• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Interpretasi dalam Fungsi Historis

FUNGSI INTERPRETASI JORGE J.E. GRACIA

A. Aplikasi Interpretasi dalam Fungsi Historis

Pada bagian historical function (fungsi historis) akan dijelaskan konteks historis dari ayat-ayat tentang larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin. Karena tujuan dari fungsi historis (historical function) adalah untuk menciptakan kembali di benak audiens kontemporer pemahaman yang dimiliki oleh pengarang historis (historical author) dan audiens historis (historical audience). Oleh karena itu, untuk mengetahui konteks historis ayat-ayat tentang larangan menjadikan non

Muslim sebagai pemimpin, perlu menambah elemen teks sejarah yang akan memungkinkan untuk menciptakan kembali tindakan-tindakan yang akan dapat merefleksikan budaya dan konteks ketika teks itu muncul. Sebenarnya mengenai sejarah munculnya teks (ayat-ayat larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin) ini sudah dijelaskan dalam bab 3 pada bagian asba>b al-nuzu>l. Untuk itu, pada bagian ini penulis hanya akan mengulas dan menambahkan sedikit tentang konteks historis ketika teks itu muncul.

Ayat-ayat al-Qur‟an yang melarang menjadikan non Muslim sebagai pemimpin turun sebelum Fathu Makkah (kemenangan kota Makkah). Saat itu, kaum musyrik berada pada puncak kebencian dan permusuhannya terhadap umat Islam. Walaupun demikian, sewaktu Fathu Makkah, Rasulullah melupakan segala kejahatan dan kekejaman yang pernah dialami di kota itu. Rasulullah tidak melakukan balas dendam, bahkan yang dilakukan Rasulullah adalah memberikan amnesti umum kepada semua orang yang begitu jahat kepadanya, seraya bersabda “….ءاَقَلطلا نُتْنَأ” (kalian bebas).1

Di samping harus dikaitkan dengan ayat-ayat yang membolehkan,2 ayat-ayat yang melarang umat Islam menjadikan pemimpin non Muslim juga harus dikaitkan dengan asba>b al-nuzu>l nya. Beberapa versi riwayat tentang asba>b al-nuzu>l ayat-ayat

1 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Mulim, 162.

2 Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 3, mengutip pendapat Muhammad Abduh dan

Muhammad Sayyid Tanthawi yang dikutip oleh M. Quraish Shihab. Ayat-ayat yang membolehkan non

77

yang melarang menjadikan non Muslim sebagai pemimpin, sebagaimana dikutip pada bab sebelumnya pada bagian asba>b al-nuzu>l, yaitu bahwa kesemuanya merupakan peristiwa-peristiwa (khusus) yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih non Muslim sebagai pemimpinnya. Kesemua versi riwayat tentang asba>b al-nuzu>l ayat-ayat yang melarang hal tersebut, merujuk pada kesimpulan yang sama yaitu umat Islam dilarang menjadikan non Muslim sebagai pemimpin karena pada saat itu (konteks historis ketika ayat-ayat tersebut diturunkan) non Muslim memusuhi dan atau memerangi Rasulullah dan kaum Mukmin.

Setelah dilakukan penelusuran mengenai turunnya kelima ayat larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin, bahwa ayat-ayat ini turun di Madinah, sebagaimana terdapat dalam karya Muhammad Abid al-Jabiri dalam salah satu karyanya yang berjudul Fahm al Qur’a>n al H}aki>m al Tafsi>r al Wadi>h Hasb Tarti>b al-Nuzu>l. Bahwa urutan dari kelima ayat-ayat tersebut (ayat-ayat larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin) adalah surah Ali Imra>n, kemudian surah al-Nisa>„, dilanjut dengan surah al-Ma>idah, dan yang terakhir surah al-Taubah.3

Pada surah Ali Imra>n ayat 28, sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus sekelompok kaum Mukmin yang menjadikan orang Yahudi sebagai sekutunya. Sehingga ayat ini turun sebagai

3 Muhammad Abid Al Jabiriy, Fahm al Qur’a>n al H}aki>m al Tafsi>r al Wadi>h Hasb Tarti>b al-Nuzu>l (Beirut: Markaz Dirasat al Wahdat al „Arabiyyah, 2008), III: 5-6.

peringatan agar tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung kaum Mukminin.4

