• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TEORI

Dalam dokumen MAKALAH SIMULASI DEBAT POLITIK Kampanye (Halaman 27-35)

Berdasarkan simulasi debat politik yang berlangsung pada hari jumat 13 Desember 2013 lalu, debat terselenggara dengan baik dan lancar. Walaupun mungkin memang ada beberapa hal yang membingungkan dalam simulasi debat politik ini, yaitu sistematika jalannya debat. Namun secara keseluruhan, debat politik ini telah berjalan sesuai rencana meskipun kurang persiapan yang matang.

Penyampaian visi dan misi para kandidat tentu memiliki penilaian yang berbeda-beda. Untuk kandidat pertama, cara penyampaian pesan politik yang digunakan oleh kandidat pertama cukup baik dengan penggunaan kata yang bagus dan baku serta disampaikan dengan pengucapan dan artikulasi yang jelas. Namun ada beberapa hal yang kurang begitu ia kuasai, contohnya saja saat saya menanyakan mengenai gratifikasi. Jawabannya pada awalnya sangat jauh dari ekspektasi saya. Di sisi lain Kandidat pertama juga tak segan-segan menggunakan bahasa non verbal melalui gerakan tubuhnya dan tatapan mata yang meyakinkan kalau ia pantas untuk dipilih oleh khalayak ramai. Selain itu juga kandidat pertama menggunakan pemasaran politik dengan berkampanye menyebarkan flyer kepada seluruh khalayak di dalam kelas.

Hal ini berbeda dengan kandidat kedua. Kandidat kedua cenderung terlihat agak gugur (nervous) saat menyampaikan visi-misi dan juga menjawab pertanyaan. Hal ini berdampak pada kurang menariknya pesan politik yang ia sampaikan, meskipun konten pesannya sudah cukup baik. Namun kandidat kedua ini lebih bisa menguasai jalannya debat karena pengetahuan yang ia miliki cenderung lebih banyak daripada kandidat yang pertama. Terbukti dengan jawaban-jawaban logis yang ia lontarkan saat menjawab berbagai pertanyaan baik itu dari komentator maupun dari pakar.

Sedangkan untuk kandidat yang terakhir, saya tidak mempunyai penilaian apapun tentang dirinya, meskipun saya megetahui nama dan visi misinya. Jika saya harus memberikan penilaian tanpa debat, maka saya akan memberikan nilai kosong karena saya tidak dapat melihat kredibilitas, kapabilitas dan elektabilitasnya serta kemampuannya dalam menyampaikan pesan politik. Lalu bagaimana kemudian ia bisa membuat dirinya terpilih pada pemilihan presiden? Namun jika saya menilai dari visi misi yang ia miliki, komentar saya adalah visi misinya bagus akan tetapi kurang mengena ke seluruh wilayah dan aspek permasalahan yang terdapat di Indonesia. Permasalahan kita bukan hanya soal pangan,

banyak persoalan serius yang harus dibenahi seperti misalnya hukum, kesehatan, kemiskinan dan lain sebagainya.

Jika teori komunikasi politik di atas dianalisis berdasarkan dinamika atau perkembangan perpolitikan yang terjadi di Indonesia maka analisa saya adalah keberhasilan suatu partai politik dalam memenangkan pemilihan umum sangat ditentukan oleh beberapa factor, baik factor internal maupun factor eksternal. Salah satu factor yang menentukan keberhasilan partai politik itu adalah pemasaran politik. Pemasaran politik mendorong dan memungkinkan partai dan pemilih untuk menjadi bagian dari suatu dialog konstruktif. Karena pemasaran politik merupakan salah satu factor yang menentukan keberhasilan partai politik dalam mengambil simpati dari para pemilih yang akhirnya memenangkan pemilihan umum, maka perlu menentukan strategi yang paling tepat dalam pemasaran politik.

