• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4.2.2 Analisis Unsur Hara Tanah

Analisis unsur hara tanah yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur hara tanah terutama yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, khususnya tanaman kehutanan. Unsur-unsur hara yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah unsur hara yang termasuk kedalam unsur hara esensial. Pengambilan sampel dilakukan pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menggunakan metode tanah terusik dengan kedalaman 20 cm. Pada Tabel 20 dapat dilihat penetapan unsur hara tanah.

Tabel 20. Analisis kimia unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran

Kondisi hutan Kedalaman P (ppm) Ca Mg K Na

Hutan Primer 20 cm 2.54 0.40 0.40 0.11 0.92 Hutan setelah ditebang 20 cm 2.37 0.38 0.20 0.12 0.66 Hutan setelah penjaluran 20 cm 2.71 0.49 0.48 0.20 1.61 Berdasarkan Tabel 20 kandungan unsur hara pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menunjukkan kandungan unsur hara yang rendah. Kandungan Ca mempunyai nilai berkisar antara 0,38 sampai 0,49. Kandungan Mg mempunyai nilai berkisar antara 0,20 sampai 0,48, Kandungan K mempunyai nilai berkisar antara 0,11 sampai 0,20, dan kandungan Na mempunyai nilai berkisar antara 0,66 sampai 1,61.

Kandungan kation basa yang rendah (Ca, Mg, P dan Na) menyebabkan tingkat kejenuhan basa juga rendah. Unsur hara fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara yang keberadaannya dipengaruhi oleh kation asam. Pada kondisi asam dengan kandungan Fe dan Al yang tinggi maka ion P akan diikat oleh kation asam sehingga unsur P tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini sependapat dengan Poerwowidodo (1992) yang menyatakan kemasaman tanah memegang peranan penting pada ketersediaan P. Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Al,

sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap oleh tanaman karena difiksasi oleh Ca.

Sedangkan untuk penetapan tingkat kesuburan hara esensial pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Penetapan tingkat kesuburan tanah berdasarkan hasil analisis kimia tanah

Kondisi hutan Kedalaman (cm) N C-org KTK KB (%) Status kesuburan tanah Hutan Primer 20 0.15 1.52 9.59 19.08 Sedang Hutan setelah Ditebang 20 0.16 1.68 8.98 15.14 Sedang Hutan setelah Penjaluran 20 0.12 1.20 8.69 31.99 Sedang

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya baik di kehutanan maupun pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Anonim 1991). Berdasarkan tabel diatas kandungan C-organik dalam tanah menunjukkan nilai yang rendah. Nilai terendah terdapat pada hutan setelah penjaluran yaitu sebesar 1,20.

Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation). Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan pengapuran serta pemupukan.

Kejenuhan basa merupakan perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti tanah kemasaman tinggi dan kejenuhan basa mendekati 100% tanah bersifal alkalis. Tampaknya terdapat hubungan yang positif antara kejenuhan basa dan pH. Akan tetapi hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh sifat koloid dalam tanah dan kation-kation yang diserap. Tanah dengan kejenuhan basa sama dan komposisi koloid berlainan, akan memberikan nilai pH tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat disosiasi ion H+ yang diserap pada permukaan koloid (Anonim, 1991).

Sedangkan untuk nilai kejenuhan basa (KB) pada hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran mempunyai nilai berkisar antara 15,14 sampai 31,99, dimana nilai ini masuk dalam kriteria tidak subur. Kejenuhan basa selalu dihubungkan sebagai petunjuk mengenai kesuburan sesuatu tanah. Kemudahan dalam melepaskan ion yang dijerat untuk tanaman tergantung pada derajat kejenuhan basa. Tanah sangat subur bila kejenuhan basa > 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basa antara 50-80% dan tidak subur jika kejenuhan basa < 50 %. Hal ini didasarkan pada sifat tanah dengan kejenuhan basa 80% akan membebaskan kation basa dapat dipertukarkan lebih mudah dari tanah dengan kejenuhan basa 50% (Anonim, 1991). Namun secara umum jenis-jenis dipterocarpaceae dapat tumbuh di daerah yang kurang subur. Hal ini disebabkan karena akar pada pohon jenis-jenis dipterocarpaceae berasosiasi dengan mikoriza sehingga dapat mengjangkau unsur hara yang keberadaannya jauh dari tempat tumbuhnya.

Apabila dibandingkan antara hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran pada umumnya hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur hara di areal hutan setelah dilakukan penjaluran lebih tinggi dibandingkan hutan primer dan hutan setelah dilakukan penebangan. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbukaan tajuk yang cukup dari kegiatan pemanenan sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai lantai hutan. Kondisi ini akan memacu terjadinya proses dekomposisi dari unsur hara tanah oleh mikroorgaisme meningkat. Namun dengan adanya

keterbukaan tajuk ini akan mengakibatkan terjadinya leaching yang meningkat serta laju run-off yang membawa unsur hara yang telah terurai meningkat.

Menurut van Dam (1967) ukuran gap tidak mempengaruhi laju dekomposisi dari daun, tanaman berkayu, kayu bagi tanaman dan bunga, tetapi keberadaannya mempercepat laju dekomposisi dari humus di permukaan tanah dibandingkan dengan hutan primer. Meskipun terjadi peningkatan dekomposisi di lantai hutan dan tersedianya unsur hara yang cukup bagi tanaman tetapi dengan adanya gap ini akan menyebabkan terjadinya leaching sehingga unsur hara yang telah terdekomposisi menjadi sedikit tersedia bahkan tidak tersedia bagi tanaman.

Dokumen terkait