• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebakaran hutan dan lahan gambut umumnya terjadi di atas permukaan (misalnya: serasah, pepohonan, semak, dan lain-lain), selanjutnya api menyebar secara perlahan di bawah permukaan. Kebakaran di bawah permukaan tersebut akan membakar bahan organik melalui pori-pori gambut dan akar semak belukar/pohon yang bagian atasnya terbakar. Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut bersifat langsung dan tidak langsung di lokasi kejadian atau di luar lokasi kejadian. Beberapa hal sebagai akibat kebakaran hutan dan lahan gambut adalah hilangnya lapisan serasah dan lapisan gambut, stabilitas lingkungan gambut terganggu, dinamika flora dan fauna terganggu, kualitas udara dan kesehatan manusia menurun, hilangnya potensi ekonomi, dan sistem transportasi serta jalur komunikasi terganggu.

Lapisan gambut telah hilang sebanyak 35-70 cm akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 1997 yang telah melepaskan karbon setara 0,2–0,6 Gt C ke atmosfer (Jaya et al. 2000). Kondisi tersebut berdampak besar pada peningkatan gas karbondioksida di atmosfer (Siegert et al. 2002). Sementara itu, vegetasi hutan telah rusak juga sehingga kerapatan pohon berkurang sampai 75% akibat kebakaran gambut tahun 1997 (D’Arcy and Page 2002).

Selain rusaknya aspek kondisi lingkungan sebagaimana diuraikan sebelumnya, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi merupakan aspek-aspek yang secara nyata dipengaruhi oleh kebakaran hutan/lahan gambut. Terdegradasinya kondisi lingkungan antara lain berupa perubahan sifat kimia dan fisika gambut serta terganggunya siklus hidrologi hutan gambut tersebut. Beberapa dampak yang terjadi akibat kebakaran di hutan gambut adalah:

97

a. Kualitas sifat fisika gambut berubah (porositas menurun, kadar air tersedia menurun, permeabilitas menurun dan kerapatan lindak/bulk density

meningkat).

b. Kualitas sifat kimia gambut berubah (pH meningkat, meningkatnya kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yang meliputi Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, kandungan C organik menurun).

c. Proses dekomposisi tanah gambut terganggu.

d. Komposisi dan struktur vegetasi hutan gambut menjadi terganggu. e. Siklus hidrologi hutan gambut menjadi terganggu.

f. Cadangan karbon gambut akan memberikan emisi dalam jumlah sangat besar jika hutan gambut mengalami kebakaran.

Hasil penelitian ini mengindikasikan dan membuktikan bahwa lokasi klaster hutan gambut bekas terbakar mengalami perubahan sifat fisika kimia gambut, perubahan komposisi dan struktur vegetasi hutan gambut serta hilangnya cadangan karbon vegetasi akibat kebakaran.

5.2.2.1. Tingkat Kedalaman Gambut dan Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia gambut dipengaruhi oleh ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air sungai. Jika tanah gambut sering mendapat luapan akan semakin subur karena banyaknya kandungan mineral tanah yang masuk.

Pada umumnya gambut tipis yang terbentuk diatas endapan liat atau lempung lebih subur daripada gambut dalam (Adhi 1988). Gambut dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan status haranya, yaitu (a) gambut eutropik yang subur, (b) gambut mesotropik dengan kesuburan sedang, dan (c) gambut oligotropik sebagai gambut miskin (Driessen and Dudal 1989). Penggolongan tersebut berdasarkan pada kriteria kandungan Nitrogen (N), Kalium (K), Fosfor (P), Kalsium (Ca) dan kadar abunya (Tabel 56).

Lokasi penelitian hutan gambut di Hampangen dan Kalampangan tergolong sebagai gambut oligotropik atau gambut miskin. Hal ini terlihat dari

98

nilai N yang kurang dari 2%, nilai K2O kurang dari 0,10% dan nilai P2O5 yang kurang dari 0,20% (Tabel 39 sampai dengan Tabel 42).

