• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anti-Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan

Dalam dokumen PEMOLISIAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA (Halaman 41-73)

pada bagian ketiga kami akan mengulas riwayat singkat konflik Ahmadiyah di Manis Lor sampai 2010. Bagian keempat akan me-ngulas bagaimana polisi menangani konflik tersebut dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. Bab ini akan diakhiri dengan kesim-pulan dan rekomendasi.

Sekilas Demografi Keagamaan Manis Lor

Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dan berba-tasan dengan Jawa Tengah. Perannya sebagai penghubung wilayah Priangan Timur dengan Cirebon dan Jawa Tengah membuat kabu-paten ini sangat strategis. Kabukabu-paten Kuningan bisa diakses lewat Majalengka dan Ciamis dari sebelah Barat dan Selatan atau lewat Cirebon dari sebelah Utara. Di pertengahan jalan raya yang meng-hubungkan Cirebon dan Kuningan inilah terletak Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana.

Jumlah penduduk kabupaten Kuningan berdasarkan Sensus Penduduk 2010 adalah sebanyak 1.037.558 jiwa (BPS Kabupaten Kuningan 2010: 6). Mereka tersebar di 32 kecamatan, 15 kelurahan dan 361 Desa. Sementara itu berdasarkan sensus yang sama, Desa Manis Lor dihuni sebanyak 4.133 jiwa dari total penduduk Keca-matan Jalaksana sebanyak 45.257 jiwa (BPS Kabupaten Kuningan 2010: 7).Sementara itu, jumlah penduduk Kabupaten Kuningan berdasarkan agama yang dianut pada 2010 adalah sebagai berikut: Islam, 1.003.709 orang; Katolik, 7.094 orang; Protestan, 1.711 orang; Buddha, 375 orang; Hindu, 28 orang; dan lainnya, empat orang.1

Tidak ada angka pasti mengenai jumlah penganut Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan. Tetapi berbagai laporan dan narasum-ber menyebutkan bahwa jumlahnya lebih dari 3000 jiwa. Jumlah ini kurang lebih sama dengan perkiraan penganut Ahmadiyah di Manis Lor sendiri. Karena warga Ahmadi merupakan mayoritas di tingkat desa, Kepala Desa Manis Lor hampir selalu dijabat wakil Ahmadi.

Sekilas tidak ada perbedaan mencolok terkait okupasi atau kon-disi sosial ekonomi warga Ahmadi dan non-Ahmadi di Manis Lor. Hanya saja pemukiman warga Ahmadi lebih banyak terkonsentrasi

1 Kementerian Agama Kabupaten Kuningan, dikutip dari Kuningan dalam Angka (KDA) 2011 (2011: 75-76).

di bagian barat desa (sebelah kanan jalan raya jika dari arah Cire-bon). Sementara itu, pemukiman non-Ahmadi (dan anti-Ahmadi) sebagian besar terletak di bagian timur desa dan di sekitar masjid utama desa, Al-Huda.

Dalam urusan keseharian seperti bertani dan berniaga, warga Ahmadi maupun non-Ahmadi di Manis Lor berinteraksi seperti biasa. Tetapi dalam urusan ibadah, warga Ahmadi memiliki tradisi tersendiri yang salah satunya tak memungkinkan mereka bermak-mum salat kepada non-Ahmadi. Hal itu mendorong mereka untuk memiliki tempat ibadat sendiri.2

Jemaat Ahmadiyah Manis Lor mempunyai satu masjid utama dan tujuh musala. Masjid pusat jemaat Ahmadiyah, An-Nur, ter-letak bersebelahan dengan rumah missi yang dihuni mubalig Ah-madiyah dan berdekatan dengan SMP Amal Bhakti yang sebagian besar pengelolanya Ahmadi. Masjid dan musala warga Ahmadi kerap menjadi sasaran perusakan massa dan penyegelan pemerin-tah selama sepuluh pemerin-tahun terakhir.

Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor, Kuningan

Paham Ahmadiyah diperkenalkan ke Manis Lor pada 1954 oleh seorang mubalig Ahmadiyah bernama H. Basyari Hasan. Ajaran Ahmadiyah diterima dengan baik oleh warga setempat. Kepala desa dan sekretaris desa Manis Lor ketika itu, Bening dan Soekrono, bahkan menjadi salah satu yang pertama kali berbaiat mengikuti Ahmadiyah. Sejak itu penganut Ahmadiyah di Manis Lor terus me-ningkat hingga meliputi hampir seluruh penduduk desa. Karena peran strategisnya, pada 20 Februari 1956, jemaat Ahmadiyah Ma-nis Lor diresmikan sebagai pusat cabang Jemaat Ahmadiyah Indo-nesia (JAI) di Kabupaten Kuningan.

Penyebaran paham Ahmadiyah di Manis Lor bukan tanpa ham-batan dan tantangan. Kontras (2012a: 7) menyebutkan bahwa pada 1954, Bening, Ketua Jemaat Ahmadiyah Manis Lor, ditahan polisi selama lima hari atas desakan ulama di Manis Lor yang menuduh-nya merusak Islam dan memecah masyarakat. Kontras juga menye-butkan bahwa pada 1976 pernah terjadi penyerangan fisik terhadap

2 Lihat surat Jemaat Ahmadiyah Cabang Manis Lor Nomor 005/JAI/III/2011 tanggal 15 Maret 2011 perihal imam dan khatib shalat Jumat.

warga Ahmadiyah Manis Lor meski tidak dijelaskan secara rinci. Tetapi di luar itu, untuk waktu yang cukup panjang, tidak dite-mukan catatan ketegangan atau benturan menyangkut Ahmadiyah di Manis Lor. Sebaliknya, warga Ahmadi dan warga non-Ahmadi-yah banyak bekerjasama dalam berbagai kegiatan sosial. Hal itu diakui Mustofa, Wakil Ketua JAI Kuningan (wawancara, 20 Febru-ari 2013). Menurutnya, sebelum 2002, “jemaat Ahmadiyah aman-aman saja. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, warga bersatu bergotong-royong membangun balai desa dan masjid desa.” Ketika itu, pro-kontra publik tentang Ahmadiyah belum seramai sekarang.

Eskalasi Konflik 2002-2007

Ketenangan yang berlangsung cukup panjang di Manis Lor terusik pada 2002.3 Kepala Desa sekaligus tokoh Ahmadiyah Manis Lor, Yusuf Ahmadi (wawancara, 18 Februari 2013) menuturkan bahwa suasana mulai berubah sesudah berlangsungnya seminar Lembaga Penelitian & Pengkajian Islam (LPPI), pada 11 Agustus 2002, di Ja-karta. Seminar yang juga diikuti sejumlah tokoh Muslim Kuningan, termasuk dari Manis Lor, ini antara lain menyatakan kesesatan dan tuntutan pembubaran Ahmadiyah. Sejak itulah mulai bermunculan spanduk-spanduk di jalan utama desa Manis Lor yang mengecam Ahmadiyah.

Sebulan sesudah pertemuan itu, tepatnya pada 14 September 2002, sejumlah tokoh Muslim, difasilitasi MUI Kuningan, ber-temu mendesak pemerintah kabupaten untuk membekukan dan membubarkan jemaat Ahmadiyah Manis Lor. Tuntutan mereka dituang kan ke dalam surat pernyataan atas nama MUI Kuningan dan ditembuskan ke berbagai instansi pemerintahan di tingkat ka-bupaten, provinsi hingga nasional.4

Sementara itu, di tingkat lokal, ketegangan terus berlanjut. Ben-tuknya bervariasi dari pemasangan spanduk berisi hujatan se perti “Ahmadiyah kafir/sesat” hingga puncaknya perusakan musala At-Taqwa dan Al-Hidayah dan sejumlah rumah milik jemaat Ah-madiyah pada 24 Oktober 2002. Pelaku perusakan diketahui masih

3 Beberapa sumber menyebut bahwa ketegangan sudah terjadi pada Ramadan 2001(1422 H) berawal dari perusakan masjid.

berasal dari dalam desa atau tetangga desa Manis Lor. Salah satu kelompok yang gencar menentang keberadaan jemaat Ahmadiyah di sana adalah Remaja Masjid Al-Huda (RUDAL) Desa Manis Lor.5

