• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anjuran kepada raja-raja

Pemikiran Ulama Aceh Dalam Lintas Sejarah

2) Anjuran kepada raja-raja

Posisi ulama di Aceh yang kharismatik dan disegani membuat mereka berani menyampaikan pesan politik kepada pemimpin di masanya. Berikut beberapa amaran yang diserukan oleh Teungku Dimulek kepada pemimpin:

“Maka ketahui olehmu hai sekalian raja-raja dan sekalian orang yang besar-besar; bahwa raja-raja atau orang yang besar-besar maka hendaklah mengamalkannya delapan perkara12. Pertama, hendaklah raja atau rais atau sekalian yang besar-besar itu syukur nikmat yang telah diberikannya oleh Allah Ta’ala kepadanya. Yakni ingat yang empunya nikmat kebesaran dan kemuliaan dunia ini dengan pemberian Allah Ta’ala. Kedua, berbuat baiklah raja kepada Allah dengan mengikuti sekalian suruh dan dengan menjauhkan sekalian tegahnya serta berbuat pekerjaan yang adil. Ketiga, raja-raja atau rais janganlah datang segera amarah kepada yang di bawah perintahnya dan kepada sekalian rakyat dan manusia ‘umumiyyah”. Maksudnya pemimpin jangan bersikap emosinal terhadap bawahannya, juga kepada rakyat dan manusia semuanya. “Keempat, janganlah raja-raja itu mempermudah-mudah musuh itu dengan pandangan kecil atau memandang enteng dan ringan. Hendaklah dijaga dan diamati dengan sungguh dan sempurna”.

Maksudnya Jangan menyepelekan musuh, tetapi perhatikan semua ancaman terhadap keamanan negara dengan sungguh-sungguh. “Kelima, raja itu menghalaukan musuh dengan tipu muslihat. Serta lasykar sipa-i infantri Khan Bahadur yang kuat-kuat dan ahli dan yang setia kepada negeri dan agama dan bangsa dan taat kepada qanun, bay’at dan sumpah”.

Disini seorang pemimpin dituntut untuk menyiapkan strategi yang jitu dalam berhadapan dengan musuh, berupa kekuatan senjata, pasukan dan tenaga ahli yang mamadai.

“Keenam, raja-raja atau rais jumhuriyyah janganlah kehendak keinginan dunia dengan zalim kepada rakyat. Yaitu dengan zalim kepada rakyat.

104 -bab tiga

Ulama Aceh dalam Melahirkan Human Resource di Aceh

Yaitu sebab memikir bahwa saya raja negeri dan karenanya bisa dapat memperbuat satu-satu hal dengan sebab banyak lasykar sipa-i dan senjata kuat, maka tentu lulus sekalian pekerjaannya karena semuanya di belakang raja.”

Walaupun seorang pemimpin memiliki semua wewenang dan fasilitas, jangan sekali-kali menzalimi rakyat karena kepentingan duniawi, jangan sampai arogansi kekuasaan dikedepankan.

“Ketujuh, bahwa tiap-tiap raja atau rais yaitu seyogia meneguh janji pada sekalian yang telah dijanjikan (kepada) sekalian rakyat dengan selesai dan sempurna. Maka taatlah rakyat kepada raja serta kasih sayang dan setia rakyat kepada raja dan setia raja kepada rakyat dengan hukum adil dan aman negeri. Maka makmurlah rakyat dengan senang dan sempurna, maka masyhurlah kerajaannya.”

Kunci kemasyhuran dan kemakmuran negara adalah ketika rakyat mencintai pemimpinnya, dan pemimpin juga mencintai rakyatnya. Hal itu akan dapat dicapai jika semua pemimpin tidak membohongi rakyat, tetapi menjalankan semua janji yang telah diberikan.

“Kedelapan, hendaklah raja-raja atau rais jumhuriyyah bersangat takut kepada Allah dan kepada Rasul dan hendaklah sopan raja kepada rakyatnya”.

Pemimpin juga dianjurkan berlaku sopan kepada rakyatnya, di samping memang harus selalu takut kepada Allah Swt.

Dari beberapa pesan di atas dapat dibayangkan bagaimana kondisi Aceh masa lalu, bahwa antara ulama dan umara saling melengkapi dan mendukung. Malah ulama dapat dengan tegas memberikan masukannya kepada raja.

