PENDUGAAN KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU
KARANG DI KEPULAUAN SERIBU DENGAN
MENGGUNAKAN PROPORSI FORAMINIFERA
BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 12 Desember 2011
Lumban Nauli Lumban Toruan NIM C551090051
ABSTRACT
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN. The Approximation of Coral Reef Ecosystem Quality in The Seribu Islands Using Benthic Foraminifera Proportion as Bioindicator. Under direction of DEDI SOEDHARMA and KRESNA TRI DEWI.
Coral reef ecosystem is one of mega biodiversity environments with the highest ecological pressure especially caused by human activities. Local impact like nutrification will decrease water quality and the ecosystem. Benthic foraminifera as bioindicator can be used as early monitoring tool to observe the changes in reef ecosystems. Therefore the aims of this study were to investigate the distribution of benthic foraminifera in reef ecosystem and determine the relationship between coral ecosystems with FORAM Index as tool for benthic foraminifera to asses waters quality. Eleven stations from Karang Bongkok, Pramuka, and Onrust on Seribu Island were used for this study. Nutrient and physical parameters were measured in situ and in the laboratory. The foraminifera was separated from sediment and indentified by binocular microscope. The foraminifera then classified by functional group and calculated by FORAM Index formula (FI). The range of FI was from 3,4-8,2, which indicated marginal to suitable environment for reef development. The modification of FI (FIm) showed that the range from 1,2-5,2 where there were unsuitable environment for reef growth in Onrust Island. The results showed that Calcarina and Amphistegina are indicators of reef health ecosystem. Nevertheless, FORAM Index can be applied in Indonesia waters with some modification with considering the preference of the habitat.
Keywords: coral reef ecosystem, benthic foraminifera, bioindicator, FORAM Index
RINGKASAN
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN. Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik sebagai Bioindikator. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan KRESNA TRI DEWI.
Foraminifera bentik merupakan salah satu kelompok organisme yang memiliki asosiasi yang erat dengan terumbu karang, sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas ekosistem terumbu karang. Beberapa penelitian mengenai foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang telah dilakukan di Kepulauan Seribu, namun kajian yang secara langsung menghubungkan keberadaan foraminifera bentik dengan eksistensi terumbu karang belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1) mengetahui komposisi dan sebaran foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang, 2) menentukan kelompok taksonomi foraminifera sebagai indikator ekosistem terumbu karang, 3) mengkaji hubungan antara FORAM Index (FI) terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di sebagian Kepulauan Seribu, 4) membuktikan bahwa aplikasi FORAM Index di wilayah tropis khususnya Kepulauan Seribu dapat digunakan sebagai indikator ekologi dalam menilai kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang.
Pulau Karang Bongkok, Pulau Pramuka, dan Pulau Onrust di Kepulauan Seribu dipilih sebagai kajian untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Pengukuran suhu air, kecerahan, salinitas, oksigen terlarut, pH, dan kecepatan arus dilakukan secara in-situ. Pengukuran klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c, fosfat, nitrat, amonia, dan silikat, serta parameter sedimen yaitu N total, C-organik, dan ukuran butiran dilaksanakan di laboratorium. Contoh air diambil di kolom dekat dasar perairan kecuali pengukuran kecepatan arus dilakukan di kolom permukaan perairan.
Persentase penutupan karang dilakukan dengan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung yang dilakukan secara acak pada kedalaman tujuh meter di bawah permukaan laut. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen pada dasar perairan dengan kedalaman dari permukaan sedimen sampai 2 cm di bawah permukaan sedimen. Pengambilan sedimen menggunakan sekop dan dimasukkan dalam plastik contoh yang telah diberi label. Peralatan SCUBA digunakan saat melakukan pengukuran persen penutupan substrat dan untuk membantu menyelam saat mengambil contoh air dan sedimen. Sampel foraminifera dicuci dengan air yang mengalir dalam saringan 0,063 mm, setelah itu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 500C selama dua jam. Kemudian foraminifera pada masing-masing sampel dipisahkan dari sedimen pada cawan di bawah mikroskop binokuler. Selanjutnya diambil sebanyak 300 spesimen pada setiap sampel dan diletakkan pada foraminiferal slide untuk proses identifikasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40 kali. Hasil identifikasi foraminifera kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok fungsional dan dimasukkan ke dalam formula FORAM Index.
ANOVA klasifikasi 1 arah dan uji t digunakan untuk melihat perbedaan nilai respon antar stasiun. Pengaruh variabel lingkungan dikaji melalui Analisis Komponen Utama. Indeks keragaman Shannon-Wiener digunakan untuk mengkaji pola distribusi foraminifera. Indeks Bray-Curtis digunakan untuk
mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel penutupan karang keras dan kelimpahan foraminifera bentik.
Kisaran nilai suhu, salinitas, pH, dan DO pada kolom perairan di Pulau Karang Bongkok, Pulau Pramuka, dan Pulau Onrust masih dalam kisaran Baku Mutu Air Laut berdasarkan Kep.Men.LH No.51 Tahun 2004. Nilai turbiditas, kecerahan, nutrien, klorofil, dan C organik serta N total menunjukkan perairan di Pulau Onrust telah tercemar. Hal ini terjadi karena proses sedimentasi dan beban polusi yang tinggi akibat dekatnya area ini dengan Teluk Jakarta yang telah tercemar. Analisis Komponen Utama menunjukkan bahwa Pulau Onrust sangat dipengaruhi konsentrasi klorofil dan hara yang tinggi, substrat berlumpur dan berlempung, serta nilai turbiditas yang tinggi dan tingkat kecerahan yang rendah.
Persentase penutupan karang tertinggi terdapat pada Pulau Karang Bongkok (16,07-24,68%) diikuti Pulau Pramuka (2,97-14,07%) kemudian Pulau Onrust (0%). Degradasi persentase penutupan karang berkorelasi positif dengan letak pulau kajian terhadap pencemaran akibat tekanan ekologis yang kuat dari Teluk Jakarta, proses sedimentasi, dan tingkat aktivitas manusia.
Foraminifera bentik besar memiliki asosiasi yang kuat terhadap ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang yang memiliki persentase penutupan karang yang lebih tinggi akan memiliki jumlah taksa foraminifera yang lebih tinggi dibandingkan ekosistem yang telah mengalami tekanan ekologis. Selain itu ekosistem terumbu karang yang baik pada wilayah oligotrofik akan didominasi oleh kelompok foraminifera yang bersimbiosis dengan mikro alga. Hasil penelitian menunjukkan penurunan jumlah taksa foraminifera dari Pulau Karang Bongkok ke Pulau Pramuka lalu ke Pulau Onrust yang berhadapan dengan Teluk Jakarta. Pulau Onrust yang tidak memiliki terumbu karang didominasi oleh foraminifera jenis oportunis sebagai indikator tingginya konsentrasi nutrien.
Keragaman foraminifera pada Pulau Karang Bongkok (3,89-4,17) lebih tinggi dibandingkan pada Pulau Pramuka (3,64-4,12), sedangkan keragaman terendah terletak pada Pulau Onrust (3,01-3,82). Wilayah yang berdekatan dengan aktivitas daratan dan mengalami tekanan akibat kadar nutrien yang tinggi cenderung menyebabkan nilai keragaman foraminifera menjadi lebih rendah.
Tingginya jumlah individu genus Calcarina dan Amphistegina pada wilayah dengan persentase penutupan karang keras yang tinggi merupakan indikator kualitas ekosistem terumbu karang yang masih baik. Pada perairan yang tercemar, foraminifera bentik kelompok oportunis akan melimpah sebagai respon terhadap meningkatnya konsentrasi nutrien, sedangkan kelompok simbion alga akan menurun jumlahnya. Modifikasi FI dengan memasukkan jenis C. spengleri dan N. calcar ke dalam kelompok oportunis dapat menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang dengan lebih baik. Berdasarkan hasil modifikasi FI, maka nilai FI terendah terletak di Pulau Onrust (1,22-1,81) yang tidak memiliki tutupan karang keras hidup dan tidak cocok untuk pemulihan terumbu karang. Pada Pulau Pramuka yang masih memiliki aktivitas manusia dan masih dipengaruhi pencemaran dari Teluk Jakarta nilai FI berkisar antara 2,97-4,56 yang mengindikasikan perairan yang terbatas sampai perairan yang layak bagi petumbuhan terumbu karang. Pada Pulau Karang Bongkok yang cenderung tidak tercemar dengan aktivitas manusia yang minim, nilai FI berkisar antara 4,31-5,15 yang mengindikasikan lingkungan yang layak bagi pertumbuhan dan pemulihan terumbu karang.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENDUGAAN KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU
KARANG DI KEPULAUAN SERIBU DENGAN
MENGGUNAKAN PROPORSI FORAMINIFERA
BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis : Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator
Nama : Lumban Nauli Lumban Toruan
NIM : C551090051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Dra. Kresna Tri Dewi, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Terimakasih kepada Tuhan karena FirmanNya di Mazmur 104:25 -“Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar”- memberikan inspirasi kepada penulis untuk berusaha mengeksplorasi sebagian kecil dari binatang renik yang ada di dalam lautan. Atas rahmat-Nya juga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang telah diajukan sejak Desember 2010 ini berkaitan dengan bioindikator di lingkungan ekosistem terumbu karang, yang pertama kali dipresentasikan dalam Sidang Komisi I tanggal 2 Februari 2011 dan proposalnya disahkan pada tanggal 24 Februari 2011. Pelaksanaan penelitian baik di lapangan maupun di laboratorium dilaksanakan sejak Bulan Maret-September 2011, sedangkan proses penulisan dan perbaikannya dilakukan di sela-sela penelitian sampai setelah ujian tesis. Setelah melalui beberapa konsultasi dan perbaikan penulisan, maka hasil penelitian ini dipresentasikan kembali pada saat Sidang Komisi II dan seminar hasil pada tanggal 17 Oktober 2011 serta pada saat ujian tesis.