Karena berbagai tekanan dan kecaman terhadap keberadaan Je-maat Ahmadiyah itu, pemerintah Kabupaten melakukan pendeka-tan kepada pihak Ahmadiyah dan RUDAL. Pada 3 November 2002, menjelang Ramadan 1423 H., pemerintah kabupaten Kuningan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelaran-gan ajaran dan kegiatan Ahmadiyah (Kontras 2012a: 7).SKB ini ditandatangani Bupati Kuningan, H. Arifin Setiamihardja, unsur Mu syawarah Pimpinan Daerah (Muspida), Pimpinan Dewan Per-wakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kuningan, MUI Kun-ingan, serta sejumlah tokoh ormas Islam dan pimpinan pesantren se-Kuningan.6

Keluarnya SKB diikuti oleh sekian insiden penyerangan dan perusakan terhadap warga dan aset Ahmadiyah di Manis Lor se-perti yang terjadi pada 10 November 2002 (5 Ramadan 1423 H) atau seminggu pasca-keluarnya SKB. Penyerangan dan perusakan juga terjadi sepanjang Desember 2002, Januari 2003, hingga akhir Desember 2003. Total tiga musala dan lebih dari 30 rumah warga Ahmadiyah rusak akibat aksi-aksi tersebut. Yusuf Ahmadi menu-turkan (wawancara, 18 Februari 2013) bahwa beberapa dari pelaku perusakan itu sudah dilaporkan, bahkan ditangkap dan diserahkan langsung kepada aparat kepolisian, namun tak pernah ditindak-lanjuti dan kekerasan terus terjadi.

Tekanan terhadap warga Ahmadiyah ditambah oleh diskrimina-si pemerintah lewat Tim Koordinadiskrimina-si Pengawasan Aliran

Kepercaya-5 Musala At-Taqwa dan Al-Hidayah terletak di bagian Timur desa yang sebagian besar penduduknya adalah warga non-Ahmadi (Mustofa, Wakil Ketua JAI Manis Lor, wawancara, 20 Februari 2013).

6 SKB ini dikeluarkan menjelang pemilihan Bupati 2003, di mana Bupati Arifin Setiamihardja hendak mencalonkan diri kembali. Pihak-pihak yang menandatangani SKB ini adalah Bupati Kuningan, Pimpinan DPRD Kuningan, Kepala Kejaksaan Negeri Kuningan, KODIM 0615, Kapolres Kuningan, Sekda Kabupaten Kuningan, Ketua FKPP Kuningan, Ketua MUI kabupaten Kuningan, Ketua Muhammadiyah Kab Kuningan, Ketua NU Kabupaten Kuningan, DPC GUPPI, DPD Nahdatul Anwar, Gerakan Anti Maksiat, PUI, Robithah Ma’ahid Islamiyah, MDI, Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Ihya, Thoroqoh Idaroh Syu’biyah.

an Masyarakat (PAKEM). Dalam laporannya, Tim PAKEM menge-luarkan pernyataan bahwa “Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Manis Lor adalah bukan Islam,” “tidak mau menerima SKB 2002,” dan meminta yang berwenang mengambil keputusan “untuk ber-tindak lebih represif sesuai langkah-langkah yang berlaku.” Yang dimaksud tindakan represif di sini adalah menyidik penganut Ah-madiyah yang dianggap melanggar SKB (ditujukan kepada Polres Kuningan), tidak melaksanakan perkawinan jemaat Ahmadiyah (di tujukan kepada Kantor Departemen Agama Kuningan), dan tidak menerbitkan Kartu Tanda Penduduk kepada penganut Ah-madiyah (ditujukan kepada Camat Jalaksana).7

Selang beberapa bulan, pada Februari 2003, atas keberatan war-ga Ahmadiyah, Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri me-minta bupati di atas meninjau kembali SKB yang dianggap bukan produk hukum karena turut didasarkan pada tanda tangan tokoh ormas dan pimpinan pesantren.8 Meski demikian, tindakan-tinda-kan yang dilakutindakan-tinda-kan pemerintah lewat Tim PAKEM sebelumnya berdasarkan SKB tersebut tak pernah dianulir dan intimidasi terha-dap Ahmadiyah terus berlanjut.

