan di Indonesia antara lain adalah Kappaphycus alvarezii (cottonii), Eucheuma

denticulatum (spinosum) dan Gracilaria sp.

Volume produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang berarti, khususnya pada volume produksi budidaya. Menurut data KKP (2009), volume produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2005 mencapai 910.636 ton (basah). Pada tahun 2009, jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 2.574.000 ton (basah). Rata-rata peningkatan produksi rumput laut per tahun mencapai 30,2%. Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar diekspor ke beberapa negara, seperti China, Hongkong, Filipina, Spanyol, Denmark, USA, Korea, dan Prancis.

(22)

Indonesia diyakini merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan

Eucheuma spinosum. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia untuk

jenis tersebut sudah melampaui produksi rumput laut Filipina yang merupakan negara produsen rumput laut terbesar di dunia. Menurut Dakay (2008), rata-rata produksi rumput laut Filipina pada tahun 2002-2007 cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga mencapai 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Tahun 2007 jumlah produksi rumput laut penghasil karaginan di Indonesia mencapai 92.000 ton (kering).

Meskipun saat ini Indonesia merupakan negara produsen rumput laut penghasil karaginan terbesar di dunia, namun peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan mengingat peluangnya masih cukup besar. Dengan dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan Indonesia dimana rumput laut menjadi salah satu komoditas utama yang direvitalisasi, industri pengolahan rumput laut berkembang cukup pesat. Orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, khususnya dalam bentuk ATC (alkali treated cottonii). ATC merupakan suatu produk karaginan semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang pada umumnya digunakan sebagai pengatur keseimbangan, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi dalam industri pangan dan non pangan.

Potensi pasar produk ATC cukup besar. McHugh (2003) menyebutkan bahwa produk ATC sangat diminati oleh industri-industri pengolah di Eropa dan Amerika. DKP (2007) merinci potensi pasar dunia untuk karaginan, dimana untuk pangsa pasar Eropa sebesar 35%, Amerika Utara sebesar 25%, sementara untuk Amerika Selatan mencapai 15%. Dengan berkembangnya industri ATC ini tentunya diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspor produk kelautan Indonesia ke luar negeri. Hal ini akan membawa dampak positif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam mata rantai penciptaan nilai tambah rumput laut (value adding chain).

(23)

Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, maka penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Hal ini disebabkan meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia, namun harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri (buyer

market). Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan

baik. Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (BPPT 2010).

Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, khususnya di tingkat pembudidaya dan industri pengolahan. Beberapa permasalahan yang menonjol diantaranya terkait dengan: (i) kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya umumnya masih rendah karena teknik budidaya dan penanganan pascapanen belum dilakukan secara benar, yang mengakibatkan industri pengolahan kesulitan dalam memproduksi produk akhir yang sesuai dengan standar mutu internasional; (ii) industri pengolahan tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga, karena rumput laut menjadi komoditas dagang dan lebih banyak dijual dalam bentuk rumput laut kering; (iii) harga rumput laut sering tidak rasional sebagai bahan baku industri karena tidak ada tata niaga yang terkoordinir dengan mengacu kepada norma industri dengan banyaknya spekulan bahan baku (DKP 2005; Ma’ruf 2007; Sulaeman 2006; BI 2008); serta (iv) industri pengolahan menghasilkan limbah yang sangat besar yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar (Sedayu et al. 2007).

Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir. Terkait dengan hal tersebut, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan klaster industri. Pendekatan ini akan mendorong penguatan hubungan antar industri rumput laut yang saling terkait dalam rantai proses peningkatan nilai tambah. Merujuk pada pendapat Taufik (2005a), dalam klaster industri rumput laut, industri terdiri dari himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku

(24)

industri inti, industri pendukung bagi industri inti, serta pihak atau lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti.

Pengembangan klaster telah dilakukan di berbagai negara industri, seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Portugal, Selandia Baru, dan Jepang, serta telah diaplikasikan pula pada beberapa negara berkembang (Doeringer dan Terkla 1996; Schmitz dan Nadvi 1999). Menurut Bulu et al. (2004), pendekatan klaster saat ini telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan daya saing daerahnya.