Semoga karya ilmiah yang tidak sempurna ini dapat dikritik, diuji kembali baik teori maupun aplikasinya di lapangan, dan bermanfaat.
Bogor, 12 Desember 2011
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada:
1. Bapa, mama, kakak, dan adik-adikku (Lasmaulitua, Bernauli, Daud Yusup, dan Ishak Khatulistiwa: Lumban Toruan) atas segala restu, doa, semangat, dan dukungannya selama penulis melaksanakan studi di IPB.
2. Ketua komisi pembimbing: Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah mendukung dan membimbing penulis dengan kehangatan seorang bapak sekaligus pendidik, sehingga penulis mendapatkan banyak ilmu dan dapat menyampaikannya dalam suatu tulisan.
3. Anggota komisi pembimbing: Dra. Kresna Tri Dewi, M.Sc untuk nasehat, teguran, diskusi hangat, dan argumentasinya sehingga tesis ini menjadi lebih berisi melampaui perkiraan penulis pada saat pertama kali topik ini diajukan. 4. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai penguji tamu pada ujian akhir
tesis, sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang telah memberikan masukan berharga terutama pada kesimpulan dan saran serta semangat, baik pada saat melakukan penelitian maupun pada saat ujian tesis. 5. Dr. Etty Riani, MS sebagai moderator dan penilai saat seminar hasil penelitian
yang telah memberi saran terhadap penulisan terutama pada tata cara penulisan judul dalam Bahasa Inggris dan penambahan metode pada Abstract. 6. Citra Satrya Utama Dewi, S.Pi yang memfasilitasi peminjaman peralatan SCUBA dan pemakaian laboratorium serta mikroskop, Woenxyz James Suryadi, S.Ik (Jimmy) dan Dionisius Nobow Edmun yang membantu selama penelitian di lapangan, Pak Jayadi yang menyediakan perahu dan tempat tinggal di Pulau Panggang selama lima hari penelitian, Pak Sumijo Hadi Riyono (Ari) yang membantu analisis nutrien di P3O-LIPI dan atas dua literatur yang diberikannya, Yulianto Sutedja, M.Si dan Anna Ida Sunaryo, M.Si atas tumpangan mobil dari P3O-LIPI Ancol ke Bogor dan bantuannya mempersiapkan buah tangan untuk sidang, Obed Agtapura Taruk Allo, M.Si yang membuat peta, Wahyu A’idin Hidayat, M.Si yang memberikan gambaran format penulisan untuk proposal dan seminar, Maria Ulfah yang
membantu persiapan seminar dengan konsumsinya, Pak Aen yang mau disibukkan membuka pintu Lab. Petrologi dan Mikropaleontologi P3GL-Bandung dan mau menunggu sampai lewat jam kantor, Prof. Pamela Hallock Muller, Ph.D atas literatur dan komunikasi pribadinya yang mencerahkan, dan Reza, Yayan, Hidayah Hamzah, serta Yuliana Fitri atas bantuan literaturnya. 7. Teman-teman IKL 2009: Achmad Zamroni, Kaharuddin, Khoirol Imam Fatoni
Mardiansyah, Muliari, Anna Ida Sunaryo, Dian Respati Widianari, Emmy Syafitri, Maria Ulfah, dan Yuliana Fitri Syamsuni terutama atas kehadirannya saat seminar hasil penelitian hari Senin tanggal 17 Oktober 2011 pukul 11-12 WIB, Reza Cordova, Wahyu A’idin Hidayat yang memonitor dari jarak jauh, Citra Satrya Utama Dewi dan Heidi Retnoningtyas ditengah kesibukannya mengurus bayi, dan Yulianto Sutedja. Terimakasih atas dukungan, semangat, bantuan, canda, SMS, telepon, kerjasama, konflik, dan kebersamaannya. 8. Dikti yang memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Undana
serta Yayasan Toyota dan Astra atas bantuan penelitiannya, dan Program Mitra Bahari-COREMAP II yang memberikan bantuan penulisan tesis.
9. Rekan-rekan Persekutuan Oikumene IPB untuk segala doa dan dukungannya, terutama kepada Yuliana Radja Riwu, Emy Kiha, dan Bu Tirsa yang memberi semangat saat seminar. Teman-teman Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB untuk doa dan semangatnya, terutama kepada Silvana Fofid (THP’46) sebagai koordinator yang mendukung dari sebelum sampai sesudah seminar. 10. Keluarga Bria di Kupang, NTT: Ibu Maria Ani Safitri, Maria Dolorosa (Oca),
Maria Archancella (Ella), Maria Theresia Avila (Thessa), Johanes Donbosco (Don), dan Maria Demetria (Thya) yang memberi semangat serta doanya sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di IPB.
11. Martha Dara Ayuningtyas (Jeng Kenes Skolastika) dan keluarga di Puspa-Cibinong atas doa, penghiburan, pengertian, pendampingan, dan motivasinya sehingga beban penelitian dan penulisan tesis ini menjadi lebih ringan.
If we knew what we were doing, it wouldn't be called research (Einstein, disampaikan oleh Pamela Hallock Muller saat konsultasi)
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang dilahirkan di Bandung, 10 Februari 1978, merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari ayah Drs. L.G.L Toruan dan ibu Dra. Lamria br. Hutauruk. Penulis menyelesaikan pendidikan dari TK Kristen BPPK tahun 1984, SD Kristen BPPK sampai tahun 1988 dan dilanjutkan di SD Katolik Pandu sampai tahun 1990, SMPN 5 tahun 1993, dan SMAN 2 tahun 1996. Seluruh proses pendidikan tersebut dilaksanakan di Bandung. Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana pada mayor Ilmu Kelautan di IPB-Jawa Barat yang didanai oleh Dikti melalui BPPS. Selama kuliah sejak S1 dan S2, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Oseanografi Kimia, Planktonologi, Agama Katolik, dan Ekologi Perairan baik untuk mahasiswa program S1 maupun program D3 IPB.
Setelah lulus S1, penulis bekerja di PT. Vena Internet sebagai manajer pemasaran pada tahun 2003-2004. Pada Bulan Maret tahun 2004 mengikuti Marine Science Training Course yang diadakan oleh DAAD Jerman dan FPIK-IPB selama tiga bulan dan mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dengan judul “Effect of thermal pollution on water quality and zooplankton community in Muara Karang Power Plant, Jakarta Bay” selama satu tahun. Pada saat yang bersamaan, penulis bekerja selama satu tahun di FPIK-IPB sampai tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Kelautan Nusantara Kupang, NTT. Tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian-Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karya ilmiah penulis berjudul “Struktur komunitas zooplankton di perairan pesisir Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur” telah dipublikasikan pada Jurnal Akuatika Vol.IV No.2 Tahun 2006. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan dana Penelitian Dosen Muda (PDM) untuk melakukan penelitian berjudul “Keragaman zooplankton laut sebagai indikator ekologi untuk menduga pencemaran perairan di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur”.
Penulis dapat dihubungi pada alamat surat elektronik (email):
[email protected] dan [email protected] serta facebook Lumban Nauli Lumban Toruan.