Tabel 56 Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Tingkat kesuburan Kriteria penilaian (%) N K2O P2O5 CaO Abu Eutropik 2,50 0,10 0,25 4,00 10,00 Mesotropik 2,00 0,10 0,20 1,00 5,00 Oligotropik 0,80 0,03 0,05 0,25 2,00

Sumber : Driessen and Dudal (1989)

Semakin tebal gambut pada umumnya kemasaman gambut juga meningkat dan memiliki pH berkisar antara 3-5. Gambut di pantai memiliki kemasaman yang lebih rendah daripada gambut pedalaman. Tingkat kemasaman yang tinggi pada gambut menyebabkan kekurangan hara N, P, K, Ca, Mg dan Na. Kandungan asam asam organik yang terdapat pada koloid gambut dan dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan tingkat kemasaman gambut menjadi tinggi. Jika tanah lapisan bawah gambut mengandung pirit, pembuatan parit drainase dengan kedalaman mencapai lapisan pirit akan menyebabkan pirit teroksidasi dan menyebabkan meningkatnya kemasaman gambut dan air disaluran drainase.

Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang sangat tinggi (> 100 me/100 gr) dan Kejenuhan Basa (KB) yang sangat rendah pada gambut menyebabkan ketersediaan hara terutama K, Ca, Na dan Mg menjadi sangat rendah (Andriesse 1988) (Tabel 39 sampai dengan Tabel 42). Nilai rasio C/N gambut umumnya sangat tinggi melebihi 30 dan hal ini mengindikasikan bahwa hara nitrogen kurang tersedia untuk tanaman sekalipun hasil analisis N total menunjukkan angka yang tinggi (Tabel 39 sampai dengan Tabel 42). Nilai KB berhubungan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah yaitu kemasaman gambut akan menurun dan kesuburan tanah akan meningkat dengan meningkatnya KB. Laju pelepasan kation terjerap bagi tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah.

99

Kejenuhan Basa dan hubungannya dengan kesuburan gambut dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu Andriesse (1988): jika KB-nya lebih besar dari 80% (sangat subur), jika KB-nya berkisar antara 50% sampai 80% (sedang), dan jika KB-nya kurang dari 50% (tidak subur). Dalam gambut, unsur P terdapat dalam bentuk P organik dan kurang tersedia bagi tanaman.

Secara keseluruhan, Kejenuhan Basa meningkat pada klaster hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun (Tabel 40) dan kemudian Kejenuhan Basa-nya menurun pada klaster hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun dan 8 tahun (Tabel 41 dan Tabel 42). Pada hutan gambut primer memiliki total jumlah basa dapat ditukar yang lebih tinggi daripada klaster-klaster lainnya (Tabel 39).

Satu hal penting yang terjadi dari kebakaran hutan gambut disini adalah menurunnya kandungan C organik. Hal ini terlihat dari menurunnya kandungan C organik jika dibandingkan antara C organik hutan gambut primer dengan C organik hutan gambut bekas terbakar. Apabila kandungan C organik tanah gambut semakin berkurang maka emisi karbon yang terjadi juga akan semakin meningkat.

5.2.2.2. Tingkat Kedalaman Gambut dan Karakteristik Fisika

Sifat-sifat fisika gambut sangat erat hubungannya dengan pengelolaan hidrologi gambut. Gambut tersusun dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan udara. Sifat-sifat fisika gambut yang penting adalah: tingkat dekomposisi tanah gambut, kerapatan lindak, irreversible dan subsiden (Hardjowigeno 1986).

Pengelompokan tingkat dekomposisi/pelapukan gambut dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) Fibrik/gambut kasar yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organik kasar umumnya memiliki porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman serta mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah didrainase.; (2) Hemik/gambut sedang yaitu gambut yang memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) Saprik/gambut halus jika bahan organik kasar kurang dari 1/3 umumnya

100

memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi dan memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno 1986).

Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capacity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan sering mudahnya pepohonan hutan menjadi rebah (Radjagukguk 2001).

Tanah gambut jika didrainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun. Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami penyusutan (subsidence) sehingga permukaan gambut mengalami penurunan (Limin et al. 2000).

Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh kematangan gambut. Pada gambut alami kadar lengas gambut sangat tinggi mencapai 500-1.000% bobot, sedangkan yang telah mengalami dekomposisi berkisar antara 200-600% bobot. Kadar lengas gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari gambut sapris dan hemist, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari gambut hemik dan saprist (Noor 2001). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya dukung gambut (Mutalib et al. 1991).

Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin

101

dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal.

Ketebalan gambut berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan yang relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen) (Andriesse 1988; Harjowigeno 1986).

Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas pasir kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut dan hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2

Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah gambut akan mengalami penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan umumnya terjadi selama 3-4 tahun setelah drainase dan pengolahan tanah. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan semakin lama. Sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon rebah, dan konstruksi bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) terganggu atau ambles.

), pada kondisi tergenang (anaerob) pirit tidak akan berbahaya namun jika didrainase secara berlebihan dan pirit teroksidasi maka akan terbentuk asam sulfat dan senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan meningkatkan pH menjadi 2-3.

Pada hutan gambut primer, tingkat kematangan gambut didominasi oleh hemik dengan nilai bulk density berkisar antara 0,15-0,16 g/cm3 dengan kadar abu antara 0,36% - 2,00% (Tabel 43). Pada hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun, tingkat kematangan gambut didominasi oleh fibrik dengan nilai bulk density

berkisarantara 0,08-0,10 g/cm3

Di lokasi hutan gambut primer dan hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun, lapisan bawah gambutnya didominasi oleh tesktur pasir. Sedangkan hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun didominasi oleh tekstur debu (Tabel 47).

dengan kadar abu antara 0,52% - 3,72% (Tabel 44). Hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun memiliki tingkat kematangan hemik dan saprik (Tabel 45). Sementara itu, pada hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun memiliki tingkat kematangan fibrik dan hemik (Tabel 46).

102

Lokasi hutan gambut primer, bekas terbakar setelah 3 tahun dan bekas terbakar setelah 8 tahun terletak pada satu wilayah hamparan di Hutan Pendidikan Universitas Palangkaraya. Sementara itu, hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun, lapisan bawah gambutnya didominasi oleh tekstur liat. Lokasi ini terletak di Kalampangan.

Gangguan kebakaran pada hutan gambut menyebabkan perubahan tingkat kematangan gambut dan nilai bulk density gambut. Substratum atau lapisan di bawah gambut menentukan kemampuan lahan gambut sebagai media tumbuh tanaman. Lapisan tersebut tidak boleh terdiri atas pasir kuarsa dan tanah sulfat masam.

5.2.2.3. Pendaman Karbon Organik Gambut

Konservasi pendaman karbon organik gambut sangat penting untuk menekan besarnya emisi karbon dari tanah gambut. Emisi karbon dari tanah gambut berkontribusi besar terhadap emisi karbon dari sektor kehutanan (SNC 2009).

Ketebalan gambut di lokasi penelitian yang paling tipis adalah di hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun yaitu sedalam 192 cm dan yang paling tebal adalah di hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun sedalam 433 cm (Tabel 48). Namun demikian, kedalaman gambut di hutan bekas terbakar berulang tiap tahun dan hutan gambut primer tidak saling berbeda nyata. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa cadangan karbon gambut pada klaster hutan gambut primer, hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun, hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun dan hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun masing-masing adalah sebesar 3.209,19 tonC/ha; 2.367,73 tonC/ha; 1.458,61 tonC/ha dan 1.129,91 tonC/ha. Meskipun ketebalan gambut di hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun lebih besar daripada hutan gambut primer tetapi cadangan karbonnya lebih kecil daripada cadangan karbon di hutan gambut primer. Hal ini dapat terjadi karena hutan gambut primer didominasi oleh tipe kematangan gambut hemik (Tabel 43) dan memiliki nilai bulk density yang lebih tinggi (Tabel 43) daripada di hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun yang didominasi oleh tipe kematangan gambut fibrik (Tabel 44).