Di Indonesia, pendekatan klaster industri mulai diperkenalkan sebagai salah satu agenda prioritas kebijakan pembangunan nasional melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing industri nasional.

Penerapan pendekatan klaster industri dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi. Program penguatan struktur industri rumput laut berbasis klaster dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank. Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan.

Pengembangan klaster industri rumput laut diharapkan mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing. Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan klaster industri rumput laut saat ini sangat kompleks untuk mewujudkan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster

(25)

yang selama ini dilakukan telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan yang cenderung hanya bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Tantangan yang dihadapi bagi pengembang klaster saat ini tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga terkait dengan aspek lingkungan dan sosial (Martin dan Mayer 2008; Allen dan Potiowski 2008).

Penelitian ini bermaksud merancang suatu model pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut secara berkelanjutan sekaligus sebagai upaya dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi industri rumput laut di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, tidak hanya manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dalam pengembangan klaster industri rumput laut, melainkan juga manfaat lingkungan dan sosial yang perlu diperhatikan secara seimbang.

Tujuan

Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dirancang dalam bentuk sistem penunjang keputusan (SPK).

Ruang Lingkup

1 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dirancang berdasarkan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan yang difokuskan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

2 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan mencakup beberapa aspek kajian, meliputi: (i) diagnosis kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster.

3 Model pengembangan klaster industri rumput laut secara spesifik difokuskan pada klaster yang menghasilkan produk akhir berupa karaginan semi murni (ATC) yang diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii.

(26)

Manfaat

1 Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian, khususnya untuk mengkaji pengembangan klaster industri rumput laut.

2 Bagi pemerintah pusat, dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang akan dikembangkan di daerah-daerah.

3 Bagi pemerintah daerah, merupakan bahan dalam pengambilan keputusan untuk penyusunan program dan pembinaan pengembangan klaster industri rumput laut dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya yang berkelanjutan.

4 Bagi pelaku klaster, dapat membantu pengambilan keputusan dalam pengembangan usahanya sehingga keputusan yang diambil mempunyai landasan yang jelas.

(27)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut

Profil Komoditas

Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio

Thallophyta (Deptan 1990). Berdasarkan pigmentasinya, rumput laut diklasifikasikan

menjadi tiga kelas, yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Dari ketiga kelas tersebut, hanya Rhodophyceae dan Paeophyceae yang dikenal dalam dunia perdagangan. Jenis Eucheuma sp,

Hypnea sp, Chondrus sp, dan Gigartina sp dari kelas Rhodophyceae merupakan

rumput laut penghasil karaginan (karaginofit), sementara jenis lainnya yaitu

Gracilaria sp dan Gelidium sp sebagai penghasil agar (agarofit). Dari kelas

Phaeophyceae dikenal .jenis Ascophyllum, Laminaria sp, Macnocystis sp, dan

Sargassum sebagai penghasil algin (alginofit) (McHugh 2003).

Makroalga merupakan sumberdaya hayati laut Indonesia yang sangat potensial dan bernilai ekonomis tinggi, terutama dari golongan alga merah dan alga coklat. Masyarakat pada umumnya dan dunia perdagangan lebih mengenal makroalga sebagai rumput laut karena beberapa diantaranya menyerupai rumput. Di perairan laut Indonesia telah ditemukan paling tidak sebanyak 555 jenis rumput laut (DKP 2006a).

Rumput laut dapat tumbuh secara alamiah di laut (wild seaweed), namun saat ini rumput laut sudah banyak yang dibudidayakan (McHugh 2003). Teknologi budidaya rumput laut pada umumnya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat (Anggadiredja et al. 2006). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis rumput laut penghasil karaginan (karaginofit). Karaginofit yang telah dikenal dan banyak dibudidayakan di Indonesia berasal dari genus Eucheuma. Menurut Huda (2002), paling tidak terdapat 5 jenis Eucheuma yang ditemukan di Indonesia, meliputi E. cottonii, E. spinosum, E. edule, E. striatum, E. muricartum, dan E. gelatinae.

