Tanaman mahkota dewa merupakan salah satu tanaman yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan menjadi bahan obat, karena tanaman tersebut diketahui mempunyai khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Buah mahkota dewa dapat langsung digunakan dalam bentuk simplisia, yaitu buah dipotong kecil-kecil tanpa terkena bijinya, selanjutnya dioven ataupun dijemur dengan panas matahari. Simplisia tersebut langsung dapat digunakan setelah direbus. Pembuatan simplisia ini bisa dibuat dari daun dan buah.
Pengolahan hasil mahkota dewa dalam bentuk lain yaitu dalam bentuk serbuk dari buah dan biji, kapsul, tablet, dan liquid yang biasanya dicampur dengan madu. Sisi ekonomi lain yang penting dari mahkota dewa yaitu produksi bahan obat untuk spektrum luas yang mengacu pada suatu proses Agroindustri fitofarmaka, akan menyebabkan suatu keharusan persediaan bahan baku tanaman dengan jumlah sangat besar dalam waktu relatif cepat yang nantinya dapat mengimbangi kontinuitas agroindustri.
Pengembangan obat tradisional ke arah fitofarmaka memiliki peluang pasar yang sangat besar. Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di pasaran masih kalah bersaing dengan obat paten. Oleh karena itu Sjamsuhidayat (1996) menyatakan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan upaya pengembangan tanaman obat meliputi: 1) pemetaan ekonomis flora alami, 2) seleksi dan pembuktian keaslian spesies tanaman, 3) pengumpulan data etnomedik dan etnobotanik, 4) percobaan pemuliaan untuk pengembangan varietas dengan hasil tinggi, 5) budidaya tanaman skala menengah, 6) penelitian kimia kandungan tanaman, 7) penelitian analisis kimia kandungan bahan aktif, 8) penelitian farmakologi dan toksikologi, 9) pembuatan ekstrak tanaman skala pilot plan, 10) standardisasi ekstrak, 11) formulasi ekstrak ke bentuk sediaan obat, 12) penelitian toksisitas terhadap formulasi, dan 13) penelitian analisis produk formulasi.
Perbanyakan Tanaman secara in vitro
Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa Inggris disebut tissue culture. Tissue berarti jaringan yaitu sekumpulan sel dengan bentuk dan fungsi yang sama. Culture
berarti kultur yaitu budidaya. Teknik kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi atau mengambil bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi
aseptic (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan menjadi tanaman lengkap (Nugroho & Sugito 1996).
Gunawan (1995) mendefinisikan kultur jaringan dengan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik yang kaya akan nutrisi
serta ZPT dalam wadah tertutup yang tembus cahaya agar bagian -bagian tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap.
Teknik kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan secara in vitro. Pada mulanya teknik kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi sel. Akan tetapi berkembang untuk penelitian di bidang fisiologi tanaman dan biokimia.
Menurut Gamborg (1982) kultur jaringan merupakan sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Jaringan dapat dikulturkan secara aseptic dalam medium hara. Kemudahan dalam melakukan kultur tergantung pada jenis tanaman dan asal jaringan.
Prinsip biologi kultur organ dan kultur jaringan, pertama kali diperkenalkan oleh Haberlandt, seorang ahli fisiologi Jerman pada tahun 1902, dengan cara menanam sel pada media buatan, akan tetapi sel tersebut gagal tumbuh. Kemudian tahun 1934, White dari Amerika Serikat berhasil menumbuhkan akar tomat secara
in vitro dengan menambahkan ekstrak ragi dan thiamin. Tahun 1939 White, Goutheret, dan Noubecort melaporkan hasil penelitian mereka yang berhasil menumbuhkan jaringan kalus tanaman dalam suatu media sintetis (Hartman & Kester 1983).
Kultur jaringan menggunakan dasar teori seperti yang telah dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden, yaitu bahwa sel memiliki kemampuan otono m atau mampu tumbuh mandiri, bahkan memiliki kemampuan totipotensi. Totipotensi sel merupakan kemampuan setiap sel, pada bagian manapun dari sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho & Sugito 1996).
