• Tidak ada hasil yang ditemukan

Content Based Image Retrieval (CBIR)

Secara umum, proses temu kembali citra (image retrieval) dapat dibagi menjadi dua proses utama yaitu pengindeksan dan penemuan kembali citra. Content based image retrieval (CBIR) merupakan suatu pendekatan pada temu kembali citra yang didasarkan pada ciri atau informasi yang terkandung di dalam citra seperti warna, bentuk, dan tekstur (Rodrigues & Araujo 2004). Proses utama pada temu kembali citra diilustrasikan pada Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1 Sistem temu kembali citra.

Conventional Color Histogram (CCH)

Histogram warna menyatakan frekuensi kemunculan atau peluang keberadaan setiap

2 warna dalam sebuah citra. Banyaknya nilai

warna (bin) dapat ditetapkan sesuai kebutuhan pembuatan histogram. Histogram warna dapat dinyatakan sebagai berikut:

1, jika piksel ke-j dikuantisasi ke bin-i 0, selainnya

Histogram warna seperti ini disebut conventional color histogram (Han & Ma 2002).

Edge Detection

Edge detection adalah operasi yang dijalankan untuk mendeteksi garis tepi (edge) yang membatasi dua wilayah citra homogen yang memiliki tingkat kecerahan yang berbeda (Pitas dalam Wahyuningsih 2006). Beberapa metode pendeteksi garis tepi yang umum digunakan antara lain Sobel, Prewitt, Roberts, Laplacian of a Gaussian, Zero crossings, dan Canny (Gonzalez 2004).

Sobel Edge Detector

Sobel edge detector merupakan salah satu metode pendeteksi tepi yang umum digunakan (Rodrigues & Araujo 2004). Sobel edge detector menggunakan dua buah matriks konvolusi berukuran 3 x 3. Matriks konvolusi pertama digunakan untuk mengestimasi gradien pada arah sumbu x. Berikut ini adalah matriks konvolusi yang digunakan :

-1 -2 -1

0 0 0

1 2 1

Sementara itu, matriks konvolusi kedua digunakan untuk mengestimasi gradien pada arah sumbu y. Berikut ini adalah matriks konvolusi yang digunakan :

-1 0 1

-2 0 2

-1 0 1

Misalkan Gx adalah matriks hasil operasi konvolusi terhadap citra I dalam arah sumbu x, dan Gy adalah matriks hasil operasi konvolusi terhadap citra I dalam arah sumbu y, maka magnitudo (edge strength) dari gradien didekati menggunakan persamaan berikut ini:

Sebuah piksel akan dianggap sebagai edge (bernilai satu) jika nilai magnitudonya lebih

besar dari nilai threshold yang ditetapkan (Gonzalez 2004).

Texture

Pada area pemrosesan citra tidak ada definisi yang jelas tentang tekstur. Hal ini disebabkan definisi tekstur yang ada didasarkan kepada metode analisis tekstur dan fitur yang diekstrak dari citra. Akan tetapi, tekstur dapat dianggap sebagai pola piksel yang berulang pada wilayah spasial dimana penambahan noise pada pola dan perulangan frekuensinya, dapat terlihat secara acak dan tidak terstruktur (Osadebey 2006).

Beberapa metode yang berbeda diusulkan untuk menghitung ciri tekstur karena tidak ada definisi matematika yang jelas tentang tekstur. Metode yang paling sering digunakan untuk mendeskripsikan ciri tekstur adalah metode berbasis statistika dan berbasis transformasi (Ojala & Pietikainen dalam Osadebey 2006).

Penelitian ini menggunakan metode berbasis statistika untuk mengekstraksi ciri tekstur. Metode berbasis statistika menganalisis distribusi spasial dari nilai keabuan dengan menghitung ciri lokal pada setiap titik citra, kemudian menurunkan beberapa perhitungan statistika dari distribusi ciri lokal tersebut. Salah satu jenis metode ini adalah co-occurrence matrix yang akan digunakan pada penelitian ini.