(28)

Eucheuma merupakan rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di

perairan laut Indonesia karena tingkat permintaan pasar yang tinggi, serta didukung oleh kondisi perairan dan iklim tropik yang sangat cocok untuk pertumbuhannya (Anggadiredja et al. 2006; DKP 2006a). Kelebihan rumput laut jenis Eucheuma antara lain bentuk dan ukuran thallus lebih besar yang memungkinkan jenis ini mengandung karaginan yang tinggi, pertumbuhannya cepat (quick yield), serta mudah dibudidayakan dengan teknologi sederhana (BI 2008). Eucheuma memiliki

thallus dan cabang-cabang yang berbentuk silinder atau pipih dengan bentuk yang

tidak teratur dengan permukaan licin. Ketika masih hidup Eucheuma memiliki warna hijau hingga kemerahan, namun bila kering warnanya menjadi kuning kecoklatan (Doty 1973).

Gambar 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii).

Karaginan

Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peran penting dalam dunia perdagangan internasional, yaitu sebagai penghasil ekstrak karaginan. Eucheuma mempunyai komposisi yang sebagian besar terdiri dari komponen karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma bervariasi tergantung pada jenis spesies dan tempat tumbuhnya (Anggadiredja et al. 2006). Komponen lainnya seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral didalam rumput laut, mempunyai kandungan yang relatif sedikit. Nilai nutrisi rumput laut kering jenis Eucheuma sp. dapat dilihat pada Tabel 1.

(29)

Tabel 1 Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.) Komponen E. spinosum Bali E. spinosum Sulawesi Selatan E. cottonii Bali Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral : Ca (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) 12.90 5.12 0.13 13.38 1.39 14.21 52.820 0.108 0.768 -- 0.21 2.26 43.00 65.75 11.80 9.20 0.16 10.64 1.73 4.79 69.250 0.326 1.869 0.015 0.10 8.45 41.00 67.51 13.90 2.69 0.37 5.70 0.95 17.09 22.390 0.121 2.736 0.040 0.14 2.70 12.00 61.52 Sumber: BBPPHP (2009); Istini et al. (1986)

Karaginan adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan α-1,3-D-galaktosa dan β-1,4-3,6-anhydro-galaktosa secara bergantian (Soegiarto 1978). Pada dasarnya ada tiga tipe karaginan komersial, yaitu tipe kappa, lambda, dan iota. Karaginan tipe lambda banyak dijumpai pada

Chondrus crispus. Jenis Eucheuma cottonii merupakan sumber karaginan tipe

kappa, sementara Eucheuma spinosum sumber karaginan iota (Salasa 2002). Ketiga jenis karaginan ini dibedakan atas sifat jelly yang terbentuk. Iota karaginan berupa

jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jelly bersifat kaku dan getas

serta keras. Sementara, lambda karaginan tidak dapat membentuk jelly, tetapi berbentuk cair yang viscous.

Karaginan sangat penting peranannya sebagai pengatur keseimbangan (stabilisator), pengental (thickener), pembentukan gel (gelating), dan pengemulsi (emulsifier). Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan secara luas dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, pasta gigi, dan industri penting lainnya (Basmal 2000).

Pada industri pangan, karaginan telah dimanfaatkan untuk perbaikan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, jelly, dll. Pada industri farmasi karaginan digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Pada

(30)

industri kosmetika digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan untuk mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Karaginan digunakan pula pada industri non pangan seperti pada industri tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara dan telah ditambahkan pula pada makanan hewan peliharaan (pet food) (Basmal 2000).

Dalam dunia perdagangan, karaginan bisa diperoleh dalam bentuk karaginan murni maupun semi murni. Produk karaginan semi murni merupakan bahan baku bagi karaginan murni yang berkualitas tinggi yang memiliki kekuatan gel serta rendeman yang tinggi. Karaginan semi murni memiliki beberapa istilah, antara lain

semi refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte, seaweed flour, alternatively refined carrageenan, dan processed seaweed flour. Ada

pula istilah alkali treated cottonii (ATC) atau alkali treated cottonii chips (ATCC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang masih dalam bentuk chips yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (McHugh 2003).

