• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

F. Antidotum Sianida

Menurut (Meredith, 1993) Antidotum sianida diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi utamanya, yaitu : pembentukan methemoglobin, detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik dan kombinasi langsung.

1. Pembentukan methemoglobin

Methemo globin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat memproduksi methemoglobin secara lebih cepat (Meredith, 1993).

Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat dibalikkan dengan metilen biru, terapi yang digunakan pada methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida mengakibatkan keracunan sianida. Sianida bergabung dengan methemoglobin membentuk sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin berwarna merah cerah, berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat (Meredith, 1993).

Gambar 1. Penggantian sianida dari sitrokrom a3 oksidase oleh methemoglobin

a. Peralatan antidotum sianida. Sekarang ini, Amerika Serikat mendukung penggunaan kombinasi nitrit dan tiosulfat untuk pengobatan pada keracunan sianida. Natrium nitrit (10ml pada larutan 3 %) digunakan secara intravena dan dilanjutkan dengan pemberian natrium tiosulfat (50ml pada larutan 25 %) secara intravena. Natrium nitrit seharusnya diberikan 2,5-5 ml permenit hingga 2-3 menit. Natrium tiosulfat harus diberikan secara cepat setelah natrium nitrit denga n dosis 12,5mg pada larutan 25 % hingga 10 menit (Meredith, 1993).

b. Amil nitrit. Hanya dapat memproduksi kira-kira 5 % methemoglobin dan tidak cukup untuk digunakan sebagai terapi tunggal. Dosis amil nitrit yang dapat meningkatkan produksi methemoglobin sering berhubungan dengan terjadinya hipotensi. Sebenarnya, amil nitrit telah dihapus di Amerika Serikat karena pembentukan methemoglobin yang tidak dapat diprediksi dan berhubungan dengan vasodilatasi yang dapat menyebabkan hipotensi. amil nitrat juga dapat menyebabkan vasodilatasi yang dapat membalikkan efek awal sianida yang dapat menyebabkan vasokonstriksi (Meredith, 1993).

c. Natrium nitrit. Merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan sianida. Dosis awal standart adalah 3 % larutan natrium nitrit 10ml, memerlukan waktu kira-kira 12menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Dosis awal untuk natrium tiosulfat adalah 50ml. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat menyebabkan hipoksia atau hipotensi. Untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikontrol. Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena dapat menyebabkan reaksi hemolisis yang serius (Meredith, 1993).

d. 4-DMAP. Merupakan senyawa pembentuk methemoglobin dengan efek yang cepat saat melawan sianida. 4-DMAP merupakan antidot yang lebih cepat dari pada nitrat dan toksisitasnya lebih rendah. Pada manusia, injeksi intravena dengan dosis 3 mg/kg dapat memproduksi 15 % methemoglobin dalam waktu 1 menit (Meredith, 1993).

Gambar 2. 4-DMAP (4-dimethylaminophenol)

4-DMAP harus digunakan dengan tiosulfat untuk mengubah ikatan sianida dengan methemoglobin menjadi tiosianat. 4-DMAP dapat menyebabkan nekrosis pada area yang diinjeksi setelah pemberian secara IM dan dapat menyebabkan nyeri, demam, dan meningkatkan enzim-enzim otot. Terapi menggunakan 4-DMAP dapat menyebabkan hemolisis meskipun pada dosis terapi, tetapi lebih sering terjadi pada pengobatan yang overdosis. Pengobatan dengan 4-DMAP dikontraindikasikan pada pasien yang kekurangan G6DP (Meredith, 1993).

Senyawa lain yang juga merupakan pembentuk methemoglobin adalah p- aminoheptanoilfenon (PAHP), p-aminopropiofenon (PAPP), dan p- aminooktanoilfenon (PAOP). PAHP merupakan fenon yang paling aman. Senyawa-senyawa tersebut mengurangi jumlah sianida dalam sel darah merah. Efek PAPP secara khusus dapat meningkat dengan adanya tiosulfat (Meredith, 1993).

Gambar 3. Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodanase dan tiosulfat

Setelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan natrium tiosulfat. Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal (Meredith, 1993).

3. Kombinasi langsung

Ada 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt dan kombinasi dengan hidrokobalamin (Meredith, 1993).

a. Hidroksikobalamin (vitamin B12a). Merupakan prekursor dari

sianokobalamin (vitamin B12). Penggunaan hidroksikobalamin sebagai

pencegahan pada pemberian natrium nitroprusid jangka panjang sama efektifnya untuk pengobatan pada keracunan sianida akut selama lebih dari 40 tahun. Senyawa ini bereaksi langsung dengan sianida dan tidak bereaksi dengan

hemoglobin untuk membentuk methemoglobin (Meredith, 1993).

Hidroksikobalamin bekerja baik pada celah intravaskular maupun di dalam sel untuk menyerang sianida. Hal ini berlawanan dengan methemoglobin yang hanya bekerja sebagai antidot pada celah vaskular. Pemberian natrium tiosulfat meningkatkan kemampuan hidroksikobalamin untuk mendetoksifikasi keracunan sianida (Meredith, 1993).

Sianokobalamin adalah kombinasi hidrosikobalamin dan sianida. Dosis minimal sebesar 2,5 gram pada dewasa diperlukan untuk menetralkan dosis letal sianida. Hidroksikobalamin tidak menimbulkan komplikasi yang serius. Beberapa pasien dapat mengalami urtikaria, tapi sangat jarang. Hidroksikobalamin tidak menurunkan tekanan darah atau menurunkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Takikardi dan hipertensi dapat terjadi pada dosis terapi yang tinggi. Munculnya warna merah muda pada membran mukosa, kulit, dan urin terjadi pada kebanyakan pasien segera setelah pemberian hidroksokobalamin. Warna ini akan hilang setelah 24-48 jam setelah obat diekskresikan melalui urin (Meredith, 1993).

Gambar 4. (dimethyl-5,6-benzimadazolyl) hydroxocobamide

b. Dikobalt-EDTA. Bentuk garam dari kobalt bersifat efektif untuk mengikat sianida. Kobalt-EDTA lebih efektif sebagai antidot sianida dibandingkan dengan kombinasi nitrat-tiosulfat. Senyawa ini mengkelat sianida menjadi kobaltisianida. Efek samping dari dikobalt-EDTA adalah reaksi anafilaksis, yang dapat muncul sebagai urtikaria, angiodema pada wajah, leher, dan saluran nafas, dispnea, dan hipotensi. Dikobalt-EDTA juga dapat menyebabkan hipertensi dan dapat menyebabkan disritmia jika tidak ada sianida saat pemberian dikobalt-EDTA. Pemberian obat ini dapat menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993).

Gambar 5. Dicobalt-EDTA

Dokumen terkait