Co-occurrence Matrix

Co-occurrence matrix menggunakan matriks derajat keabuan untuk mengambil contoh bagaimana suatu derajat keabuan tertentu terjadi, dalam hubungannya dengan derajat keabuan yang lain. Matriks derajat keabuan adalah sebuah matriks yang elemen-elemennya merupakan frekuensi relatif kejadian (occurrence), dari kombinasi level keabuan antar pasangan piksel, dengan hubungan spasial tertentu (Osadebey 2006).

Misal diketahui sebuah citra I(i, j), p(i, j) merupakan posisi dari operator, dan A adalah sebuah matriks. Elemen A(i, j) menyatakan jumlah berapa kali titik tersebut terjadi dengan grey-level (intensitas) g(i) pada posisi tertentu menggunakan operator p, relatif terhadap titik dengan intensitas g(j). Matriks A merupakan co-occurrence matrix yang didefinisikan oleh p. Operator p didefinisikan dengan sebuah sudut dan jarak d.

Gambar 2 menjelaskan pembangunan co-occurrence matrix untuk citra I yang berukuran 4 x 5 piksel yang memiliki delapan level keabuan. Posisi operator p didefinisikan dengan jarak d = 1 dan = 00. Matriks A Pi|j =

3 1 1 5 6 8 2 3 5 7 1 4 5 7 1 2 8 5 1 2 5 1 2 3 4 5 6 7 8 1 1 2 0 0 1 0 0 0 2 0 0 1 0 1 0 0 0 3 0 0 0 0 1 0 0 0 4 0 0 0 0 1 0 0 0 5 1 0 0 0 0 1 2 0 6 0 0 0 0 0 0 0 1 7 2 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 1 0 0 0

merepresentasikan jumlah titik yang memiliki intensitas g(i) terjadi pada posisi yang didefinisikan oleh operator p, relatif tehadap titik dengan intensitas g(j) (Osadebey 2006).

Formula Bayes

Formula Bayes dapat digunakan untuk menghitung peluang bersyarat yaitu peluang suatu kejadian setelah kejadian lain terjadi (Neapolitan 2004). Berikut ini adalah formula Bayes :

Formula di atas juga dapat ditulis :

disebut juga posterior probability adalah peluang A terjadi setelah B terjadi.

adalah peluang A dan B terjadi bersamaan.

disebut juga likelihood adalah peluang B terjadi setelah A terjadi.

disebut juga prior adalah peluang kejadian A.

adalah peluang kejadian B dan 0.

BayesianNetwork

Bayesian network adalah sebuah graf berarah tanpa cycle (directed acyclic graph) yang digunakan untuk representasi grafis dan pengambilan keputusan (reasoning) mengenai wilayah yang tidak pasti (Neapolitan 2004) yang terdiri atas :

1 Satu set node, setiap node merepresenta-sikan setiap variabel yang ada di sistem. 2 Link antara dua node yang

merepresenta-sikan hubungan sebab dari satu node ke node yang lain.

3 Distribusi bersyarat.

Pengimplementasian Bayesian network secara umum terdiri atas tahapan-tahapan berikut ini :

1. Pembangunan hubungan (relationship) Hubungan antara n variabel dapat dibangun dengan bantuan pakar, dari data observasi atau dari gabungan keduanya. Jika diberikan n variabel dan satu set data observasi, maka semua relationship yang mungkin harus ditentukan.

Rodrigues dan Araujo (2004) telah membangun sebuah model Bayesian network yang digunakan untuk CBIR. Model Bayesian network yang dibangun dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Model umum Bayesian network untuk CBIR.

Pada Gambar 3, C merupakan karakteristik citra, sedangkan Ij adalah citra-citra yang ada di basis data. Garis berarah menunjukkan peluang sebuah citra Ij memiliki karakteristik Ci.