Produk karaginan semi murni biasanya diproduksi oleh negara-negara penghasil rumput laut, seperti Filipina dan Indonesia. Produk ini lebih diminati oleh industri-industri pengolah seperti di Eropa dan USA, karena negara-negara tersebut dapat menekan biaya transportasi sehingga akan lebih efisien dibandingkan mengimpor produk dalam bentuk rumput laut kering (raw dried seaweed). Selain itu, industri pengolah juga tidak tertarik untuk mengolah rumput laut menjadi ATC dengan alasan untuk menghindari adanya limbah dalam proses pengolahannya, sehingga hal ini akan mengurangi biaya dalam penanganan limbah (McHugh 2003).

Agroindustri Rumput Laut

Austin (1992) dan Brown (1994) mendefinisikan agroindustri sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk-produk olahannya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Proses pengolahannya mencakup transformasi kimia dan fisika, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Merujuk pada definisi tersebut, agroindustri rumput laut adalah industri yang mengolah rumput laut menjadi produk olahannya, misalnya ATC.

(31)

Menurut Kustantiny et al. (2009), saat ini agroindustri ATC semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia. Proses pengolahan ATC tidak membutuhkan penerapan teknologi tinggi. Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85°C selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dicuci berulang-ulang, dipotong-potong, dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips (Salasa 2002). Diagram alir proses pembuatan ATC dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002).

Dengan mempertimbangkan teknologi pengolahan ATC yang relatif mudah dikuasai, bahan baku yang cukup tersedia, serta peluang pasar yang sangat potensial baik di dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, maka pengembangan agroindustri ATC di Indonesia mempunyai prospek yang sangat cerah (DKP 2006a). Pengembangan agroindustri berbasis rumput laut dapat mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus menjaga kestabilan harga rumput laut (Rahman 1999).

(32)

Sejauh ini sebagian besar rumput laut, baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam, masih diolah sebatas rumput laut kering (raw seaweed). Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering (Kustantiny et al. 2009). Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah (DKP 2006a).

Pengembangan budidaya rumput laut perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahannya karena nilai tambah rumput laut sebagian besar terletak pada industri pengolahannya. Sebagian besar produksi rumput laut diekspor dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya belum dinikmati oleh pembudidaya, produsen, pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Pengembangan agroindustri rumput laut mempunyai nilai strategis dari hulu sampai hilir.

Dalam pengembangan agroindustri rumput laut, Ma’ruf (2002) menyarankan perlunya dibentuk suatu sistem penyerasian antara penyediaan bahan baku, sumberdaya manusia, permodalan, hukum, kelembagaan dan sistem pemasaran dan perlunya sosialisasi hasil riset yang melibatkan pemerintah daerah, institusi riset dan swasta.

Gambar 3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut (Ma’ruf 2002).

Tata Niaga Rumput Laut

Rantai pemasaran rumput laut umumnya terdiri dari simpul-simpul pedagang lokal, pedagang antar pulau, dan eksportir yang hampir merupakan model yang sama di seluruh Indonesia. Pembudidaya rumput laut pada umumnya menjual hasil

(33)

produksinya kepada pedagang pengumpul lokal atau ke koperasi. Pengumpul lokal kemudian memproses ulang dengan melakukan pembersihan, sortasi, dan mengeringkan rumput laut sebelum dikemas dan dijual kepada pembeli baik eksportir maupun pabrikan pengolahan rumput laut (Anggadiredja et al. 2006). Saat ini pembudidaya sudah mulai membentuk organisasi di tingkat pembudidaya, yaitu kelompok-kelompok pembudidaya, dimana ketua kelompoknya umumnya bertindak sebagai pengepul yang mengumpulkan rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya (BI 2008).

