• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 15 menyajikan sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’) yang diurut berdasarkan nilai FI tertinggi. Nilai FORAM Index (FI) berkisar antara 3,36-8,22. Nilai FI terendah terletak di Sta. OS, sedangkan tertinggi di Sta. PT. Berdasarkan usulan Hallock et al. (2003), Sta. OS (FI = 3,36) mengindikasikan lingkungan yang terbatas untuk pertumbuhan karang dan tidak cocok untuk pemulihan kembali pada karang yang telah rusak bila terjadi gangguan pada wilayah tersebut. Nilai FORAM Index di Sta. OS tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Dewi et al. (2010) di Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, dan Pulau Belanda serta Natsir (2010) di Pulau Nirwana, dimana sampel foraminifera bentik yang diperoleh dari pulau-pulau di Kepulauan Seribu tersebut berasal dari luar ekosistem terumbu karang. Secara spesifik, baik Pulau Bidadari maupun Pulau Nirwana berdekatan dengan Pulau Onrust. Kedua pulau tersebut berada di sebelah timur Pulau Onrust. Pada ekosistem laut yang tidak berasosiasi dengan terumbu karang tersebut umumnya didominasi oleh kelompok oportunis seperti Elphidium dan Ammonia, serta kelompok heterotrofik seperti Quenqueloculina, Rosalina, dan Spiroloculina.

Sta. PB (FI = 4,68) merupakan stasiun yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang, namun bila terjadi variasi nilai FI pada stasiun ini

mengindikasikan terjadinya tahapan awal penurunan lingkungan perairan. Seluruh stasiun di Pulau Karang Bongkok dan tiga stasiun di Pulau Pramuka menunjukkan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang atau merupakan tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu jika pernah rusak (FI>5). Natsir (2010) dalam kajiannya di Pulau Kotok Besar yang berada di sebelah barat laut Pulau Pramuka menunjukkan nilai FI yang besar (7,57-7,63) didominasi oleh kelompok fungsional simbion alga yaitu genus Amphistegina (23,19-24,72%), Calcarina (15,78-17,32%), dan Tynoporus (13,58-15,95%). Murray (1991b) mengemukakan bahwa Tynoporus merupakan nama lain dari Calcarina.

Gambar 15 Sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’).

Anomali nilai FI terjadi pada Sta. OU dan Sta. OB. Seharusnya nilai FI pada kedua stasiun tersebut menunjukkan nilai yang rendah seperti yang terjadi pada Sta. OS, namun nilai FI pada kedua stasiun tersebut cukup tinggi (Sta. OU = 6,80 dan Sta. OB = 7,01).

Meskipun secara umum nilai FI lebih rendah di Pulau Onrust dibandingkan kedua pulau lainnya, namun kecenderungan nilai FI tidak seluruhnya sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hallock et al. (2003), baik antar pulau maupun antar stasiun. Sta. OU dan Sta. OB yang tidak memiliki tutupan karang hidup seperti Sta. OS bahkan memiliki nilai FI yang tinggi, sedangkan persentase penutupan karang keras tertinggi pada Sta. KB (24,68%) memiliki nilai FI yang lebih rendah (5,96) dibandingkan Sta. OB dan Sta. OU. Natsir dan Subkhan

(2011) memperoleh nilai FI yang tinggi (7,02-7,51) di Pulau Bidadari yang berada di sebelah timur Pulau Onrust. Genus yang mendominasi di perairan Pulau Bidadari tersebut secara berturut-turut dari jumlah spesimen yang paling tinggi adalah Amphistegina (53), Ammonia (18), Calcarina (17), Tynoporus (17), Quinqueloculina (16), dan Elphidium (14). Tingginya nilai FI tersebut tidak sesuai dengan kondisi penutupan karang keras yang sangat rendah. Pada tahun 2007, penutupan karang keras di Pulau Bidadari sebesar 0,4%, tidak jauh berbeda dengan kondisi di Pulau Onrust (0%) (Fadila dan Idris, 2009). Hasil penelitian Dewi et al. (2010) lebih dapat menunjukkan kondisi perairan Pulau Bidadari karena nilai FI yang diperoleh cukup rendah (2,99) dimana genus yang melimpah berturut-turut dengan kelimpahan relatif tertinggi adalah Quinqueloculina (30,82%), Elphidium (23,28%), Amphistegina (17,27%), dan Ammonia (9,62).

