• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anti Kekerasan

Dalam dokumen Modul penguatan wawasan kebangsaan (Halaman 99-104)

D. Lembar Kegiatan __________________________________________________________ 70

2. Anti Kekerasan

a. Konsep Kekerasan dan Bentuk-Bentuk Kekerasan

Soerjono Soekanto (2002: 98), mengartikan kekerasan (violence) sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Kekerasan juga bisa berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak (Narwoko dan Suyanto, 2000: 70).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa tindak kekerasan merupakan perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang atau kelompok lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak pada kerusakan hingga trauma psikologis bagi korban.

Kekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi tiga, yaitu (Windhu, 1992):

1) Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung biasanya berupa kekerasan fisik, disebut juga sebagai sebuah peristiwa (event) dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya: pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan.

2) Kekerasan Struktural (kekerasan yang melembaga). Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan kekerasan dalam bingkai kekuasaan, yang berkaitan dengan hal kebijakan, pengurusan administrasi, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan.

3) Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya: kebencian, ketakutan, rasisme, ketidaktoleranan, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Beberapa ahli menyebut tipe kekerasan seperti ini sebagai kekerasan psikologis. Termasuk bentuk kekerasan psikis adalah kekerasan simbolik. Pierre Bourdieu mendefinisikan kekerasan simbolik sebagai mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang

dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia (Martono, 2009). Contoh, julukan “kafir” untuk menyebut agama yang berbeda dengan kelompok yang dianutnya, sebutan ”hitam” bagi kelompok kulit hitam, sebutan ”bodoh” bagi siswa, atau tayangan televisi tentang gaya hidup hedonis yang ditonton oleh kaum miskin, dan seterusnya.

Ada beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya kekerasan, sebagai berikut :

1) Faktor Individual

Faktor internal, atau faktor psikis yang ada dalam diri pelaku. 2) Faktor Kelompok

Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab kekerasan.

3) Faktor Dinamika Kelompok

Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat, tidak mampu ditangkap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya. Dalam konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :

a) Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.

b) Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan. c) Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu

sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.

d) Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap

e) Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan.

b. Kekerasan di Ruang Publik

Ruang publik adalah tempat di mana suatu masyarakat atau komunitas dapat berkumpul untuk meraih tujuan yang sama, berbagi masalah baik masalah pribadi maupun kelompok. Ruang publik dapat berupa ruang dalam dunia nyata (real space) ataupun dunia maya (virtual space).

Ruang publik memiliki peran yang cukup penting dalam proses berdemokrasi. Habermas, menyatakan bahwa ruang publik merupakan ruang demokratis atau ruang warga negara dapat menyatakan opini-opini dan menyalurkan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka (Hardiman, 2010: 185). Habermas membagi-bagi ruang publik menjadi tiga: 1) pluralitas, meliputi: keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dan semacamnya), 2) publisitas, meliputi: media massa, institusi-institusi kultural, dan sejenisnya; 3) keprivatan, meliputi wilayah perkembangan individu dan moral), 4) legalitas, meliputi: struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar. Jadi, ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah masyarakat.

Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, kekerasan di ruang publik sering kali ditemui di masyarakat melalui berbagai pemberitaan media massa. Dalam modul ini akan dibahas beberapa masalah kekerasan di ruang publik, yaitu intimidasi (bullying), persekusi, ujaran kebencian (hate speech), dan berita bohong (hoax).

1) Bullying

Bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender, atau seksualitas, atau kemampuan. Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Budaya penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antar manusia, dari mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, dan

National Center Against Bullying (2018) menyebut ada 4 jenis bullying:

a) Bullying Fisik

Bullying fisik adalah intimidasi yang langsung berkontak pada fisik seseorang, bisa berupa tindakan menekan, menendang, menjepit, mendorong, mengambil, meludah atau menghancurkan barang seseorang dan gerakan kasar lainnya yang disebabkan anggota tubuh. Dampaknya dapat menimbulkan trauma baik jangka pendek maupun jangka panjang.