Surah al-Ma>idah ayat 51, ayat ini turun berkenaan dengan salah seorang tokoh Islam (Abdullah bin Ubay bin Salul dan Ubadah bin al-Shamit) yang terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa. Akan tetapi pada akhirnya Ubadah bin al-Shamit melepaskan diri dari orang-orang Yahudi tersebut karena waktu itu Bani Qainuqa memerangi Rasulullah saw., dan akhirnya turunlah ayat ini sebagai peringatan kepada orang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya.5 Sedangkan surah al-Ma>idah ayat 57, ayat ini turun berkenaan dengan kasus Rifa‟ah bin Zaid bin at-Tabut dan Suwaid bin al-Harits yang memperlihatkan keislaman, padahal sebenarnya mereka itu munafik. Salah seorang dari kaum Muslimin bersimpati kepada kedua orang tersebut.6 Maka Allah menurunkan ayat ini (Q.S. al-Ma>idah: 57) yang melarang kaum Muslimin mengangkat kaum munafik sebagai pemimpin mereka.

Setelah mengetahui konteks sejarah teks itu muncul, perlu adanya interpretasi yang dalam hal ini merupakan bagian intergral dari pemahaman historical text untuk

4 Penjelasan ini sudah ada dalam bab 3 pada bagian asbabun nuzul. lihat juga dalam H.A.A.

Dahlan dan M. Zaka Alfarisi (ed), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat

Al-Qur‟an, 97.

5 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Darus Sunnah, 2014), II: 643-644.

6 H.A.A. Dahlan dan M. Zaka Alfarisi (ed), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis

79

memahami sebuah teks. Tujannya ialah untuk menjembatani kesenjangan kontekstual, konseptual, budaya dan sebagainya yang memisahkan teks dimana ia dibaca, didengar, atau bahkan diingat. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena perbedaan budaya dan rentang waktu antara pencipta teks dengan pembaca tentu saja akan melahirkan konsep yang berbeda pula. Untuk menyatukan makna dari suatu teks, di sinilah letak urgennya sebuah kajian terhadap sejarah teks atau disebut historical function dalam teori ini.

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai interpretasi ayat-ayat larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin, penulis akan menjelaskan kata-kata yang menjadi kata kunci pemaknaaan. Pada lafadz (ةّوئا) aimmah dalam surah at-Taubah ayat 12 ini merupakan bentuk jamak dari kata (ماها) ima>m yang berarti “yang berada di depan” untuk dituju oleh pandangan mata dan diteladani. Sehingga dalam surah at-Taubah ayat 12 ini lafadz (ةّوئا) aimmah dipahami sebagai pemimpin karena pada lafadz (رفكلا ةوئا) “pemimpin-pemimpin yang kufur” adalah mereka semua kaum musyrikin yang tidak dapat menepati janji mereka, baik pemimpinnya maupun pengikutnya. Sehingga mereka semua dinamai pemimpin-pemimpin yakni orang-orang yang dapat diteladani, karena sikap mereka itu dapat mendorong kaum musyrikin yang lain meledani mereka dalam pembatalan perjanjian.7

7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, V:

Lafadz aūliyā‟ ( ) yang terdapat dalam empat ayat ini (Q.S. Ali Imra>n: 28, Q.S. al-Nisa>„: 144, dan Q.S. al-Ma>idah: 51 dan 57), merupakan bentuk plural (jamak) dari kata wali yang semula secara leksikal berarti “dekat”. Kemudian dari makna asal itu lahir beberapa makna derivatifnya, seperti wala-yali ( ) yang berarti „dekat dengan‟ dan „mengikuti‟. Walla ( ) yang berarti „menguasai‟, „menolong‟, dan „mencintai‟. Aula ) yang berarti „menguasakan‟, „mempercayakan‟, dan „berbuat‟. Tawalla ( ) berarti „menetapi‟, „melazimi‟, „mengurus‟, dan „menguasai‟. Semua kata turunan dari wali menunjuk kepada adanya makna „kedekatan‟, kecuali bila diiringi kata depan „an ( ) secara tersurat dan tersirat seperti pada walla „an ( ) dan tawalla „an ( ), maka makna yang ditunjuknya adalah menjauhi atau berpaling. Sehingga kata wali dengan demikian mempunyai banyak arti, yakni „yang dekat‟, „teman‟, „sahabat‟, „penolong‟, „wali‟, „sekutu‟, „pengikut‟, ‟pelindung‟, „penjaga‟, „pemimpin‟, „yang mencintai‟, „yang dicintai‟, dan juga „penguasa‟.8