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Permasalahan ... 4 1.3 Hipotesis ... 5 1.4 Tujuan ... 5 1.5 Manfaat Penelitian ... 6 1.6 Kerangka Pemikiran ... 7 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8 2.1 Foraminifera ... 8
2.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan Foraminifera ... 9
2.2.1 Suhu ... 9
2.2.2 Kekeruhan dan Kecerahan ... 10
2.2.3 Kedalaman ... 10 2.2.4 Arus ... 11 2.2.5 Substrat ... 11 2.2.6 Salinitas ... 12 2.2.7 Oksigen Terlarut ... 12 2.2.8 pH ... 13 2.2.9 Nutrien ... 14
2.3 Makanan dan Predator... 14
2.4 Simbiosis Foraminifera Dengan Alga Simbion ... 15
2.5 Asosiasi Foraminifera Dengan Terumbu Karang ... 17
2.6 Aplikasi Foraminifera Sebagai Indikator Lingkungan ... 18
2.7 Konsep Bioindikator Pada Ekosistem Terumbu Karang ... 19
2.8 Indeks FORAM ... 20
3 METODE PENELITIAN ... 22
3.1 Tempat dan Waktu ... 22
3.2 Pengambilan Sampel ... 23
3.2.1 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Untuk Sampel Foraminifera ... 23
3.2.2 Pengukuran dan Analisa Persentase Substrat Perairan ... 23
3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Parameter Perairan ... 23
3.2.4 Penjentikan Foraminifera Bentik... 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 27
4.1 Parameter Fisika Kimia Perairan ... 27
4.2 Kondisi Terumbu Karang ... 32
4.3 Sebaran dan Kelimpahan Foraminifera Bentik ... 38
4.3.1 Kelompok Simbion Alga ... 41
4.3.2 Kelompok Oportunis ... 47
4.3.3 Kelompok Heterotrofik ... 49
4.4 Analisa Kesamaan Bray Curtis Pada Foraminifera ... 53
4.5 Keragaman Foraminifera Bentik ... 54
4.6 Aplikasi FORAM Index Pada Ekosistem Terumbu Karang ... 57
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 67
5.1 SIMPULAN ... 67
5.2 SARAN... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Penggolongan tingkat trofik berdasarkan keping secchi (meter) ... 10
2 Taksa foraminifera dengan tipe simbion (Utchike dan Nobes, 2008) ... 16
3 Parameter perairan yang diukur ... 24
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran ... 7 2 Lokasi penelitian ...22 3a Parameter lingkungan perairan ...28 3b Parameter lingkungan perairan...29 3c Parameter lingkungan perairan ...30 4 Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika-kimia perairan ...31 5 Nilai AKU dari sebaran parameter fisika-kimia terhadap lokasi
penelitian ...31 6 Perbandingan persen penutupan dan jumlah genus karang keras ...33 7 Komposisi penutupan substrat...34 8 Pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras ...35 9. Jumlah taksa foraminifera bentik ...39 10 Komposisi relatif kelompok fungsional foraminifera bentik...40 11 Komposisi relatif foraminifera bentik predominan ...40 12 Jumlah individu taksa foraminifera bentik predominan ...42 13 Pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan relatif 13 taksa
predominan foraminifera bentik...53 14 Indeks keragaman (H’) foraminifera bentik...55 15 Sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu
karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’) ...58 16 Sebaran spesies pada Famili Calcarinidae pada setiap stasiun ...60 17 Sebaran FI modifikasi (FIm), FI, keragaman foraminifera bentik (H’), dan persentase terumbu karang (%TK) ...62 18 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI, dan b) FI dan keragaman foraminifera bentik (H’)...64 19 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI modifikasi (FIm), dan b) FIm dan keragaman foraminifera bentik
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Lokasi penelitian... 79 2 Perhitungan yang digunakan dalam penelitian ... 79 3 Parameter lingkungan perairan... 83 4 Persentase penutupan terumbu karang dan biota serta substrat ... 84 5 Daftar spesies karang yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tahun
1920, namun tidak ditemukan pada tahun 2005 baik di Teluk Jakarta maupun di Kepulauan Seribu ... 85 6 Nilai FORAM Index dan keragaman foraminifera bentik... 86 7 Hasil Anova klasifikasi satu arah ... 90 8 Hasil analisis disimilaritas euclidean untuk parameter fisika-kimia... 97 9 Hasil Analisis Komponen Utama (AKU) ... 98 10 Hasil analisis similaritas bray curtis untuk penutupan karang... 100 11 Hasil analisis similaritas bray curtis untuk foraminifera ... 101 12 Klasifikasi foraminifera bentik... 102 13 Gambar foraminifera bentik (skala 100µm) ... 106 14 Dokumentasi penelitian ... 108
1.1 Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir dengan biodiversitas yang tinggi. Keunikan ekosistem serta keragaman organismenya menjadikan ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekonomi, ekologi, bahkan sosial yang tinggi. Beragam kegiatan dari pariwisata, olahraga selam, aktivitas perikanan, perhubungan, industri, sampai pendidikan dan penelitian sering dilakukan pada ekosistem terumbu karang. Secara ekologis, keberadaan ekosistem ini merupakan salah satu tempat pemijahan, pembesaran, serta penyedia pakan bagi organisme laut. Ekosistem ini juga dapat menjaga stabilitas pantai dari terpaan gelombang.
Meski ekosistem terumbu karang memiliki beragam fungsi, namun rentan terhadap degradasi lingkungan akibat dampak antropogenik. Dampak ini terjadi akibat eksploitasi manusia terhadap sumberdaya tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Sukmara et al. (2001) mengemukakan bahwa jenis ancaman terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia melebihi ancaman karena pengaruh alami.
Ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu memiliki sumberdaya alam yang sangat menarik bagi beragam aktivitas perairan. Kepulauan Seribu umumnya memiliki tiga ekosistem pesisir tropis yang lengkap sebagai ciri khas ekosistem pesisir tropis, sehingga keragaman organisme pada ekosistem terumbu karang menjadi tinggi dan akhirnya memiliki potensi yang tinggi pula baik secara ekonomi, ekologi, maupun sebagai kajian penelitian.
Sebagai kawasan yang sebagian besar wilayahnya ditetapkan sebagai taman nasional, ternyata ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu menunjukkan kondisi yang semakin buruk akibat eksploitasi dan dampak pencemaran dari wilayah sekitar Jakarta dan Banten. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Fadila dan Idris (2009) pada Kepulauan Seribu menunjukkan adanya penurunan rerata penutupan karang keras dari 33,1% pada tahun 2003 menjadi 31,7% pada tahun 2007. Selain itu terjadi penurunan kelimpahan rerata karang keras dari 46.015 koloni/ha pada tahun 2005 menjadi 35.878 koloni/ha pada tahun 2007 (Estradivari et al., 2009). Degradasi yang paling tinggi terjadi di area pulau-pulau bagian
selatan yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. Degradasi lingkungan pada wilayah ini akan berpengaruh terhadap eksistensi berbagai ekosistem lain beserta organisme yang berasosiasi. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri seperti abrasi yang terjadi di beberapa wilayah utara Jakarta dan Banten, intrusi air laut, serta berkurangnya ikan sebagai salah satu bahan pangan.
Untuk menjembatani kepentingan ekologi dan ekonomi tersebut, maka telah banyak dibuat peraturan yang salah satu diantaranya berkaitan dengan hasil pemantauan lingkungan yang berkesinambungan. Pemantauan lingkungan perairan merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi secara dini terjadinya kerusakan ekosistem perairan seperti terumbu karang, yang merupakan hal penting dalam strategi pengelolaan lingkungan pesisir (Setiapermana et al., 1994).
Dari sisi ekologi, degradasi ekosistem dapat diduga dengan melihat tekanan pada komunitas biologi yang terkandung di dalamnya (Cervetto et al., 2002). Fluktuasi kelimpahan organisme tertentu yang tajam, invasi spesies asing, dan keragaman jenis yang rendah dapat menunjukkan kualitas perairan yang memburuk. Kesimpulan yang sah bisa diperoleh dengan mengkorelasikan faktor biologis dan beberapa faktor fisika-kimia kunci sebagai pendukung.
Beberapa organisme perairan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ekosistem terumbu karang, sehingga dapat disebut sebagai bioindikator. Beberapa bioindikator yang digunakan di ekosistem terumbu karang pada wilayah Indonesia adalah komposisi dan kelimpahan ikan karang serta luasan tutupan karang. Organisme renik seperti foraminifera bentik selama ini telah dijadikan sebagai bagian dari pemantauan ekosistem terumbu karang di mancanegara.