Simpul-simpul perdagangan ini sulit bisa diputus mengingat jarak yang jauh antara produsen rumput laut (pembudidaya) dengan pasar di hilirnya, yaitu pabrikan atau processor dan eksportir. Setiap simpul akan memproses lebih lanjut hasil panen pembudidaya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas rumput laut agar bisa diterima oleh pabrikan pengolah rumput laut, baik didalam maupun di luar negeri (Anggadiredja et al. 2006). Model keterkaitan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dan tata niaga rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembudidaya / petani rumput laut

Pedagang pengumpul di pulau atau lokal

Koperasi Unit Desa

(KUD) Pedagang antar pulau

Pedagang pengumpul di kota

Pedagang besar di kota

Eksportir Pabrikan

(34)

Klaster Industri

Model Klaster Industri

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep klaster industri. Pertama, konsep klaster yang lebih menyoroti aspek aglomerasi, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai keserupaan aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Marshal (1920).

Kedua, konsep yang lebih menyoroti aspek keterkaitan (interdependency) atau rantai

nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan oleh Porter (1990), serta para peneliti lain seperti Bergman dan Feser (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dll.

Konsep klaster industri yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan yang kedua. Pada pendekatan ini, Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan melengkapi (complementarities). Senada dengan pemikiran Porter, Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster adalah jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

Dalam klaster industri, pengelompokan industri membentuk kerjasama antar industri, yaitu antara industri inti yang menjadi basis dalam pengembangan klaster dengan industri pendukung serta industri terkait yang berhubungan secara intensif membentuk kemitraan (Bergman dan Feser 1999). Pengelompokan klaster industri

(35)

biasanya didasarkan pada sistematika produk, karakteristik produk atau pohon industrinya.

Pemikiran-pemikiran tentang klaster industri yang berkembang dewasa ini pada umumnya merujuk kepada model berlian (diamond model) yang dikembangkan Porter (1990). Porter mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri.

Dalam perspektif Porter, faktor penentu dari daya saing adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal yang disebut sebagai faktor berlian

(diamond). Empat faktor tersebut mencakup: (i) kondisi faktor; (ii) kondisi

permintaan; (iii) industri terkait dan pendukung; serta (iv) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance

events) dan peran pemerintah.

Gambar 5 Model Berlian (Porter 1990).

Sejauh ini, dalam beberapa literatur untuk kasus di Indonesia, penggunaan istilah antara “klaster industri” dengan “sentra industri” sering digunakan secara dapat dipertukarkan. Menurut Taufik (2005b), hal ini perlu diklarifikasi. Jika rantai nilai dianggap hal yang penting, maka keduanya sebenarnya bukan hal yang identik,

(36)

walaupun bisa saling terkait. Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri

Kriteria Klaster Industri Sentra Industri Batasan Industri Himpunan para pelaku dalam konteks

tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti

Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa

Faktor penting yang menjadi pertimbangan

Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri

Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik para pelaku usaha

Keterkaitan antara keduanya

Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu

Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (subgroup) dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu Batasan lokasi/

wilayah

Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas dalam konteks batasan kewilayahan tertentu

Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu

Sumber: Taufik (2005b)

Manfaat Pengembangan Klaster Industri

Pengembangan klaster industri diyakini merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci bagi pengembangan daya saing daerah. Menurut EDA (1997), kerangka klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi secara efektif karena:

• Market-driven, berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif.

• Inclusive, mencakup perusahaan baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil, serta para pemasok dan lembaga-lembaga ekonomi pendukung.

(37)

• Collaborative, sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah oleh para partisipan yang termotivasi oleh keinginannya masing-masing.

• Strategic, membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan.

• Value-creating, memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Pengembangan klaster industri diyakini mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2004) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yaitu: (i) meningkatkan produktivitas perusahaan; (ii) mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai pondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan; dan (iii) menstimulasi tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.