Pada saat ini partai-partai politik di Indonesia dalam memenangkan pemilihan umum, pada umumnya belum menerapkan strategi pemasaran yang tepat, yaitu strategi yang dihasilkan dari hasil pengkajian secara ilmiah. Dengan demikian hasilnya masih banyak yang belum sesuai dengan harapan, baik harapan masyarakat pemilih ataupun harapan partai yang bersangkutan. Beberapa penyebab seluruh partai di Indonesia belum menggunakan strategi pemasaran yang tepat diantaranya adalah kemampuan sumber daya manusia partai, sistem yang ada dan diberlakukan dalam partai yang bersangkutan, anggaran yang dimiliki dalam menggerakkan partai yang bersangkutan, sarana dan prasarana yang dimiliki partai yang bersangkutan, serta karakteristik dari masyarakat pemilih serta bauran pemasaran yang diterapkan belum tepat. Namun demikian apa yang menjadi dominan dalam mempengaruhinya, untuk setiap partai adalah berbeda-beda, sehingga pemasaran politik yang harus dilakukan masing-masing partai tersebut juga memerlukan strategi pemasaran yang berbeda-beda pula. Pentingnya menerapkan strategi pemasaran politik yang tepat oleh masing-masing partai, karena hal tersebut juga akan menentukan baik tidaknya hasil pemilihan umum.

Dalam prosesnya komunikasi politik menjadi salah satu jurus terjitu sebagai jembatan dalam penyampaian pesan politik dan tujuan – tujuan politik. Proses komunikasi politik ini terjadi disemua lapisan masyarakat dari yang awam sampai pada para elit politik. Kegiatan ini juga sering kali melibatkan media massa sebagai alat untuk menyebar luaskan jangkauan dan efek informasi dari kegiatan komunikasi politik itu sendiri.

Seperti halnya dalam Pemilu Presiden yang para kandidat dan partai saling berlomba-lomba untuk mendapatkan citra positif dimata masyarakat dengan berbagai upaya komunikasi politik demi mendapatkan suara dukungan terbanyak, mereka tidak hanya berkomunikasi politik tetapi seringkali juga terdapat “kampanye hitam” dan “kampanye putih”.

Usaha yang dilancarkan para kandidat yang didukung oleh partai tidaklah main-main, mereka melakukan komunikasi langsung dengan warga korban banjir, warga kolong jembatan atau bahkan meraka mendatangi pemukiman kumuh dipinggiran sungai atau pembungan sampah. Mereka berdialog sekaligus mengunggkapkan janji-janji manis sebagai bentuk komuniksi politik mereka yang pada nyatanya janji tersebut belum tentu dipenuhi pada saat mereka terpilih. Kegiatan tersebut juga diliput oleh rekan media dengan tujuan agar bahwa seluruh warga Negara Indonesia dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh para kandidat demi memunculkan citra positif dan merebut suara.

Media massa selama ini dimaknai sebagai salah satu pilar demokrasi. Artinya, media memiliki peranan yang penting di dalam menjaga bahkan mempengaruhi jalannya suatusistem politik yang demokratis di suatu negara atau wilayah tertentu. Sedikit banyaknya praktek media massa berkontribusi terhadap bagaimana prinsip-prinsip demokratisasi mampu terselenggarakan dalam tatanan masyarakat. Media massa menjadi indicator dalam pelaksanaan system politik. Selanjutnya mereka akan memposisikan dirinya sebagai penyeimbang dalam perjalanan system tersebut dalam upaya menjaga demokratisasi yang berjalan.

Masalahnya, kita percaya bahwa media massa – terutama televisi – memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Karena itu, bila media dikuasai oleh para pemain politik tertentu, dikhawatirkan masyarakat pemilih akan tergiring untuk mengambil keputusan tentang para pemimpin tidak dengan panduan informasi yang lengkap, akurat dan berimbang.

