• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Unjust Enrichment dalam Putusan 26

Dalam dokumen T1 312009018 BAB III (Halaman 75-79)

Setelah mengemukakan hasil penelitian sebagaimana telah dikemukakan di

atas, maka berikut di bawah ini Penulis akan melakukan analisa terhadap hasil

penelitian di atas, apakah ada unsur-unsur unjust enrichment dan bagaimana unjust

enrichment interkoneksi jaringan telekomunikasi di Indonesia sebagaimana dapat

dijumpai dan terefleksi dalam Putusan 26 atau hasil penelitian di atas.

Analisis (break-down) atau uraian pertama yang seharusnya dilakukan di

balik rumusan masalah yang telah dikemukakan dalam Bab I adalah apakah ada

unjust enrichment dalam Putusan No. 26? Menurut Penulis, jawaban atas

pertanyaan itu adalah ya, ada unjust enrichment. Unjust enrichment yang

berdasarkan studi kepustakaan dalam Bab II berkisar pada kelompok perikatan

yang timbul untuk mencegah terjadinya pengayaan yang tidak sah, atau satu upaya

pemulihan kembali (restorasi) ke kekeadaan semula setelah terjadi suatu

pengayaan (enrichment) yang tidak sah atau tidak adil (unjust); atau mencegah

pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh seseorang yang melebihi (eksesif)

dari apa yang seharusnya diambil (unjust enrichment)41 oleh orang tersebut dan

Ibid., footnote No. II pada Bab II skripsi ini dikatakan, Lihat Buku Jeferson Kameo, SH., LLM., Ph.D.,

berjudul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hal., 7. Telah diuraikan dalam Bab II skripsi ini, lihat hal., 13.

98

orang dalam pengertian skripsi ini yaitu termasuk subyek hukum (the parties to

contract), yang dalam hal ini, lebih khususnya adalah badan-badan hukum yang

menyelenggarakan jasa dan atau jaringan telekomunikasi yang mengadakan

interkoneksi ada dalam Putusan No. 26. Hal itu terlihat dari pendapat Majelis

Komisi sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Menurut Majelis Komisi, sebagai

akibat kartel yang dilakukan , terdapat kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar

Rp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus

juta rupiah). Dengan demikian, menurut Penulis, ada suatu perbuatan melawan

hukum dalam kaitan dengan interkoneksi telekomunikasi di Indonesia, dan

perbuatan itu diikuti dengan kerugian konsumen telekomunikasi adalah suatu

bentuk unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia.

Sedangkan analisis kedua, yang juga termasuk menjawab pertanyaan

bagaimana unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia itu adalah

pertanyaan apakah unjust enrichment itu dinyatakan secara tegas (expressed)

ataukah tersirat (implied) di dalam Putusan No. 26 yang menjadi hasil penelitian di

atas? Menurut Penulis, unjust enrichment yang telah Penulis kemukakan dalam

analisis pertama di atas ada dalam Putusan No. 26 itu ternyata ada secara implisit.

Mengapa ada secara implisit atau tersirat? Sebab di dalam Putusan itu, sebagaimana

apa yang telah Penulis kemukakan di atas, tidak dijumpai sama-sekali apa yang

disebut sebagai kata-kata unjust enrichment tersebut, tetapi, unsur dari unjust

enrichment yaitu ada keuntungan yang berlebihan yang dibuat karena perbuatan

melawan hukum jelas ada di dalam Putusan No. 26, sebagaimana telah Penulis

analisis di atas.