Beberapa manfaat pengembangan klaster industri disampaikan oleh Porter (1998a), Desrochers dan Sautet (2004), Waits (2000), Martin dan Sunley (2003), yaitu:

1 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi dan membantu pengembangan agenda bersama;

2 Meningkatkan kerjasama antar perusahaan untuk memperkuat industrinya. Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat, pengetahuan dan informasi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 3 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mengurangi biaya

(38)

4 Menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang mendorong peningkatan produktifitas dan diversifikasi produk;

5 Meningkatkan keahlian pelaku melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster yang mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif;

6 Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of

scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama

atau melalui pembelian bahan mentah bersama;

7 Perusahaan dapat meningkatkan hubungan bisnis dengan pelanggan dan pemasok secara lebih baik.

Keberadaan klaster tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster, namun juga menguntungkan pengambil kebijakan untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Manfaat utama yang diperoleh pemerintah adalah: (i) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster; (ii) dapat menyusun program dan pembinaan pengembangan klaster industri dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya secara berkelanjutan; (iii) penciptaan lapangan kerja dari wilayah geografis di mana klaster berada; dan (iv) peningkatan perekonomian daerah/nasional secara lebih luas (Martin dan Sunley 2003).

Tahapan Pengembangan

Klaster industri mempunyai sifat dinamis dan perkembangannya mempunyai siklus yang dapat dikenali. Rosenfeld (2002) mengklasifikasikan siklus perkembangan klaster menjadi empat tahapan, yaitu: (i) klaster embrio, yaitu klaster pada tahapan awal perkembangan; (ii) klaster tumbuh, yaitu klaster yang mempunyai ruang untuk perkembangan lebih lanjut; (iii) klaster dewasa, yaitu klaster yang stabil atau akan sulit untuk lebih berkembang, serta (iv) klaster menurun, yaitu klaster yang sudah mencapai puncak dan sedang mengalami penurunan.

(39)

Dalam klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Sedangkan pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Bappenas 2006).

Dalam konteks pengembangan ekonomi daerah, EDA (1997) menetapkan empat tahapan umum dalam pengembangan klaster industri, meliputi:

1 Mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang diperlukan untuk melaksanakan prakarsa;

2 Diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster;

3 Strategi kolaboratif, yaitu menghimpun stakeholder dari sisi permintaan (seperti perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder dari sisi sisi penawaran (termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan prakarsa aksi dalam mengatasi persoalan bersama; dan

4 Implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan lembaga/ organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi.

Faktor Kunci Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri

Setiap klaster mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan klaster lainnya. Namun pada umumnya ada beberapa faktor yang mendukung perkembangan klaster yang telah berhasil di dunia. Bappenas (2006) menyebutkan faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan suatu klaster, meliputi: (i) elemen yang “lunak” seperti jaringan dan pengembangan institusi; (ii) elemen “keras” seperti infrastruktur fisik; serta (iii) elemen yang tidak terlihat seperti kepemimpinan dan

(40)

budaya kewirausahaan. Faktor lainnya yang juga berkontribusi pada keberhasilan perkembangan klaster adalah akses pada pasar, finansial, dan jasa-jasa khusus.

Selain faktor-faktor diatas, Tambunan (2008) mengamati beberapa faktor penentu keberhasilan klaster lainnya, meliputi: (i) ketersediaan bahan baku terjamin dengan jangkauan harga yang telah diperhitungkan masih menguntungkan; (ii) ada tradisi budaya dan skill tenaga kerja dalam hand craft yang turun temurun dipelajari oleh masyarakat setempat, tenaga kerja terampil tersedia di sekitar lokasi dimana klaster industri tertentu tumbuh; dan (iii) didalam masyarakat ada sikap kewirausahaan (entepreneur) yang cukup berpengetahuan pasar sehingga mampu menyusun jaringan pasar (market network) didalam dan luar agen daerah.

Berdasarkan pengalaman BPPT dalam pengembangan klaster, Taufik (2007) melaporkan faktor-faktor keberhasilan klaster yang dianggap penting, yaitu: (i) potensi lokal yang khas; (ii) kehendak/motivasi kuat pelaku bisnis dan mitra kerja (terutama untuk berubah ke arah perbaikan); (iii) individu setempat dengan kepeloporan yang tinggi (local champions); dan (iv) faktor kolaborasi dalam pengembangan UKM semakin menentukan keberhasilan di arena persaingan global.

Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada umumnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Meskipun klaster industri diyakini dapat memberikan peluang dan manfaat bagi pelaku industri, termasuk bagi daerah dimana klaster tersebut berada, namun proses mengembangkan klaster bukanlah merupakan persoalan yang mudah.

Rosenfeld (2002) menyampaian beberapa hambatan pengembangan klaster, diantaranya adalah lemahnya akses terhadap sumber permodalan, penguasaan dan adopsi teknologi, akses terhadap informasi, sumberdaya manusia yang terampil, lemahnya penguasaan manajemen dan organisasi bisnis, serta keterbatasan infrastruktur. Disamping itu, Matopoulos et al. (2005) juga mencatat ada satu faktor penting yang menjadi penghambat dalam pengembangan klaster, yaitu lemahnya kerjasama usaha diantara pelaku-pelaku klaster.

(41)

Berdasarkan beberapa pengalaman BPPT, Taufik (2007) melaporkan tantangan terbesar dalam pengembangan klaster, meliputi: (i) perubahan paradigma (personil internal dan mitra kerja dan pola sektoral yang masih sangat terkotak-kotak). Perlu perbaikan paradigma (pola pikir, sikap dan tindakan) segenap aktor/pelaku (pelaku bisnis, pihak non-pemerintah, pemerintah) dalam menjalankan peran masing-masing; (ii) komitmen; (iii) konsistensi; serta (v) semakin siap dengan beragam paradoks dari perubahan.

ADB (2001) juga telah melaporkan hasil-hasil kajian yang menghambat keberhasilan perkembangan klaster di Indonesia, yang pada umumnya disebabkan oleh: (i) mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar; (ii) mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi; (iii) ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk; dan (iv) keterbatasan kemungkinan pemerintah deerah untuk mendorong perkembangan klaster industri.

Dalam pendekatan klaster industri, pergeseran paradigma peran pemerintah dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan. Peran pemerintah yang ideal menurut Roelandt dan den Hertog (1998) adalah: (i) sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan dalam klaster; (ii) katalis dalam mengembangkan keunggulan daya saing yang dinamis; (iii) pengembang/penguat kelembagaan; dan (iv) menciptakan struktur insentif untuk menghilangkan/mengurangi ketidakefisienan pasar dan sistemik yang terjadi dalam sistem inovasi.

Dalam pengembangan klaster industri, Roelandt dan den Hertog (1998) menyarankan beberapa hal berikut untuk dihindari:

1 Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata karena keinginan pemerintah melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan.

2 Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar. 3 Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk

(42)

4 Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster, melainkan berperan sebagai katalis dan broker yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster serta insentif untuk memfasilitasi proses inovasi dan klasterisasi.

5 Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang sudah ada dan klasik. 6 Kebijakan klaster tidak hanya cukup dengan analisis/studi, tetapi juga

tindakan nyata. Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta menciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif.

7 Klaster sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun.

Beberapa contoh klaster industri yang dianggap berhasil, baik di luar negeri maupun didalam negeri, adalah sebagai berikut:

1 Klaster industri alas kaki di Sinos Valley Brazil. Klaster ini beranggotakan 480 perusahaan produsen alas kaki yang didukung berbagai pemasok bahan baku utama dan penunjang, mesin, dan pemasok komponen manufaktur, lembaga pelatihan khusus bidang manajemen dan finansial, serta lembaga informasi. Faktor kunci sukses klaster ini meliputi adanya latar belakang dan tujuan ke depan yang kuat, adanya kemampuan untuk meningkatkan produk dengan kualitas tinggi secara konsisten, dan kepedulian dari lembaga, institusi, dan asosiasi pendukung alas kaki untuk membagi ide dan beradaptasi terhadap perubahan permintaan dari pasar dunia.

2 Klaster industri teknologi informasi dan komunikasi di Finlandia. Klaster ini pada tahun 1997 naik dari peringkat terendah menjadi nomor 2 tertinggi di dunia. Anggota klasternya terdiri dari industri kunci (media, hiburan, iklan, pemesanan, perbankan, kesehatan, layanan publik, pendidikan, dan elektronika konsumsi), industri pendukung (manufaktur komponen dan suku cadang, manufaktur kontrak, dan penelitian dan pengembangan), serta jaringan jasa terkait (konsultansi, modal ventura, dan jalur distribusi).