Setelah mengetahui arti kata yang menjadi kata kunci dari kelima ayat tersebut, yang telah disebutkan di atas, langkah selanjutnya adalah melihat penempatan kata di dalam kalimat (melihat susunan kalimatnya). Hal ini untuk mengetahui makna kata setelah masuk ke dalam kalimat. Karena lafadz aūliyā akan mempunyai arti yang berbeda apabila masuk ke dalam susunan kalimat yang berbeda

8

81

pula, hal ini melihat konteksnya terlebih dahulu yaitu sebagaimana telah dijelaskan mengenai beberapa arti yang lahir dari lafadz aūliyā‟ di atas. Lafadz aūliyā‟ yang terdapat pada keempat ayat ini, adalah menerangkan larangan bagi kaum Mukmin menjadikan non Muslim sebagai aūliyā‟ (baik itu aūliyā‟ dalam arti teman dekat, sekutu, ataupun pemimpin). Sehingga diperlukan pemahaman mengenai arti lafadz

aūliyā‟ ketika masuk dalam suatu kalimat, seperti melihat susunan kalimat dan

konteks bagaimana teks tersebut muncul.

Pada surah Ali Imra>n ayat 28 menerangkan bahwa Allah melarang hambanya untuk menjadikan orang kafir sebagai aūliyā‟. Perintah larangan ini disampaikan secara tegas dengan menggunakan lafad   Ibnu Katsir menjelaskan yang di maksud pada ayat tersebut adalah bahwa Allah melarang hambanya yang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai aūliyā‟ dan berhati-hati ketika membicarakan suatu rahasia. Hal ini (membicarakan suatu rahasia) mendapat pengecualian ketika berhadapan dengan orang Muslim.9 Kata aūliyā‟dalam surah ini ditafsirkan dengan makna „pelindung‟. Makna ini mengacu pada aūliyā‟ yang setidaknya memiliki beberapa makna.10

9 Isma‟il Ibn Umar Ibnu Katsir, al-Mis{ba>h{ al Muni>r fi> Tahz\i>b Tafsi>r Ibn Kas\i>r: T}ab’ah Jadi>dah Munaqqah{ah{ wa Mus{ah{h{ah{ah, 213.

10 Penjelasan ini sebagaimana melihat konteks ketika ayat ini diturunkan, yaitu bahwa lafadz

aūliyā‟ dalam ayat tersebut dapat dimaknai dengan „pelindung‟. Lebih lanjut lihat dalam H.A.A.

Dahlan dan M. Zaka Alfarisi (ed), Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat

Selanjutnya, Allah memberi peringatan kepada manusia bahwa barang siapa yang membangkang dengan perintah tersebut, dalam artian bahwa menjadikan orang kafir sebagai aūliyā‟, maka orang tersebut harus siap menghadapi segala resikonya. Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat    adalah bahwa Allah terlepas dari setiap akibat yang disebabkan oleh tindakan orang Mukmin yang menjadikan orang kafir sebagai aūliyā‟.11 Sedangkan dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan bahwa lafadz aūliyā‟ dalam surah Ali Imra>n ayat 28 mempunyai makna loyal kepada orang-orang kafir dalam agama dan menampakkan aib kaum Mukmin di hadapan mereka. Sehingga apabila orang-orang Mukmin yang demikian ini, maka dia adalah seorang yang musyrik dan Allah telah membebaskan diri dari mereka.12

Pada surah al-Nisa>„ayat 144 Allah melarang hambanya menjadikan orang kafir sebagai aūliyā‟. Lafadz aūliyā‟ pada ayat tersebut dimaknai sebagai „sahabat‟, „teman‟, dan „penasehat‟.13

Perbuatan ini, yaitu menjadikan orang kafir sebagai

aūliyā‟, termasuk perbuatan dosa. Hal ini sebagaimana diterangkan pada kelanjutan

ayat tersebut (      ), Ibn katsir melanjutkan bahwa yang di maksud dari lanjutan ayat tersebut adalah bahwa perbuatan menjadikan orang non Muslim sebagai aūliyā‟ akan mendapatkan balasan berupa siksa kelak di

11

Isma‟il Ibn Umar Ibnu Katsir, al-Mis{ba>h{ Al Muni>r fi> Tahz\i>b Tafsi>r Ibn Kas\i>r, 213.

