• Tidak ada hasil yang ditemukan

Senyawa antioksidan secara umum didefinisikan oleh Schuler (1990) sebagai suatu senyawa kimia yang dapat menunda, memperlambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi. Proses oksidasi tersebut biasanya terjadi dalam produk terutama yang berlemak dengan kandungan asam lemak tidak jenuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan produk atau ketengikan.

Mekanisme oksidasi asam lemak tidak jenuh menurut Hamilton (1983) dan Gordon (1990) terdiri dari 3 tahap, yaitu : a) inisiasi, b) propagasi dan c) terminasi. Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas (R) akibat reaksi antara asam lemak (RH) dengan beberapa katalisator, misalnya oksigen, panas, ion logam, dan cahaya. Tahap propagasi terjadi akibat reaksi antara radikal bebas (R) yang terbentuk pada tahap inisiasi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksida (ROO). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengikat ion hidrogen dari molekul lemak yang lain membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal lemak lain (R1), selanjutnya tahap terakhir adalah tahap terminasi ditandai dengan terbentuknya produk-produk non radikal seperti aldehida, keton, alkohol dan asam-asam dengan karakteristik dan cita rasa tengik (Winarno 1984).

Ranney (1979) mengklasifikasikan antioksidan atas tiga golongan berdasarkan prinsip kerjanya dalam mencegah terjadinya proses oksidasi. Pertama adalah antioksidan yang mempunyai gugus fenol dan amina aromatik

seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), metilen bisfenol dan difenilamin. Antioksidan-antioksidan tersebut bekerja dengan cara berinteraksi dengan radikal bebas yang terdapat di dalam sistem dan membentuk produk subtrat non radikal dan suatu radikal antioksidan. Jika radikal antioksidan yang dihasilkan cukup stabil mencegah reaksi berikutnya, maka radikal antioksidan tersebut tidak akan berperan sebagai inisiator dari berikutnya. Kedua produk yang dihasilkan pada kenyataannya mungkin bereaksi dengan radikal bebas kedua dalam sistem

Mekanisme reaksi oksidasi lemak dapat dilihat sebagai berikut : Tahap inisiasi : ROOH ROO + H

ROOH RO + OH

2ROOH RO + OH Tahap propagasi : R + O2 ROO

ROO + R1 H R1 + ROOH Tahap terminasi : ROO + R1 OO ROOH1 + O2

R + RO ROR1

Gambar 4 Mekanisme reaksi oksidasi lemak (Gordon 1990).

Kedua adalah antioksidan yang berfungsi dengan cara menghilangkan molekul-molekul hidroperoksida dari sistem, tetapi tanpa melibatkan radikal bebas. Contoh antioksidan ini adalah dilauril tiodipropionat (DLTP). Molekul ini mengandung atom sulfur teroksidasi yang mampu bereaksi dengan molekul hidroperoksida berikutnya. Ketiga adalah antioksidan yang dapat menginaktivasi logam yang bisa mempercepat terjadinya oksidasi. Penggolongan ketiga ini sama dengan antioksidan sekunder menurut Winarno (1984) dan Gordon (1990).

Jenis penggolongan antioksidan yang lain berdasarkan sumber diperolehnya senyawa tersebut. Penggolongan ini terdiri atas dua yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Beberapa antioksidan sintetik yang sering digunakan dalam industri pangan antara lain butylated hydroxytoluene (BHT), butylated hydroxyanisole (BHA), Propil galat, tertiarybutyl hydroquinon (TBHQ) dan tokoferol (Buck 1991). Antioksidan sintetik sangat efektif dalam menghambat reaksi oksidasi lemak akan, tetapi penggunaan antioksidan sintetik banyak menimbulkan kekuatiran akan efek sampingnya karena telah banyak

penelitian tentang efek patologis yang ditimbulkannya. Antioksidan alami diperoleh dari hasil ekstrak bahan alami. Antioksidan alami dalam bahan pangan diperoleh dari: a) antioksidan berupa senyawa endogen yang terdiri dari satu atau lebih senyawa yang terdapat dalam bahan pangan, b) antioksidan yang terbentuk akibat reaksi selama pengolahan, c) antioksidan yang merupakan senyawa eksogen yaitu dengan penambahan antioksidan yang diisolasi dari sumber alami (Pratt 1992). Adapun antioksidan yang terdapat di dalam bahan alami meliputi golongan senyawa turunan fenolat, turunan senyawa hidroksinat, kumarin, tokoferol (Sidik 1997). Penggunaan bahan antioksidan baik alami maupun sintetik dalam bahan pangan, harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu: a) tidak beracun dan tidak mempunyai efek fisiologis, b) tidak menimbulkan flavor yang tidak enak, rasa dan warna pada lemak atau bahan pangan, c) larut sempurna dalam lemak dan minyak, d) efektif dalam jumlah yang relatif kecil menurut rekomendasi Food and Drug Administration dosis yang diizinkan dalam bahan pangan adalah 0,01-0,1% dan e) tidak mahal serta selalu tersedia (Coppen 1983; Ketaren 1986).

Ada beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan salah satunya adalah metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Senyawa DPPH dalam metode ini digunakan sebagai model radikal bebas, yang memiliki rumus molekul C18H12N5O6 dan Mr=394,33 (Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006). Jika senyawa ini masuk dalam tubuh manusia dan tidak terkendalikan dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel. Pada uji ini metanol digunakan sebagai pelarut, dan inkubasi pada suhu kamar dimaksudkan untuk mengoptimumkan aktivitas DPPH. Radial bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut seperti metanol atau etanol (Molyneux 2004; Suratmo 2009). Ketika sebuah antioksidan mampu mendonorkan hidrogen yang beraksi dengan radikal DPPH, reaksi ini akan memberikan peningkatan kompleks non radikal dan menurunkan radikal DPPH yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning. Penurunan pada absorbsi dapat diukur secara spektrofotometrikal dan dibandingkan dengan sebuah kontrol etanol atau metanol untuk mengkakulasikan aktivitas scavenging radikal DPPH (Vattem dan Shetty 2006).

Ketika DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH, jika semua elektron pada radikal bebas DPPH berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Reaksi pengujian aktivitas antioksidan dengan DPPH disajikan pada Gambar 5.

DPPH* + AH DPPH-H + A* Free radical antioksidan neutral new radical Puplish color Yellowish color

Gambar 5 Reaksi pengujian aktivitas antioksidan dengan DPPH (Munifah 2007). Parameter yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah EC50 (efficient concentration) atau biasa disebut IC50 (inhibition concentration). Inhibition concentration (IC50) dapat didefinisikan sebagai kosentrasi larutan sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/mL, kuat apabila nilai IC50

antara 0,05-0,10 mg/mL, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/mL, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/mL (Blois 1958 diacu dalam Molyneux 2004).

Dokumen terkait