• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Arang Aktif

2.2.1 Sifat dan Struktur Arang Aktif

Arang adalah suatu bahan padat berpori, merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon. Sebagian besar dari pori-porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lain. Komponen arang terdiri dari karbon terikat, abu, air, nitrogen, dan sulfur (Djatmiko et al.

1985). Arang aktif adalah arang yang konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari A B D  C  POLIMER  NON PELARUT PELARUT Fasa Ganda  Fasa Tunggal 

ikatan dengan unsur lain, serta porinya dibersihkan dari senyawa atau kotoran lain, sehingga permukaan dan pusat aktif menjadi luas, serta kemampuan adsorpsinya terhadap cairan dan gas meningkat (Sudradjat dan Soleh 1994).

Secara fisik arang aktif berbentuk padatan, berwarna hitam, tidak berbau, tidak berasa, bersifat higroskopis, tidak larut dalam air, basa, asam dan pelarut organik, serta tidak rusak karena perubahan pH maupun suhu. Susunan atom karbon dalam arang aktif mirip dengan susunan atom karbon dalam grafit, yang terdiri dari pelat-pelat datar di mana atom karbonnya tersusun dan terikat secara kovalen di dalam suatu kisi heksagonal secara paralel (Gambar 5). Struktur arang aktif berbeda dengan struktur grafit karena pelat-pelat karbon heksagonal dalam arang aktif tidak terorientasi sempurna tegak lurus terhadap sumbunya. Besar kecilnya ukuran pori dari kristalit arang aktif selain bergantung pada suhu karbonasi, juga bergantung pada bahan baku yang digunakan. Ukuran porinya dapat berkisar antara 10 – 250 Å (Pari 2004).

Gambar 5 Struktur heksagonal grafit (Marsh dan Rodriguez-Reinoso 2006)

Bonelli (2001) serta Daud dan Ali (2004) menyatakan bahwa struktur, penyebaran, dan ukuran pori arang aktif lebih dipengaruhi oleh sifat dasar bahan baku (lignin, selulosa dan holoselulosa). Arang aktif tempurung kelapa menun- jukkan distribusi pori halus (mikropori) lebih banyak dibanding arang aktif kayu.

Karbon aktif dengan struktur mesopori dapat digunakan untuk pemurnian air minum, perlakuan limbah cair, penghilangan warna pada makanan dan bahan kimia. Sedangkan pada struktur mikropori digunakan untuk mendaur ulang zat cair, pengendali emisi gas pada minyak gas, saringan pada rokok dan pengendali emisi gas pada industri. Penggunaan karbon sebagai penyerap juga dipengaruhi

oleh luas permukaan, penyebaran pori dan sifat kimia permukaan arang aktif (Benaddi et al. 2000).

2.2.2 Pembuatan Arang Aktif

Setiap material yang mengandung karbon (hewan, tumbuhan, atau bahan mineral) dengan konsentrasi karbon yang tinggi, dapat dibuat menjadi arang aktif. Bahan baku yang paling sering digunakan adalah kayu, arang kayu, kulit kacang- kacangan, batu bara, dan tulang. Polimer sintetik seperti PVC juga dapat digunakan untuk membuat arang aktif (Ansari dan Mohammad-Khah 2009). Di Indonesia sendiri, penelitian tentang arang aktif telah banyak dilakukan, dan umumnya menggunakan bahan baku dari biomassa, seperti tempurung kelapa dan

kayu bakau (Hartoyo et al. 1990), tempurung biji-bijian (Hudaya dan Hartoyo

1990), berbagai jenis kayu (Pari 1996; Pari 2004), serta berbagai macam biomassa hutan, seperti kayu mani, bambu mayan, dan tempurung kemiri (Komarayati et al.

1998; Hendra dan Darmawan 2007).

Perubahan komponen kimia kayu dalam proses karbonisasi terjadi pada suhu 100 - 1000 oC, di mana perubahan terbesar terjadi pada suhu 200 - 500 oC.

Reaksi pada proses karbonisasi adalah eksoterm, yaitu jumlah panas yang dikeluarkan lebih besar dari yang diperlukan. Reaksi eksoterm ini terlihat nyata pada suhu 300 - 400 oC, di mana suhu melonjak dengan cepat, meskipun jumlah panas yang diberikan tetap. Umumnya pembuatan arang dilakukan pada suhu di atas 500 oC. Garis besar proses karbonisasi kayu dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: - Pada suhu 100 - 120 oC terjadi penguapan air, dan sampai suhu 270 oC mulai

terjadi penguraian selulosa. Destilat mengandung asam organik dan sedikit metanol. Asam cuka terbentuk pada suhu 200-270 oC.

- Pada suhu 270 - 310 oC reaksi eksotermik berlangsung, di mana terjadi peru- raian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas kayu, dan sedikit ter. Asam pirilignat merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol, sedangkan gas kayu terdiri dari CO dan CO2.

- Pada suhu 310 - 500 oC, terjadi peruraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter,

sedangkan larutan pirolignat menurun. Gas CO2 menurun sedang gas CO,

- Pada suhu 500 - 1000 oC, diperoleh gas kayu yang tidak dapat diembunkan, terutama terdiri dari gas hidrogen. Tahap ini merupakan proses pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon

(Djatmiko et al. 1985; Sudradjat dan Soleh 1994).