b) Bullying Verbal

Bullying verbal yaitu intimidasi seseorang melalui ucapan atau tulisan suatu hal yang bermakna tertentu yang menyakiti orang tersebut. Contoh: menggoda, mengomentari hal yang tidak pantas, memberikan panggilan nama, mengacam dan mengejek seseorang. Jenis bullying ini kerap sekali tak disadari karena tidak memiliki bukti fisik.

c) Bullying Sosial

Bullying sosial merupakan intimidasi terhadap kehidupan bersosial seperti dengan sengaja meninggalkan seseorang, menyebarkan rumor buruk tentang seseorang, dan mempermalukan seseorang di depan umum. Bullying sosial termasuk ke dalam kategori bullying terselubung. Hal tersebut karena bullying ini biasanya dilakukan di belakang korban yang diintimidasi. Tujuannya untuk melukai reputasi sosial sesorang atau membuat orang lain merasa dipermalukan.

d) Cyber Bullying

Cyber bullying atau intimidasi siber merupakan segala hal yang berbentuk gangguan yang tujuannya untuk merendahkan martabat atau melecehkan seseorang dengan memanfaatkan teknologi, misalnya mengirim pesan atau membuat komentar yang menyakitkan atau mengancam seseorang, mengungkapkan informasi pribadi yang sifatnya rahasia.

pandangan politik. Penyebab terjadinya persekusi adalah sebagai berikut:

a) ketidakpercayaan dan saling mencurigai antara masyarakat kurang mampu terhadap kaum elit.

b) kesenjangan sosial karena belum ada nilai tambah ekonomi kepada masyarakat kurang mampu.

c) globalisasi dan kehidupan maya di masyarakat sehingga mereka merasa bebas mengeluarkan pendapatnya.

d) anggapan masyarakat saat ini bahkan sebelumnya bahwa penegakan hukum dilakukan secara tidak adil.

e) anggapan masyarakat bahwa proses hukum penuh dengan intervensi dari pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.

Kasus persekusi umumnya berupa tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga, yang didasarkan atas upaya segelintir pihak untuk memburu dan menangkap seseorang yang diduga telah melakukan penghinaan terhadap ulama dan agama. Pola persekusi ini setidaknya memiliki beberapa tahapan yakni: 1) menelusuri identitas orang-orang yang menghina ulama/agama; 2) menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto, alamat kantor atau rumah; 3) melakukan aksi geruduk ke kantor atau rumahnya oleh massa.

3) Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian (hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, penyandang disabilitas, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Menurut Soesilo (1995) penghinaan terhadap individu ada 6 macam yaitu:

a) Menista secara lisan (smaad)

b) Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift) c) Memfitnah (laster)

d) Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)

e) Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht) f) Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)

Di Indonesia, konsep ujaran kebencian digunakan dalam UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

4) Hoaks

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’. Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Menurut Silverman, hoaks adalah sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun 'dijual sebagai kebenaran dan memiliki agenda politik tertentu (Astuti, 2017).

Hoaks bukan sekedar menyesatkan. Informasi dalam hoaks tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta. Berikut beberapa jenis hoaks:

a) Hoax proper. Hoaks yang bermaksud untuk menipu orang dan mengambil keuntungan dari berita ini. Termasuk dalam kategori ini adalah hoax tentang pesan berantai, hadiah gratis, urban legend, dan kisah-kisah yang menyedihkan.

b) Clickbait. Hoaks yang menampilkan judul heboh dan cenderung provokatif, tetapi berbeda dengan isi berita. Kebiasaan buruk banyak warganet adalah hanya membaca headline berita tanpa membaca isinya.

c) Berita Basi; Berita benar dalam konteks menyesatkan. Kadang-kadang berita benar yang sudah lama diterbitkan bisa beredar lagi di sosial media. Ini membuat kesan bahwa berita itu baru terjadi dan bisa menyesatkan orang yang tidak mengecek kembali tanggalnya d) Hoax Pencemaran Nama Baik. Sifat hoaks ini sangat berbahaya.

Karena dari berita palsu bisa dengan mudah tersebar di dunia maya dan mampu menghancurkan hidup seseorang dalam sekejap.

Dalam dokumen Modul penguatan wawasan kebangsaan (Halaman 99-104)

Dokumen terkait