• Tidak ada hasil yang ditemukan

halaman 1 Tujuan, metode analisis, data, sumber data dan output ... 28 2 Skalogram kawasan agropolitan ... 32 3 Definisi operasional variabel tingkat partisipasi ... 40 4 Definisi operasional variabel yang mempengaruhi tingkat partisipasi .... 41 5 Penggunaan lahan di Kabupaten Purbalingga ... 43 6 Jenis tanah di Kabupaten Purbalingga ... 44 7 Perkembangan PDRB Kabupaten Purbalingga Tahun 1999-2004 ... 44 8 PDRB menurut lapangan usaha Kabupaten Purbalingga tahun 1999 dan

2004 ... 45 9 PDRB kecamatan-kecamatan dalam kawasan Agropolitan tahun 2002 .... 46 10 Pembagian lahan di kawasan pengembangan utama Bukateja ... 47 11 Pembagian lahan di kawasan pengembangan Cipawon ... 48 12 Pembagian lahan di kawasan pengembangan Bandingan ... 48 13 Pembagian lahan di kawasan pengembangan Kejobong ... 49 14 Tabulasi kelas kesesuaian lahan terhadap beragam komoditas pada

kawasan agropolitan Bungakondang ... 53 15 Pewilayahan pertanian pada kawasan agropolitan Bungakondang ... 56 16 Hasil analisis skalogram berdasarkan indeks perkembangan desa

terstandarisasi ... 60 17 Rerata indeks perkembangan kawasan pengembangan ... 62 18 Ranking hirarki desa-desa dalam kawasan agropolitan berdasarkan hasil

penelitian dan master plan ... 64 19 Wilayah kawasan pengembangan agropolitan berdasarkan masterplan .... 65 20 Wilayah kawasan pengembangan berdasarkan analisis skalogram ... 65 21 Hasil analisis shift share atas dasar PDRB kawasan agropolitan

Bungakondang tahun 2000 dan 2002 ... 69 22 Kontribusi sektor terhadap PDRB kawasan agropolitan Bungakondang

tahun 2000 dan 2002 ... 70 23. Sektor perekonomian yang termasuk sektor unggulan kawasan

agropolitan Bungakondang ... 71 24 Penggunaan lahan pada kawasan agropolitan Bungakondang ... 72

25 Tenaga kerja sektor pertanian tahun 2000 dan 2002 ... 72 26 Hasil analisis LQ untuk komoditas pertanian ... 76 27 Hasil analisis LI terhadap komoditas pertanian ... 77 28 Hasil analisis SI kawasan agropolitan Bungakondang ... 78 29 Komposisi responden penelitian ………. 86 30 Hasil tabulasi tingkat persepsi responden ……... 87 31 Persepsi responden berdasarkan lokasi tempat tinggal dan komoditas

yang dibudidayakan ……… 88

32 Hasil analisis chi square hubungan antara lokasi dan komoditas dengan

persepsi ……….. 88

33 Hasil tabulasi tingkat partisipasi responden ………. 90 34 Tingkat partisipasi responden terhadap faktor yang mempengaruhinya ... 91 35 Hasil analisis chi square hubungan antara tingkat partisipasi dengan

faktor yang mempengaruhinya ... 92 36 Zonasi wilayah pada kawasan agropolitan Bungakondang ... 98

DAFTAR GAMBAR

halaman

1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah ... 13

2 Peta lokasi penelitian ... 25

3 Diagram alir penelitian ... 29

4 Peta administrasi Kabupaten Purbalingga ... 42

5 Peta kawasan agropolitan Bungakondang ... 46

6 Peta topografi kawasan agropolitan Bungakondang ... 52

7 Peta penggunaan lahan kawasan agropolitan Bungakondang ... 52

8 Peta pewilayahan pertanian kawasan agropolitan Bungakondang ... 56

9 Peta orde hirarki kawasan agropolitan Bungakondang ... 63

10 Peta zonasi penataan ruang kawasan agropolitan Bungakondang ... 99

11 Peta kelas kesesuaian lahan komoditas padi sawah ... 100

12 Peta kelas kesesuaian lahan komoditas jeruk ... 101

13 Peta kelas kesesuaian lahan komoditas melati gambir ... 102

DAFTAR LAMPIRAN

halaman 1 Peta kelas kesesuaian lahan untuk beragam komoditas pada kawasan

agropolitan Bungakondang ...