Totipotensi didefinisikan secara sederhana yaitu kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia lingkungan luar yang sesuai (Mantell
et al. 1985). Seperti juga teori yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli botani pada permulaan abad ke-20 bahwa sel atau jaringan pada tanaman pada dasarnya dapat ditanam terpisah dalam suatu kultur in vitro.
Sekarang ini teknik kultur jaringan tidak hanya dimanfaatkan untuk perbanyakan, tetapi juga untuk tujuan lain seperti mempro duksi senyawa metabolit sekunder, mendapatkan tanaman bebas penyakit terutama virus,
pemuliaan tanaman bebas penyakit terutama virus, pemuliaan tanaman seperti melalui polinasi in vitro, manipulasi jumlah kromosom, penyelamatan embryo,
membuat tanaman haploid dengan kultur polen, kultur oval, pembuatan tanaman hibrida somatik melalui fusi protoplasma (fusi intraspesifik dan interspesifik), transfer DNA atau organel untuk suatu sifat yang dikehendaki.
Beberapa metode yang ditempuh dalam perbanyakan secara in vitro yaitu: perbanyakan tunas dari mata tunas aksilar dan pembentukan adventif atau somatik embrio adventif, yang meliputi morfogenesis langsung dan morfogenesis tidak langsung (Wattimena 1992). Morfogenesis langsung terjadi karena pembentukannya terjad i langsung dari bagian jaringan eksplan. Morfogenesis tidak langsung karena pembentukannya terjadi setelah melalui tahap pembentukan kalus.
Metode yang pertama yaitu multiplikasi (perbanyakan) tunas dari mata tunas aksilar lebih banyak digunakan dalam usaha perbanyakan tanaman. Telah banyak penelitian yang dilakukan, membuktikan bahwa metode tersebut lebih cepat dalam hal perbanyakan tanaman dan sedikit penyimpangan genetik bahkan tidak terjadi penyimpangan genetik. Morfogenesis tidak langsung yang melalui pembentukan kalus, tingkat penyimpangan genetik yang lebih tinggi dan waktu perbanyakan yang lebih lama.
Syarat awal untuk menerapkan metode kultur jaringan sebagai suatu cara perbanyakan pada suatu tanaman yaitu : (1) kecepatan organogenesis atau embriogenesis untuk pembentukkan plantlet tinggi, (2) plantlet yang dihasilkan secara in vitro harus mampu bertahan di lapang dan penampakan di lapang seperti yang diharapkan atau lebih baik, (3) penggunaan kultur jaringan dapat memberikan keuntungan lebih dibanding sistem perbanyakan secara konvensional, dan (4) sifat -sifat atau karakteristik yang diinginkan harus dapat dipertahankan (Brown & Sommer 1982).
Pemanfaatan teknik kultur in vitro dalam bidang agronomi telah dikemukakan oleh Gunawan (1995) antara lain yaitu membantu perbanyakan vegetatif tanaman dalam rangka penyediaan bibit dari induk superior, membersihkan bahan tanaman/bibit dari virus yang ada dalam tubuh induk, membantu proses konservasi dan preservasi plasma nutfah tanaman dan produksi
persenyawaan kimia untuk keperluan farmasi dan pewarna untuk industri makanan dan kosmetik di dalam kultur sel.
Menurut George dan Sherrington (1984) ada 2 (dua) macam kemungkinan pertumbuhan tanaman in vitro yaitu pertumbuhan terorganisasi dan pertumbuhan tak terorganisasi. Pertumbuhan terorganisasi terjadi pada bagian-bagian tanaman (organ) seperti titik tumbuh (meristem) pucuk atau akar, daun yang baru/mulai muncul, kuncup bunga, dan buah-buah kecil yang dikulturkan.
Pertumbuhan tak terorganisasi jarang terjadi di alam, seringkali terjadi ketika potongan-potongan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Jaringan -jaringan yang kemudian terbentuk, kekurangan beberapa struktur khas yang dapat dikenali dan hanya berisi sejumlah sel berbeda jenis yang ditemukan pada tanaman lengkap yang selanjutnya disebut kalus.