Mengetahui dasar hukumnya lemah, pada 20 Desember 2004, Pemkab Kuningan kembali mengeluarkan SKB serupa yang diang-gap lebih kuat legalitasnya. Seperti SKB sebelumnya, SKB kedua ini juga berisi larangan terhadap ajaran dan kegiatan Ahmadiyah di Kuningan, ditambah perintah pengawasan dan pembinaan kepada instansi terkait. Bedanya, SKB kedua ini hanya ditandatangani oleh unsur pemerintah, yaitu Bupati, H. Aang Hamid Suganda (yang baru saja terpilih sebagai bupati pada 2003), Kepala Kejaksaan Negeri, M. Syaeful, S.H., dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kuningan, Drs. H. MA. Syarifuddin.9

7 Surat TIMPAKEM tertanggal 23 Desember 2002 dengan Nomor B-460/0.2.22/ Dsp.5/12/2002 ditujukan kepada Polres Kuningan, Nomor B-461/0.2.22/ Dsp.5/12/2002 kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kuningan, dan Nomor B-462/0.2.22/Dsp.5/12/2002 kepada Camat Jalaksana.

8 Surat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kesbangpol Depdagri No. 450/104/2003 tanggal 25 Februari 2003 yang ditujukan kepada Bupati Kuningan.

9 Lihat Surat Keputusan Bersama Bupati Kuningan, Kepala Kejaksaan Negeri Kuningan, dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kuningan ini bernomor 451.7/KEP.58-Pem.Um/2004, Nomor KEP-857/0.2.22/

Pasca-keluarnya SKB kedua ini, pemerintah melalui Satpol PP menutup Masjid An-Nur dan tujuh musala Ahmadiyah pada 30 Juli 2005. Gedung pertemuan dan rumah missi milik jemaat Ahmadi-yah juga ditutup. Pihak AhmadiAhmadi-yah sempat mengajukan gugatan terkait SKB ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, gugatan ditolak dengan alasan bukan kewenangan PTUN. Selama beberapa bulan, warga beribadah berkelompok di rumah-rumah penduduk. Setelah suasana berangsur tenang, warga Ahmadiyah membuka sendiri masjid dan musala pada pertengahan 2006 (wa-wancara, 20 Februari 2013).

Tidak ada reaksi langsung dari pihak anti-Ahmadiyah sampai penghujung November 2007 ketika Komponen Muslim Kabupaten Kuningan (KOMPAK) melayangkan surat kepada pengurus JAI Manis Lor. Mereka menuntut pihak Ahmadiyah menanggalkan pengakuan beragama Islam, menghentikan kegiatan, dan mem-bongkar seluruh tempat kegiatannya. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi dalam tempo 15 hari, mereka menyatakan “siap melawan tantangan Ahmadiyah dan siap menghentikan kegiatan Ahmadi-yah sesuai perintah/bunyi SKB dengan gerakan jihad umat Islam beserta komponennya.”10

Selain lewat surat, mereka juga menebar ancaman lewat

span-Dsp.5/12/2004 dan Nomor Kd.10.08/6/ST.03/1471/2004, tertanggal 20 Desember 2004.

10 Surat Komponen Muslim Kuningan Nomor 01/KM.KK/XI/2007 tanggal 19 November 2007 juga ditembuskan kepada pihak Muspida Kuningan dan Muspika Jalaksana. Surat tersebut memuat pernyataan-pernyataan provokatif, di antaranya seperti “Muslim yang tidak mengganyang Ahmadiyah berarti mengalirkan dosa setiap hari”; “Pengikut, Pendukung dan Pembela Ahmadi-yah halal darahnya”; dan “Lebih bahagia jadi Muslim penghuni penjara kelak mati masuk sorga daripada jadi Muslim penghuni di luar penjara/di rumah kelak mati belum tentu masuk sorga.” Surat ini ditandatangani oleh wakil-wakil dari Gerakan Anti Ahmadiyah (GERAH) Desa Manis Lor, Ketua Remaja Masjid Al-Huda (RUDAL) Desa Manis Lor, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muttaqin Desa Manis Lor, Ketua Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Kabupaten Kuningan, Ketua Ikatan Pencak Silat (IPS) Bima Suci Kabupaten Kuningan, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Kabupaten Kuningan, Ketua Laskar Jihad Kabupaten Kuningan, Ketua Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS) Kabupaten Kuningan, Ketua Barisan Rakyat Kuningan (BARAK) Kabupaten Kuningan, Ketua Gerakan Anti Maksiat (GAMAS) Kabupaten Kuningan, serta sejumlah tokoh ulama dan pimpinan pesantren di Kabupaten Kuningan.