115 2 Hasil analisis skalogram ... 122

3 PDRB kecamatan dalam kawasan agropolitan bungakondang tahun 2000 dan 2002 ...

129 4 Analisis komoditas unggulan sub sektor pertanian tanaman pangan .. 131

5 Analisis komoditas unggulan sub sektor perkebunan ... 132

6 Analisis komoditas unggulan sub sektor peternakan ... 133

7 Analisis komoditas unggulan sub sektor perikanan ... 135

8 Analisis usaha tani komoditas unggulan ... 136

9 Kuisioner persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat ... 138

10 Daftar responden kelompok tani sampel ... 147

11 Analisis persepsi responden terhadap program agropolitan ... 148

12 Analisis tingkat partisipasi responden dan faktor yang mempengaruhinya ...

149

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Strategi pembangunan dengan pusat pertumbuhan didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan dimulai pada beberapa sektor yang dinamis dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas (Stohr 1981 dalam Mercado 2002). Menurut Adell (1999) pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dapat dipacu dengan investasi yang besar dan intensif pada sektor industri dan dengan pembangunan sarana prasarana yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan. O leh karena itu pembangunan banyak diartikan sebagai proses industrialisasi dan urbanisasi. Strategi pusat pertumbuhan ini juga berhubungan dengan pertimbangan prioritas anggaran pembangunan pada efisiensi ekonomi dan multiplier yang harus tinggi (Harun 2006). Diharapkan strategi ini mampu memberikan dampak penetesan ke bawah (tricle down effect) dari hasil pembangunan tersebut ke sektor lain dan kawasan lainnya, terutama ke kawasan perdesaan. Proses trickle down effect dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan hinterland dan perdesaan melalui mekanisme hirarki perkotaan (Stohr 1981 dalam Mercado 2002).

Strategi pusat pertumbuhan banyak menemui ketidakberhasilan yang di-akibatkan karena tricle down effect tidak terwujud, sehingga terjadi back wash efect yang pada akhirnya mengakibatkan disparitas wilayah dan sektoral yaitu kesenjangan antara perkotaan dengan perdesaan dan antara sektor industri dengan sektor pertanian. Sektor industri di perkotaan tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian, sementara sektor pertanian di perdesaan bersifat enclave. Kawasan perkotaan dicirikan oleh aktivitas ekonomi berupa industri, perdagangan, jasa dan dihuni oleh sumberdaya manusia yang berkualitas serta didukung oleh pelayanan infrastruktur yang lengkap, sementara kawasan perdesaan dicirikan oleh aktivitas pertanian secara luas, dihuni oleh sumberdaya

manusia dengan tingkat pend idikan yang rendah, kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas. Pembangunan sektor industri di perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di wilayah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor pertanian, dari total penduduk miskin yang berjumlah 37-38 juta jiwa, sebanyak 68 % merupakan kelompok penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani. Oleh karena sektor pertanian berada di wilayah perdesaan maka sebagian besar penduduk miskin tersebut juga bertempat tinggal di perdesaan, sebagaimana situasi shared poverty dan involusi pertanian di perdesaan yang digambarkan oleh Cliford Geertz dalam Andry (2006).

Kegagalan proses pembangunan dengan pusat pertumbuhan, mendorong Pemerintah berusaha untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi dengan melakukan desentralisasi ekonomi, pemberian otonomi daerah, ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah serta penguatan sektor pertanian. Paradigma pembangunan ini memberikan justifikasi tentang pentingnya pemerataan dan keberimbangan, yaitu bahwa pembangunan diarahkan pada tercapainya pemerataan dan keberimbangan yang akan mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan.