103

Karakteristik tipe kematangan gambut, bulk density, kadar abu dan karbon organik gambut pada keseluruhan plot penelitian hutan gambut (Tabel 49). Karakterisasi gambut disini didasarkan pada klasifikasi FAO UNESCO (1994) yaitu yang mengandung bahan organik karbon lebih tinggi daripada 30 persen, dalam lapisan setebal 40 cm atau lebih, dibagian 80 cm teratas profil tanah. Mineral bergambut (Peaty soil) memiliki nilai kandungan bahan organik karbon sebesar 23,20% dan tidak masuk dalam kriteria gambut (Tabel 49). Kadar abu gambut seluruh lokasi klaster berkisar antara 1,56% - 2,02% (Tabel 49). Hasil studi ini mengungkap fakta bahwa kadar abu gambut secara keseluruhan masih di bawah 10%. Temuan ini sangat berbeda dengan hasil penelitian di Sarawak, Malaysia (Wust et al. 2003), yang melaporkan bahwa kandungan abu gambut dapat mencapai 47%. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karakter lokasi gambut yang berbeda antara Palangkaraya dan Serawak.

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa kandungan kadar abu dan kandungan karbon organik di semua klaster penelitian tidak saling berbeda nyata (Tabel 50). Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya kebakaran hutan gambut tidak akan banyak mempengaruhi kandungan kadar abu dan kandungan karbon organik di hutan gambut. Fakta lainnya menunjukkan bahwa nilai bulk density di klaster hutan gambut primer, hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun dan setelah 8 tahun tidak saling berbeda nyata. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi proses pemulihan bulk density pada klaster bekas kebakaran untuk mendekati kondisi pada hutan gambut primer. Nilai rata-rata bulk density di hutan gambut tropik adalah masing-masing 0,100 gr/cm3 (Page et al. 2002); 0,160 gr/cm3 (Limin et al. 2004) dan 0,155 gr/cm3 (Saharjo and Munoz 2005).

Hubungan antara kandungan karbon organik dan kandungan kadar abu bersifat linier negatif dengan nilai korelasi r = - 0,59 yang berarti setiap peningkatan satu persen kadar abu akan menurunkan 59% kandungan karbon organik (Gambar 19). Hubungan antara kandungan karbon organik dan bulk density bersifat linier negatif dengan nilai korelasi r = - 0,24 yang berarti setiap peningkatan bulk density 0,05 gr/cm3 akan menurunkan 24% kandungan karbon organik (Gambar 20).

104

Dalam rangka pendugaan cadangan karbon gambut yang didasarkan pada kedalaman gambut maka disajikan persamaan linier positif (Gambar 21 sampai dengan Gambar 25). Dengan adanya persamaan ini diharapkan para pengguna dapat menggunakannya di lapangan di hutan gambut Hampangen dan Kalampangan tanpa melakukan analisis karbon organik di laboratorium. Secara keseluruhan, persamaan yang telah dibuat pada masing-masing klaster hutan gambut primer, hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun, hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun dan hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun memiliki nilai keterhandalan model sangat tinggi yaitu lebih dari 90%. Sementara itu, jika model persamaan dibuat secara gabungan dari semua klaster diperoleh persamaan dengan keterhandalan model yang masih tinggi yaitu sebesar 86,5%.

Pendaman karbon organik tanah gambut sangat ditentukan oleh tipe kematangan gambut dan kedalaman gambut. Persamaan untuk menduga cadangan karbon tanah gambut yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi cadangan karbon berdasarkan kedalaman gambut pada hutan gambut bekas terbakar di Kalimantan Tengah.