duk-spanduk yang dipasang di sekitar jalan Desa Manis Lor. Span-duk RUDAL, misalnya, menyatakan, ”Ahmadiyah jelas aliran sesat dan menyesatkan. Halal darah Ahmadiyah (agama), haram darah Ahmadiyah (negara).” Spanduk lainnya dari KOMPAK berbunyi “Aksi birokrasi mandul, aksi jihad muncul. Hindari anarki, pasti-kan Ahmadiyah habis. Ahmadiyah di dunia sengsara, di Akhirat ke neraka.” Plang besar yang dipasang di jalan masuk ke Desa Manis Lor terpampang SKB dan pernyataan GERAH, “Ahmadiyah mutlak bukan Islam. Ajarannya sesat dan merusak Islam. Orang Islam Mendukung Ahmadiyah = Murtad.” Belakangan Polres Ku-ningan turut memasang spanduk di bawahnya yang bunyinya, “Kita semua adalah saudara, hindari kekerasan dan main hakim sendiri.”

Suasana makin tegang. Jajaran Muspida dan Muspika menemui kedua belah pihak untuk mencari solusi. Tak lama setelah itu, pada 13 Desember 2007, Pemkab Kuningan memerintahkan Satpol PP menutup tiga tempat ibadat dan satu gedung pertemuan milik Ah-madiyah.11 Setelah bernegosiasi dengan pihak Ahmadiyah, dengan tekanan KOMPAK yang sudah mengumpulkan massa, Satpol PP akhirnya menutup masjid An-Nur, dan dua musala, yaitu At-Takwa dan Al-Hidayah.

Tidak puas dengan penutupan itu, pada 18 Desember 2007, berbagai ormas yang tergabung dalam Gabungan Umat Islam Indonesia (GUII) mengerahkan sekitar 700 massa ke Manis Lor. Sasaran mereka adalah Masjid An-Nur. Di sana warga Ahmadiyah, sebagian besar ibu-ibu, sudah duduk memenuhi jalan dan berdoa bersama. Karena tak bisa menerobos barikade polisi dan berkali-kali dihalau gas air mata, sejumlah massa masuk lewat gang-gang kecil dan menyasar musala Ahmadiyah. Selain mengobrak-abrik musala At-Taqwa dan Al-Hidayah, mereka juga merusak delapan rumah warga Ahmadiyah dan melukai tujuh warga Ahmadiyah yang berusaha mempertahankan musala.12

11 Surat perintah Nomor 300/4778/POL.PP./2007 ditandatangani Wakil Bupati Kuningan, Aan Suharso.

12 Rincian kronologi peristiwa Desember 2007 bisa dilihat dalam penuturan Muhammad Kodim, “Selasa yang Nestapa di Manis Lor”. http://isamujahid. wordpress.com/manislor-menangis/ (diakses pada 18 Oktober 2012).

Insiden Desember 2007 ini menandai peningkatan gerakan anti-Ahmadiyah dari segi cakupan dan identitas aktor. Yusuf Ahmadi (wawancara, 18 Februari 2013) menuturkan, sebelumnya aktor pe-nentang berasal dari dalam Kuningan. Sejak 2007, aktor pepe-nentang juga berdatangan dari luar Kuningan, sementara aktor lokal desa Manis Lor semakin melemah. Kelompok penentang yang terlibat pun tidak hanya berlatarbelakang keislaman saja, tapi juga kedae-rahan seperti Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS) sampai ke organisasi olahraga seperti Ikatan Pencak Silat (IPS) Bima Suci.

Tetapi di samping peningkatan gerakan anti-Ahmadiyah, in-siden 2007 juga menandai perubahan sikap polisi terhadap pelaku konflik. Pertama, polisi mengerahkan kekuatannya dan sempat membendung massa, meski gagal mengantisipasi aksi kekerasan massa yang masuk lewat gang di sekitar desa. Kedua, pasca peris-tiwa, polisi menangkap dan memproses pelaku perusakan sampai divonis di pengadilan.