Nilai peluang kemiripan antara citra kueri dan citra di basis data dapat dihitung menggunakan formula Bayes berikut ini :

Nilai merupakan nilai pengukuran kemiripan antara dua buah citra. Jika sebuah citra direpresentasikan sebagai sebuah vektor, maka nilai akan sama dengan cosine similarity antara vektor citra kueri dengan vektor citra-citra di basis data. Berikut ini adalah formula cosine similarity :

!

" ! # " ! #

dengan Ii merupakan karakteristik ke-i dari sebuah citra di basis data, sedangkan Qi merupakan karakteristik ke-i dari citra kueri. A

I

Gambar 2 Contoh pembangunan co-occurrence matrix.

4 Semakin dekat nilai cosine similarity ke nilai 1

(satu) maka semakin mirip citra tersebut dengan citra kueri. Kelemahan formula ini adalah hanya dapat mengukur kemiripan dua citra yang memiliki karakteristik homogen, misalnya membandingkan kemiripan dua citra berdasarkan informasi warnanya.

Model umum Bayesian network dapat digunakan untuk mengombinasikan informasi warna, bentuk, dan tekstur. Misalkan informasi warna direpresentasikan dengan CC, bentuk dengan CS, dan tekstur dengan CT. Jika diberikan kueri Q, maka peluang citra I yang memiliki informasi CC, CS, dan CT dapat ditentukan dengan :

$$ $% $&

'' '( ')

$$ $% $& $$ $% $&

'' '( ')

2. Inference menggunakan Bayesian network Tujuan utama melakukan inference (inferensia) pada suatu Bayesian network adalah untuk menghitung nilai peluang posterior dari satu set variabel kueri. Berdasarkan inference yang dilakukan oleh Rodrigues dan Araujo (2004), nilai dapat dihitung dengan :

*+ , $$.... $$-

… $%.... $%- $&.... $& /

-*+ , , $$ $$ …

… , $% $% , $& $& /

yang merupakan persamaan umum model Bayesian network untuk CBIR dengan * adalah sebuah konstanta.

Recall dan Precision

Recall dan precision merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur keefektifan hasil temu kembali. Recall menyatakan proporsi materi relevan yang ditemukembalikan. Sementara itu, precision menyatakan proporsi materi yang ditemukembalikan yang relevan (Baeza-Yates & Ribeiro-Neto 1999).

012344 030

512 67 03

dengan Ra adalah jumlah citra relevan yang ditemukembalikan, R adalah jumlah citra

relevan yang ada di basis data, dan A adalah jumlah seluruh citra yang ditemukembalikan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu ekstraksi ciri, pembangunan model Bayesian network, pengukuran tingkat kemiripan, dan evaluasi hasil temu kembali. Tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Metode penelitian.

Ekstraksi Ciri

Pada penelitian ini, ekstraksi ciri dilakukan berdasarkan warna, bentuk, dan tekstur citra. a Ekstraksi ciri warna

Ekstraksi ciri warna dilakukan dengan menentukan histogram warna menggunakan CCH (conventional color histogram). Pada langkah awal pemrosesan citra, citra RGB diubah menjadi HSV. Hal ini dilakukan karena HSV (hue, saturation, value) merupakan ruang warna yang komponen-komponennya berkontri-busi langsung pada persepsi visual. Hue digunakan untuk membedakan warna misalnya merah, hijau, dan biru serta untuk menentukan tingkat kemerahan, kehijauan, dst dari sebuah cahaya. Saturation merupakan persentase cahaya putih yang ditambahkan ke cahaya murni. Sementara itu, value merupakan

5 intensitas cahaya yang dirasakan (Rodrigues &

Araujo 2004).

Transformasi RGB menjadi HSV diperoleh menggunakan formula di bawah ini :

8 9=> , 9 : ? <: ; <@

9 26 A B = + 5 , : 5 , < /

" 5 , : # 5 , < : , < C ,5 : < + 7 5 : < /D

E D 5 : <

dengan (r, g, b) adalah warna-warna pada ruang warna RGB dan (h, s, v) adalah warna-warna pada ruang warna HSV (Gonzalez 2004).