Hallock et al. (1995) dan Cockey et al. (1996) in Scott et al. (2004) telah memantau adanya hubungan antara kumpulan foraminifera bentik dengan kondisi terumbu karang di Amerika. Pada tahun 1998, EPA telah merekomendasikan penggunaan foraminifera sebagai bioindikator perairan yang mengalami nutrifikasi (Jameson et al., 1998), namun pada saat itu belum terdapat indeks yang khusus berkaitan dengan foraminifera. Penelitian lanjutan menghasilkan indeks foraminifera di ekosistem terumbu karang pada wilayah Florida dan Karibia (Hallock et al., 2003). Negara Australia telah menggunakan foraminifera sebagai
salah satu bagian dari pemantauan kondisi terumbu karang (Reef Plan Marine Monitoring Programme) sejak tahun 2008 (Schaffelke et al., 2008). Penggunaan foraminifera seperti tersebut di atas belum dilakukan di Indonesia, namun sudah diterapkan oleh Dewi et al. (2010), Natsir (2010, 2011), dan (Natsir dan Subkhan, 2011) untuk mendapatkan nilai indeks foraminifera. Hal ini disebabkan karena para ahli foraminifera lebih fokus bergelut pada penelitian yang berkaitan dengan taksonomi, (paleo)ekologi, (paleo)klimatologi, dan lain-lain sesuai dengan tugas dan fungsinya di instansi masing-masing.
Foraminifera merupakan salah satu kelompok organisme yang bersimbiosis dan memiliki asosiasi yang sangat erat dengan terumbu karang. Nybakken dan Bertness (2006) menyatakan keberadaan foraminifera bentik dapat meningkatkan proses kalsifikasi terumbu karang antara 20 sampai 40 kali dibandingkan dengan yang tidak berasosiasi dengan foraminifera bentik tersebut. Oleh karena asosiasinya yang kuat, maka foraminifera bentik dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ekosistem terumbu karang.
Berkaitan dengan siklus hidupnya yang singkat serta pola adaptasinya, fauna renik seperti foraminifera bentik dapat segera merespon perubahan lingkungan (Day et al., 1989), oleh karena itu organisme ini sangat meyakinkan dalam penggunaannya untuk menilai kondisi lingkungan perairan. Perubahan yang mencolok dari eksistensi foraminifera dapat digunakan sebagai indikator ekologi untuk menduga kualitas ekosistem terumbu karang.
Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring Index (FORAM Index/FI) merupakan aplikasi penggunaan kumpulan foraminifera bentik yang dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi ekosistem terumbu karang (Hallock et al., 2003). Prinsip dari FI yaitu mengkuantifikasi proporsi antara kelompok foraminifera bentik yang mengandung alga simbion dengan kelompok foraminifera lainnya. Hasil kuantifikasi ini dapat merefleksikan kondisi lingkungan ekosistem terumbu karang yang kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang (Narayan dan Pandolfi, 2010). Refleksi kondisi lingkungan berdasarkan nilai FORAM Index ini merupakan respon dari keberadaan nutrien di perairan tersebut (Nobes dan Uthicke, 2008). Kandungan kelompok foraminifera bentik yang mengandung alga simbion akan melimpah pada ekosistem terumbu karang
yang sehat. Penggunaan foraminifera bentik sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang direkomendasikan dengan prioritas yang tinggi dalam kerangka program monitoring jangka panjang dan monitoring jangka pendek seperti analisa dampak lingkungan (Cooper et al., 2009).
1.2 Permasalahan
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam akibat pemanfaatan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Dalam rangka pengelolaan yang bertanggung jawab, pemantauan yang berkesinambungan merupakan langkah awal untuk mendeteksi perubahan ekosistem tersebut. Beragam metoda telah dikembangkan untuk memantau kondisi kualitas ekosistem terumbu karang baik melibatkan analisa fisika-kimia perairan, organisme makro, maupun organisme mikro. Pemantauan juga dilakukan dari tingkat genetik, populasi, sampai komunitas. Selama ini penggunaan organisme makro yang didukung dengan analisa fisika-kimia perairan merupakan metoda yang sering digunakan karena dianggap cukup mudah, murah, dan ramah lingkungan.
Dewi et al. (2010) menuliskan beberapa metoda yang menggunakan bioindikator sebagai bagian dari pemantauan terumbu karang antara lain indeks penutupan karang, indeks kematian karang, indeks keanekaragaman ikan dan biota indikator yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti ikan kepe-kepe (Butterfly). Metoda tersebut melibatkan organisme makro sebagai objek pemantauan karena organisme makro umumnya mudah untuk diamati dengan jumlah individu yang lebih sedikit dibandingkan organisme renik. Pada organisme mikro, perubahan lingkungan akan segera mempengaruhi pola kehidupannya dibandingkan organisme makro, namun pengaruh lingkungan tersebut lebih lama mempengaruhi eksistensi organisme renik tersebut dibandingkan parameter fisika dan kimia. Oleh karena itu keberadaan organisme renik dapat dijadikan alternatif sebagai indikator awal atas degradasi lingkungan, contohnya adalah foraminfera.
Keuntungan dari observasi fauna renik seperti foraminifera (dalam konteks pendekatan indikator ekologi) adalah a). siklus hidup yang singkat sehingga dapat segera merespon gangguan terhadap kondisi perairan, b). peralatan dan bahan
sampling yang tidak terlalu mahal dan mudah digunakan dibandingkan parameter fisika – kimia (Gibson et al., 1997 in Porto Neto, 2003), c). alat dan bahan yang tidak terlalu banyak serta cukup mudah diperoleh.
Penelitian tentang foraminifera bentik sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di manca negara telah dilakukan jauh sebelum tahun 2003 sampai tahun 2011 (Hallock et al., 2003, Velásquez et al., 2011). Meski demikian, Hallock et al. (2003) menyarankan agar keberhasilan menjadikan foraminifera sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang yang telah dilakukan di wilayah Karibia dan beberapa lokasi lain perlu diverifikasi di wilayah lainnya terutama di wilayah Indo-Pasifik. Korelasi antara kuantifikasi foraminifera bentik dan parameter fisika-kimia perairan yang dibandingkan dengan kondisi terumbu karang belum pernah dilakukan secara bersamaan di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah 1. bagaimana hubungan antara kondisi terumbu karang serta parameter
fisika-kimia terhadap proporsi kelimpahan foraminifera bentik?
2. apakah kuantifikasi foraminifera bentik yang dirumuskan dalam FORAM Index dapat digunakan sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu?
1.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah jumlah taksa foraminifera bentik, kelimpahan relatif foraminifera yang bersimbiosis dengan alga, dan nilai FORAM Index akan meningkat seiring tingginya persentase penutupan terumbu karang hidup. Kondisi ini merupakan cerminan dari kualitas abiotik perairan yang mendukung pertumbuhan terumbu karang.
1.4 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. mengetahui komposisi dan sebaran foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang
2. menentukan kelompok taksonomi foraminifera sebagai indikator ekosistem terumbu karang
3. mengkaji hubungan antara FORAM Index terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di beberapa pulau di Kepulauan Seribu.
4. membuktikan bahwa aplikasi FORAM Index di wilayah tropis khususnya Kepulauan Seribu dapat digunakan sebagai indikator ekologi dalam menilai kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
a. memberikan dan menambah pengetahuan dinamika foraminifera di wilayah tropis, khususnya di Kepulauan Seribu,
b. sebagai dasar untuk penelitian foraminifera yang lebih kompleks di masa datang,
c. foraminifera sebagai indikator ekologi dapat digunakan untuk penilaian cepat (rapid assessment), murah, dan sebagai pelengkap dari penelitian lain yang berkaitan terhadap perubahan awal lingkungan perairan, sehingga dapat mengurangi penggunaan parameter fisika dan kimia,
d. aplikasi pengamatan foraminifera dapat digunakan bila terdapat keterbatasan alat dan bahan untuk analisa parameter fisika dan kimia untuk menduga tekanan terhadap lingkungan ekosistem terumbu karang,
e. data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam pemantauan dan strategi pengelolaan lingkungan perairan, khususnya bila pemantauan dilakukan secara berkesinambungan baik secara ruang maupun waktu.
1.6 Kerangka Pemikiran
Gambar 1 memberikan skema kerangka pemikiran yang mendasari penelitian.
Gambar 1 Kerangka pemikiran. Ekosistem terumbu karang Antropogenik Perubahan ekosistem Biotik Abiotik Kajian biologi Kajian ekologi Berpengaruh
Proporsi foraminifera bentik dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas ekosistem terumbu karang Proporsi foraminifera bentik belum
dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas ekosistem terumbu karang
tidak
ya Mikroalga
Terumbu karang
Foraminifera Air: suhu, kekeruhan, salinitas,
kecerahan, kecepatan arus, pH, oksigen terlarut, NH4-, NO3-, PO4-, dan Si.
Sedimen: C-organik dan N total Persen penutupan FORAM Index Klorofil-a,b,c
2.1 Foraminifera
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (uniseluler) yang hidup secara akuatik, memiliki satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa) yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen) (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Nybakken dan Bertness (2006) menambahkan bahwa organisme ini merupakan fauna renik laut yang memproduksi cangkang yang mengandung kalsium karbonat.