5.2.3. Prediksi Pemulihan Cadangan Biomassa Karbon Vegetasi Pada

Hutan Gambut Bekas Kebakaran Berulang 1 Tahun, Setelah 3 Tahun Dan Setelah 8 Tahun

Hutan gambut antara lain berfungsi sebagai sebagai tempat perlindungan flora fauna, konservasi tanah, tata-air, kestabilan iklim, dan keanekaragaman hayati (fungsi ekologis) dan sebagai sumber-sumber produk kehutanan kayu maupun non kayu (fungsi ekonomis). Fungsi-fungsi tersebut dapat menurun atau bahkan hilang akibat eksploitasi hutan, alih fungsi lahan, dan bencana kebakaran. Perubahan kedua fungsi tersebut terkait erat dengan dampak yang terjadi pada karakteristik kimia dan fisika gambut. Perubahan dan kerusakan yang terjadi pada kedua fungsi tersebut dapat menurunkan kemampuan dan daya dukung hutan gambut dalam menopang pertumbuhan vegetasi di atasnya. Beberapa hal yang menarik untuk dijelaskan adalah biomassa vegetasi hutan gambut dan perubahan karakteristik kimianya yang terjadi akibat kebakaran hutan gambut, tingkat pemulihan cadangan biomassa karbon vegetasi hutan gambut bekas terbakar,

105

relevansinya dengan konservasi cadangan karbon terkait REDD+ dan implikasi kebijakan.

5.2.3.1. Biomassa Vegetasi dan Hubungannya dengan Karakteristik Kimia

Gambut

Keeratan hubungan (nilai koefisien korelasi Pearson/nilai r) antara biomassa vegetasi dengan karakteristik kimia gambut (Tabel 51). Karakteristik kimia gambut yang diuji antara lain pH, C organik, N, rasio C/N, P2O5, K2O, Ca, Mg, K, Na, total basa, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kejenuhan Basa (KB), Al3+ dan H+. Berdasarkan uji korelasi tersebut diperoleh bahwa karakteristik kimia yang memiliki korelasi tinggi dengan biomassa vegetasi di hutan gambut primer adalah C organik, N, Na, Al3+ dan H+; di hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun adalah N, K2O dan H; di hutan gambut bekas terbakar setelah 3 tahun adalah K2O, P2O5 Bray, H+; di hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun adalah C Organik, N, C/N, P2O5 Bray, Na, H+

Secara kimiawi, unsur-unsur yang memiliki korelasi tinggi (r ≥ 0,60) dengan biomassa vegetasi tersebut berperan penting terhadap pertumbuhan vegetasi di hutan gambut. Unsur C organik sangat berperan dalam penyusunan bahan organik jaringan tanaman. Unsur N (Nitrogen) berperan dalam merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman dan memberi warna hijau gelap pada tanaman. Unsur Na (Natrium) berperan dalam menjaga keseimbangan ion pada pengaturan energi untuk membuka dan menutupnya stomata. Unsur K (Kalium) berperan dalam membantu pembentukan protein dan karbohidrat untuk mengeraskan jaringan kayu. Unsur P (Fosfor) berperan dalam merangsang pertumbuhan akar, pembungaan dan pemasakan buah.

. Secara keseluruhan, karakteristik kimia pada seluruh klaster penelitian yang memiliki korelasi tinggi dengan biomassa vegetasi adalah Na dan Kapasitas Tukar Kation/KTK (Tabel 52).

