ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
SEBAGAI WUJUD HUKUM YANG BERKEADILAN GENDER
A. Analisis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga
Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya kontrol atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruksikan melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh sistem sosial tadi yang kemudian melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan perempuan.32
Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki – perempuan (relasi gender) di Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan, antara lain:
1. Laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih menggunakan
32
fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.
2. Di dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok, dan media pada umumnya.
3. Realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa dia bergantung.
4. Pada tingkat individual, faktor psikologis berinteraksi dengan hal-hal yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan kekerasan tersabut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi sasaran kekerasan.
5. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan pengendalian terhadap satu sama lain.33
Maka ketika relasi kuasa tidak seimbang, kekerasan dan ketidakadilan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul. Tetapi dalam kasus tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik, dan laki-lakilah yang menjadi korban. Di dalam berbagai penelitian telah ditemukan bahwa tindak kekerasan terhadap
33 Ibid.
perempuan itu dapat terjadi di sepanjang siklus kehidupan perempuan. Hal ini dapat dilihat di bagan34
Fase Kehidupan :
Bentuk Tindak Kekerasan
a. Sebelum Lahir Pengguguran kandungan karena seleksi seks
Siksaan selama kehamilan Kehamilan paksaan
b. Bayi Infanticide
Penyalahgunaan fisik-emosi
Perbedaan perlakuan anak perempuan c. Masa Anak Perkawinan usia dini
Penyalahgunaan seksual Pelacuran anak-anak d. Masa Remaja Kekerasan masa pacaran
Perkosaan
Pelacuran dan perdagangan perempuan Penyalahgunaan seksual
e. Usia Reproduktif Penyalahgunaan seksual
Perkosaan seksual dalam perkawinan Pembunuhan
Penyalahgunaan psikologis
Bentuk kekerasan terhadap perempuan telah tertera pada pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993, namun secara khusus dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Kekerasan dalam area domestik/ hubungan intim personal. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di dalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, pacar, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orang tua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.
34
b. Kekerasan dalam area publik. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain, sehingga meliputi berbagai bentuk kekerasan yang sangat luas, baik yang terjadi di semua lingkungan tempat kerja, di tempat umum, misalnya pornografi, perdagangan seks (pelacuran), dan lain-lain.
c. Kekerasan yang dilakukan oleh/ dalam lingkup Negara. Kekerasan secara fisik, seksual, dan / atau psikologis yang dilakukan dibenarkan atau didiamkan terjadi oleh Negara dimana pun terjadinya. Termasuk dalam kelompok ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam pertentangan antar kelompok, dan situasi konflik bersenjata yang berkaitan dengan pembunuhan, perkosaan (sistematis), perbudakan seksual dan kekerasan paksa.35
1. Tipologi Kekerasan Terhadap Perempuan
Sebenarnya tindak kekerasan terhadap perempuan dibedakan dengan beberapa aspek bila dilihat dari muatannya. Bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat berupa fisik atau psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif (menelantarkan), dan pelanggaran seksual. Yang sering terjadi adalah kombinasi dari berbagai bentuk, walaupun bisa saja hanya salah satu dari bentuk diatas.36
35
Ibid.
Dalam bukunya, Aroma Elmina Martha mengutip Harkristuti Harkrisnowo membagi kekerasan terhadap perempuan ke dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan
36
Tapi Omas Ihromi, Dkk (Ed). 2006. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita.Bandung: PT Alumni, Hlm 268.
ekonomi dan kekerasan politik.37
1) Kekerasan fisik
Namun secara umum bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan terdiri atas :
Kekerasan fisik terhadap perempuan dapat berupa dorongan, tendangan, pukulan, cekikan, bekapan, luka bakar, pemukulan dengan alat pemukul, kekerasan tajam, siraman zat kimia atau air panas, dan masih banyak lagi kekerasan fisik yang diterima oleh perempuan korban kekerasan. Kadang-kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan kekerasan seksual, baik berupa serangan ke alat-alat seksual (payudara dan kemaluan) maupun persetubuhan paksa (perkosaan). Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila didapati luka yang bukan diakibatkan kecelakaan pada perempuan. Bekas luka itu dapat diakibatkan oleh suatu kekerasan tunggal atau kekerasan yang sudah dialami oleh perempuan secara berulang-ulang, dari luka yang ringan sampai pada luka yang berakibat fatal.38
2) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban. Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap perlu karena ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan seksual tidak sekedar melalui perilaku fisik belaka.39
37
Ibid, Hal 35.