Sistem politik yang demokratis tentunya memungkinkan praktek media yang lebih bebas. Di lain pihak jika sistem politiknya dikatakan belum demokratis maka kita akan menemukan praktek-praktek sensor terhadap media. Atau bahkan dalam tahapan yang ekstrem, media hanya digunakan sebagai alat propaganda penguasa atau pemerintah. Dalam kasus Indonesia perbedaan ini sangat signifikan. Jika dalam fase pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang otoriter maka dapat dikatakan bahwa media massa sama sekali tidak mencerminkan demokrasi. Buktinya adalah adanya kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap praktek media massa waktu itu.

Peran politik media massa di dalam negara demokratis setidaknya dapat dilihat dari dua peristiwa. Pertama, terlihat pada proses seleksi kepemimpinan politik (dalam pemilu atau pemilihan kepala daerah). Di dalam pemilu, media massa dapat mempublikasikan berba gai isu, termasuk visi dan misi yang ditawarkan oleh para calon atau partai. Media massa juga berperan dalam memberikan kritik terhadap mereka. Kedua adalah pasca pemilu. Hal ini terutama terkait dengan jalannya pemerintahan.

Dalam relasi antara media massa dan demokrasi, media terutama dilihat sebagai saluran politik. Hal ini dapat terlihat dari dua bentuk saluran politik. Pertama, media sebagai saluran komunikasi antara para elit, baik yang berada di posisi tertentu dalam pemeritaha ataupun elit yang tidak berada dalam pemerintahan, dengan warga atau konsituennya. Kedua, media berperan sebagai saluran komunikasi politik bagi dirinya sendiri. Media disini dipandang memiliki kepentingannya sendiri yang belum tentu beriringan dengan kepentingan para elit yang ada.

Demokrasi mensyaratkan adanya suasana kekebasan dalam berbicara dan menyampaikan pendapat sehingga terciptanya ruang debat public yang sehat. Untuk itu, syarat ini secara tidak langsung akan menciptakan system pers yang juga bersifat demokratis. Posisi media massa dianggap netral dan hanya sebagai perantara semata. Media massa hanya sebagai alat yang menjembatani segala macam fakta dan opini dalam komunikasi politik yang terjadi. Padahal, ada kalanya media massa justru berfungsi sebagai pihak yang menciptakan isu-isu tertentu dalam debat publik dalam suatu peritiwa politik.

Menurunnya partisipasi publik dalam demokrasi di Indonesia juga menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Demokrasi perwakilan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam negara modern. Akan tetapi beriringan dengan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap para wakil rakyat yang duduk di dalam pemerintahan, pelibatan anggota masyarakat di dalam prosea pengambilan keputusan-keputusan penting yang menyangkut diri mereka semakin berkurang, menjadikan problematika yang mulai tampil ke permukaan politik Indonesia.

Ada gejala keterputusan hubungan dalam sistem demokrasi perwakilan di Indonesia. Para elit politik yang menduduki posisi dalam pemerintahan yang awalnya mengatasnamakan diri mereka sebagai perwakilan dari rakyat atau konstituennya menjadi semakin berjarak dengan para pemilih mereka tersebut. Hubungan antara elit dengan rakyat hanya akrab ketika dalam momentum pemilu atau pilkada. Selebihnya keduanya berjalan sendiri sendiri.

Hadirnya partisipasi publik merupakan sebuah indikator bahwa demokrasi yg sedang berjalan di suatu negara itu dikatakan sehat. Tanpa adanya partisipasi dari publik tadi maka rakyat akan merasa ikut serta dalam segala macam proses pembuatan keputusan dalam pemerintahan maupun dalam dinamika politik lainnya.

Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat hanya dilibatkan dalam parti sipasi politik sebatas keterlibatan mereka di dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah saja. Tentunya partisipasi ini hanya termasuk ke dalam definisi partisipasi yang minimal. Selepas pemilu biasanya masyarakat tidak lagi diharapkan ikut serta dalam partisipa si politik karena peran mereka sudah diwakilkan oleh wakil rakyat yang mereka pilih dalam pemilu. Persoalan muncul ketika wakil rakyat yang mereka pilih melalui mekanisme pemilu tadi ternyata tidak amanah.