Setelah citra diubah menjadi HSV, langkah selanjutnya adalah melakukan kuantisasi warna. Kuantisasi warna dilakukan untuk mengurangi waktu komputasi dan menghemat tempat penyimpanan (Rodrigues & Araujo 2004). Selain itu, kuantisasi warna juga dapat mengeliminasi komponen warna yang dapat dianggap sebagai noise. Pada penelitian ini, kuantisasi warna yang digunakan adalah histogram-162 (HSV-162). Pada HSV-162, hue dikuantisasi menjadi 18 bin, saturation dikuantisasi menjadi 3 bin, sedangkan value dikuantisasi menjadi 3 bin, sehingga akan didapatkan kombinasi sebanyak 18 x 3 x 3 = 162. Hue dikuantisasi menjadi 18 bin karena sistem visual manusia lebih sensitif terhadap hue dibandingkan saturation dan value.

Setiap citra akan direpresentasikan dengan sebuah vektor yang memiliki elemen sebanyak 162 buah. Nilai elemen vektor menyatakan jumlah piksel citra yang masuk ke dalam bin yang sesuai. Dengan kata lain, vektor dari citra merepresentasikan histogram warna dari citra tersebut. Setelah histogram citra selesai dihitung, langkah terakhir adalah melakukan normalisasi terhadap vektor masing-masing citra.

b Ekstraksi ciri bentuk

Ekstraksi ciri bentuk dilakukan dengan menentukan edge direction histogram. Langkah awal yang dilakukan untuk menentukan edge direction histogram dari sebuah citra adalah mengubah citra RGB menjadi citra grayscale. Setelah itu, operasi Sobel edge detector dilakukan terhadap citra.

Arah (direction) dapat dihitung mengguna-kan persamaan berikut ini:

9 F37A G

dengan Gx merupakan matriks hasil operasi konvolusi terhadap citra I dalam arah sumbu x, dan Gy adalah matriks hasil operasi konvolusi terhadap citra I dalam arah sumbu y. Jika nilai Gx sama dengan nol, maka nilai arah dapat bernilai 900 atau 00 tergantung kepada nilai Gy. Jika Gy bernilai nol, maka nilai arah sama dengan 00. Sebaliknya, jika nilai Gy tidak sama dengan nol, maka nilai arah sama dengan 900 (Green 2002).

Setelah nilai edge direction diperoleh, langkah selanjutnya adalah menentukan piksel-piksel citra yang merupakan garis (edge). Sebuah piksel akan dianggap sebagai edge jika nilai magnitudonya lebih besar dari nilai threshold yang ditetapkan. Langkah-langkah penentuan nilai threshold dapat dilihat pada Lampiran 1.

Jumlah bin yang digunakan pada penelitian ini adalah 72 bin masing-masing sebesar 50. Jadi, setiap citra akan direpresentasikan dengan sebuah vektor yang memiliki elemen sebanyak 72 buah. Setelah edge dan edge direction ditentukan, langkah selanjutnya adalah menghitung jumlah piksel pada edge yang bersesuaian arahnya dengan 72 buah bin yang didefinisikan. Nilai vektor yang didapatkan dinormalisasi dengan cara membagi nilai vektor dengan jumlah piksel penyusun edge agar vektor bentuk yang didapatkan tidak dipengaruhi oleh perubahan skala citra (scale invariant) (Vailaya 1996).

c Ekstraksi ciri tekstur

Ekstraksi ciri tekstur dilakukan dengan menggunakan co-occurrence matrix. Menurut Osadebey (2006), representasi co-occurrence matrix dapat digunakan untuk menghitung energy, moment, entropy, maximum probability, contrast, dan correlation. Menurut Rodrigues dan Araujo (2004), informasi tekstur dari suatu citra dapat direpresentasikan menggunakan maximum probability, moment, variance, contrast, dan entropy. Sementara itu, menurut Haralick dan Shapiro (1992), informasi tekstur dapat direpresentasikan dengan contrast, correlation, energy, dan homogeneity. Pada penelitian ini, informasi tekstur akan direpresentasikan dengan menggunakan gabungan dari ketiga pendapat di atas yaitu energy, moment, entropy, maximum probability, contrast, correlation, dan homogeneity.