Keberimbangan dan keterkaitan antar wilayah (interregional linkage) dalam proses pembangunan merupakan hubungan yang positif (positive sum) antara perkotaan dan perdesaan yang bersifat saling menguatkan. Menurut Rustiadi et al. (2006) proses interaksi antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan harus dalam konteks pembangunan interregional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional antara keduanya. Linkage dapat diartikan segala bentuk keterkaitan baik berupa aliran maupun interaksi antara perdesaan dan perkotaan. Salah satu bentuk linkage adalah terjadinya aliran bahan mentah yang diambil di perdesaan sebagai sumberdaya menuju perkotaan dimana terdapat industri transformasi dan manufaktur. Pembangunan perdesaan mempunyai keterkaitan dengan perkotaan dan mempunyai akses terhadap pasar di perkotaan dengan membeli hasil pertanian di perdesaan. Dengan demikian akan meningkatkan produktifitas

pertanian sekaligus meningkatkan penghasilan masyarakat perdesaan yang ke-mudian dapat dipergunakan untuk membeli barang manufaktur hasil industri di perkotaan (UNDP 2000).

Kenyataan telah membuktikan bahwa peran strategis sektor pertanian sebagai fundamental ekonomi. Sektor pertanian juga merupakan penyumbang terbanyak pada angkatan kerja, sehingga pembangunan sektor pertanian memberikan pemerataan kesejahteraan pada masyarakat banyak. Pekerja sektor pertanian pada tahun 2005 mencapai 41.814.197 orang atau 44% dari jumlah angkatan kerja, namun demikian selama ini pembangunan pertanian kurang diperhatikan dan lebih banyak mengarah pada pertanian subsisten. Pembangunan pada sektor pertanian yang harus harus mengarah pada agroindustri dan agrobisnis yang mempunyai nilai tambah tinggi, tidak hanya pada pertanian budidaya atau on farm saja. Selain itu juga adalah membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian menjadi berorientasi pasar dan industri, sehingga sektor pertanian tidaklah bersifat enclave dan dapat menjadi penggerak utama (prime mover) bagi perekonomian wilayah.

Konsep yang dikembangkan adalah dengan mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri. Menurut Sadjad (2006) desa dan pertanian harus dirubah menjadi industri, yaitu dengan desa industri berbasis pertanian. Sedangkan menurut Andry (2006) proses transformasi wilayah perdesaan menjadi suatu kawasan agroindustri menjadi suatu tuntutan nyata dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian karena kegiatan pertanian berada di perdesaan. Pandangan inferior terhadap desa harus dirubah dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi sarana dan prasarana yang menunjang keperluan pertanian serta mengarahkannya secara terpadu. Desa tidak lagi dipandang hanya sebagai wilaya h pendukung perkotaan tetapi seharusnya pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan secara menyatu.

Pengembangan kawasan potensial dengan basis perdesaan sebagai pusat pertumbuhan akan mentransformasikan perdesaan menjadi kota pertanian atau agropolitan. Salah satu konsep pembangunan pengembangan perdesaan dalam kerangka keberimbangan antar wilayah adalah agropolitan. Agropolitan

merupakan strategi pembangunan pusat pertumbuhan dengan konsep keberimbangan dan sinergi antar pusat dengan hinterland, terutama dengan memperhatikan pada kesalahan konfigurasi spasial, aktivitas ekonomi dan optimalisasi dampak pembangunan (Parr 1999). Integrasi fungsional-spasial ini dengan mengembangkan pusat pertumbuhan dengan beragam ukuran dan karekteristik fungsional serta pengembangan kawasan perdesaan dan sektor pertanian (Rondinelli 1985 dalam Rustiadi & Hadi 2006).

Pertama kali konsep agropolitan dikemukakan oleh Friedman dan Douglas, yang menyarankan suatu bentuk agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang (Rustiadi & Hadi 2006). Agropolitan merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Pembangunan kota-kota tani sebagai kota kecil menengah di kawasan perdesaan dilakukan dengan membangun fungsi pelayanan perkotaan sehingga diharapkan mampu mengurangi kebocoran nilai tambah sektor pertanian dan dapat dinikmati oleh masyarakat perdesaan. Selain itu dengan tumbuhnya kota-kota kecil menengah, fasilitas-fasilitas pelayanan dasar bisa disediakan dan pasar untuk produk-produk perdesaan juga bisa dikembangkan. Tumbuhnya kota-kota kecil menengah akan mendorong perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan. Disamping itu kota pertanian diharapkan mampu mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat yang dapat menimbulkan aspek positif mengurangi arus urbanisasi penduduk, mencegah terjadinya pengangguran di perdesaan dan mendorong penduduk untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, yang juga merupakan suatu pusat pertumbuhan ekonomi. Menurut Mercado (2002) gambaran kawasan agropolitan adalah : 1) skala geografinya relatif kecil, 2) proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi kooperatif pada tingkat lokal, 3) pemanfaatan teknologi dan budaya setempat, 4) berfungsi sebagai urban-rural industrial.