Hutan gambut yang terbakar memberikan dinamika unsur hara pada masing-masing klaster hutan gambut bekas kebakaran. Hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun memiliki karakteristik kimia yang hampir sama dengan hutan gambut primer (Tabel 52). Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi proses dinamika karakteristik kimia pada hutan gambut terbakar berulang tiap tahun hingga hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun. Hal menarik untuk dikaji

106

adalah pada keseluruhan klaster plot penelitian terlihat bahwa unsur Natrium memiliki korelasi yang tinggi dengan biomassa vegetasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa selama pemulihan pada hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun hingga bekas terbakar setelah 8 tahun, unsur Na memiliki peranan penting bagi vegetasi hutan gambut meskipun unsur ini tergolong unsur mikro dan non esensial. Unsur Na ini akan mendorong aktivitas ion dalam mekanisme buka tutup stomata sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung optimal dan pada akhirnya pembentukan karbohidrat untuk biomassa vegetasi akan meningkat. Interaksi antara sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi dalam tanah gambut akan mengendalikan ketersediaan hara tanaman. Adanya pengaruh antagonistik, yaitu efek dari satu ion atau garam dapat mengurangi atau meniadakan pengaruh ion atau garam lain.

Dengan adanya ion Na yang dominan pada seluruh klaster antara lain dapat menjelaskan bahwa hamparan gambut di Hampangen dan Kalampangan pada awalnya merupakan hamparan pantai yang memiliki kandungan ion Na yang cukup tinggi.

Secara akumulatif, unsur-unsur hara gambut yang memiliki nilai korelasi tinggi (r ≥ 0,60) dengan biomassa vegetasi sangat mempengaruhi pertumbuhan

biomassa vegetasi hutan gambut.

5.2.3.2. Pemulihan Cadangan Biomassa Karbon Vegetasi pada Hutan

Gambut Bekas Kebakaran

Berdasarkan

Pemulihan cadangan karbon vegetasi pada hutan gambut bekas kebakaran dapat didekati dengan analisis hubungan antara waktu setelah terjadinya kebakaran dengan akumulasi biomassa vegetasi pada masing-masing klaster (Tabel 53).

analisis prediksi waktu pemulihan biomassa vegetasi hutan gambut setelah terjadinya kebakaran sampai dengan umur 26 tahun (asumsi: pertambahan biomassa vegetasi mengikuti fungsi persamaan power dan tanpa adanya gangguan) (Tabel 53 dan Gambar 26), maka dapat dianalisis bahwa pertumbuhan biomassa vegetasi hutan gambut (dari tingkat tumbuhan bawah sampai dengan pohon) untuk mendekati kondisi biomassa vegetasi di hutan gambut primer memerlukan waktu pemulihan selama 25,4 tahun dengan asumsi

107

bahwa pertambahan biomassa vegetasi mengikuti fungsi persamaan power dan tanpa adanya gangguan. Hutan gambut primer pada lokasi penelitian memiliki potensi luas bidang dasar dan volume dari jumlah total tingkat pancang, tiang dan pohon masing-masing sebesar 37,87 m2/ha dan 401,40 m3/ha (Tabel 55). Rerata riap diameter tegakan di hutan gambut Riau adalah sebesar 0,54 cm/tahun (Istomo

et al. 2009). Pemulihan hutan pasca kebakaran 1997 di hutan gambut Kalampangan tergolong cepat dalam kurun waktu 5 tahun setelah kebakaran yaitu memiliki nilai total basal area sebesar 3,15 m2

Selain dari aspek biomassa vegetasi, pemulihan yang terjadi juga dapat dilihat dinamika spesies dan resiliensi vegetasi hutan gambut bekas kebakaran. (Tabel 25 sampai dengan Tabel 29). Dinamika spesies tersebut didasarkan pada dominansi spesies pada berbagai tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon berdasarkan biomassa dan cadangan karbon vegetasi. Sebagian spesies-spesies yang ditemukan pada hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun juga ditemukan pada hutan gambut primer (Tabel 25 sampai dengan Tabel 29). Fakta ini menandakan bahwa telah terjadi proses pemulihan dari sisi spesies vegetasi pada hutan gambut bekas terbakar berulang tiap tahun hingga hutan gambut bekas terbakar setelah 8 tahun untuk mendekati kondisi spesies di hutan gambut primer. Resiliensi vegetasi hutan gambut dapat dicirikan oleh keberadaan

Dokumen terkait