Pada dasarnya ada dua cara membuat arang aktif, yaitu melalui aktivasi fisik dan kimia. Aktivasi fisik dilakukan dalam dua tahap, pertama karbonisasi dan kedua aktivasi pada suhu tinggi. Pada aktivasi kimia, bahan diimpregnasi terlebih dahulu dengan bahan pengaktif lalu dikarbonisasi. Tahap karbonisasi dan

aktivasi dilakukan secara berlanjut (Hayashi et al. 2002). Aktivasi arang

dilakukan dengan pemanasan pada temperatur tinggi (800-1000 oC), akibatnya

produk pembakaran yang belum sempurna ini terbakar dan mengalami penguapan. Selanjutnya luas permukaan karbon akan semakin meningkat dengan pelepasan hidrokarbon atau ter, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 6 (Ansari dan Mohammad-Khah 2009).

Gambar 6 Tahapan proses aktivasi karbon selama perlakuan pemanasan

Saat proses aktivasi kimia, senyawa yang menutupi pori atau rongga arang dikeluarkan dengan cara dehidrasi menggunakan bahan pengaktif, dapat berupa garam jenuh seperti MgCl2, ZnCl2, CaCl2, juga asam atau basa seperti NaOH dan

H3PO4. Aktivasi fisika juga dapat dilakukan dengan memberikan aliran uap panas

(H2O) atau gas seperti N2 dan CO2 pada suhu tinggi (900 - 1000 oC). Agar unsur

karbon dapat dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain terutama hidrogen dan oksigen, dilakukan oksidasi lemah pada suhu tinggi dengan uap air. Kualitas arang aktif dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain sifat bahan baku, teknologi proses, ukuran partikel, dan cara penggunaan yang tepat (Hartoyo dan Pari 1993; Sudradjat dan Soleh 1994).

Pengaruh utama aktivasi arang dengan aliran uap (steam) adalah untuk

menciptakan dan memperluas pori arang. Aktivasi dengan steam tidak hanya

memindahkan material yang tidak diorganisir tetapi juga cukup efektif dalam membentuk dan melebarkan mikropori dengan naiknya suhu. Kenaikan suhu dari 750oC ke 800oC dapat meningkatkan terbentuknya pori dan pada akhirnya akan meningkatkan volume mikropori arang aktif. Pada batas tertentu peningkatan suhu justru akan menurunkan volume mikroporinya (Bansode et al. 2003; Ismadji et al.

2005; Pari 2006).

Marsh dan Rodriguez-Reinoso (2006) mengemukakan dua keuntungan dalam menggunakan metode aktivasi kimia dibanding aktivasi fisika. Pertama, rendemen yang dihasilkan lebih tinggi (27 - 47 wt% dibanding 6 wt% pada aktivasi fisika). Kedua, struktur permukaan dari karbon aktif serat dengan aktivasi kimia menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih kecil.

2.2.3 Proses Adsorpsi Arang Aktif

Karbon aktif adalah salah satu jenis adsorben yang efektif digunakan untuk proses adsorpsi. Kemampuan adsorpsi ini didukung oleh beberapa faktor, di antaranya sifat kimia dan fisika karbon aktif, suhu air, waktu kontak, luas permukaan karbon aktif, konsentrasi serta ukuran partikel adsorbat, dan jenis adsorbat. Adsorbat yang mudah berikatan dengan gugus-gugus pengaktif adalah yang bersifat nonpolar, sehingga molekul organik akan berikatan kuat dengan gugus pengaktif (Atkins 1997; Sukarjo 1997).

Adsorpsi merupakan suatu reaksi reversibel, pada konsentrasi zat terlarut yang diberikan. Adsorbat dapat diadsorpsi melalui dua cara, yakni dengan adsorpsi fisika dan kimia. Pada adsorpsi fisika, ada gaya lemah Van der Waals

yang menarik adsorbat ke permukaan adsorben. Selama proses adsorpsi fisika, sifat kimia adsorbat tidak berubah. Adsorpsi fisika adalah proses spontan (ΔG <0), karena ΔS negatif, maka ΔH menjadi eksoterm. Dalam adsorpsi kimia, adsorbat menempel dengan membentuk ikatan kimia dengan permukaan adsorben. Interaksi ini lebih kuat dari adsorpsi fisika, dan secara umum memiliki persyaratan yang lebih ketat untuk memperoleh kompatibilitas antara adsorbat dan permukaan adsorben (Ansari dan Mohammad-Khah 2009).

Adsorpsi dapat terjadi karena setiap molekul pada permukaan mempunyai energi yang besar sehingga membentuk tegangan permukaan, akibatnya molekul pada permukaan mempunyai energi bebas yang lebih besar dibanding molekul di bawah permukaan. Molekul pada permukaan selalu berusaha mendapatkan energi bebas serendah mungkin, maka permukaan akan menyerap fasa yang tegangan permukaannya lebih rendah untuk menurunkan energi bebasnya (Sukarjo 1997). Adsorpsi kontaminan terlarut merupakan fenomena kompleks, yang disebabkan oleh beberapa mekanisme, seperti Gaya London-Van der Waals, gaya Coulomb, ikatan hidrogen, pertukaran ligan, adsorpsi kimia, gaya dipol-dipol, dan gaya hidrofobik. Sebagai contoh, hidrokarbon paling sering menunjukkan adsorpsi melalui proses ikatan hidrofobik. Jadi sifat permukaan adsorben yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah luas permukaan, ukuran pori, distribusi mikropori, dan polaritas (hidrofilik atau hidrofobik) (Ansari dan Mohammad- Khah 2009).

Dokumen terkait