6 Berikut ini adalah definisi matematika dari

tujuh fitur di atas :

1715: H # 7E15 1 6 17F , HH # I 17F56J , H 46: H 3 K J56<3< 4 F 3 H 267F53 F , H# H 2655143F 67 , L H , LM M H 6 6:171 F , HH

dengan H adalah elemen baris ke-i, kolom ke-j dari co-occurrence matrix yang telah dinormalisasi. L adalah nilai rata-rata baris ke-i dan L adalah nilai rata-rata kolom ke-j pada matriks P. M adalah standard deviasi baris ke-i dan M adalah standard deviasi kolom ke-j pada matriks P.

Langkah awal yang dilakukan untuk mendapatkan informasi tekstur dari sebuah citra adalah dengan menentukan co-occurrence matrix. Co-occurrence matrix dihitung dalam empat arah yaitu 00, 450, 900, dan 1350. Jadi, untuk setiap citra akan dihasilkan empat co-occurrence matrix. Setelah itu, nilai energy, moment, entropy, maximum probability, contrast, correlation, dan homogeneity dihitung untuk setiap co-occurrence matrix, sehingga untuk setiap fitur akan diperoleh empat nilai, masing-masing untuk arah 00, 450, 900, dan 1350. Nilai dari setiap fitur diperoleh dengan menghitung rata-rata keempat nilai fitur yang bersangkutan. Hal ini dilakukan agar informasi tekstur yang diperoleh tidak peka terhadap rotasi (rotation-invariant). Informasi tekstur untuk setiap citra akan direpresentasikan dengan sebuah vektor yang memiliki tujuh elemen dan nilai akhir dari informasi tekstur diperoleh dengan melakukan normalisasi terhadap vektor masing-masing citra.

Penelitian ini menggunakan beberapa jumlah level keabuan dalam pembangunan co-occurrence matrix untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah level keabuan yang

digunakan yaitu 8, 16, 32, dan 64. Jumlah level keabuan yang dipilih adalah yang mengoptimalkan precision untuk temu kembali menggunakan informasi tekstur. Berdasarkan Lampiran 2 diperoleh bahwa jumlah level keabuan yang mengoptimalkan hasil temu kembali menggunakan informasi tekstur adalah 16.

Model BayesianNetwork

Penelitian ini menggunakan model Bayesian network yang merupakan hasil penelitian Rodrigues dan Araujo (2004). Model Bayesian network digunakan pada proses pengindeksan citra dan pada proses penemuan kembali citra.

Informasi warna direpresentasikan dengan vektor yang panjangnya 162, bentuk direpresentasikan dengan vektor yang panjangnya 72, dan tekstur direpresentasikan dengan vektor yang panjangnya 7. Setiap bin dari ketiga vektor di atas memiliki peluang kemunculan pada setiap citra di basis data. Hal inilah yang dimodelkan dalam sebuah struktur network sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3. Model tersebut dapat digambar ulang untuk informasi tekstur pada Gambar 5.

Gambar 5 Model umum Bayesian network untuk CBIR menggunakan informasi tekstur.

Pada model network di Gambar 5, node-node pada level pertama adalah fitur-fitur dari informasi tekstur. Jadi, level pertama akan terdiri atas tujuh node. Jika network memodelkan informasi warna, maka level pertama network akan terdiri atas 162 node. Sementara itu, Jika network memodelkan informasi bentuk, maka level pertama network akan terdiri atas 72 node. Node-node pada level kedua network adalah citra-citra yang ada di basis data yaitu sebanyak 1100 citra.