Agropolitan menjadi program nasional oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2002 yang merupakan kerja sama Departemen Pertanian dan Departemen Pekerjaan Umum dengan melibatkan perguruan tinggi. Program agropolitan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan pendapatan petani dan memberikan kesempatan pekerjaan alternatif diluar pertanian bagi masyarakat perdesaan. Program ini termasuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan infrastruktur pelengkap perdagangan lainnya seperti pasar. Dalam struktur tata ruang agropolitan terdapat tingkatan atau hirarki wilayah desa yang diseleksi berdasarkan suatu penelitian yang pada akhirnya terdapat pusat agropolitan dimana pelaksanaan pembangunan infrastruktur dipusatkan. Pusat agropolitan ini menjadi pusat pertumbuhan yang kemudian dapat memberikan efek ganda bagi wilayah desa hinterlandnya (Elestianto 2005).

Program agropolitan dimulai pada tahun 2002 dengan rintisan pada 8 kabupaten, dalam perkembangannya sampai tahun 2005 setidaknya lebih dari 98 kabupaten di 33 propinsi yang menyelenggarakan program agropolitan ini. Dalam laporan akhir kinerja dan perspektif pengembangan agropolitan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian pada tahun 2004, terdapat tiga indikator utama sebagai representasi dari sasaran yang mengindikasikan keberhasilan pengembangan agropolitan, yaitu pengembangan infrastruktur, sistem dan usaha agribisnis dan pengembangan SDM. Dari hasil analisa kinerja pencapaian sasaran tersebut diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Pengembangan sarana dan prasarana fisik dinilai berhasil, sedangkan kelembagaan agribisnis dan rencana tata ruang wilaya h (RTRW) masih perlu pemantapan.

2. Pengembangan agribisnis yang mencakup sistem usaha, kelembagaan ekonomi dan kemitraan belum berjalan optimal.

3. Fasilitas Pemerintah dalam pengembangan SDM (juga sarana dan prasarana fisik) telah berjalan dengan baik, namun belum memberikan manfaat dan dampak yang optimal yang diindikasikan oleh partisipasi masyarakat, perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta peserta program dengan kinerja yang variatif.

Perumusan Masalah

Konsep pembangunan yang telah dijalankan selama ini ternyata masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, terutama petani. Bahkan terdapat kecenderungan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin lebar antara wilayah perdesaan dengan perkotaan. Ketimpangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan tersebut menimbulkan berbagai implikasi, antara lain :

1. Ketertinggalan perkembangan kehidupan sosial-ekonomi perdesaan dibandingkan wilayah perkotaan, seperti rendahnya kesejahteraan, tingkat pendidikan, produktifitas, terbatasnya lapangan pekerjaan, kurangnya akses transportasi dan permodalan serta lainnya.

2. Kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perdesaan dan perkotaan yang disebabkan karena lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antara perdesaan dan perkotaan.

Strategi agropolitan merupakan konsep pembangunan perdesaan yang merupakan kritik terhadap strategi pusat pertumbuhan dan disesuaikan dengan kondisi negara- negara berkembang di Asia. Agropolitan merupakan suatu model pembangunan wilayah yang mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di perdesaan dengan kegiatan agribisnis yang terkonsentrasi di perdesaan yang akan mendorong kegiatan perekonomian masyarakat. Program agropolitan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia diharapkan mampu mengurangi kesenjangan antar wilayah dan sektoral, terutama antara kawasan perdesaan dengan perkotaan. Pembangunan yang tidak berimbang secara spasial menimbulkan hubungan yang saling melemahkan antara kota dengan desa, yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik sosial antar kawasan. Namun demikian apakah konsep agropolitan dalam pelaksanaannya mampu memberikan dampak positif bagi pengembangan wilayah serta mengurangi dampak kesenjangan antar wilayah tersebut.

