• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Prinsip Penanggalan Aboge di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo

KABUPATEN WONOSOBO

A. Analisis Terhadap Prinsip Penanggalan Aboge di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo

Penanggalan Aboge adalah penanggalan yang dianut oleh masyarakat kejawen yang berada di Kelurahan Mudal, yang artinya tahun Alif jatuh pada hari Rabu pasaran Wage. Yang mereka yakini bahwa penanggalan tersebut adalah sebuah warisan nenek moyang yang harus dijaga dan di teruskan.

Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa aboge adalah sebuah perhitunga yang didasarkan pada sebuah kepastian, maksudnya adalah bahwa dalam setiap tahunya dalam penanggalan Aboge umur bulan dalam setiap tanunya itu sudah tetap dan beraturan, yaitu untuk bulan ganjil adalah 29 hari dan untuk bulan ganjil adalah 30, jadi untuk tahun-tahun seterusnya perhitungan bulan-bulan dalam setiap tahunnya sudah bisa diketahui karena penetapan tersebut.

Secara prinsip, ada perbedaan model penanggalan Jawa Islam (Aboge) dengan yang lain, dengan sistem perhitungan yang berbeda, satu tahun umumnya ditetapkan 354 3/8 hari, tetapi dalam perhitungan ini pecahan itu tidaklah merupakan kesulitan yaitu diatasi dengan jalan tiap-tiap 8 tahun terdapat 3 tahun panjang. Sehingga selama 8 tahun umumnya = 354 x 8 + 3 =

2835 hari, kemudian tahun-tahun panjang diletakkan pada tahun ke 2, 5 dan ke 8. Akibat dari ketentuan satu windu yang panjangnya 8 tahun itu = 2835 hari, maka dalam 30 tahun akan terjadi 10631 lebih ¼ hari. Dengan demikian sistem perhitungan ini lebih panjang dari sistem tahun hijriyah sebanyak ¼ hari, maka selama 120 sistem baru akan mengalami pengunduran waktu selama satu hari dibandingkan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah. Oleh sebab itulah ditetapkan pemotongan hari pada tiap-tiap 120 tahun.1

Secara historis, sistem penanggalan Jawa Islam sudah mengalami tiga kali pergantian permulaan tahun yakni mulai pemikiran Ajumgi (tahun alip mulai pada hari Jum’at Legi: ini berlaku hingga tahun 1674), Kemudian Akawon (tahun alip mulai pada hari Kamis Kliwon: ini berlaku mulai tahun 1675 hingga tahun 1748). Lalu Aboge (tahun alip mulai pada hari Rabu Wage: ini berlaku mulai tahun 1749 hingga tahun 1866). Setelah itu sejak tahun 1867 hingga sekarang semua tahun alip mulai pada hari Selasa Pon (prinsip asapon).2

Sebagaimana penjelasan yang tertera dalam bab 1 halaman 4, yang menjelaskan sejak tahun 1867 hingga sekarang semua tahun Alip mulai pada hari Selasa Pon (prinsip Asapon) prinsip terakhir inilah yang sampai sekarang ini dipegangi oleh mayoritas umat Islam Jawa (kejawen) terutama kalangan Kraton Yogyakarta dalam menentukan hari-hari besar semacam acara Maulud Nabi di Kraton Yogyakarta (Grebegan) di Kraton Cirebon (Punjung Jimat),

1

Badan Hisab & Rukyah DEPAG, Almanak Hisab Rukyah, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, hlm. 45-46

2

Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen, IAIN Walisongo Semarang, 2006, hlm. 4

penentuan satu suro, poso dan hari raya (awal-akhir poso dan riyoyo). Pemakaian prinsip Asapon ini kiranya wajar karena menurut perhitungan memang yang semestinya masih berlaku adalah pemikiran Asapon, tidak pemikiran-pemikiran sebelumnya semacam pemikiran Aboge, Ajumgi atau Akawon yang semestinya sudah dinash (diganti).3

Fenomena yang unik ditemukan dalam sistem penanggalan yang dipakai oleh masyarakat kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo. Mereka justru menggunakan sistem penanggalan yang sesungguhnya telah mengalami perubahan. Mereka tetap menggunakan sistem penanggalan Aboge, yang secara prinsip sistem penanggalan itu dinyatakan tidak berlaku lagi pada masanya.

Dalam wawancara penulis, dengan sesepoh Aboge Sarno Kusnandar, masyarakat Kelurahan Mudal mendapatkannya (penanggalan aboge) dari cerita-cerita orang-orang terdahulu, serta perhitungan tersebut didasarkan pada kitab yang dimiliki oleh masyarakat tersebut yaitu kitab yang bernama “Sabda Guru”.

Kitab tersebut didalamnya memuat sejumlah nama-nama tahun dalam tahun Jawa, yang diawali tahun Alip, Ehe, Djimawal, Dje, Dal, Be, Wawu, dan yang terahir adalah tahun Dajimakir, serta ajaran-ajaran jawa seperti perhitungan hidup mati manusia, hari-hari kelahiran, hari-hari baik dan buruk. Dan terdapat juga cendrane pawakon ada penjelasan tentang wuku landep, wuku sita, wuku rukil, wuku kurantil, wuku tolu, wuku gumbrek, wuku

3

warigalit, wuku wariagung, wuku djulungwangi, wuku sungsang, sampai wuku watugunung.4

Pada dasarnya primbon bukan hal yang mutlak kebenarannya, namun sedikit banyak dapat menjadi perhatian sebagai jalan untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin, primbon hendaknya tidak diremehkan meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran yang mutlak. Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengamalan para leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya.5

Oleh karena itu masyarakat Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo berprinsip bahwa ajaran itu tidak boleh ditinggalkan dan harus terus dijaga yang kemudian diwariskan kepada anak cucu mereka. Karena apabila mereka meninggalkan akan mendapatkan balak (celaka), dan dianggap kuwalat kepada leluhur karena tidak menjalankan warisan yang ditinggalkannya.6

Karena pada saat momen tersebut, di Kelurahan Mudal khususnya para penganut faham Aboge, selalu mengalami perbedaan hari penentuan awal bulan ramadhan dan awal syawal, bahkan terjadi selisih sampai dengan 2 hari.7

4

SPH Handanamangkara, Primbon Jawa Sabda Guru, Solo: Toko Buku KS, 1984, hlm. 32-43

5

Ahmad Izzuddin,op. cit., hlm. 23

6

Wawancara dengan sesepoh Aboge Sarno Kusnandar pada tanggal 28 Maret 2008

7

Kongkritnya secara dasar hukum, masyarakat kelurahan memakai prinsip perhitngan yang sudah tertinggal. Jadi ketika perhitungan tersebut masih terus dipakai maka setiap tahunya akan terus tertinggal 1 hari dengan penentuan pemerintah (Hisab dan Rukyah). Kemudian untuk menentukan serta membuat penanggalan mereka berdasarkan perhitungan yang pasti karena umur bulan pada bulan tersebut tidak tentu dalam ilmu Hisab dan Rukyah. Secara prinsip penanggalan Aboge juga sudah di nasakh dengan penanggalan Asapon dan juga tidak dapat dipergunakan untuk penentuan-penentuan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah.8

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Prinsip Penanggalan Aboge di