12 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terj. Beni Sarbeni

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), V: 208. 13

83

akhirat.14 Sehingga dalam ayat ini, larangan Allah kepada hambanya orang-orang Mukmin untuk tidak berakhlak serupa dengan dengan akhlak orang munafik, yaitu dengan menjadikan mereka (orang-orang kafir) sebagai teman atau wali dan meninggalkan orang-orang Mukmin. Dalam tafsirnya, Ath-Thabari menegaskan bahwa Allah mengancam orang Mukmin yang menjadikan orang-orang kafir sebagai

aūliyā‟ (partner atau sahabat) yang dalam hal ini menolong dan melindungi mereka

dan meninggalkan agamanya (agama orang Mukmin, yakni Islam), maka orang Mukmin tersebut termasuk orang-orang munafik yang telah ditetapkan akan masuk neraka.15

Kemudian pada surah al-Ma>idah ayat 51, larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai aūliyā‟ adalah berkenaan dengan sebab turunnya ayat ini. Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan Ubadah bin al-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani Auf bin Khazraj) yang terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa. Pada lafadz    (sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian

yang lain), menurut Ath-Thabari, bahwa makna dari lafadz ini adalah sebagian

kalangan Yahudi menjadi mitra dan pemimpin bagi sebagian yang lain untuk melawan orang-orang Mukmin. Demikian juga dengan orang Nasrani, sebagian dari

14 Ibid. 15

mereka menjadi pemimpin bagi sebagian yang lainnya yang seagama. Hal ini sebagaimana pada kasus Ubadah dari golongan orang-orang Mukmin telah diangkat menjadi wali, baik untuk golongannya sendiri maupun untuk orang-orang yang meminta perlindungannya, yaitu seperti yang terjadi pada orang Yahudi dan Nasrani yang berperang.16

Surah al-Ma>idah ayat 57 sebagai penegasan kembali yaitu menguatkan ayat sebelumnya surah al-Ma>idah ayat 51 bahwa hendaknya orang Mukmin berhati-hati terhadap orang-orang yang menjadikan agama Islam sebagai sebuah ejekan dan permainan. Yang di maksud adalah para ahli kitab (kitabiyyin) dan orang-orang musyrik (musyrikin).17 Alasan larangan menjadikan para ahli kitab (kitabiyyin) dan orang-orang musyrik (musyrikin) sebagai aūliyā‟ adalah bahwa mereka meremehkan sesuatu yang lebih mulia dibandingkan dengan apa yang selama ini mereka percayai. Sesuatu yang lebih mulia dari kepercayaan mereka adalah syari‟at Islam.18

Sedangkan pada surah at-Taubah ayat 12, lafadz (ةّوئا) aimmah dipahami sebagai pemimpin-pemimpin kafir, bahwa perintah memerangi mereka (رفكلا ةوئا) “pemimpin-pemimpin-pemimpin-pemimpin

yang kufur” adalah karena mereka menghina agama Islam dan lafadz perintah

16 Ibid., IX: 104.

17 Isma‟il Ibn Umar Ibnu Kas\i>r, al-Mis{ba>h{ al Muni>r fi> Tahz\i>b Tafsi>r Ibn Kas\i>r, 387. 18

85

“bunuhlah atau perangilah” dengan tujuan agar supaya mereka berhenti melakukan gangguan penganiayaan terhadap siapapun.19

Setelah memperhatikan makna kata di atas yang masuk dalam susunan kalimat dalam ayat-ayat tersebut, dan juga lafadz-lafadz yang terdapat pada ayat-ayat tersebut yang mengindikasikan larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, serta konteks ketika ayat-ayat tersebut diturunkan, bahwa pada hakikatnya ayat tersebut melarang menjadikan non Muslim sebagai pemimpin dikarenakan pada waktu itu kondisi umat Islam dan non Muslim sedang berada pada ketegangan yakni sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa ayat-ayat ini turun sebelum fathu Makkah, dan pada saat itu kaum Musyrik memang berada pada puncak kebencian dan permusuhan terhadap umat Islam. Sehingga hal ini yang menjadi dilarangnya umat Muslim menjadikan dari kalangan non Muslim menjadi pemimpin.

Dokumen terkait