Organogenesis dari eksplan membentuk tunas melalui kalus atau tanpa kalus tergantung dari ZPT, jenis eksplan, jenis tanaman, dan media yang digunakan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang ditambahkan, akan mempengaruhi ZPT yang terkandung dalam jaringan dan selanjutnya akan membentuk arah perkembangan organogenesis dari eksplan. Auksin dan sitokinin merupakan kelompok ZPT yang penting untuk meregenerasikan tanaman dari eksplan. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung atau melalui dua tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas adventif.
Eksplan dan Regenerasi Tanaman
Eksplan diartikan sebagai bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur (Gunawan 1988). Eksplan yang ditanam dalam media yang sesuai dapat beregenerasi melalui proses organogenesis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan eksplan yang tepat adalah pemilihan bagian tanaman sebagai sumber eksplan sebelum dikulturkan (Gunawan 1992).
Pemilihan eksplan yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan suatu tanaman. Jenis eksplan yang digunakan sangat bervariasi tergantung dari spesies, kultivar, dan tujuan yang hendak dicapai. Apabila informasi yang jelas mengenai spesies atau kultivar tanaman yang akan dikulturkan tidak tersedia, dapat dipakai informasi dari spesies atau kultivar yang kekerabatannya paling dekat.
Bentuk pertumbuhan yang berkembang dari eksplan atau inokulum yang dipakai tergantung pada 2 (dua) hal yaitu potensi genetik tanaman yang dibiakkan serta lingkungan fisik dan kimia tempat tanaman tersebut dibiakkan. Secara umum semua spesies tanaman dapat diperbanyak secara kultur jaringan jika telah diketahui kebutuhan hara, hormon tanaman, dan cara pembiakannya (Hartmann & Kester 1983).
Sumber eksplan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan arah perkembangan morfogenetik. Pemilihan eksplan perlu dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Untuk mendapatkan kalus dan/atau organogenesis, sebaiknya daun berikut tulang daun juga dipergunakan, tetapi pada beberapa spesies terdapat perbedaan dalam kemampuan membentuk tunas adventif (Gunawan 1992).
Murashige (1974) menyatakan bahwa musim ketika eksplan diambil, kualitas tanaman secara keseluruhan, kondisi aseptik media dan eksplan, ukuran dan umur fisiologis tanaman mempengaruhi keberhasilan regenerasi. Keberhasilan kultur jaringan akan lebih besar apabila eksplan yang digunakan masih mempunyai sifat meristematik.
Pemilihan ukuran eksplan juga memerlukan perhatian khusus, tergantung pada tujuan pembiakkan. Apabila ukuran eksplan terlalu kecil (< 20 mm) akan menyebabkan daya tahan tanaman berkurang. Sedangkan ukuran eksplan yang terlampau besar (> 20 mm) menyebabkan eksplan mudah terkontaminasi.
Selanjutnya menurut Katuuk (1989) potongan jaring an atau organ yang dikulturkan dinamakan eksplan. Oleh karena kecilnya potongan jaringan tersebut maka teknik perbanyakan tanaman cara ini dinamakan mikropropagasi. Mikropropagasi terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu mikropropagasi material vegetatif (kultu r meristem, kultur pucuk, kultur tunas adventif, kultur kalus, kultur sel/suspensi, dan kultur protoplas) dan mikropropagasi material reproduktif (kultur polen/anther, kultur ovari dan ovul, kultur embrio, dan kultur biji).
Mikropropagasi mempunyai urutan kerja sesuai dengan perkembangan eksplan (Katuuk 1989). Hartmann dan Kester (1983) telah memisahkan 5 (lima) tahap kegiatan dihubungkan dengan perkembangan eksplan, antara lain yaitu tahap persiapan (tahap 0), tahap inisiasi (tahap I), tahap multiplikasi (tahap II), tahap perakaran/Pre-transplant (tahap III), dan tahap aklimatisasi (tahap IV).
Regenerasi tanaman melalui kultur jaringan dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu pembentukan tunas samping (aksilar), pembentukan tunas adventif (langsung dari organ maupun dari jaringan kalus) dan embriogenesis somatik (Gunawan 1988). Jaringan muda secara umum mudah membentuk kalus (Gamborg & Shyluk 1981). Regenerasi tunas secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bagian tanaman seperti batang, tunas pucuk, kotiledon, akar, embrio (Evans et al. 1981), umbi, bulb, buah, dan bagian -bagian bunga (Gamborg & Shyluk 1981), serta daun (Lee et al. 1994). Regenerasi terjadi melalui perimbangan auksin dan sitokinin yang tepat.