Foraminifera merupakan fauna mikroskopis yang telah ada sejak jaman Kambrium (500-570 juta tahun lalu) (Boudagher-Fadel, 2008). Meskipun diduga memiliki sekitar 27.000 spesies dan lebih dari 100 famili (Haq dan Boersma, 1998), namun foraminifera modern hanya memiliki sekitar 10.000 spesies dalam 26 famili, dimana jumlah foraminifera plankton sekitar 40-50 jenis (Sen Gupta, 2003a). Identifikasi dan klasifikasi foraminifera didasarkan pada ciri-ciri cangkang seperti struktur dan komposisi, bentuk dan susunan kamar, apertur, dan ornamentasi (Brasier, 1980). Berdasarkan hasil kompilasi, maka klasifikasi foraminifera modern menurut Sen Gupta (2003b) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Protoctista
Filum : Granuloreticulosea Kelas: Foraminifera
Ordo: terdiri dari 16 ordo antara lain Miliolida dan Rotaliida beranggotakan beberapa genera yang hidup di sekitar lingkungan terumbu karang. Foraminifera umumnya berukuran mikroskopik dengan ukuran antara sekitar 30 µm – 1 mm (Chester, 1990). Alat gerak yang digunakan umumnya adalah pseudopodia. Cangkang pada foraminifera cukup keras dan umumnya terdiri dari CaCO3 (calcareous/gampingan) atau butiran pasir (agglutinated/agglutinin) yang melekat pada tubuhnya (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Durasi daur hidup foraminifera berlangsung antara beberapa minggu bagi taksa yang kecil sampai setahun untuk kelompok taksa yang besar. Jenis reproduksi dibagi dua yaitu seksual yang dilakukan jenis planktonik dan
pembelahan aseksual yang dilakukan jenis bentonik. Reproduksi pada foraminifera besar umumnya aseksual (Murray, 2006).
Hanya sebagian kecil dari foraminifera yang bersifat planktonik, sebagian besar bersifat bentik yang tinggal di dasar perairan (Boltovskoy dan Wright, 1976). Beberapa jenis dapat berpenetrasi ke bagian bawah sedimen sampai sejauh 60 cm, meskipun pada umumnya penetrasi hanya sampai beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dimana jumlah tertinggi ditemukan pada kedalaman 1 cm di bawah permukaan sedimen (Murray, 2006). Foraminifera bentik memiliki ukuran yang lebih besar dan duri yang lebih keras dibandingkan jenis planktonik. Secara taksonomi, keragaman foraminifera bentik lebih tinggi dibandingkan jenis planktonik, namun jumlah individu per jenis lebih kecil (Boltovskoy dan Wright, 1976). Jenis bentik dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang bergerak bebas di substrat dan yang menempel pada sedimen atau vegetasi dasar.
Foraminifera besar yang umumnya memiliki diameter cangkang yang lebih besar dari 2 mm, banyak terdistribusi pada perairan tropis yang dangkal dan mengandung endosimbion. Secara distribusi mikro, pola distribusi pada foraminifera bentik biasanya mengelompok, bukan acak maupun seragam. Hal ini terjadi karena efek dari kondisi lingkungan secara skala mikro seperti kompetisi interspesifik dan proses reproduksinya. Pada skala global, suhu perairan, kandungan nutrien, intensitas cahaya, dan energi hidrodinamik mempengaruhi penyebaran foraminifera. Daerah Indo-Pasifik seperti Indonesia memiliki kandungan dan keragaman foraminifera yang tinggi (Murray, 2006).
2.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan Foraminifera 2.2.1 Suhu
Foraminifera dapat hidup pada suhu antara –1,9-450C dengan kisaran yang berbeda untuk masing-masing jenis. Pada kelompok foraminifera bentik, suhu sangat berpengaruh terhadap sebarannya baik secara vertikal maupun horisontal (Boltovskoy dan Wright, 1976 dan Murray, 2006), jumlah populasi, dan besarnya cangkang (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).
2.2.2 Kekeruhan dan Kecerahan
Kekeruhan yang tinggi menyebabkan fitoplankton yang berada dalam kolom perairan yang lebih dalam tidak dapat melakukan fotosintesis dengan efektif, sehingga pasokan makanan untuk foraminifera menjadi berkurang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Kekeruhan yang berlebihan memberikan dampak yang merugikan bagi foraminifera karena jumlahnya akan berkurang baik karena mati atau tidak terjadi regenerasi (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Hasil penelitian Adisaputra dan Rostyati (2009) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur menunjukkan pada perairan yang jernih, foraminifera bentik yang dominan adalah Amphistegina lessonii. Pada wilayah tersebut jenis ini umumnya berasosiasi dengan terumbu karang yang turbulensi arusnya rendah.
Aktivitas fotosintetik dari kolom permukaan sampai suatu kedalaman ekuivalen dengan dua setengah kali kedalaman dimana keping secchi tidak lagi terlihat (Boltovskoy dan Wright, 1976). Henderson (1987) dalam Garno (2000) menggolongkan tingkat trofik berdasarkan kedalaman keping secchi sebagai fungsi dari visibilitas perairan sebagaimana yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Penggolongan tingkat trofik berdasarkan keping secchi (meter)
No Trofik Rata – rata keping secchi Maksimal tahunan keping secchi
1. Ultra oligotrofik ≥12 ≥ 6,0 2. Oligotrofik ≥ 6,0 3,0 – 6,0 3. Mesotrofik 3,0 – 6,0 1,5 – 3,0 4. Eutrofik 1,5 – 3,0 0,7 – 1,5 5. Hipereutrofik < 1,5 <0,7 2.2.3 Kedalaman
Kedalaman mempengaruhi variasi spesies dan besarnya cangkang. Pada laut yang dangkal umumnya variasi jumlah spesies dan individunya lebih besar dibanding perairan dalam. Jenis-jenis cangkang gampingan akan semakin banyak dan cangkang aglutinin tidak terlalu melimpah pada zona perairan dangkal ini (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).
Meskipun diduga kedalaman bukanlah merupakan faktor pembatas secara langsung, namun beberapa parameter yang berkaitan dengan perubahan kedalaman seperti tekanan air, densitas, penetrasi cahaya, suhu, kandungan
oksigen, dan karbon dioksida dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan foraminifera (Funnel in Murray, 1973 in Rositasari, 1989 dan Renema, 2008 ).
2.2.4 Arus
Keberadaan arus memiliki sisi yang menguntungkan dan merugikan bagi foraminifera. Faktor yang menguntungkan dari keberadaan arus akan menyebabkan sebaran suhu dan salinitas menjadi merata dalam suatu lokasi, membawa makanan dan mentranspor oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh foraminifera, serta sebaran jenis-jenis foraminifera juga akan lebih luas. Sebaliknya arus turbulen pada zona perairan yang dangkal dapat menyebabkan kekeruhan yang merugikan foraminifera (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Pada wilayah terumbu karang, pengaruh arus dan gelombang dapat memindahkan komunitas foraminifera besar. Foraminifera tersebut akan mengikatkan dirinya ke substrat menggunakan pseudopodia atau perluasan protoplasmik untuk mencegah perpindahan tubuhnya (Murray, 2006).
2.2.5 Substrat
Semua foraminifera bentik besar merupakan epifauna yang tinggal pada substrat keras seperti patahan karang dan beberapa adalah epifit pada lamun dan alga berkapur. Sedimen yang lembut menyediakan ruang tiga dimensi bagi kehidupan foraminifera epifauna dan infauna (Murray, 2006). Pada saat hidup, pseudopodia foraminifera cenderung akan menancapkan cangkang ke dalam sedimen sehingga mencegah terjadinya erosi pada substrat (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Tekstur dan kandungan kimia substrat mempengaruhi distribusi dan morfologi foraminifera bentik. Foraminifera dengan bentuk agglutinin memiliki kertekaitan yang lebih kuat dengan kondisi substrat dasar karena banyak material cangkang agglutinin berasal dari dasar dibandingkan jenis gampingan yang mensekresikan cangkangnya secara kimia (Boltovskoy dan Wright, 1976).
Beberapa hasil penelitian mengindikasikan adanya peningkatan jumlah spesimen foraminifera dengan makin kecilnya ukuran butiran sedimen, dimana pada saat itu terjadi peningkatan nitrogen organik. Pada substrat zona pasir halus
(0,125-0,250 mm) yang mengandung moluska dan detritus alga ditemukan populasi foraminifera litoral yang tinggi, namun populasi yang lebih kaya terdapat pada zona alga berkapur yang masih hidup. Pada zona yang dipengaruhi pasir kasar (0,5-1 mm) didominasi oleh jenis gampingan. Pada sedimen tipe pasir kasar umumnya didominasi foraminifera yang berdinding tebal sedangkan yang berdinding tipis terdapat pada zona sedimen yang bertipe butiran halus (Boltovskoy dan Wright, 1976).