Dalam peristiwa ini, enam terdakwa dijatuhi hukuman 1 bu-lan 25 hari penjara potong masa tahanan, lebih ringan lima hari dari tuntutan jaksa, yaitu dua bulan penjara. Vonis tersebut ham-pir sama dengan masa penahanan para terdakwa sebelum proses penga dilan sehingga mereka bisa segera bebas tak lama setelah putusan pengadilan dijatuhkan.13

Meski tak puas dengan putusan pengadilan tersebut, Yusuf Ahmadi, (wawancara, 18 Februari 2013) mengakui bahwa dalam peristiwa ini “kepolisian berani mengambil langkah yang mungkin berat.” Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya di mana laporan-laporan warga Ahmadiyah yang menjadi sasaran kekerasan tak pernah diproses polisi dengan alasan ketiadaan bukti dan saksi.

Di tengah segala keterbatasannya, tindakan tegas polisi pada insiden 2007 tersebut cukup berhasil meredam konflik. Perusakan dan penganiayaan yang sebelumnya kerap terjadi seketika berhen-ti. Mengomentari hal ini, salah seorang anggota Polres (wawancara,

13 Ketika persidangan berlangsung, ratusan aktivis ormas Islam menggelar aksi solidaritas di depan pengadilan. Lihat http://news.liputan6.com/ read/154907/terdakwa-perusakan-masjid-ahmadiyah-divonis-bersalah (diakses pada 18 Oktober 2012).

19 Februari 2013) menyatakan, “mungkin orang takut juga kalau dipenjara”. Setelah terbit SKB tiga menteri pada 2008, warga Ah-madiyah membuka kembali masjid dan musala yang ditutup sebe-lumnya. Spanduk-spanduk intimidatif termasuk plang SKB Bupati juga diturunkan. Desa Manis Lor mengalami masa tenang sampai muncul ketegangan dan mobilisasi besar-besaran pada 2010.

Insiden Juli 2010: Pengulangan Pola

Seperti insiden sebelumnya, peristiwa 2010 diawali dengan tuntu-tan ormas-ormas Islam supaya tempat ibadat Ahmadiyah di Manis Lor ditutup. Mereka menyuarakan tuntutannya dalam demonstrasi pada 2 Maret 2010 dan pertemuan pada tanggal 1 dan 14 Juni 2010 (Kontras 2012a: 10).Pertemuan 14 Juni 2010 dihadiri Muspida selain MUI, ulama dan tokoh-tokoh ormas. Gelagat adanya pengerahan massa ke Manis Lor sudah terdeteksi oleh Kapolres Kuningan, AKBP Yoyoh Indayah yang kemudian menyampaikannya kepada jemaat Ahmadiyah pada 17 Juni 2010.

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, MUI Ku ningan membuat surat rekomendasi kepada Bupati untuk menutup sa-rana kegiatan Ahmadiyah.14 Ketika Pemda menyampaikan ren-cana penyegelan ini, pihak Ahmadiyah langsung menolak. Meski demikian, Bupati tetap mengeluarkan surat perintah penyegelan pada 25 Juli 2010. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa salah satu dasar perintah penutupan Bupati adalah aspirasi ulama dan tokoh ormas serta rekomendasi MUI. Tak tanggung-tanggung, Bu-pati memerintahkan Satpol PP untuk menyegel delapan tempat kegiatan Ahmadiyah.15

Upaya penyegelan dilakukan pada 26 Juli 2010 terhadap

Mas-14 Surat rekomendasi MUI Kuningan kepada Bupati tertanggal 24 Juni 2010 No 38/MUI-kab/VI/2010 ini turut ditandatangani Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kab. Kuningan, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kab. Kuningan, Gerakan Reformis Islam (GARIS) Kab. Kuningan, Pimpinan Daerah Persatuan Islam (Persis), Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kab. Kuningan, Gerakan Anti Maksiat (GAMAS) Kab. Kuningan, dan Persatuan Ummat Islam (PUI) Kab. Kuningan.

