Setelah mengemukakan hasil penelitian sebagaimana telah dikemukakan di
atas, maka berikut di bawah ini Penulis akan melakukan analisa terhadap hasil
penelitian di atas, apakah ada unsur-unsur unjust enrichment dan bagaimana unjust
enrichment interkoneksi jaringan telekomunikasi di Indonesia sebagaimana dapat
dijumpai dan terefleksi dalam Putusan 26 atau hasil penelitian di atas.
Analisis (break-down) atau uraian pertama yang seharusnya dilakukan di
balik rumusan masalah yang telah dikemukakan dalam Bab I adalah apakah ada
unjust enrichment dalam Putusan No. 26? Menurut Penulis, jawaban atas
pertanyaan itu adalah ya, ada unjust enrichment. Unjust enrichment yang
berdasarkan studi kepustakaan dalam Bab II berkisar pada kelompok perikatan
yang timbul untuk mencegah terjadinya pengayaan yang tidak sah, atau satu upaya
pemulihan kembali (restorasi) ke kekeadaan semula setelah terjadi suatu
pengayaan (enrichment) yang tidak sah atau tidak adil (unjust); atau mencegah
pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh seseorang yang melebihi (eksesif)
dari apa yang seharusnya diambil (unjust enrichment)41 oleh orang tersebut dan
Ibid., footnote No. II pada Bab II skripsi ini dikatakan, Lihat Buku Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D.,
berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 7. Telah diuraikan dalam Bab II skripsi ini, lihat hal., 13.
98
orang dalam pengertian skripsi ini yaitu termasuk subyek hukum (the parties to
contract), yang dalam hal ini, lebih khususnya adalah badan-badan hukum yang
menyelenggarakan jasa dan atau jaringan telekomunikasi yang mengadakan
interkoneksi ada dalam Putusan No. 26. Hal itu terlihat dari pendapat Majelis
Komisi sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Menurut Majelis Komisi, sebagai
akibat kartel yang dilakukan , terdapat kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar
Rp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
juta rupiah). Dengan demikian, menurut Penulis, ada suatu perbuatan melawan
hukum dalam kaitan dengan interkoneksi telekomunikasi di Indonesia, dan
perbuatan itu diikuti dengan kerugian konsumen telekomunikasi adalah suatu
bentuk unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia.
Sedangkan analisis kedua, yang juga termasuk menjawab pertanyaan
bagaimana unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia itu adalah
pertanyaan apakah unjust enrichment itu dinyatakan secara tegas (expressed)
ataukah tersirat (implied) di dalam Putusan No. 26 yang menjadi hasil penelitian di
atas? Menurut Penulis, unjust enrichment yang telah Penulis kemukakan dalam
analisis pertama di atas ada dalam Putusan No. 26 itu ternyata ada secara implisit.
Mengapa ada secara implisit atau tersirat? Sebab di dalam Putusan itu, sebagaimana
apa yang telah Penulis kemukakan di atas, tidak dijumpai sama-sekali apa yang
disebut sebagai kata-kata unjust enrichment tersebut, tetapi, unsur dari unjust
enrichment yaitu ada keuntungan yang berlebihan yang dibuat karena perbuatan
melawan hukum jelas ada di dalam Putusan No. 26, sebagaimana telah Penulis
analisis di atas.
99
Analisis ketiga, atau pertanyaan yang harus dijawab di balik kata tanya
bagaimana unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia itu adalah,
mengingat larangan unjust enrichment itu adalah suatu kontrak (a contract), maka
pertanyaan yang relevan juga untuk diajukan di sini adalah siapakah subyek hukum
(the parties to contract) yang melakukan unjust enrichment itu? Menurut Penulis,
pihak atau the parties to contract yang melakukan unjust enrichment itu adalah
pelaku usaha yang menjalankan kegiatan bisnis atau komersial dalam bidang
telekomunikasi di Indonesia, yang dalam hal ini berinterkoneksi atau saling
menggunakan jaringan telekomunikasi satu dengan lainnya sebagaimana dituntut
wajib dilakukan oleh UU Telekomunikasi di Indonesia tetapi tidak boleh
mengabaikan persaingan usaha yang sehat dan tidak boleh merugikan konsumen.
Pihak-pihak pelaku unjust enrichment itu, sebagaimana dinyatakan oleh Majelis
Komisi di dalam Putusan No. 26 di atas adalah Terlapor I: PT Excelkomindo
Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT
Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, Terlapor VII:
PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart Telecom terbukti secara sah
dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 tahun 1999 dan perbuatan itu
merugikan konsumen telekomunikasi, terutama konsumen yang membayar jasa
SMS melebihi harga yang wajar sebagaimana telah dikemukakan secara rinci
dalam uraian tentang hasil penelitian di atas.
Selanjutnya, analisis keempat adalah, bagaimanakah unjust enrichment itu
dilakukan oleh para pihak sebagaimana dikemukakan di atas? Menurut Penulis,
seperti telah disinggung di atas, para pihak yang telah dinyatakan secara tersirat
oleh Majelis Komisi itu melakukan unjust enrichment, melakukan perbuatan
100
memungkinkan mereka menetapkan harga (price fixing) yang tinggi, dan di balik
penetapan harga yang tinggi itu para pihak yang melakukan kegiatan usaha di
bidang penyediaan jasa dan jaringan telekomunikasi itu mengambil keuntungan
yang eksesif atau sangat besar, sehingga menurut Penulis ada pengayaan diri secara
tidak sah atau unjust enrichment.
Analisis kelima adalah, apakah ada pertolongan daripada penegak peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang melihat dan mengetahui bahwa para
konsumen sudah terkapar oleh perilaku para penyelenggara jasa dan jaringan
telekomunikasi itu melakukan sesuatu untuk merestorasi, atau mengembalikan
kembali uang yang telah hilang sebagai suatu bentuk usaha untuk mencegah
terjadinya unjust enrichment? Menurut pendapat Penulis, upaya itu memang ada,
yaitu terlihat sebagaimana keputusan Majelis Komisi di atas untuk misalnya
menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk. dan Terlapor II: PT
Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda sebesar Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara
sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha
Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha). Juga, Majelis komisi
melakukan upaya mencegah unjust enrichment secara tersirat yaitu dengan
menghukum Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayar denda
sebesar Rp 18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
101
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan yang sama
dengan di atas. Majelis Komisi, juga nampaknya, menurut Penulis berusaha
mencegah unjust enrichment secara tersirat dengan tak lupa pula menghukum
Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesar Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagaimana perintah yang
sama di atas dan juga menghukum Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk.
membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara seperti diperintahkan di atas.
Hanya saja, menurut Penulis, apa yang telah dilakukan di atas, yaitu hanya
secara tersirat memulihkan atau restorasi kerugian yang pernah dibuat karena unjust
enrichment itu tidak sebanding dengan keuntungan eksesif yang telah diambil oleh
para penyelenggaran telekomunikasi sebagaimana telah dikemukakan di atas. Belum
lagi, bukankah telekomunikasi di Indonesia itu adalah dikuasai negara, dan mengapa
sampai pihak swasta diberikan kesempatan untuk meraup keuntungan yang begitu
besar, tidak kah sebaiknya penyelenggaraan telekomunikasi diserahkan kepada pihak
swasta tetapi tidak sampai meraup keuntungan yang sangat eksesif (unjust enrich)