Proses pengembangan kawasan agropolitan ini tidaklah mudah karena membutuhkan pemahaman-pemahaman yang lebih mendalam antara lain terhadap karakteristik wilayah perdesaan baik secara spasial maupun secara ekonomi serta kebutuhan pembangunan infrastruktur. Selain itu juga harus mengintegrasikan

pembangunan sektor pertanian dengan pengembangan perdesaan. Pelaksanaan program agropolitan yang telah dilakukan selama ini masih memiliki kelemahan. Beberapa masalah yang terjadi dalam pelaksanaan pengembangan agropolitan antara lain penyusunan master plan yang tidak melibatkan peran aktif semua stakeholder, tidak menggambarkan kemampuan kawasan agropolitan, kurangnya koordinasi antar stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan agropolitan, kelembagaan yang kurang mendukung pengembangan kawasan agropolitan, dan kurangnya penguasaan informasi pasar dan modal. Selama ini program agropolitan masih mengandalkan peran pemerintah, sehingga tanpa keterlibatan semua stakeholder akan mustahil menjadi program yang berkelanjutan setelah proyek berakhir. Selain itu juga terjadi bias hanya pada pembangunan fisik wilayah, seperti pembangunan jalan, pasar, dan terminal, belum menyentuh pada peningkatan sumberdaya sosial, sumberdaya manusia dan teknologi yang menjadi titik lemah wilayah perdesaan.

Menurut Rustiadi et al. 2005b terdapat beberapa kriteria yang dapat dipergunakan untuk menentukan karakteristik wilayah pengembangan kawasan agropolitan, yaitu :

1. Memiliki daya dukung dan potensi fisik wilayah yang memadai sebagai kawasan pertanian (kesesuaian lahan dan agroklimat);

2. Memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan.

3. Luas kawasan dan jumlah penduduk yang cukup memadai untuk tercapainya economic of scale dan economic of scope (kawasan mempunyai radius 3-10 km, mencakup beberapa desa hingga gabungan sebagian 1-3 kecamatan). 4. Tersedianya prasarana dan sarana pemukiman yang cukup memadai untuk

standar perkotaan.

5. Tersedianya prasarana dan sarana produksi yang memadai serta berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.

6. Adanya satu atau beberapa pusat pelayanan skala kota kecil yang terintegrasi secara fungsional dengan kawasan produksi di sekitarnya.

7. Adanya sistem manajemen kawasan dengan otonomi yang cukup. 8. Adanya sistem penataan ruang kawasan yang terencana dan terkendali.

9. Berkembangnya aktivitas sektor-sektor sekunder (pengolahan) dan tersier (jasa dan finansial).

10. Kelembagaan ekonomi komunitas lokal yang kuat.

11. Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi (terutama lahan) yang mencukupi.

Pembangunan sektor pertanian sebagai prioritas utama dalam pengembangan kawasan agropolitan berorientasi pada agribisnis, berproduktifitas tinggi, efisien dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan agropolitan sebagai kawasan pertanian tidak terlepas dari kemampuan wilayah tersebut dalam memproduksi komoditas sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya. Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan tata guna lahan dengan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan. Pewilayahan komoditas pertanian bertujuan untuk mengetahui komoditas telah diusahakan secara optimal juga untuk mengetahui potensi komoditas pertanian yang dapat dikembangkan, menetapkan area penanaman dan komoditas potensial, berskala ekonomi dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Pewilayahan komoditas pertanian ini juga berkaitan dengan tata guna lahan dan tata ruang agropolitan.

Dalam kawasan agropolitan terbentuk desa-desa sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah hinterlandnya. Berkembangnya desa pusat pertumbuhan tersebut diharapkan memberikan dampak positif bagi perkembangan wilayah di sekitarnya. Kawasan agropolitan yang terdiri dari desa-desa mempunyai karakteristik yang berbeda, terutama jumlah dan jenis infrastruktur terbangun, yang pada akhirnya akan terjadi hirarki desa-desa. Hirarki desa tersebut menunjukkan tingkat perkembangan wilayah dimana desa yang berhirarki tinggi cenderung menjadi pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan. Secara spasial pusat aktivitas ini juga merupakan pusat aktivitas ekonomi dan aliran produk serta barang.