Etika dalam perbedaan mazhab

Teungku Dimulek merupakan salah satu ulama Aceh yang sangat toleran dalam bermazhab, beliau mengakui keberadaan empat mazhab yaitu: Syafii, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Hal itu dengan tegas dituliskan dalam kitabnya:

“Maka peganglah dengan sungguh-sungguh hati Qanun Meukuta Alam al-Asyi dari karena mengikuti... Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam

bab tiga- 105 P e m i k i r a n F i q h s o s i a l u l a m a A c e h

Syafi’i (dan) Imam Hanbali. Dan empat mazhab itu semuanya tunduk kepada Syari’at Rasullullah saw. Yakni berhimpun empat, yaitu Islam dan Iman dan Tauhid dan Makrifat, maka barulah bernama agama13

Disini juga mencerminkan pemikiran mazhab ulama Aceh masa lalu yang multi mazhab dan toleran dengan dinamika persoalan umat. Bahkan mereka berani pindah mazhab jika suatu persoalan tidak bisa diselesaikan oleh salah satu mazhab.

“Yaitu jika tiada boleh hukumnya dalam mazhab Imam Syafi’i, maka dicari hukumnya dalam mazhab Ahmad Imam Hanbali. Dan jika tiada hukumnya dalam mazhab Imam Hanbali, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Malik. Dan jika tiada dalam mazhab Imam Malik, maka dicari hukumnya dalam mazhab Imam Abu Hanifah. Karena adalah Imam yang empat itu pangkat Mujtahid Mutlak yang sah dalam Ahlussunnah waljama’ah”.14

Keragaman mazhab di sini hanya terbatas pada empat mazhab saja karena masih dalam koridor ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang ditegaskan oleh TeungkuDi Mulek. Malah pada masa Iskandar Muda di Aceh dibentuk mufti empat mazhab yang disebut dengan Syekh Al-Islam supaya dapat mengakomodir semua pemasalahan umat.

“Maka sebab itulah paduka Sri Sultan Sulaiman Meukuta Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah mendirikan Mufti empat mazhab, yakni Syaikh al-Islam; Mufti Empat dalam negeri Aceh Darussalam. Karena menjaga dan memeliharakan hukum Syara’ Syari’at Rasulullah saw. dari kaum yang Tujuh Puluh Dua yang khianat kepada agama Islam.

Dan maka jika alim ulama yang Ahlus-Sunnah Waljama’ah masuk ke dalam negeri Aceh dari luar negeri, maka dipermuliakannya oleh Sultan Iskandar Muda serta diberikan surat ber-Cap Sembilan dan diberikan tadah. Jika alim ulama itu bermukim dalam negeri Aceh. Dan jika ia musafir maka diberikan belanja sekedar mencukupi yaitu makanan dan pakaian. Dan jika

13 Teungku Dimulek, Syarah Tazkirah Tabaqat, alih aksara oleh Mohd. Kalam Daud, T.A. Sakti (Qanun Meukuta Alam Dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Teungku Dimulek dan Komentarnya) (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), 3.

106 -bab tiga

Ulama Aceh dalam Melahirkan Human Resource di Aceh

pulang ia ke negeri di mana pun negerinya maka diberikan hadiahnya dan ongkos kapal dibayar oleh kerajaan Aceh.”15

Di sini disebutkan bahwa Iskandar Muda sangat hormat pada ulama berbagai mazhab ahlus sunnah wal jamaah, juga disediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Sehingga banyak terdapat ulama dari berbagai bangsa yang menetap dan ikut mengajar masyarakat Aceh.

Interaksi sosial

Keharmonisan hubungan sosial sangat diperhatikan oleh ulama Aceh, seperti Waliyullah bila niza’, ikutan orang yang arifin, Syekh Abdurrauf Fansury, dalam kitabnya Mawaizul badi’ah, dan juga Syekh Muhammad ibn Syekh Khatib dalam kitab Dawaul Qulub.