15 Surat Perintah Bupati Kuningan Nomor 451.2/2065/SAT.POL.PP tanggal 25 Juli ditandatangani Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda. Lihat juga Kontras, (2012a: 8).

jid An-Nur. Kepala Satpol PP Kuningan, Indra Purwanto, didam-pingi Kapolres Yoyoh Indayah, mendatangi jemaat Ahmadiyah untuk menyampaikan rencana penyegelan dan kemungkinan ada-nya pengerahan massa anti-Ahmadiyah. Pihak Ahmadiyah me-nolak rencana tersebut dan meminta agar diadakan dialog untuk menghindari bentrokan. Kapolres, Yoyoh Indayah (wawancara, 6 Februari 2013) segera berkoordinasi dengan Bupati dan Muspida. Dialog segera diagendakan pada malam hari itu juga di gedung DPRD Kuningan namun kemudian gagal setelah wakil Ahmadi-yah, Deden Sujana, memberitahu bahwa pihaknya urung hadir.16

Upaya penyegelan kembali dilakukan dua hari kemudian, pada 28 Juli 2010, sekitar pukul 06.30 WIB. Didampingi Polres Kuningan, Satpol PP menyegel satu masjid dan empat musala Ahmadiyah tan-pa menunggu persetujuan pihak Ahmadiyah. Tidak terima, warga Ahmadiyah membuka palang dan segel yang telah dipasang dan melempari petugas Satpol PP dengan batu. Upaya penyegelan akhir nya dihentikan (Kontras 2012a: 8; lihat juga Setara 2010: 7).

Hal ini memicu reaksi ormas-ormas yang memang sudah ber-niat mengerahkan massa ke Desa Manis Lor. Setelah penyegelan gagal dilakukan, Kapolres Yoyoh Indayah (wawancara, 6 Februari 2013) menerima surat pemberitahuan kegiatan istigasah di Masjid Al-Huda, Manis Lor, pada 29 Juli 2010. Rencana istigasah ini juga sudah ramai diberitakan di media massa setempat. Salah seorang anggota intel Polres (wawancara, 19 Februari 2013) menuturkan bahwa ketika itu sempat beredar provokasi dan seruan mobilisasi melalui SMS (short message service) dan telpon kepada para ulama dan warga Kuningan.

Kapolsek Jalaksana, Kompol Rudi Rahmat (wawancara 21 Feb-ruari 2013) memperkirakan jumlah massa yang hadir pada istigasah 29 Juli 2010 adalah sekitar 1000 sampai 1.500 orang. Selain dari dalam Kuningan, massa berasal dari Wilayah III Jawa Barat dan Priangan. Sementara itu Kapolres, Yoyoh Indayah (wawancara 6 Februari 2013) menyebutkan massa berasal dari Cirebon, Tasik-malaya, Garut, dan Cianjur. Ormas-ormas yang terlibat antara lain Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Cirebon, GAMAS (Gerakan

16 Surat pemberitahuan ketidakhadiran dilayangkan secara tertulis dalam surat. Lihat Kontras 2012a: 8-10 & 33 atau Setara 2010: 7.

Anti Maksiat), GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan Alirat Sesat), Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islam (HASMI), Front Pem-bela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Forum Silaturahmi Kota Wali (Foskawal) Cirebon, Gerakan Reformis Islam (GARIS) dan Pasukan Siluman (Silaturahmi Antar Umat Manusia) (lihat Hasani & Naipospos 2010; Setara Institute 2010: 130; dan Kontras 2012a: 9).

Dalam istigasah tersebut, tokoh ormas, kiyai, pesantren ber-giliran menyampaikan orasi. Beberapa di antaranya berisi pro-vokasi kepada massa untuk melakukan penyerangan terhadap Ah madiyah. Bupati, Aang Hamid Suganda dan Kapolres, Yoyoh Indayah, sempat hadir memberikan imbauan untuk tidak melaku-kan tindamelaku-kan kekerasan.17

Tak puas dengan pernyataan Bupati, sekitar pukul 11.00 WIB massa mulai bergerak ke arah Masjid An-Nur. Sementara itu, warga Ahmadiyah sudah bersiap mempertahankan masjid dari serbuan massa. Mereka menyiapkan batu dan memasang ban bekas di te-ngah jalan. Pasukan Brimob Polda Jabar dan Kepolisian Kuningan bersiaga di antara kedua pihak massa yang berhadap-hadapan. Untuk menghindari terulangnya peristiwa 2007, Polisi berjaga di setiap gang menuju musala-musala Ahmadiyah di desa Manis Lor (Kompol Rudi Rahmat, Kapolsek Jalaksana, wawancara 21 Februari 2013). Kapolres Yoyoh Indayah memimpin langsung anggotanya di

Dalam dokumen PEMOLISIAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA (Halaman 41-73)

Dokumen terkait