(43)

3 Klaster industri anggur di Victorian Australia. Salah satu kunci sukses klaster ini adalah peningkatan nilai tambah yang ditunjukkan oleh peningkatan harga buah anggur sebesar lima kali lipat dengan mutu ekspor. Klaster juga memiliki visi dan misi yang kuat yang menjadi bagian dari rencana nasional. Selain itu, klaster juga mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk perumusan strategi dan peraturan pemerintah yang sangat mendukung pertumbuhan industrinya. Ditambah lagi dengan transfer teknologi antar industri dan promosi internasional secara bersama-sama.

4 Klaster industri optik di Arizona Amerika Serikat. Klaster ini beranggotakan 150 perusahaan industri kunci dengan kegiatan yang sangat inovatif yang telah mematenkan 3400 produk. Selain industri kunci, stakeholders utamanya juga terdiri dari institusi dan lembaga pemberdayaan industri lokal, organisasi perdagangan, dan universitas. Faktor keberhasilannya meliputi pengembangan teknologi dan proses transformasi yang didukung oleh institusi penelitian dan pendidikan, inisiasi dan pengembangan hubungan timbal balik antar industri terkait, pengembangan keahlian pekerja, dan kolaborasi antar perusahaan dalam berbagai segi.

5 Klaster Mebel Ukir Kayu di Jepara Indonesia. Klaster ini merupakan klaster industri terbesar di Indonesia dengan ribuan perusahaan yang mempekerjakan 60.000 tenaga kerja. Stakeholder utamanya adalah industri kunci berupa sentra pengrajin mebel yang didukung pemasok bahan baku kayu Sukoharjo dan pemasok cor logam. Kemajuan klaster juga didukung oleh unit pelaksana teknis pengolahan kayu, lembaga pelatihan, bank, industri terkait (permesinan, finishing, melamine, dll), dan industri perkakas. Produk klaster ini sudah merambah pasar luar negeri. Faktor lain yang mendukung keberhasilan klaster ini adalah: (i) asosiasi lokal yang kuat; (ii) pengalaman yang luas dengan perubahan selera konsumen asing; (iii) investasi penting untuk skala menengah yang antara lain berasal dari pernikahan lintas bangsa antara orang asing dengan penduduk setempat; serta (iv) peranan penting

Gambar

Gambar 6  Metodologi pendekatan sistem (Eriyatno 1999).
Gambar 9  Tahapan penelitian.
Gambar 11  Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan (KKP 2009).
Tabel 5  Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia  No. Provinsi  Kabupaten/Kota  Potensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Repetisi gramatikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan menggunakan pola kalimat yang sama (pola sintaksis), sedangkan repetisi leksikal

Alamat) pada database melalui aplikasi yang akan dibangun. Rumah Berkas yang sudah diinput kemudian disimpan di sebuah Rak terbuka sesuai dengan nomor urut. Arsip surat Teguran,

N: Oiya jelas dong, kayak tadi yang gue yang kita promosikan tidak akan terlalu worth ketika mereka experience sendiri, jadi ketika mereka melihat foto-foto

Larutan yang telah disaring Proses memblender daun.

R: Karena perubahan suhunya lebih tinggi, banyak P: Trus, kalor yang sama diberikan kepada dua buah benda dengan massa yang sama, suhu awal yang sama, tetapi kedua benda

• IEC/TS 62257-9-1 : Recommendations for small renewable energy & hybrid systems for rural electrification – Part 9-1: Micropower

“Pengembangan kurikulum nasional yang berorientasi pada pembentukan soft skill mahasiswa menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan.” yang berlaku secara nasional akan

Oleh karena itu, BP2KSI sebagai Instansi Pemerintah dan Penyelenggara Negara telah menetapkan target kinerja tahun 2016 dilanjutkan dengan melakukan monitoring dan