Berikut tulisan Waliyullah bila niza’, ikutan orang yang arifin, Syekh Abdurrauf Fansury dengan mengutip Hadits Qudsi:

“Barangsiapa takabbur ia atas segala orang miskin niscaya aku (Allah) himpunkan akan dia pada hari kiamaat atas rupa semut yang kecil, dan barangsiapa merendahkan diri bagi orang yang alim niscaya aku angkatkan akandia di dalam dunia dan dalam akhirat. Dan barangsiapa mendatang ia bagi membukakan akan satu aib bagi orang yang Islam niscaya membukakan oleh Allah Taala akan aibnya tujuh puluh kali aib. Dan barangsiapa menghina ia akan orang yang papa, maka sungguhnya menzahir ia akan daku (Allah) dengan berperang”16

Sangat jelas terlihat bahwa Syekh Abdurrauf Fansury mengharapkan terwujudnya masyarakat yang harmonis, bebas dari sifat sombong, angkuh, dengki dan khianat, di samping memberikan penghormatan sewajarnya kepada para ulama, dan larangan saling membuka aib sesama masyarakat muslim.

Dalam tulisannya beliau menggunakan hadits Qudsi supaya dapat menyentuh langsung nilai-nilai religius masyarakat Aceh, sehingga pesan itu akan dapat langsung diamalkan karena terdapat balasan di akhirat.

Menjaga lingkungan

15 Ibid., 39.

16 Syekh Abdurrauf Fansury, Mawaizul badi’ah, dalam kitab Jam’u Jawami’ Al-Musannafat, karya Syekh Ismail bin Abdul Muthallib Al-Asyi (Al-Aqsa lil-Tabba’ah wal Tauzik, tt), 68.

bab tiga- 107 P e m i k i r a n F i q h s o s i a l u l a m a A c e h

Sementara dalam lingkup yang lebih luas Syekh Muhammad anak dari Syekh Khatib dalam kitabnaya Dawaul Qulub menegaskan larangan merusak lingkungan hidup seperti pepohonan. Berikut kutipannya:

“Dan lagi jangan mengerat kayu pada pohonnya hingga daunnya sekalipun, karena yang demikian itu alamat kurang umur orang yang berbuat dia, jika ada perbuatan itu sia-sia jua. Dan jika ada maksud pada yang demikian itu, maka yaitu harus”17

Syekh Muhammad menempatkan larangan merusak tanaman di bawah bab maksiat anggota badan, ini bisa bermakna bahwa mengganggu makhluk hidup yang tidak bersalah merupakan salah satu dosa anggota badan yang harus dijauhi.

Ini juga menjadi pertanda bahwa ulama dahulu sangat peduli dengan keselamatan lingkungan hidup termasuk hutan dan pepohonan, dimana hanya membolehkan menebang pohon jika dirasa sangat perlu, sehingga keseimbangan ekosisten dapat terpelihara.

Larangan memukul manusia dan binatang

Syekh Muhammad anak dari Syekh Khatib dalam kitabnaya Dawaul Qulub melarang memukul hamba sahaya, wanita, anak-anak dan binatang: “Dan lagi haram dipalukan hamba, dan binatang dan perempuan dan anak, dengan tiada sebab pada hukum syarak, atau lebih daripada had.”18

Ini juga mencerminkan nilai humanisme yang tinggi dari ulama Aceh, mereka dengan sangat tegas melarang orang tua memukul anaknya kecuali dalam hal sangat penting sesuai ketentuan syarak, proses pendidikan hendaknya dilakukan dengan pendekatan persuasif, demikian juga dengan suami dilarang memukul istrinya kecuali dalam hal yang dibolehkan oleh syariat, sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah seminimal mungkin.

Malah lebih luas lagi dilarang memukul binatang tanpa alasan yang jelas. Sehingga keharmonisan sosial antara sesama manusia, manusia dengan tumbuhan dan manusia dengan binatang sekalipun dapat terwujud. Prinsip tersebut telah melahirkan tradisi khas masyarakat Aceh yang tidak

17 Syekh Muhammad anak dari Syekh Khatib, Dawaul Qulub, dalam kitab Jam’u Jawami’

Al-Musannafat, karya Syekh Ismail bin Abdul Muthallib Al-Asyi, Penerbit Al-Aqsa lil-Tabba’ah wal Tauzik,

tanpa tahun, 97. 18 Ibid. 98.