Eksplan harus disterilkan sebelum dikulturkan, begitu pula dengan alat dan media yang digunakan harus disterilkan dan disimpan dalam kondisi aseptik (George & Sherrington 1984). Gunawan (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis bahan yang digunakan untuk proses sterilisasi eksplan antara lain kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, alkohol, benlate, dan HgCl.
Faktor yang sangat menentukan regenerasi tunas adalah jenis dan konsentrasi ZPT, serta tipe dan umur eksplan. Menurut Hartmann & Kester (1983) ada 5 (lima) tipe regenerasi vegetatif dalam kultur jaringan yaitu kultur meristem, kultur pucuk, inisiasi tunas adventif, organogenesis, dan embryogenesis. Penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif merupakan bidang yang paling maju.
Pelestarian plasma nutfah in vitro mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara in situ. Keuntungan tersebut antara lain yaitu hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman yang tidak menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat disimpan dalam keadaan bebas penyakit (Wattimena 1992).
Medium Kultur Jaringan
Keberhasilan penggunaan metoda kultur jaringan sangat bergantung pada medium yang digunakan. Medium kultur jaringan tanaman tidak hanya terdiri atas unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan unsur karbon yang biasanya dari atmosfer melalui fotosintesis (Karjadi 1996). Seperti dinyatakan juga oleh George dan Sherrington
(1984) bahwa keberhasilan metode kultur jaringan sangat ditentukan oleh media yang digunakan. Bahan -bahan yang ditambahkan pada media kultur tergantung dari jenis dan fase pertumbuhan tanaman yang dikulturkan (Hartmann & Kester 1983).
Telah difahami bahwa media kultur in vitro mengandung bahan-bahan esensial. Bahan esensial terdiri atas air, garam -garam anorganik, sumber karbon dan energi, vitamin, dan zat pengatur tumbuh tanaman. Nitrogen diperlukan tanaman dalam bentuk NO3- dan NH4+. Ketersediaan nitrogen dalam bentuk NH4+ lebih besar daripada NO3-, dengan perbandingan mendekati 4 : 1. NH4+ didapat dari senyawa NH4+OH yang merupakan salah satu bahan yang terkandung dalam komposisi media MS (Lampiran 3). Unsur P diambil oleh tanaman dalam bentuk H2PO4- yang berasal dari KH2PO4 pada media MS. K dibutuhkan tanaman dalam bentuk garam anorganik. S dan Mg pada media MS tersedia dalam senyawa Mg2SO4.7 H20. Ca pada media MS dalam bentuk garam CaCl.2H20. Unsur – unsur mikro yang diperlukan terdapat pada larutan stok C, E, dan F pada komposisi media MS (Lampiran 3). Vitamin pada larutan stok G dan H.
Komposisi formulasi dari suatu medium, menurut Wetherell (1982), harus mengandung hara esensial makro dan mikro serta sumber tenaga dan biasanya ditambah ZPT serta agar-agar. Tiap tanaman membutuhkan 6 (enam) unsur hara makro yaitu nitrogen, kalium, magnesium, kalsium, belerang, dan fosfor serta 7 (tujuh) unsur hara mikro yaitu besi, mangan, seng, tembaga, boron, molibden, dan khlor dalam bentuk ikatan kimia dan perbandingan yang sesuai.
Banyak formulasi medium yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun kualitas komponennya. Salah satu formulasi yang banyak digunakan adalah Murashige & Skoog (MS) yang telah ditemukan dan dipublikasi oleh Toshio Murashige dan Skoog pada tahun 1962. Formulasi dasar mineral dari MS ternyata dapat digunakan untuk sejumlah besar spesies tanaman dalam perbanyakan in vitro.
Medium kultur yang memenuhi syarat adalah medium yang mengandung hara makro dan mikro dalam kadar serta perbandingan tertentu, serta sumber tenaga (umumnya digunakan sukrosa). Seringkali mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat perangsang tumbuh. Pierik (1987) menyatakan bahwa
sukrosa merupakan sumber karbon terbaik. Konsentrasi sukrosa yang sering digunakan berkisar antara 1 – 5%.