Sebagai kawasan pengembangan, kawasan agropolitan diharapkan dapat menjadi suatu daerah pertumbuhan baru yang dapat memberikan andil dalam pengembangan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik manfaat terhadap kawasan itu sendiri maupun terhadap wilayah sekitar agropolitan yang

lebih luas. Berdasarkan kualitas dan kuantitas sumberdaya ekonomi yang dimiliki maka dapat diketahui sejauhmana kawasan agropolitan mampu memberikan sumbangannya terhadap meningkatkan perekonomian daerah. Dalam mendorong pengembangan sektor pertanian sebagai basis ekonomi kawasan agropolitan dilakukan dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal melalui penetapan komoditas unggulan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki oleh setiap komoditas. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Pengembangan agropolitan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat agar mampu mengembangkan usaha komoditi unggulan berdasarkan kesesuaian kemampuan lahan dan kondisi sosial budaya daerah. Pemberdayaan masyarakat tidak saja diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas komoditi pertanian tetapi juga pada pengembangan usaha dengan sistem agribisnis lainnya yang mendukung usaha agribisnis komoditi unggulan kawasan agropolitan yaitu agribisnis hulu, agribisnis hilir (pemasaran, pengolahan hasil, sortasi dan grading) serta industri jasa dan pelayanan.

Keberhasilan pelaksanaan program agropolitan ditentukan keterlibatan semua stakeholder secara bersama-sama. Salah satunya adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat. Hal ini dikarenakan pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses pemberdayaan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian masyarakat merupakan aktor utama dalam proses pembangunan, bukan sekedar obyek semata. Partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan ini dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi program serta dalam rangka mewujudkan program pengembangan kawasan agropolitan yang berkelanjutan.

Dari berbagai uraian tersebut diatas maka beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pewilayahan komoditas pertanian dapat dipetakan dalam kawasan agropolitan sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan? Apakah tata

ruang kawasan agropolitan telah mengacu pada pewilayahan komoditas yang sesuai dan potensial? Bagimana kaitannya dengan tata guna lahan dan tata ruang kawasan agropolitan?

2. Apakah secara spasial keberadaan desa-desa dan fasilitas- fasilitas pelayanan yang tersedia dalam kawasan agropolitan sudah bisa diidentifikasi? Bagaimana struktur hirarki dalam kawasan agropolitan dengan pusat pertumbuhan dan kawasan hinterlandnya yang mampu memberikan dampak pembangunan secara optimal?

3. Apakah sektor dan komoditas unggulan dalam kawasan agropolitan dapat diidentifikasi? Sektor dan komoditas unggulan mana yang dapat dikembangkan dan menjadi prime mover bagi kawasan agropolitan?

4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program agropolitan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan? Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam terhadap tingkat partisipasi masyarakat tersebut?

Ruang Lingkup Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan agropolitan “Bungakondang” di Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Purbalingga berada di bagian barat daya Propinsi Jawa Tengah, terdiri atas 18 (delapan belas) kecamatan dan 239 (dua ratus tiga puluh sembilan) desa/kelurahan. Secara geografis Kabupaten Purbalingga terletak pada posisi 101o 11’ – 110o 18’ Bujur Timur dan 7o 10’ – 7o 29’ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Purbalingga seluas 77.764,122 ha yang merupakan bagian 3,08% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah yang sebesar 3.254.000 ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 871.840 jiwa. Pemerintah Kabupaten Purbalingga sejak tahun 2005 melaksanakan program pengembangan kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan tersebut terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Bukateja, Pengadegan, Kejobong dan Kaligondang dengan 34 (tiga puluh empat) desa. Kawasan agropolitan tersebut diberi nama “Bungakondang” yang merupakan akronim dari 4 kecamatan yang dijadikan kawasan tersebut. Wilayah kawasan agropolitan seluas 110,90 km2, jumlah penduduk eksisting pada tahun 2004 adalah 137.853 jiwa dengan

kepadatan penduduk 1.243 jiwa/km2. Sektor pertanian merupakan sektor utama perekonomian wilayah kawasan agropolitan, dengan sub sektor utama pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Pola penggunaan lahannya berupa persawahan, tegalan dan perkebunan campuran.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memberikan arahan terhadap pengembangan kawasan agropolitan Bungakondang, Kabupaten Purbalingga.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. Menentukan pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan serta tata guna lahan dan tata ruang kawasan agropolitan.

Dokumen terkait