2.2.6 Salinitas
Foraminifera dapat hidup pada perairan dengan kisaran salinitas 0-70 tergantung jenisnya, namun jumlah dan keragaman tertinggi ditemukan pada kisaran salinitas 32-37, sedangkan pada salinitas 10-12, sel foraminifera tidak dapat berfungsi dengan baik (Murray, 2006) bahkan dapat menyebabkan kematian (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Umumnya foraminifera bentik merupakan fauna stenohalin (Rositasari, 1989) meskipun kisarannya masih lebih lebar dibandingkan foraminifera planktonik (Boltovskoy dan Wright, 1976), namun beberapa jenis lainnya seperti Ammonia beccarii tepida memiliki toleransi salinitas yang tinggi yaitu dari 2 - 41.
Pada perairan yang bersalinitas rendah, keragaman foraminifera akan rendah, ukuran cangkang yang mengecil dan menipis, terjadi transformasi dari cangkang berkapur menjadi berkhitin, hilangnya ornamentasi cangkang, pola ornamentasi cangkang berubah, dan komunitas foraminifera didominasi oleh tipe agglutinin. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan sekresi kalsium karbonat (CaCO3) dari dalam protoplasma. Proses tersebut terjadi karena solubilitas CaCO3 akan menurun dengan menurunnya salinitas, sehingga tidak akan terdapat CaCO3 yang mencukupi untuk membentuk cangkang foraminifera pada area yang bersalinitas rendah (Boltovskoy dan Wright, 1976, Rositasari, 1989).
2.2.7 Oksigen Terlarut
Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik dicukupi oleh alga simbion yang ada pada protoplasma foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Ketika menghadapi kondisi yang anoksik, maka foraminifera akan bertahan
sebentar lalu akan mencari zona yang mengandung oksigen terlarut yang tinggi bila tidak ingin menghadapi kondisi yang fatal seperti kematian (Murray, 2006). Rendahnya kandungan oksigen akan mengurangi kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat, terutama pada kondisi perairan yang bersifat asam, akibatnya akan mereduksi jumlah spesies foraminifera bentik, meningkatkan kelimpahan beberapa jenis tertentu, merubah morfologi spesies, dan membatasi distribusinya (Boltovskoy dan Wright, 1976). Jenis yang melimpah di daerah tercemar telah beradaptasi dengan lingkungan anoksik (Rositasari, 1989). Rositasari (1997) menyatakan pada populasi anaerobik dicirikan dengan cangkang gampingan, tipis dan berukuran kecil, dan tidak berornamen.
Phleger dan Soutar in Braddier (1980) in Rositasari (1997) menduga bahwa kebutuhan oksigen pada foraminifera sangat kecil, namun demikian Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada beberapa genus bentik (Elphidium, Buccella, Bulimina, Nonion, Buliminella) membutuhkan pasokan oksigen yang relatif besar. Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik tersebut dicukupi oleh simbiotik alga yang ada pada protoplasma foraminifera.
2.2.8 pH
Rendahnya nilai pH terjadi karena adanya dekomposisi material organik. Selain itu rendahnya nilai pH bisa juga terjadi karena adanya masukan H2SO4 dari sungai karena terjadi dekomposisi sulfida seperti di Pesisir Chilean. pH rendah akan membatasi distribusi foraminifera dan menyebabkan tekanan bagi kehidupannya. Sedimen lempung (clay) yang kaya akan material organik sehingga nilai pH menjadi rendah menyebabkan rendahnya foraminifera dibandingkan dengan area berpasir. Kandungan karbonat dan pH yang rendah juga memiliki korelasi dengan rendahnya kelimpahan foraminifera dan tingginya dominasi foraminifera jenis aglutinin dibandingkan gampingan. Cangkang gampingan mulai melarut dan jenis agglutinin mulai melimpah pada pH yang lebih rendah dari 7,8. Hal ini terjadi karena jenis ini harus mengeluarkan energi berlebih untuk melakukan proses re-kalsifikasi (recalcifying) pada cangkang mereka. Pada sedimen, rendahnya pH akan menyebabkan melarutnya cangkang yang kosong (Boltovskoy dan Wright, 1976).
2.2.9 Nutrien
Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 ppm. Kadar yang lebih dari 0,2 ppm dapat mengakibatkan eutrofikasi perairan, sedangkan bila lebih dari 5 ppm menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik (Effendi, 2003). Dalam air laut, rata – rata kadar fosfat adalah 0,06 ppm. Kadar ini semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik dari deterjen, limbah industri, dan limbah pertanian/perkebunan akibat pemakaian pupuk yang banyak mengandung fosfat. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik antara 0,003 – 0,01 ppm, mesotrofik antara 0,011 – 0,05 ppm, dan eutrofik antara 0,031 – 0,1 ppm (Volenweider, 1969 in Effendi, 2003). Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada konsentrasi pospat yang tinggi (mencapai 10 kali konsentrasi normal) akan terjadi peningkatan produksi fitoplankton dan foraminifera planktonik. Keragaman foraminifera bentik menurun pada daerah tercemar dan beberapa spesies akan mendominasi.
Perairan tropis yang umumnya oligotrofik merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan foraminifera besar (Murray, 2006). Lingkungan terumbu karang yang konsentrasi nutriennya rendah akan didominasi oleh foraminifera bentik besar, sedangkan pada wilayah yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi akan didominasi oleh foraminifera detrivor dan herbivor yang berukuran kecil (Hallock et al, 2003). Pertumbuhan foraminifera bentik yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berdekatan dengan daratan umumnya tereduksi karena tingginya nutrien di zona tersebut, akibatnya tingkat reproduksi menjadi menurun dan akhirnya jumlah individunya akan menurun juga (Uthicke dan Altenrath, 2010). Hal tersebut terjadi karena endosimbion menyimpan hasil fotosintesis untuk pertumbuhan dan reproduksi endosimbion sehingga secara fisiologi menekan foraminifera (Osawa et al., 2010).
2.3 Makanan dan predator
Makanan foraminifera cukup beragam, mulai dari pennate diatom, flagellata, alga, gamet dari alga, bakteri, kopepoda, ekinodermata kecil, nematoda, infusoria, spora, mikrokrustasea, siliata, dan foraminifera lain. Makanan tersebut ditangkap
foraminifera dengan menggunakan pseudopodia yaitu jaringan kaki semu yang dibentuk dari juluran protoplasma yang keluar melalui lubang cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Murray (2006) mengelompokkan jenis foraminifera berdasarkan cara makan dalam delapan kelompok:
a. baktivor: jenis ini merupakan jenis yang paling primitif, antara lain Allogromiids, Ammonia, Textularia, dan Quinqueloculina.
b. herbivor: jenis ini terbatas pada zona eufotik; seperti Ammonia, Bolivina, Elphidium, Rosalina, .
c. karnivor: jenis yang bergerak cepat dan kanibal; contohnya adalah Amphistegina, Astrorhiza, Elphidium, Floresina, Patellina, dan Peneroplis. d. detrivor: jenis ini berada pada sedimen di bawah zona eufotik; contohnya
antara lain Epistominella, Fursenkoina, Tinogullmia.
e. omnivor: umumnya bentik foraminifera yang oportunis; contohnya antara lain Astrammina dan Astrorhiza.
f. pasif pemakan suspensi: jenis ini termasuk epifauna dan sesil; antara lain Astrorhiza, Fontbotia, Miliolinella,Planulina, dan Rupertia
g. materi organik terlarut: seperti Astrammina dan Notodendrodes.
h. parasit: terdapat jenis ektoparasit seperti Fisurina submarginata dalam Rosalina, Hyrrookin sarcophaga dalam bivalvia serta terumbu karang perairan dalam, dan Planorbulinopsis parasita sebagai endoparasit Alveolinella quoyi.
Proses predasi terhadap foraminifera mengontrol dan membatasi jumlah individu namun tidak membatasi distribusi foraminifera. Predator foraminifera antara lain gastropoda, bivalvia, nematoda, udang, krustasea (crustacea), poliket (polychaetes), scaphopoda, echinoid, holothurian, chiton, nudibranchs, asteroidea, ophiuroidea, tunicate, crinoidea, dan ikan (Murray, 2006).
2.4 Simbiosis Foraminifera Dengan Alga Simbion
Endosimbion merupakan asosiasi antara dua spesies organisme yang berbeda namun hidup bersama, dimana organisme yang satu tinggal dalam sel organisme inang (Paracer dan Ahmadjian, 2000). Pada perairan laut terdapat simbion berupa zooxanthella (berwarna kuning atau coklat) dimana sebagian besar merupakan kelompok dinoflagelata meskipun beberapa merupakan diatom.