Sumber karbon yang dapat digunakan adalah sukrosa, glukosa, ataupun fruktosa. Gunawan (1992) menyatakan bahwa vitamin yang sering digunakan dalam media kultur adalah thiamin (B1), asam nikotinat (B3), dan piridoksin (B6). Penambahan myo-inositol juga dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis tanaman. Gula pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur (Gunawan 1988). Gula berperan sebagai sumber energi dan berfungsi mengatur tekanan osmotik media. Pada media MS, setengah dari potensial osmotiknya disebabkan oleh gula (George & Sherrington 1984).
Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan bahwa sukrosa yang diautoklaf mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada sukrosa yang disterilisasi dengan filter. Selama diautoklaf ternyata sukrosa mengalami hidrolisis menjadi bentuk gula yang kegunaannya lebih efisien. Proses ini terjadi karena kerja enzim invertase yang terdapat dalam dinding sel (Burstorm 1957) atau enzim ekstraseluler yang dilepaskan (Street 1977).
Kondisi Fisik Media
Kepadatan media merupakan kondisi fisik media yang memiliki pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman pada kultur in vitro. Kepadatan media dapat berarti media berbentuk padat atau cair. Komposisi kimia antara media padat dan cair adalah sama, yang membedakan adalah penambahan agar-agar sebagai bahan pemadat pada media padat.
Media Murashige dan Skoog (MS) merupakan salah satu jenis media tanam yang banyak digunakan dalam teknik kultur jaringan. Terdapat dua bentuk media tanam yang sering digunakan yaitu media padat dan media cair. Menurut Wattimena et al. (1992) beberapa keuntungan penggunaan media padat yaitu apabila menggunakan eksplan berukuran kecil maka akan mudah terlihat, eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak memerlukan alat bantu untuk aerasi serta tunas dan akar akan tumbuh teratur pada medium yang diam.
Pierik (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan dan diferensiasi organ berbeda sama sekali antara medium cair dengan medium padat. Pada medium cair cenderung membentuk kalus, sedangk an tunas-tunas hampir tidak ada yang
terbentuk, berlawanan dengan pembentukan tunas-tunas tersebut pada medium padat.
Media padat umumnya lebih disukai dalam kultur organ bahkan cenderung menambah kalus (Stone 1963; Baker & Kinnaman 1973, diacu dalam Bhojwani & Razdan 1983). Menurut Quak (1977) pada media padat konsentrasi agar-agar yang biasa dipakai berkisar antara 0,6 – 0,8%. Agar-agar tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa penyusun media (George & Sherrington 1984). pH media kultur secara umum berkisar antara 5.8 – 6.0.
Kisaran pH tersebut mempengaruhi tekanan osmotik dan memungkinkan pertukaran kation dan anion dari garam-garam anorganik antara media tanam dan sel tanaman. Garam merupakan suatu zat yang dihasilkan karena bersatunya anion dari asam dengan kation dari basa, sedangkan ion H+ dari asam dan ion OH- dari basa bersenyawa merupakan air. pH juga mempengaruhi aktivitas enzim, pada pH tertentu suatu enzim mengubah substrat menjadi hasil akhir. Perubahan pH dapat membalik aktivitas enzim menjadi pengubah hasil akhir menjadi substrat (Dwidjoseputro 1994).
Zat Pengatur Tumbuh
Wattimena (1988) menyatakan bahwa di dalam tubuh tanaman terdapat senyawa khusus pembentuk organ seperti gula, pati, protein, asam-asam organik, asam amino, dan asam nukleat. Selain senyawa-senyawa tersebut, tanaman juga mengandung senyawa-senyawa pendorong dimulainya proses -proses biokimia. Senyawa ini berfungsi sebagai zat pemicu (trigger substances). Zat pemicu tersebut lebih dikenal dengan fitohormon.