38
3) Kekerasan psikologi
Pada kekerasan psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada kekrasan psikis sulit diukur. Namun ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya kekerasn fisik akibatnya justru lebih menyakitkan. Ada beberapa alasan yan digunakan, diantaranya: Pertama, sekalipun tindak kekerasan psikologi jauh lebih menyakitkan, karena dapat merusak kehormatan seseorang, melukai harga diri seseorang, merusak keseimbangan jiwa, namun kekerasan psikologis tidak akan merusak organ tubuh bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian. Kedua, kekerasan fisik jauh lebih mudah diukur dan dipelajari, tulang yang patah, atau hidung yang berdarah, atau mata yang bengkak dan memar, jauh lebih mudah diuji dan divisum, ketimbang kekerasan emosional yang membuat orang merasa dipermalukan atu dilecehkan. Sekalipun kekerasan psikologis tidak bisa dikurangi kadarnya dan biasanya selalu terjadi pada kekrasan terhadap pasangan.40
4) Kekerasan Ekonomi
Hal ini biasa terjadi dalam lingkup rumah tangga, misalnya suami mengontrol keuangan istri, memaksa atau melarang istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta tida memberika uang belanja atau si suami menghabiskan uang si istri.
40
2. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Konteks Rumah Tangga Persoalan kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender-based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Kekerasan justru mengancam kaum perempuan yang secara langsung berkaitan dengan identitas seksualitasnya sebagai perempuan.
Paling tidak terdapat tiga kriteria yang biasa digunakan membuat kategorisasi jenis-jenis kekerasan berbasis gender. Pertama, kriteria motif kekerasan seperti yang ditawarkan oleh Coomaraswany seperti yang dikutip oleh Aroma Elmina Martha41
1) Jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan semata-mata karena seksualitas dan gender mereka seperti tindakan perkosaan, pembunuhan bayi perempuan, perdagangan perempuan serta kejahatan seksual lainnya. Semua perbuatan kekerasan ini secarra fundamental berhubungan erat dengan konstruksi masyarakat tentang seksualitas perempuan dan peranannya dalam hierarki sosial.
:
2) Jenis kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungannya dengan seorang laki-laki. Tindak kekerasan jenis ini dapat berupa kekerasan domestik, sati, dan kejahatan yang berdalih kehormatan . kekerasan kategori ini muncul akibat pemosisian
41
perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki; pertama ayahnya, yang kedua suaminya.
3) Jenis tindakan kekerasan yang ditimpakan kepada seseorang perempuan karena ia warga dari suatu etnis atas ras tertentu. Hal ini biasanya terjadi dalam perang, kerusuhan, atau pertikaian antar kelas atau kasta. Pertempuran dijadikan sarana penghinaan terhadap kelompok lain dengan cara menyakiti, melukai, memperkosa, atau membunuh mereka. Praktek ini erat kaitannya dengan persepsi bahwa perempuan adalah milik laki-laki yang menjadi musuh laki-laki lain, sehingga cara yang paling efektif untuk melihat kelemahan lawan adalah dengan menyerang perempuan milik lawannya.
Kedua, kriteria tempat terjadinya kekerasan. Bila kriteria ini digunakan maka ada tiga wilayah tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu di dalam keluarga (domestic violence), di lingkungan komunitas dan tempat umum serta di tempat kerja (non-domestic violence).
Ketiga, kriteria pelaku kekerasan. Berdasarkan kriteria ini dibedakan dua jenis kekerasan gender yang dilakukan oleh orang dekat yang dikenal dan yang dilakukan oleh pihak-pihak asing (strangers). Kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh Negara atau pihak-pihak yang direstui oleh Negara (state violence) termasuk dalam kategori yang kedua ini.