Pada model network yang dibangun, nilai peluang kejadian sebuah citra Ii di basis data yang memiliki karakteristik Cj ( $ ) merupakan nilai elemen vektor citra Ii yang ke-j. Misalnya, nilai peluang kejadian citra I15 di basis data yang memiliki karakteristik moment pada informasi tekstur, merupakan nilai elemen kedua dari vektor tekstur citra I15. Hal ini merupakan penggunaan model Bayesian network pada proses pembangunan indeks citra.

7 Gambar 6 Model umum Bayesian network untuk CBIR menggunakan gabungan informasi warna,

bentuk, dan tekstur.

Pengukuran Tingkat Kemiripan

Model Bayesian network yang dikembangkan, selain digunakan pada proses pembangunan indeks citra, juga digunakan untuk mengukur tingkat kemiripan antara citra kueri dengan citra-citra yang ada di basis data. Jika citra kueri diketahui, maka nilai peluang citra kueri untuk setiap karakteristik $

dapat diketahui. Dengan demikian, peluang terjadinya setiap citra di basis data jika diketahui sebuah citra kueri dapat dihitung. Dengan kata lain, nilai kemiripan antara setiap citra di basis data terhadap citra kueri dapat dihitung. Model network yang digunakan pada proses ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Pada Gambar 6, basis data digambarkan sebanyak tiga kali agar garis berarah antara tiap-tiap karakteristik dengan citra-citra di basis data dapat terlihat dengan jelas.

Nilai kemiripan antara citra kueri dan citra yang ada di basis data dihitung menggunakan persamaan umum model Bayesian network yaitu :

*+ , , $$ $$ …

… , $% $% , $& $& /

$$ $$ , $% $% , dan $& $&

dihitung dengan menggunakan cosine similarity. $$ $$ merupakan nilai kemiripan antara vektor warna citra kueri dengan vektor warna citra di basis data,

$% $% untuk vektor bentuk, dan $& $&

untuk vektor tekstur.

Selain dapat digunakan untuk mengom-binasikan informasi warna, bentuk, dan tekstur, persamaan di atas juga dapat digunakan untuk

mengukur kemiripan berdasarkan salah satu informasi warna, bentuk, atau tekstur. Pengukuran kemiripan berdasarkan informasi warna saja, dapat dilakukan dengan mengabaikan nilai $% $% dan $& $&

dengan mendefinisikan $% $% N dan

$& $& N , sehingga diperoleh persamaan :

*+ , , $$ $$ /

Pengukuran kemiripan berdasarkan informasi bentuk saja atau tekstur saja, dapat dilakukan menggunakan cara yang sama. Dengan demikian, pengukuran kemiripan berdasarkan informasi bentuk saja, dapat dilakukan menggunakan persamaan berikut:

*+ , , $% $% /

Sementara itu, pengukuran kemiripan berdasarkan informasi tekstur saja, dapat dilakukan menggunakan persamaan berikut :

*+ , , $& $& /

Hasil pada tahap ini adalah nilai kemiripan antara setiap citra di basis data dengan citra kueri. Setelah nilai kemiripan diketahui, citra-citra diurutkan berdasarkan nilai kemiripannya.

Evaluasi Hasil Temu Kembali

Pada tahap evaluasi dilakukan penilaian kinerja sistem dengan melakukan pengukuran recall dan precision untuk menentukan tingkat keefektifan proses temu kembali. Setiap citra dijadikan sebagai citra kueri dan citra yang relevan ditentukan secara manual dengan menghitung jumlah citra yang satu kelas dengan citra kueri. Nilai precision untuk setiap kelas dihitung dari rata-rata nilai precision setiap citra yang berada pada kelas tersebut. Pada tahap selanjutnya dibuat tabel perbandingan recall

8 dan precision untuk tiap-tiap kelas dan untuk

sistem secara umum.