Definisi fitohormon menurut Wattimena (1988) yaitu senyawa organik bukan nutrisi tanaman yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5 M), disintesis pada bagian tertentu tanaman dan umumnya ditranslokasi ke bagian lain dimana zat tersebut menimbulkan respons biokimia, fisiologi, dan morfologi. Fitohormon merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 mM) mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Semua hormon tanaman sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah zat pengatur tumbuh (Wattimena 1992). Dengan demikian, termasuk dalam zat pengatur tumbuh adalah fitohormon dan fitohormon sintetik. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi ZPT yang berada di dalam eksplan. Dengan demikian hal ini akan tergantung dari ZPT endogen dan ZPT eksogen yang diserap dari media tumbuh.
Reinert dan Bajaj (1977) berpendapat bahwa rediferensiasi organ dapat dimanipulasi dengan sasaran utamanya pada pengaruh interaksi hormon tanaman dan unsur ZPT. Interaksi yang tidak kentara antara kelompok-kelompok hormon tumbuh auksin, sitokinin, gibberelin, absisik, dan ethilen baik secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau dalam kombinasi sinergis telah memberikan suatu wawasan hubungan timbal balik keberadaan sel-sel yang berbeda, jaringan dan organ-organ, dalam perkembangan tanaman secara terintegrasi.
ZPT bertindak secara sinergis dalam tindakannya sebagai penyebab respons, seperti yang dinyatakan Gardner et al. (1991). Dalam kultur jaringan, ada 2 (dua) golongan ZPT yang sangat penting, yaitu auksin dan sitokinin. ZPT tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, kultur jaringan, dan kultur organ (Karjadi 1996).
Respons tanaman terhadap ZPT tergantung dari fase pertambahan dan perkembangan tanaman serta genotipe tanaman (Wattimena 1992). ZPT memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan ZPT antara lain yaitu jenis ZPT yang digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan 1995).
Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari ZPT yang berada di dalam eksplan. Jadi dalam hal ini tergantung dari ZPT endogen dan eksogen yang diserap dari media tumbuh. Auksin dan sitokinin merupakan kelompok ZPT yang penting untuk meregenerasikan tanaman dari eksplan. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung atau melalui 2 (dua) tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas adventif.
George dan Sherrington (1984) menggambarkan suatu keseimbangan auksin dan sitokinin dalam proses morfogenesis eksplan dalam kultur jaringan yang merupakan perluasan dari konsep Skoog dan Miller pada tahun 1957. Beberapa konsep tersebut yaitu embriogenesis memerlukan nisbah auksin -sitokinin yang tinggi, pembentukan kalus dari tanaman dikotil tetap memerlukan sitokinin disamping auksin yang tinggi. Pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa sitokinin, pembentukan tunas adventif di samping memerlukan sitokinin dalam taraf konsentrasi yang tinggi tetap diperlukan juga auksin dalam konsentrasi rendah, proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi tanpa auksin atau auksin dalam konsentrasi sangat rendah, dan pembentukan akar pada stek in vitro hanya memerlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi yang rendah sekali.
Wattimena (1988) mengklasifikasi ZPT menjadi 6 (enam) golongan, yaitu auksin, gibberelin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen, dan retardan. Senyawa-senyawa poliamin (putresin, spermidin, spermin), polifenolik dan alkohol berantai panjang (triakontanol) sering digolongkan ke dalam ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan, yaitu auksin dan sitokinin.
Auksin
Auksin ditemukan oleh Frits Went pada tahun 1962 dari asal kata auxein
(bahasa Yunani yang berarti meningkatkan). Auksin tersebut diketahui sebagai asam indolasetat (IAA). Kemudian kelompok hormon dan zat pengatur tumbuh lain yang menimbulkan respons fisiologi seperti yang dihasilkan oleh IAA digolongkan dalam kelompok auksin. Zat pengatur tumbuh yang digolo ngkan auksin antara lain yaitu: asam α-naftalenasetat (NAA), asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), asam metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA), asam 2-naftalosiasetat (NOA), asam 4-klorofenoksiasetat (4 -CPA), asam p -klorofenoksiasetat (PCPA), asam 2,4,5-tri-klorofenoksiasetat (2,4,5-T), dan asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino -3,5,6-trikloropikolinik (pikloram).
Peran auksin sangat banyak berdasarkan laporan -laporan penelitian, antara lain yaitu membesarkan sel, meningkatkan kandungan asam nukleat sel,