Perempuan dan anak perempuan rentan dengan perlakuan yang diskriminatif dan hal tersebut cenderung menyebabkan terjadi kekerasan terhadap
mereka. Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, perempuan bahkan selalu saja menjadi korban dalam rumahnya sendiri. Sulit dibayangkan bahwa pelakunya adalah orang-orang dekat mereka yang justru seharusnya mencintai dan menjaga mereka seperti ayah, suami, paman, kerabat atau orang-orang yang ada di dalam rumah mereka. Laporan yang datang dari segala penjuru dunia mencatat bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam segala lapisan masyarakat, dari kalangan bawah, menengah sampai kalangan atas.42
Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga maka kejahatan ini sesungguhnya kurang mendapatkan tanggapan yang serius dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan43
Pertama, kekerasan dalam rumah tangga memiiliki ruang lingkup relatif tertutut (pribadi) dan terjaga ketat dengan alasan privacy karena persoalannya terjadi di dalam area keluarga.
:
Kedua, kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga.
Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan. Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh kesah para istri yang mengalami persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya mereka memendam persoalan itu sendirian, tidak
42
Sulistyowati Irianto (Ed). 2006. Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berpersfektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal 311-312.
43
tahu bagaimana menyelesaikannya dan semakin yakin pada anggapan yang keliru bahwa suami memang mengontrol istrinya.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang diakui sebagai problem sosial ini awalnya adalah tindakan kekerasan terhadap anak (abuse of children). Defenisi ini hanya terbatas pada penganiayaan dan pemyiksaan, namun perkembangannya diperluas dalam bentuk kekurangan gizi, kekerasan seksual, penelantaran pendidikan, kesehatan yang tidak terurus, dan kekerasan secara mental. Perkembangan ruang lingkup selanjutnya adalah penganiayaan terhadap istri. Diakui bahwa kekerasan terhadap istri menjadi problem masyarakat bersama, sehingga ruang lingkup kejahatan ini termasuk juga kekerasan seksual, perkosaan dalam rumah tangga dan pornografi.
KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestik cenderung membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.
Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain:
1. Bahwa tindakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga
mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan kekerasan) terhadap anggota keluarganya.
2. Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu. Hal itu dibungkus sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus berulang.
3. Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan mempunyai hak/wibawa dan kekuasaan di luar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah.
4. Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami, sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam rutinitas rumah tangga yang dijalaninya. Pengorbanan ini tidak hanya hidup dalam budaya dan masyarakat, melainkan realitas agama. Bunda Maria digambarkan sebagai sosok ibu yang berkorban untuk anaknya dan mendapatkan kebahagiaan dalam membahagiakan orang lain.
5. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai akibat stigma tresebut.
6. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.44
Secara teoritis, para ahli studi perempuan menyebut alasan-alasan di atas dengan istilah Sindrom Tawanan (Hostage Syndrome) yaitu gambaran bagi perempuan yang terjerat secara fisik maupun psikologis oleh norma budaya dan masyarakat. Keterjeratan ini bisa terjadi dalam keluarga, seperti perempuan harus mengasuh anak dan suami, serta menganggap lumrah perlakuan kasar suaminya. Dalam masyarakat, perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan jodoh, sehingga kondisi psikologis perempuan mengalami sindrom ketergantungan dengan sistem nilai laki-laki. Pada awalnya, konsep sindrom tawanan ini dikembangkan untuk memahami keberhimpitan paradoksal dari tawanan (perempuan) pada penawannya (suami, masyarakat, dan budaya), dan kemudian diterapkan dalam upaya memahami situasi perempuan sebagai korban. Efek tawanan itu kemudian dikembangkan, baik oleh orang yang menawan atau oleh masyarakat pada umumnya. Sebagai tawanan masyarakat, perempuan korban sangat sulit untuk meninggalkan pasangannya, karena lingkungan sosial kemasyarakatan tidak memberikan dukungan yang cukup untuk melakukannya. Variabel dari realitas sosial kemasyarakatan itu antara lain norma perkawinan, peran perempuan dalam perkawinan, pesan yang diterima perempuan sejak masa kecil, tiadanya dukungan dalam keluarga dan masyarakat, tidak adanya sumber
2012.
daya ekonomis yang memungkinkan bisa hidup mandiri, serta perlindungan hukum yang tidak memadai.