Perangkat Lunak dan Perangkat Keras

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Windows XP SP 2 dan Matlab 7.0.1. Perangkat keras yang digunakan adalah sebuah notebook dengan prosesor AMD Turion 64 X2 2.0 GHz, memori 1 GB dan hard disk 120 GB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 1100 citra yang dikelompokkan secara manual menjadi 10 kelas yaitu mobil, singa, matahari terbenam, tekstur, beruang, gajah, tanda panah, pemandangan, reptil, dan pesawat. Data ini berasal dari http://www.fei.edu.br/~psergio/MaterialAulas/G eneralist1200.zip. Citra memiliki format TIF dengan ukuran yang bervariasi. Beberapa contoh citra yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3.

PraprosesCitra

Praproses citra dilakukan untuk menghilangkan garis tepi citra asli. Hal ini bertujuan agar Sobel edge detector tidak menangkap informasi yang salah dalam menentukan edge pada sebuah citra. Tahap ini dilakukan dengan melakukan operasi cropping.

Ekstraksi Ciri

a Ekstraksi ciri warna

Hasil dari ekstraksi ciri warna untuk seluruh citra yang ada di basis data adalah sebuah matriks berukuran 162 × 1100, karena terdapat 1100 buah citra di basis data dan setiap citra direpresentasikan dengan sebuah vektor yang memiliki elemen sebanyak 162 buah.

b Ekstraksi ciri bentuk

Operasi sobel edge detector dilakukan terhadap semua citra di basis data, kemudian edge direction histogram-nya ditentukan. Setiap citra akan direpresentasikan dengan sebuah vektor berukuran 72 elemen. Hasil akhir dari proses ini adalah sebuah matriks berukuran 72 × 1100 karena ada sebanyak 1100 citra di basis data.

c Ekstraksi ciri tekstur

Hasil dari ekstraksi ciri tekstur untuk seluruh citra yang ada di basis data adalah

sebuah matriks berukuran 7 × 1100, karena terdapat 1100 buah citra di basis data dan setiap citra direpresentasikan dengan sebuah vektor yang memiliki elemen sebanyak 7 buah yaitu energy, moment, entropy, maximum probability, contrast, dan correlation.

Hasil Temu Kembali

Hasil temu kembali menggunakan informasi warna dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil temu kembali menggunakan informasi warna.

Hasil temu kembali menggunakan informasi bentuk dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil temu kembali menggunakan informasi bentuk.

Hasil temu kembali menggunakan informasi tekstur dapat dilihat pada Gambar 9.

9 Gambar 9 Hasil temu kembali menggunakan

informasi tekstur.

Sementara itu, hasil temu kembali menggunakan model Bayesian network dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Hasil temu kembali menggunakan model Bayesian network.

Evaluasi Hasil Temu Kembali

Nilai recall dan precision dihitung untuk menentukan tingkat keefektifan proses temu kembali. Untuk mendapatkan nilai precision dari suatu kelas, maka setiap citra yang ada di kelas tersebut dijadikan sebagai citra kueri. Nilai precision untuk kelas tersebut diperoleh dengan merata-ratakan nilai precision dari setiap citra kueri. Hal ini dilakukan untuk mengetahui performa model Bayesian network pada sistem temu kembali yang dibangun.

Pada uraian di bawah ini akan dipaparkan nilai precision untuk beberapa kelas yaitu kelas mobil, singa, matahari terbenam, tekstur, dan gajah. Nilai precision yang disajikan adalah nilai precision untuk temu kembali berdasarkan informasi warna, bentuk, dan tekstur secara

terpisah serta penggabungan ketiga informasi tersebut menggunakan model Bayesian.

Tabel 1 menyajikan perbandingan nilai precision pada kelas mobil. Kelas ini terdiri atas 176 citra. Pada kelas ini, nilai rata-rata precision tertinggi diperoleh menggunakan model Bayesian network. Sementara itu, nilai rata-rata precision menggunakan informasi bentuk lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata precision menggunakan informasi warna dan tekstur. Hal ini disebabkan citra-citra pada kelas

Dokumen terkait