• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens. Lapisan terluar disebut dura mater, lapisan tengah disebut arachnoid, dan lapisan terdalam disebut pia mater (Kahle, 2003).

Lapisan dura mater merupakan lapisan yang terkuat dan melekat ke tengkorak. Lapisan tengah, arachnoid, penting untuk aliran normal dari cairan

serebrospinal (CSS). Bagian terdalam, piamater, penting untuk mengarahkan pembuluh darah di otak (Narins, 2003).

Lapisan diantara arachnoid dan piamater diisi oleh cairan serebrospinal (CSS), yang melindungi otak dari trauma (Narins, 2003).

Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens (Strandring, 2008).

Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di sinus dura (Saladin, 2003).

2. 5. Anatomi telinga tengah

Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga

tengah, dan telinga dalam (Soetirto, 2004 dalam Irwan, 2009). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

2. 5. 1. Membran timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertkal rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. membran ini tipis, licin, dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sikumferensial) (Yates, 2008 dalam Irwan, 2009).

Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam dua bagian:

1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani, merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di annulus timpanikus pada tulang temporal.

2. Pars flaksida atau membran sharpnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior. (lipatan belakang) (Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Gambar 2.8. Gambaran membran timpani (Strandring, 2008).

2. 5. 2. Kavum timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk irregular, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipingir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993 dalam Irwan, 2009; Yates, 2008 dalam Irwan, 2009).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telnga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat

eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior,

kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Di bagian atas dinding anterior terdapat semikanal otot tensor timpani yang terletak persis diantara muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009).

Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu (Ahmed, 2004 dalam Irwan, 2009):

1. Fungsi ventilasi tuba eustachius,

2. Proses keluar masuknya gas dari sirkulasi melalui difusi, 3. Ketebalan mukosa telinga tengah,

4. Elastistas membran timpani, dan 5. Ukuran pneumatisasi mastoid.

2. 5. 3. Tuba eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditoria atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan

antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret ke nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy, 2003 dalam Irwan, 2009; Helmi, 2005).

Lumen tuba eustachius menghubungkan antara nasofaring (proksimal) dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba eustachius. Pertemuan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang tuba eustachius ini dinamakan junctional

portion, pada setiap orang dewasa panjangnya 3 mm. pada dinding lateral

nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh sekumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba eustachius (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

Pada orang dewasa, tuba eustachius lebih panjang dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba eustachius yang terpendek 30 mm dan yang terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba eustachius adalah 31-38 mm. pada sepertiga posterior tuba eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya 11-14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20-25 mm. pada orang dewasa tuba eustachius membentuk sudut 45o terhadap bidang horizontal dan pada anak-anak hanya 10o. Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

Bagian tulang tuba eustachius (protympanum) seluruhnya berada pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas kavum timpani. Hubungan antara tuba eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009; Yoshida, 2007 dalam Irwan, 2009).

Bagian tulang tuba eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kira-kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava maneuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk sudut 160o

Bagian tulang rawan tuba eustachius mempunyai arah anteromedial dan inferior, membentuk sudut 30

. Dinding medial bagian tulang tuba eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan aterolateral (karotis), dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri karotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5-3 mm dan pada 2% populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan ateri karotis interna (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

o

-40o terhadap bidang transversal dan membentuk sudut 45o terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium bagian tuba eustachius dengan jaringan ikat (fibrous) dan meluas ke bagian tulang tuba eustachius kira-kira 3 mm. pada ujung onferomedial melekat ke tuberkulum pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus bisanya pada atau sekitar pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba eustachius. Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas panjang bagian tulang rawan tuba eustachius semakin bertambah,

perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009).

2. 5. 4. Prosesus mastoideus

Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid di sebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol ke arah inferior dibelakang meatus acusticus

externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot sternokleidomastoide, splenius capitis, dan longisimus capitis. Pada bagian

inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini membentuk meinentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak di atas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan permukaan posterior tulang membentuk batas anterior fosa cranial posterior. Di sini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009).

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan yang lain dan pertumbuhan dari sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik, dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005).

Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor herediter dan faktor

lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Di lain pihak terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk infeksi telinga tengah (Austin, 1994 dalam Irwan, 2009). Sel udara mastoid mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Tumarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggungjawab terhadap pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal), terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba eustachius (Virapongse, 1985 dalam Irwan, 2009; Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2 kelompok, telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized ears) dan telinga dengan pneumatisasi baik (well pneumatized ears). Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid <8 cm2 dan well pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid >8 cm2

Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

(Seth, 2006 dalam Irwan, 2009).

2

Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (<8 cm

). Menjadi kroniknya otitit media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadinya tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

2

) dan 20 % dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik (>8 cm2). Pada 150 telinga normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm2. Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis media supuratif) menyebabkan

terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sel udara mastoid. Semua penelitian menunjukkan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009).

2. 6. Klasifikasi meningitis

2. 6. 1. Meningitis bakterial

Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).

Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981). Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Mardjono, 1981).

Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005): 1. S. pneumonie

2. N. meningitis

3. Group B streptococcus atau S. agalactiae 4. L. monocytogenes

5. H. influenza

6. Staphylococcus aureus

2. 6. 2. Meningitis tuberkulosa

Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di

paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).

Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium

tuberculosis (Pradana, 2009)

2. 6. 3. Meningitis viral

Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009).

Etiologi dari meningitis viral antara lain :

Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis (Swartz , 2007). COMMON

Dokumen terkait