FORAM Index selama ini telah diaplikasikan pada data foraminifera bentik yang dikaitkan secara langsung dengan persentase penutupan terumbu karang di Puerto Rico (Karibia), Florida Keys (Atlantik barat), Hawaii (Pasifik), Great Barrier Reef-Australia (Pasifik) (Hallock et al., 2003), Corumbau dan Abrolhos di Timur Brazil (Atlantik barat daya) (Barbosa et al., 2009), Teluk Moreton, Queensland bagian tenggara Australia (Narayan dan Pandolfi, 2010), dan Laut Aegean (Yunani-Timur laut Mediterania) (Koukousioura et al., 2011). Umumnya nilai FI menunjukkan kesesuaian dengan kondisi ekosistem terumbu karang. Hasil penelitian di ketiga pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan pola yang berlawanan pada beberapa stasiun, khususnya Sta. OU dan Sta. OB.

Tingginya nilai FI di Sta. OB dan Sta. OU diduga karena empat hal yang mungkin benar-benar terpisah atau saling mendukung. Skenario pertama karena melimpahnya tipe simbion alga yaitu C. spengleri dan N. calcar. Kedua spesies ini diduga merupakan tipe simbion alga yang dapat hidup di area oligotrofik sekaligus tipe oportunis yang dapat memanfaatkan hara baik dari alga endosimbion dan dari luar dirinya, oleh karena itu dapat hidup pada daerah eutrofik (Troelstra et al., 1996). Hasil penelitian ini menunjukkan kelimpahan C. spengleri dan N. calcar yang sangat tinggi pada Sta. OU dan Sta. OB dibandingkan dengan kelompok Calcarinid lain (Gambar 16). Lebih jauh lagi secara sekilas ukuran cangkang kedua jenis ini di Sta. OU dan Sta. OB lebih besar

dibandingkan kelompok dan bahkan jenis yang sama di stasiun lainnya. Ukuran cangkang yang lebih besar ini diduga akibat kemampuan organisme ini bertahan pada kondisi yang tertekan secara ekologis sehingga mengurangi persaingan antar individu dan sekaligus memanfaatkan sumberdaya makanan yang berlimpah.

Gambar 16 Sebaran spesies pada Famili Calcarinidae pada setiap stasiun.

Skenario kedua berkaitan dengan kondisi fisik kedua spesies tersebut. Pada dasarnya kedua jenis organisme itu merupakan organisme yang hidup pada perairan oligotrofik, namun dapat tinggal di wilayah eutrofik sementara foraminifera besar lain sudah tidak mampu lagi untuk beradaptasi dengan kondisi perairan yang makin buruk. Keadaan duri (spine) Calcarinid yang semuanya dalam kondisi patah, cangkang yang rusak, dan warna cangkang yang coklat merupakan salah satu bukti bahwa kondisi lingkungan perairan saat ini di Sta. OU dan Sta. OB tidak sebaik masa lalu. Skenario ini disebut juga dengan istilah relict scenario (Barbosa et al., 2009). Amphistegina merupakan foraminifera besar yang ditemukan dengan kelimpahan yang sangat rendah dalam kondisi cangkang yang rusak dan ukuran cangkang yang lebih kecil pada kedua stasiun eutrofik ini. Uraian sebelumnya mengenai kondisi perairan Onrust yang kaya akan terumbu karang membuktikan bahwa perairan ini dahulu pada dasarnya merupakan habitat kelompok Calcarinid.

Skenario ketiga berkaitan dengan kondisi foraminifera yang masih hidup atau sudah mati. Ada kemungkinan sampel foraminifera yang dianalisis

merupakan foraminifera mati dan merupakan sisa-sisa kumpulan foraminifera pada masa lampau saat kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Onrust masih baik. Pada tahun 1920 Pulau Onrust masih memiliki 57 spesies karang, namun pada tahun 2005 hanya terdapat tujuh spesies karang (van der Meij et al., 2010). Meski demikian, dugaan kondisi foraminifera tersebut belum dapat dijawab karena pada penelitian ini tidak dilakukan penentuan foraminifera yang masih hidup dan mati serta penentuan umur cangkangnya. Bila kumpulan foraminifera tersebut terbukti berasal dari organisme hidup masa sekarang, maka kondisi foraminifera tersebut sesuai dengan skenario pertama dan atau kedua sehingga memungkinkan untuk melakukan modifikasi FI sesuai pendapat Hallock et al. (2003). Jika kumpulan tersebut berasal dari kumpulan masa lalu, maka organisme tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan FI