Simbion tersebut umumnya berada pada foraminifera yang terletak pada perairan dangkal dengan intensitas cahaya yang tinggi dan memiliki dinding cangkang yang transparan (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera mendapatkan simbion dengan menangkapnya menggunakan reticulopodia. Penyebaran simbion terjadi selama proses reproduksi aseksual pada foraminifera besar (Murray, 2006) Masing-masing kelompok foraminifera bentik memiliki tipe endosimbion yang berbeda yang menempati sel pada foraminifera besar. Beberapa taxa dengan tipe simbion yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2 (Utchike dan Nobes, 2008).
Tabel 2 Taksa foraminifera dengan tipe simbion (Utchike dan Nobes, 2008)
Sub ordo Famili Genus Tipe simbion
Rotaliina Calcarinidae Baculogypsina Diatom Calcarina Diatom Neorotalia Diatom Amphisteginidae Amphistegina Diatom Numulitidae Heterostegina Diatom Operculina Diatom Miliolina Alveolinidae Alveolinella Diatom
Peneroplidae Peneroplis Alga merah Soritidae Marginopora Dinoflagelata
Sorites Dinoflagelata
Baik endosimbion yang dimanfaatkan foraminifera maupun karbon yang digunakan endosimbion menjadi berguna a) saat foraminifera memanfaatkan bahan organik partikulat dari simbion untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya, b) simbion menggunakan hasil ekskresi dari foraminifera tersebut melalui fotosintesis untuk pertumbuhan dan perkembangan yang selanjutnya simbion tersebut dimanfaatkan kembali oleh foraminifera, c) meningkatkan kalsifikasi cangkang foraminifera (Kuile, 1991, Murray, 2006). Keberadaan endosimbion dapat mereduksi kehilangan energi sampai 90% dalam jejaring makanan, sehingga seperti proses pada terumbu karang, foraminifera dapat beradaptasi pada kondisi perairan yang miskin nutrien. Hal tersebut menyebabkan perairan oligotrofik seperti ekosistem terumbu karang merupakan tempat yang cocok untuk keberadaan foraminifera besar (Murray, 2006). Selain itu simbion alga menghasilkan oksigen yang digunakan oleh foraminifera sedangkan foraminifera menghasilkan karbondioksida yang dimanfaatkan oleh
mikroalga tersebut. Proses ini serupa dengan kemampuan zooxanthella mensuplai kebutuhan oksigen bagi terumbu karang bahkan pada saat kondisi intensitas cahaya yang rendah. Keberadaan simbion tersebut menyebabkan kondisi foraminifera yang memiliki simbion menjadi lebih baik dibandingkan foraminifera jenis yang sama tanpa simbion (Boltovskoy dan Wright, 1976) karena foraminifera besar dapat bertahan sampai beberapa tahun dan dapat secara perlahan menyiapkan cadangan makanan untuk keperluan reproduksi (Murray, 1991a).
2.5 Asosiasi Foraminifera Dengan Terumbu Karang
Sebagian besar foraminifera bentik besar yang hidup di wilayah tropis dan subtropis berasosiasi dengan terumbu karang (Uthicke dan Altenrath, 2010). Foraminifera besar dengan endosimbionnya memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan fitoplankton pada perairan dangkal di ekosistem terumbu karang. Produksi karbonat oleh foraminifera besar memberikan kontribusi 70-80% dari seluruh karbonat foraminifera terumbu karang dengan produksi tahunan 44 juta ton yang mewakili 0,76% produksi karbonat lautan modern (Murray, 2006). Tiga puluh persen dari hamparan sedimen pasir-karang pada Terumbu Pulau Green di Great Barrier Reef, Australia merupakan hasil kontribusi dari foraminifera bentik meskipun produksi CaCO3 organisme tersebut lebih kecil dibandingkan organisme pembentuk terumbu lainnya. Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut adalah Amphistegina lessonii, Baculogypsina sphaerulata, dan Calcarina hispida (Yamano et al., 2000).
Cangkang foraminifera bentik memiliki kontribusi yang penting sebagai material gampingan pada terumbu karang (Castro dan Huber, 2007). Cangkang karbonat foraminifera biasanya merupakan hasil endosimbiotik dengan beberapa jenis alga seperti zooxanthella. Dengan cara simbiosa seperti itulah dimungkinkan beberapa fosil foraminifera dapat mencapai bentuk 'raksasa', karena alga menyediakan senyawa hara dari hasil fotosintesa sehingga tersedia kalsium karbonat (CaCO3) yang maksimal (Rositasari, 1997). Peran tersebut menunjukkan betapa eratnya asosiasi foraminifera dengan terumbu karang seperti yang terjadi
dengan spesies Heterostegina depressa (Leutenegger, 1984 in Rositasari dan Sidabutar, 1993).
Foraminifera yang terdapat di lingkungan terumbu karang umumnya sebagai biota penempel seperti Homotrema dan Miniacina, dan sebagai epifauna yang hidup dalam kerangka terumbu seperti Calcarina, Amphistegina dan Marginophora. Marga-marga yang beradaptasi dengan baik di lingkungan karang ini misalnya Calcarina, Amphistegina, Marginophora, Peneroplis, Operculina, Archaias, Rotorbinella, Borelis, dan Baculogypsina (Rositasari, 1997). Ekosistem terumbu karang yang sehat, akan mendukung kebutuhan berbagai organisme seperti foraminifera termasuk habitat untuk memijah, mencari makan, dan menetap (Bradley, 2010).
2.6 Aplikasi Foraminifera Sebagai Indikator Lingkungan
Foraminifera sering dipakai sebagai indikator dalam berbagai bidang lingkungan perairan. Jenis Neogloboquadrina pachyderma yang sensitif terhadap perubahan suhu digunakan sebagai indikator paleoklimat dan paleooseanografi. (http://www.ucmp.berkeley.edu/fosrec/Olson2.html). Beberapa aplikasi lain penggunaan foraminifera sebagai indikator lingkungan modern adalah:
a. Pada perairan yang tercemar didominasi oleh beberapa jenis foraminifera yang mampu beradaptasi, terjadi deformasi bentuk cangkang, dan diversitas yang rendah (Rositasari, 1989), hal ini terjadi karena pencemaran dapat mengganggu metabolismenya sehingga dapat mempengaruhi fisiologi dan ekologinya secara keseluruhan (Kennish, 1992).
b. Rasio infauna/epifauna: rasio yang tinggi menunjukkan perairan yang produktif (Gooday, 2003).
c. Rasio jumlah Hidup/Mati {Live/Dead (L/D)}: rasio yang rendah menunjukkan lambatnya proses pendepositan sedimen (Majewski, 2005).
d. Rasio jumlah individu Planktonik/Bentik (P/B): rasio yang rendah mengindikasikan perairan dangkal yang tidak stabil, sedangkan nilai perbandingan yang tinggi mengindikasikan kondisi perairan dalam, terbuka (Zili dan Zaghbib-Turki, 2010), serta produktif (Drinia et al., 2004). Bila cangkang plankton <20% menunjukkan daerah di dalam paparan, 20-50% di
tengah paparan, 50-70% diluar paparan, dan >70% berada di atas zona bathyal (Pezelj et al., 2007).
e. Rasio jumlah Pasiran/Gampingan {Agglutinated/Calcareous (A/C)} yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang terbatas bagi perkembangan foraminifera karena kadar hara yang tinggi dan salinitas yang rendah (Rositasari, 2006).
f. FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Index (FI) merupakan indeks yang digunakan untuk memantau kesehatan ekosistem terumbu karang. Makin tinggi nilai FI menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang yang makin baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang (Hallock et al., 2003).
2.7 Konsep Bioindikator Pada Ekosistem Terumbu Karang
Indikator merupakan tanda untuk menyampaikan pesan yang kompleks yang berasal dari berbagai sumber dengan cara yang disederhanakan serta berguna dan pesan tersebut terutama digunakan untuk memberikan karakteristik status pada saat tertentu serta untuk memprediksi perubahan penting. Bioindikator (biological indicator) merupakan respon adanya masukan antropogenik maupun alamiah terhadap parameter biomolekul, biokimia, atau fisiologi yang berkaitan dengan dampak biologi pada suatu tingkatan organisme, populasi, komunitas, atau ekosistem (Fichez et al., 2005).