Artinya wakil rakyat berjalan tidak konsisten dengan apa yang mereka janjikan pada saat kampanye sehingga perilaku politik elit tidak sinkron dengan aspirasi konstituennya. Ada kesenjangan antara masyarakat dengan elit politik sehingga komunikasi politik yang ada menjadi sangat minim.

Gejala yang lain dapat terlihat dari mulai banyaknya angka golongan putih (golput) didalam pemilu. Sejumlah pihak memaknai naiknya jumlah masyarakat yang memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai salah satu bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap wakil rakyat atau elit politik yang ada. Mereka merasa bahwa elit politik tidak cukup representatif dalam membela atau mewakili suara politik masyarakat. Ketika masyarakat tidak lagi terlalu antusias untuk berpartisipasi dalam saluran politik semacam pemilihan umum, maka mereka menjadi kehilangan saluran dalam komunikasi politik.

Masyarakat menjadi kebingungan di dalam memikirkan bagaimana caranyaagar suara dan aspirasi mereka didengar atau setidaknya dapat tersalurkan ke ranah publik. Masyarakat butuh medium yang mana kepentingan politik mereka mendapatkan tempat untuk menjadi diskursus. Untuk itu masyarakat berupaya mencari saluran komunikasi politiknya.

Sebagaimana terlihat, Indonesia sebenarnya memiliki peraturan-perundangan yang di satu sisi melindungi kebebasan pers dan di pihak lain dapat digunakan untuk melindungi kepentingan publik dari penyalahgunaan media untuk kepentingan sempit dalam proses politik. Namun ada sejumlah catatan penting. Pertama, pola pengaturan semacam ini memang lebih menguntungkan mereka yang memiliki dana besar untuk kampanye. Aturan tentang jumlah tayangan iklan yang hanya 300 detik per televisi per hari hanya berlaku di masa kampanye yang relatif singkat. Di luar masa kampanye, sama sekali tak ada pembatasan

iklan. Terlebih pula, dengan tarif iklan yang bisa mencapai Rp 30 juta per 30 detik, tetap saja diperlukan kantong yang tebal untuk memanfaatkan masa kampanye dengan seoptimal mungkin.

Kedua, karena iklan politik dimungkinkan, bisa diperkirakan kampanye politik melalui televisi dan radio sesungguhnya sudah dimulai jauh hari sebelum masa kampanye resmi dimulai. Konsekuensinya, karena dilakukan sebelum masa kampanye, iklan politik semacam itu – misalnya iklan Prabowo, ARB atau iklan Hanura dan Nasdem – tidak harus tunduk pada aturan kampanye. Ketiga, di luar soal iklan kampanye, yang bisa diatur adalah soal isi jurnalisitik yang harus netral, berimbang dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu. Yang harus mengawasi pelaksanaan peraturan ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia.

Karena itu, saat ini, mungkin yang lebih diperlukan adalah masyarakat yang kritis dan secara terbuka mengecam bentuk-bentuk penyalahgunaan media oleh kepentingan politik tertentu, kalau masyarakat memandang bahwa praktek itu terjadi di layar televisi atau siaran radio. Bila media menyadari bahwa keberpihakan mereka akan merugikan secara bisnis dan politik, sangat mungkin mereka akan berperilaku secara lebih profesional.

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Partai politik sebagai salah satu instrumen politik yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan. Selain memiliki tujuan yang jelas adapula fungsi-fungsi yang harus dijalankan yaitu rekrutmen politik, komunikasi politik, pengendali konflik dan lain-lain. Disamping itu partai politik merupakan representasi dari beberapa kelompok yang ada di dalam masyarakat. Partai politik sangat diperlukan untuk menampung seluruh aspirasi rakyat namun pada saat sekarang ini, partai politik lebih banyak menjadi media atau alat agar penguasa dapat menjalankan tujuannya.