Skenario keempat berkaitan dengan distribusi Calcarina. Renema (2008) mengungkapkan lebih dari 50% spesimen yang dikalkulasi dari Teluk Jakarta sampai Kepulauan Seribu merupakan kelompok Calcarinid. Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian yang mengkaji FI seperti yang telah diungkapkan sebelumnya dimana keberadaan Calcarinid hanya terbatas pada ekosistem terumbu karang yang masih baik. Calcarinid merupakan kelompok yang sebarannya terbatas di Indo-Pasifik bagian barat, sedangkan di Florida dan lokasi lain di luar Indo-Pasifik bagian barat jenis ini sangat jarang bahkan tidak ditemukan sehingga tidak mempengaruhi nilai FI. Berdasarkan sebaran geografis Calcarinid tersebut, maka Renema menyarankan agar mempertimbangkan preferensi organisme terhadap lingkungan perairan saat menggunakan FI. Sejauh ini tidak ada satupun penelitian yang dilakukan oleh Renema menggunakan perhitungan FI karena keterbatasannya tersebut (Renema 22 Agustus 2011, komunikasi pribadi). Namun kelompok Calcarinid tersebut oleh Boltovskoy dan Wright (1976) dan Hallock et al., (2003) dimasukkan kedalam kelompok yang berasosiasi dengan terumbu karang, sehingga untuk di Indonesia sebaiknya aplikasi FI terus diuji dengan mempertimbangkan kondisi cangkangnya.

Bila formula FI dimodifikasi dengan memasukkan C. Spengleri dan N. calcar pada grup oportunis dengan mempertimbangkan uraian dari Troelstra et al. (1996), Tomascik et al. (1997), Renema (2001), Sen Gupta (2003c), Clearly et al.

(2005), dan Murray (2006), maka nilai FI akan berubah (diberi notasi FIm yaitu FI modifikasi). Berdasarkan nilai FIm, maka Sta. OU dan Sta. OB memiliki nilai FIm yang rendah (<2). Selain itu FIm dapat menggambarkan degradasi kualitas ekosistem dengan lebih jelas dimana kualitas ekosistem terumbu karang di Pulau Karang Bongkok lebih baik dari Pulau Pramuka dan kualitas perairan di Pulau Onrust sangat rendah (bandingkan antara Gambar 15 dan Gambar 17).

Gambar 17 Sebaran FI modifikasi (FIm), FI, keragaman foraminifera bentik (H’), dan persentase terumbu karang (%TK).

Degradasi terumbu karang tidak semata-mata diakibatkan oleh tekanan nutrien, namun juga pengaruh fisika perairan dan aktifitas dari manusia. Estradivari et al. (2009) melaporkan sejak tahun 2003 sampai 2007 terjadi penurunan persentase karang keras baik di Pulau Karang Bongkok (71,8-63,7%) dan Pulau Pramuka (34,7-34,6%) serta penambahan karang mati di Pulau Karang Bongkok (19,9-28,7%) dan di Pulau Pramuka (34,2-53,4%), sedangkan di Pulau Onrust tidak ditemukan lagi karang keras dan karang mati. Selama satu dekade sejak tahun 1999 tidak terjadi kejadian alam yang mencolok di sekitar Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, sehingga dugaan dampak antropogenik menjadi sangat kuat sebagai penyebab degradasi terumbu karang. Baik komunitas terumbu karang maupun foraminifera bentik selalu mengalami perubahan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan -baik secara alamiah maupun antropogenik-, namun foraminifera spesies tertentu menunjukkan waktu pulih yang lebih cepat

serta dapat bertahan dalam lingkungan yg tertekan dan didukung dengan bentuk tubuhnya yang kecil menyebabkan kumpulan foraminifera tersebut segera pulih dan mencapai akhir suksesi. Sebaliknya, organisme ini juga segera merespon perubahan parameter perairan bahkan meskipun tingkatan degradasi perairan masih rendah. Hal kontras terjadi pada terumbu karang, dimana organisme ini membutuhkan waktu lama untuk membentuk koloni yang padat dengan keragaman tinggi (Utchike et al., 2010) dan juga membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan foraminifera dalam merespon perubahan kualitas perairan. Perbedaan kecepatan foraminifera dibandingkan karang dalam merespon kualitas perairan menunjukkan sensitifitas foraminifera yang dapat dijadikan sebagai indikator awal degradasi dan perbaikan kualitas perairan (Mojtahid et al., 2008).