99

Analisis ketiga, atau pertanyaan yang harus dijawab di balik kata tanya

bagaimana unjust enrichment interkoneksi telekomunikasi di Indonesia itu adalah,

mengingat larangan unjust enrichment itu adalah suatu kontrak (a contract), maka

pertanyaan yang relevan juga untuk diajukan di sini adalah siapakah subyek hukum

(the parties to contract) yang melakukan unjust enrichment itu? Menurut Penulis,

pihak atau the parties to contract yang melakukan unjust enrichment itu adalah

pelaku usaha yang menjalankan kegiatan bisnis atau komersial dalam bidang

telekomunikasi di Indonesia, yang dalam hal ini berinterkoneksi atau saling

menggunakan jaringan telekomunikasi satu dengan lainnya sebagaimana dituntut

wajib dilakukan oleh UU Telekomunikasi di Indonesia tetapi tidak boleh

mengabaikan persaingan usaha yang sehat dan tidak boleh merugikan konsumen.

Pihak-pihak pelaku unjust enrichment itu, sebagaimana dinyatakan oleh Majelis

Komisi di dalam Putusan No. 26 di atas adalah Terlapor I: PT Excelkomindo

Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT

Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, Terlapor VII:

PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart Telecom terbukti secara sah

dan meyakinkan melanggar Pasal 5 UU No. 5 tahun 1999 dan perbuatan itu

merugikan konsumen telekomunikasi, terutama konsumen yang membayar jasa

SMS melebihi harga yang wajar sebagaimana telah dikemukakan secara rinci

dalam uraian tentang hasil penelitian di atas.

Selanjutnya, analisis keempat adalah, bagaimanakah unjust enrichment itu

dilakukan oleh para pihak sebagaimana dikemukakan di atas? Menurut Penulis,

seperti telah disinggung di atas, para pihak yang telah dinyatakan secara tersirat

oleh Majelis Komisi itu melakukan unjust enrichment, melakukan perbuatan

100

memungkinkan mereka menetapkan harga (price fixing) yang tinggi, dan di balik

penetapan harga yang tinggi itu para pihak yang melakukan kegiatan usaha di

bidang penyediaan jasa dan jaringan telekomunikasi itu mengambil keuntungan

yang eksesif atau sangat besar, sehingga menurut Penulis ada pengayaan diri secara

tidak sah atau unjust enrichment.

Analisis kelima adalah, apakah ada pertolongan daripada penegak peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang melihat dan mengetahui bahwa para

konsumen sudah terkapar oleh perilaku para penyelenggara jasa dan jaringan

telekomunikasi itu melakukan sesuatu untuk merestorasi, atau mengembalikan

kembali uang yang telah hilang sebagai suatu bentuk usaha untuk mencegah

terjadinya unjust enrichment? Menurut pendapat Penulis, upaya itu memang ada,

yaitu terlihat sebagaimana keputusan Majelis Komisi di atas untuk misalnya

menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk. dan Terlapor II: PT

Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda sebesar Rp

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara

sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha

Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755

(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha). Juga, Majelis komisi

melakukan upaya mencegah unjust enrichment secara tersirat yaitu dengan

menghukum Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayar denda

sebesar Rp 18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan

101

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan yang sama

dengan di atas. Majelis Komisi, juga nampaknya, menurut Penulis berusaha

mencegah unjust enrichment secara tersirat dengan tak lupa pula menghukum

Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesar Rp 4.000.000.000,00

(empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagaimana perintah yang

sama di atas dan juga menghukum Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk.

membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor

ke Kas Negara seperti diperintahkan di atas.

Hanya saja, menurut Penulis, apa yang telah dilakukan di atas, yaitu hanya

secara tersirat memulihkan atau restorasi kerugian yang pernah dibuat karena unjust

enrichment itu tidak sebanding dengan keuntungan eksesif yang telah diambil oleh

para penyelenggaran telekomunikasi sebagaimana telah dikemukakan di atas. Belum

lagi, bukankah telekomunikasi di Indonesia itu adalah dikuasai negara, dan mengapa

sampai pihak swasta diberikan kesempatan untuk meraup keuntungan yang begitu

besar, tidak kah sebaiknya penyelenggaraan telekomunikasi diserahkan kepada pihak

swasta tetapi tidak sampai meraup keuntungan yang sangat eksesif (unjust enrich)

Dalam dokumen T1 312009018 BAB III (Halaman 75-79)

Dokumen terkait