Komunikasi politik, hal ini sebernanya difungsikan sebagai cara, perantara, dan jembatan pemilik kekuasaan dengan rakyat atau publiknya yang bersifat saling ketergantungan dalam ruang lingkup bernegara. Peran media massa sendiri selain sebagai alat penyampai dan penyebarluasan komunikasi politik diharapkan sebagai pengontrol informasi dan tidak dituggangi oleh pemilik dan penguasa demi tujuan – tujuan tertentu, tetapi media dapat berdiri sendiri sebagai suatu media yang sehat dan berguna bagi masyarakat dalam memenuhi semua kebutuhan informasi yang dibutuhkan.

Secara sederhana komunikasi politik merupakan komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik, aktor politik atau berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan dan kebijaksanaan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa di pahami antara yang memerintah dan di perintah. Dalam hal ini komunikasi politik mempunyai kedakatan terhadap media massa, dimana media massa mempunyai posisi yang sangat strategis baik upaya penyebarluasan informasi maupun menumbuhkan citra. Pada dasarnya komunikasi politik di zaman modern saat ini merupakan komunikasi politik melalui media massa tidak terkecuali termasuk kampanye pemilihan. Hal ini mengambil titik berat atas keberadaan media massa dalam konteks secara umum, dan kampanye pemilihan secara khusus.

Dalam konteks pemilihan, termasuk pemilihan anggota Legislatif maupun pemilihan pejabat eksekutif terlihat jelas bahwa kampanye pemilihan diupayakan dengan mengunakan berbagai teknik pemasaran politik. Selain hal ini keterkaitan media massa dalam kajian komunikasi politik, tampaknya juga semakin bervariasi, termasuk misalnya pembangunan

demokrasi, konflik dan integrasi, demonstrasi, pemilihan umum serta sosialisasi dan partisipasi politik.

Media tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kampanye. Karena itu, tidak kurang para kandidat sering menggunakan media sebagai sarana untuk kampanye. Sebaliknya, media juga merasa penting untuk menyampaikan informasi kampanye kepada khalayak terutama beberapa bagian/poin yang dianggap menarik untuk tujuan komersial. Menggalang massa dalam kampanye adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Kunjungan para kandidat ke berbagai komunitas masyarakat dengan membawa pesan politis, baik samar maupun nyata, adalah suatu hal biasa.

Kampanye adalah aktivitas kandidat parlemen atau presiden yang terencana untuk mempengaruhi massa sebagai upaya untuk memperoleh dukungan. Kandidat yang berkeinginan kuat dan sungguh-sungguh akan mengerahkan tenaga dan kemampuannya dengan segala cara dalam berkampanye. Kampanye yang tertib diawali dengan persiapan yang memadai dengan melibatkan sejumlah orang untuk merancang acara dan program kampanye di berbagai tempat dan kesempatan dengan memperhatikan substansi materi kampanye dan segala yang terkait di dalamnya. Para perancang pesan bertugas membuat pesan kampanye dengan memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi, apakah pesan itu aktual, dan atau marketable.

Keragaman alur pikir dan kehendak masyarakat adalah suatu dinamika dilihat dari berbagai sisi/latar belakang, seperti sisi pendidikan, ekonomi, dan budaya. Keragaman ini akan menimbulkan tuntutan yang kompleks dan menyibukkan kandidat beserta tim manajemen untuk mencari tahu informasi yang lengkap sebelum melakukan tindakan. Karena itu, presentasi yang efektif harus dilakukan dengan memanfaatkan kontek simbolis tertentu agar produk yang disampaikan dapat menarik perhatian, mudah dipahami, dan mengandung muatan emosi.

Dalam dokumen MAKALAH SIMULASI DEBAT POLITIK Kampanye (Halaman 27-35)

Dokumen terkait