Gambar 18a dan 19a menunjukkan hubungan yang positif antara FI dan persentase penutupan karang. Nilai korelasi yang positif mengimplikasikan respon yang sama akan kebutuhan kualitas perairan antara foraminifera besar dan terumbu karang, tetapi akibat kecepatan dalam meresponi perubahan kualitas perairan yang berbeda menyebabkan pada suatu lokasi nilai FI bisa lebih tinggi saat persentase penutupan karang rendah dan sebaliknya. Dari sisi korelasi, terlihat nilai korelasi FIm dengan persen penutupan karang (r = 0,74) lebih tinggi dibandingkan korelasi FI dengan persen penutupan karang (r = 0,31). Berdasarkan nilai korelasi tersebut, maka diduga C. spengleri dan N. calcar lebih sesuai bila ditempatkan ke dalam grup oportunis atau kedua jenis tersebut merupakan kumpulan cangkang mati yang berasal dari ekosistem terumbu karang yang pernah ada -dalam hal ini di Pulau Onrust-, sehingga kelompok cangkang mati tersebut harus dipertimbangkan bila akan dimasukkan ke dalam formula FI.

Relasi yang negatif antara FI dan keragaman foraminifera bentik pada penelitian ini (Gambar 18b) ditemukan juga oleh Barbosa et al. (2009) yang menemukan hubungan yang terbalik antara FI dengan keragaman foraminifera bentik di Corumbau dan Abrolhos, Brasil Timur sebagaimana yang ditemukan oleh Koukousioura et al. (2011) di Laut Aegean-Yunani. Rendahnya nilai FI menunjukkan lokasi yang kaya akan mikroalga atau bahan organik lain, akibatnya foraminifera heterotrofik dan oportunis akan berkembang pesat baik jumlah dan jenisnya karena kebutuhan makanan pada kelompok ini terpenuhi dan tidak terjadi

kompetisi sumber daya makanan. Sebaliknya nilai FI tinggi menandakan kondisi lingkungan perairan yang oligotrofik, sehingga membatasi perkembangan foraminifera heterotrofik dan oportunis, namun mendukung perkembangan foraminifera besar yaitu kelompok simbion alga. Karena jumlah spesies foraminifera besar ini tidak sebanyak kelompok fungsional lainnya, maka nilai keragaman akhirnya akan menurun. Namun demikian, rendahnya nilai korelasi antara FI dan H’ (r = 0,33) menunjukkan tidak eratnya hubungan antara FI dan H’.

Gambar 18 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI, dan b) FI dan keragaman foraminifera bentik (H’).

Gambar 19 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI modifikasi (FIm), dan b) FIm dan keragaman foraminifera (H’). Sebaliknya hubungan antara FIm dan H’ (Gambar 19b) menunjukkan korelasi positif (r = 0,8) dan jauh lebih tinggi bila dibandingkan korelasi FI dengan H’. Perbedaan yang mendasar pada FI-H’ dan FIm-H’ adalah berubahnya posisi C. spengleri dan N. calcar dari kelompok fungsional simbion alga menjadi oportunis. Secara umum pada lingkungan yang tidak tertekan secara ekologi, keragaman foraminifera akan meningkat (Martins et al., 2010). Pada kondisi

tertekan, kedua jenis kelompok Calcarinid tersebut sangat mendominasi melebihi jenis oportunis lainnya seperti Elphidium dan Ammonia dan melampaui jenis heterotrofik sehingga keragaman menjadi rendah. Sumber daya makanan bukan satu-satunya faktor dominansi C. spengleri dan N. calcar dibandingkan kelompok oportunis lainnya. Preferensi substrat dan lokasi yang dipengaruhi kondisi hidrografi diduga menjadi penyebab lainnya. Pada Gambar 15, Sta. OS merupakan stasiun dengan nilai FI terendah, namun pada Gambar 17 nilai FIm pada Sta. OU dan Sta. OB lebih rendah dibandingkan Sta. OS. Meskipun pada data penelitian arus di Sta. OS lebih tinggi, namun letak Sta. OU dan Sta. OB yang berhadapan dengan laut terbuka merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi kedua jenis kelompok Calcarinid ini. Selain itu, meski tidak ada data posisi lintang dan bujur dimana lokasi terumbu karang yang baik di Pulau Onrust pada masa lalu, namun berdasarkan karakteristik terumbu karang yang berkembang baik pada wilayah bergelombang yang umumnya berhadapan dengan laut lepas, maka kemungkinan besar C. spengleri dan N. calcar mendominasi Sta. OU dan Sta. OB dibandingkan Sta. OS.