Dengan situasi sosial seperti itu, perempuan korban kemudian beralih ke sumber daya personalnya sendiri. Untuk dapat bertahan, ia merasionalisasi penganiayaan yang dialaminya sebagai respons alami yang ditampilkan pasangannya dalam menghadapi tekanan. Jadi, perempuan korban kemudian mengadopsi norma-norma budaya yang mengabsahkan kekerasan pasangan (laki-laki). Bahkan perempuan, pada akhirnya menginternalisasi pandangan bahwa perempuan bertanggungjawab untuk memastikan keberhasilan perkawinan. Dalam kondisi atau keadaan keterjeratannya, perempuan akan dengan mudah menginternalisasi, menghayati banyak perasaan negatif, seperti rasa malu, bimbang, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Kondisi keterjebakan seperti ini dan ketidakmampuan mencari jalan alternatif pemecahan, menyebabkan perempuan sulit keluar dari kekerasan yang ada.
B. Hak-Hak Bagi Perempuan
Di dalam konstitusi Republik Indonesia dijelaskan bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Dalam realita kehidupan sehari-hari, sebagian besar korban kejahatan adalah perempuan. Dalam hal ini diperlukan berbagai perlindungan bagi korban khususnya perempuan sebagai korban kejahatan. Kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam lingkup rumah tangga, khususnya terhadap istri merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Maraknya tindak pidana ini kemudian memunculkan dorongan untuk membuat
berbagai peraturan perundang-undangan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Sebelum keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam hukum positif Indonesia tidak ada dijumpai secara eksplisit tentang perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, alasan penganiayaan sering dijadikan landasan untuk menjerat pelaku ke ranah hukum. Namun demikian, kasus tentang kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga seringkali tidak ditindak lanjuti karena dianggap hanya sebagai persoalan pribadi yang tidak perlu dianggakat ke ranah publik.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membatasi kekerasan perempuan yang berupa kekerasan fisik. Hal ini terlihat dalam Pasal 89 KUHP yyang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan dan tidak berdaya.45
Bila dilihat dalam KUHP, hanya ada beberapa pasal yang dirancang untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan berkenaan dengan tindak pidana
Batasan ini cukup sempit bila dibandingkan dengan Konvensi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dimana kekerasan itu meliputi tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan seksual dan psikologis. Bahkan beberapa peneliti juga memasukkan kekerasan finansial dan kekerasan agama sebagai suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan.
45
R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
perkosaan (Pasal 284), pengguguran kandungan tanpa seizin perempuan yang bersangkutan (Pasal 347), perdagangan perempuan (Pasal 297), dan melarikan perempuan (Pasal 332).
Pengakuan hak asasi manusia dituangkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan mengenai hak yang dimiliki oleh kaum perempuan diatur secara tegas dalam Bab III bagian kesembilan dari pasal 45 sampai dengan pasal 51.
Hak-hak perempuan dalam undang-undang ini adalah: a. Hak Politik (Pasal 46)
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggotan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan harus menjamin keterwakilan wanita sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Artinya bahwa pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender.46
b. Hak Kewarganegaraan (Pasal 47)
Seseorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
c. Hak Pendidikan (Pasal 48)
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
d. Hak untuk Memperoleh Pekerjaan (Pasal 49)
Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di dalam pekerjannya, wanita juga berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus di dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Hak khusus yang melekat pada diri wanita yang dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum.
e. Hak untuk Memperoleh Kedudukan yang Sama dalam Hukum (Pasal 50) Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
f. Hak dalam Perkawinan (Pasal 51)
Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. Setelah putusnya perkawinan pun, seseorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, di dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dinyatakan bahwa kaum perempuan berhak untuk menikamati dan memeperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang-bidang lainnya. Hak-hak tersebut antara lain :
a. Hak atas kehidupan; b. Hak atas persamaan;
c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; d. Hak atas perlindungan yang sama di muka umum; e. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi;
f. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental; g. Hak untuk pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik;
h. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan dan kekejaman lain atau perlakuan atu penyiksaan secara tidak manusiawi atau sewenang-wenang.47
Di dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga mengatur mengenai hak-hak korban dimana kebanyakan atau bahkan sebagian besar korbannya adalah perempuan, yakni yang tercantum dalam pasal 10 UU