108 -bab tiga

Ulama Aceh dalam Melahirkan Human Resource di Aceh

sembarangan ketika menebang pohon di hutan, tetapi melalui prosesi adat seperti seumapa dengan pohon yang bersangkutan yang berisi syair dan nazam dengan tujuan dialog dan minta izin pada pohon yang hendak ditebang. Hal itu dilakukan karena mereka yakin pohon sebagai makhluk hidup dapat mendengar ucapan manusia.

Demikian juga dalam menghadapi binatang, budaya Aceh lebih melakukan pendekatan dialogis dan seumaloe kekerasan. Misalnya jika berjumpa dengan harimau atau babi hutan, binatang tersebut akan disapa dan diperintahkan untuk pergi ke tempat lain supaya tidak mengganggu manusia. Dengan demikian binatang liar sekalipun tidak semena-mena mengganggu manusia sebagaimana yang banyak terjadi belakangan ini.

Kepedulian sosial 1. Anjuran zakat

Sebagaimana ajaran Islam pada umumnya, ulama Aceh terdahulu juga sangat peduli dengan persoalan sosial masyarakat termasuk pemberdayaan ekonomi melalui zakat. Adalah Maulana yang Arif Billah Syekh Abdullah dalam kitabnya Syifaul Qulub menegaskan pentingnya zakat, malah menurut beliau harta akan binasa jika tidak dikeluarkan zakatnya. “Tiada binasa harta darat dan di laut melainkan dengan sebab menegahkan zakat (hadits)”19

Dalam kitab tersebut penulis menghimpun hadits yang sudah diterjemahkan tanpa ada teks asli bahasa Arab berkaitan dengan keutamaan zakat dan ancaman bagi orang yang tidak mau membayar zakat. Mungkin menurutnya fiqh zakat sudah banyak disebutkan dalam kitab lain, tetapi motivasi masyarakat dalam membayar zakat harus ditampilkan juga sehingga semua orang mengerti hakikat dari zakat, bukan hanya melepas kewajiban tetapi juga mendapat pahala yang sangat besar bagi pelakunya, dan tentu saja ada ancaman bagi yang melanggarnya.

Kalau semangat untuk membayar zakat sudah tumbuh, dalam perjalanannya fiqh bisa dijelaskan kepada orang yang bersangkutan, karena biasanya kalau hendak melakukan sesuatu orang pasti akan bertanya lebih banyak tentang hal tersebut.

19 Maulana yang Arif Billah Syekh Abdullah, Syifaul Qulub, dalam kitab Jam’u Jawami’

Al-Musannafat, karya Syekh Ismail bin Abdul Muthallib Al-Asyi, Penerbit Al-Aqsa lil-Tabba’ah wal Tauzik,

bab tiga- 109 P e m i k i r a n F i q h s o s i a l u l a m a A c e h

Berbeda dengan itu adalah Jalaluddin anak Syekh Arif Billah Jalaluddin anak Qadhi Baginda Khatib, mengetengahkan hukum zakat dan jenis-jenis harta yang dikenakan zakat dalam kitabnya Hidayatul Awam20. “Bermula zakat itu wajib atas tiap-tiap Islam laki-laki dan perempuan kecil dan besar yang sampai nisab hartanya”21

Penegasan hukum fiqh ini melengkapi kitab fadhail yang ada pada bagian sebelumnya sehingga semua orang dapat menunaikan zakatnya. Dalam kitab Hidayatul Awam penulis membagi zakat kepada dua bagian yaitu zakat harta dan zakat fitrah, disertai penjelasan singkat tentang jenis-jenis harta yang wajib zakat dan juga tata cara mengeluarkan zakat fitrah.

Pengaruh pemikiran ulama tentang zakat sangat dirasakan dalam masyarakat Aceh. Budaya membayar zakat sudah mentradisi sejak lama dan masih berlangsung hingga kini. Malah institusi adat seperti Keuchik, Imum dan Mukim terlibat aktif dalam pengutipan dan penyaluran zakat.

Kontrol sosial masyarakat terhadap zakat juga sangat tinggi, biasanya nama-nama pembayar zakat ditulis pada papan pengumuman meunasah atau mesjid sehingga semua orang dapat membacanya. Penyalurannya pun dilakukan dengan sangat trasnparan di meunasah atau mesjid dengan melibatkan semua petua kampung setempat, mulai dari penetuan nama-nama orang yang berhak menerima dan juga proses penyalurannya.

Dokumen terkait