Penetapan bioindikator sebagai biokriteria di ekosistem terumbu karang dianggap penting untuk membantu menentukan kelayakan pemanfaatan suatu ekosistem sesuai dengan yang diharapkan (Bradley, 2010). Cooper dan Fabricius (2007) mengemukakan lima kriteria yang digunakan untuk menggolongkan bioindikator yang digunakan dalam mengkaji perubahan kualitas air di ekosistem terumbu karang:
a. Specificity: merupakan respon biologis yang spesifik terhadap tekanan tertentu yaitu kepada penyebabnya, bukan pada penyebab lainnya.
b. Variability: respon biologis harus konsisten pada kisaran ruang dan waktu. Bila tidak ada tekanan, kondisi bioindikator relatif rendah variasinya.
c. Monotonicity: tingkat besarnya perubahan pada bioindikator setara terhadap intensitas dan durasi perubahan kualitas air sebagai bukti adanya keterkaitan konsentrasi polutan terhadap respon biota.
d. Practicality: kemudahan untuk mendeteksi perubahan pada bioindikator, dalam hal ini misalnya dengan biaya yang murah, mudah untuk dikuantifikasi, tidak merusak, ketidak tergantungan antar peneliti, dan tingkat keahlian yang dibutuhkan pada saat pengkajian.
e. Relevant: mengacu pada relevansi ekologi dan relevansinya pada kepentingan masyarakat sehingga hasil dari bioindikator dapat membantu menjelaskan hasilnya untuk kepentingan yang lebih luas.
Cooper et al. (2009) meninjau 21 metode bioindikator yang pernah digunakan untuk memantau terumbu karang, dari tingkat genetik dan koloni, populasi, dan komunitas. Dua bioindikator dengan prioritas tertinggi adalah penggunaan mikro/meiobentik dan kedalaman maksimum pertumbuhan terumbu karang. Penggunaan mikro/meiobentik disarankan digunakan untuk monitoring jangka panjang dan jangka pendek. Hal yang mendasari keputusan tersebut karena penggunaan mikro/meiobentik memiliki specificity, monotonicity, practicality, dan relevance yang tinggi, serta variability yang rendah.
Beragam mikro/meiobentik dapat digunakan sebagai bioindikator di ekosistem terumbu karang. Beberapa contohnya adalah kandungan organik, kelimpahan dan komposisi bakteri, mikrofitobentik di sedimen, ampipoda, stomatopoda, dan foraminifera (Cooper et al., 2009).
2.8 Indeks FORAM
FORAM (Foraminifers in Reef Assessment and Monitoring) Index (FI) merupakan hasil penelitian selama 30 tahun untuk mengkaji hubungan antara foraminifera bentik yang berukuran besar dengan kualitas ekosistem terumbu karang. FI dianggap pantas untuk digunakan dalam menentukan apakah kualitas perairan setempat sesuai untuk komunitas simbion alga yang menopang keberadaan terumbu karang. Hal ini terjadi karena adanya kesamaan prinsip fisiologi antara terumbu karang dan foraminifera bentik besar yaitu ketergantungannya terhadap alga simbion untuk meningkatkan pertumbuhan dan
kalsifikasi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari nilai FI adalah kondisi foraminifera yang memiliki simbion dan terumbu karang akan baik pada lingkungan oligotrofik dengan pakan yang terbatas (Hallock et al., 2003).
FI dapat digunakan untuk menilai kelayakan kualitas air dalam mendukung pemulihan terumbu bahkan setelah ekosistem tersebut mengalami kerusakan parah akibat topan, pemutihan, atau aktifitas antropogenik lainnya. Pemilihan foraminifera sebagai bioindikator dalam menilai kualitas lingkungan karena a) terumbu, zooxanthella, dan foraminifera yang memiliki alga simbion memiliki kesamaan kualitas perairan untuk tumbuh dan berkembang, b) rentang waktu hidup foraminifera cukup pendek dibandingkan koloni karang sehingga perubahan lingkungan akan segera mempengaruhi foraminifera, c) foraminifera berukuran relatif kecil, jumlahnya melimpah, mudah dan cepat dikoleksi dengan biaya yang relatif murah, jumlahnya dapat diolah secara statistik, dan ideal sebaga komponen dari program pemantauan yang komprehensif, d) pengambilan foraminifera tidak merusak ekosistem terumbu karang (Hallock et al., 2003).
Carnahan et al. (2009) membuktikan keberhasilan FI untuk mengkaji kualitas perairan estuari di Teluk Biscayne, Florida. Perairan yang dekat dengan pengaruh kontaminasi pemukiman dan adanya masukan air tawar memiliki FI yang rendah (FI~1,8). Pada wilayah yang mejauhi estuari memiliki nilai FI yang lebih tinggi (FI~2,6). Kajian Dewi et al., (2010) menerangkan rendahnya nilai FI yang berada di luar ekosistem terumbu karang pada Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, dan Pulau Belanda di Kepulauan Seribu. Pada ketiga lokasi tersebut hanya ditemukan satu spesimen foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan komposisi yang rendah (masing-masing 17,27%; 12,28%; dan 10,96%) dari keseluruhan komunitas foraminifera yaitu jenis Amphistegina. Nilai FI pada Pulau Bidadari adalah 2,99; Pulau Pramuka sebesar 2,59, dan Pulau Belanda yaitu 2,53. Hasil penelitian Natsir (2010) pada wilayah Kepulauan Seribu menunjukkan nilai FI yang tinggi di Pulau Kotok Besar (7,57-7,63) yang berada pada ekosistem terumbu karang. Pada Pulau Nirwana nilai FI menjadi rendah (1,57-1,52) karena rendahnya tingkat kecerahan dan nilai pH perairan dibandingkan dengan Pulau Kotok Besar.
3.1 Tempat dan Waktu
Pengambilan data dilakukan pada tiga pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau: Onrust yang berdekatan dengan Teluk Jakarta, Pramuka, dan Karang Bongkok yang berada di utara Pulau Pramuka (Gambar 2). Pemilihan ketiga pulau tersebut berdasarkan pada kategori persen penutupan karang keras dari Gomez dan Yap (1988) in Fadila dan Idris (2009). Persen penutupan karang di Pulau Onrust pada tahun 2007 adalah 0,0% dengan kategori buruk, Pulau Pramuka sebesar 34,6% dengan kategori sedang, dan Pulau Karang Bongkok sebesar 63,7% dengan kategori baik. Pada setiap pulau, parameter contoh diambil pada empat stasiun yaitu di sebelah utara, timur, selatan, dan barat pulau, kecuali pada pada Pulau Onrust bagian timur, sehingga secara keseluruhan terdapat 11 stasiun. GPS Armin 60i digunakan untuk merekam lokasi penelitian (Lampiran 1).
Gambar 2. Lokasi penelitian.
Analisa parameter kimia perairan dilaksanakan di Laboratorium Produktivitas Hayati P3O-LIPI Ancol, Jakarta. Analisa sedimen dilakukan di
Laboratorium Tanah, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian-Balai Penelitian Tanah Bogor. Identifikasi foraminifera dilakukan di Laboratorium Hidrobiologi Ilmu Kelautan IPB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Bandung. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan pada tanggal 15-18 Maret 2011. Identifikasi foraminifera dilakukan pada Bulan April – Juli 2011.
3.2 Pengambilan Sampel
3.2.1 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Untuk Sampel Foraminifera Contoh air diambil di kolom dekat dasar perairan kecuali pengukuran kecepatan arus dilakukan di kolom permukaan perairan. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen permukaan pada dasar perairan dengan kedalaman dari permukaan sampai 2 cm di bawah permukaan sedimen (Hallock et al., 2003). Peralatan SCUBA digunakan saat melakukan pengukuran persen penutupan substrat dan untuk membantu menyelam saat mengambil contoh air serta sedimen di ekosistem terumbu karang. Pengambilan sedimen menggunakan sekop dan dimasukkan dalam plastik contoh yang telah diberi label.
3.2.2 Pengukuran dan Analisa Persentase Substrat Perairan
Analisa persentase penutupan substrat perairan digunakan untuk membandingkan nilainya dengan nilai FORAM Index. Pengukuran persentase penutupan substrat berdasarkan kategori substrat dilakukan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung/TGM (Line Intersect Transect/LIT) (English et al., 1994) (Lampiran 2). Pengukuran dilakukan secara acak dengan kedalaman yang tetap pada setiap titik (Hodgson et al., 2006). Pada penelitian ini kedalaman yang digunakan yaitu tujuh meter di bawah permukaan laut. Hasil persentase penutupan karang keras selanjutnya dibandingkan dengan nilai FORAM Index.
3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Parameter Perairan
Untuk parameter perairan lain yang akan dikaji, jenis parameter, metode, alat, serta unit pada setiap parameter tertera pada Tabel 3. Pengukuran suhu air, kecerahan, salinitas, oksigen terlarut, pH, arah dan kecepatan arus dilakukan secara in-situ. Pengukuran klorofil-a,b,c ; fosfat; nitrat; amonia; silikat; N total;