Meskipun penggunaan FI di wilayah terumbu karang selama ini telah dilakukan di beberapa lokasi-khususnya Atlantik, namun Hallock et al.(2003) menyarankan perlunya untuk menguji formula ini di berbagai tempat seperti ekosistem terumbu karang di Indo-Pasifik. Lebih jauh lagi, modifikasi formula FI sangat dimungkinkan tergantung wilayah kajiannya (Hallock et al., 2003, Hallock P 18 Agustus 2011, komunikasi pribadi) dan preferensi foraminifera tertentu terhadap lingkungan (Renema, 2008). Barbosa et al. (2009) merekomendasikan pentingnya memperhatikan perbedaan karakteristik antar wilayah saat akan mengaplikasikan suatu bioindikator akibat adanya pola adaptasi biota yang berbeda. Koukousioura et al. (2011) melakukan modifikasi terhadap formula FI dengan memasukkan satu spesies kelompok heterotrofik yaitu Textularia conica ke dalam kelompok oportunis karena berdasarkan analisis similaritas Euclidean, jenis ini berada satu grup dengan Ammonia spp. dan Elphidium spp.

Hasil penelitian ini menunjukkan kemungkinan FORAM Index (dengan pengecualian pada Sta. OU dan Sta. OB) dapat digunakan di ekosistem terumbu karang Indonesia dengan melakukan modifikasi agar dapat memprediksi layak

tidaknya suatu ekosistem perairan bagi eksistensi terumbu karang. Oleh karena itu maka ada tiga saran yang ditawarkan sebagai modifikasi FORAM Index:

1. Hallock et al. (2003) mengusulkan pemakaian FORAM Index cukup dengan menghitung kelimpahan foraminifera bentik berdasarkan genus sesuai kelompok fungsional. Pada kenyataannya, khusus untuk kelompok Calcarinidae memiliki dua spesies yang sebarannya cukup luas pada perairan dangkal di bagian barat Indo-Pasifik dan dapat mendominasi perairan eutrofik. Oleh karena itu pada kelompok Calcarinidae seharusnya dipisahkan berdasarkan spesies dan memasukkan spesies C. spengleri dan N. calcar ke dalam kelompok oportunis (Troelstra et al., 1996) pada formula FI.

2. Secara taksonomi, cangkang N. calcar memiliki kemiripan pada bentuk durinya dengan C. defrancii, sehingga sukar untuk membedakannya dalam proses identifikasi (Hohenegger et al., 1999), padahal kedua jenis organisme tersebut memiliki kisaran habitat dan daya toleransi yang berbeda. Kesalahan identifikasi atau meskipun benar namun tetap memasukkan kedua jenis ini kedalam grup simbion alga akan memperbesar nilai FI. Berdasarkan hal tersebut sebaiknya peneliti dapat membedakan dengan sebaik mungkin perbedaan kedua jenis kelompok calcarinid itu dan meletakkan secara terpisah pada saat memasukkan ke dalam perhitungan formula FI.

3. Secara khusus seluruh kondisi C. spengleri dan N. calcar di perairan P. Onrust dalam kondisi duri yang patah dan cangkang yang rusak. Pada kenyataannya, bila formula FI hanya dikhususkan untuk foraminifera dalam kondisi cangkang yang baik, maka tidak ada kelompok calcarinid yang akan dihitung di Pulau Onrust, karena seluruhnya dalam keadaan tidak utuh. Hal ini akan menyebabkan nilai FI menjadi rendah. Hallock et al. (2003) tidak memberikan pernyataan apapun mengenai kondisi foraminifera yang akan dikalkulasi dalam perhitungan FI, namun nilai FI nampaknya akan memberikan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang dengan lebih baik bila seluruh cangkang foraminifera yang diidentifikasi dan dihitung dalam kondisi baik. Kondisi cangkang yang rusak dapat digunakan sebagai informasi tambahan, misalnya yang mendukung faktor fisika dan kimia perairan seperti pencemaran atau aktivitas vulkanik dan dampak alamiah maupun antropogenik lainnya.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait