• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KRITIK AZAMI TERHADAP PEMIKIRAN

A. Asal-Usul Hadis

Bantahan Azami terhadap pemikiran hadis Barat, khususnya Goldziher dan Schacht, paling tidak melalui dua langkah utama;

pertama, menelaah dan membantah argumentasi pemikiran para orientalis yang ada, dan kedua, mengkritisi keakuratan sumber literatur yang menjadi landasan teori dan pandangan mereka.1 Azami seringkali mengklaim bahwa sarjana Barat, khususnya Schacht tidak konsisten dalam metode dan materi sumber, berlandaskan asumsi salah dalam penelitian, dan kesalahan dalam memahami ungkapan ulama terdahulu.2 Berikut ini akan diuraikan kritik Azami atas pemikiran Goldziher dan Schacht tentang hadis.

Untuk mengurai bantahan Azami atas teori dan pemikiran Hadis para orientalis, berikut ini akan diawali dengan bantahan yang dikemukakan Azami adalah terkait makna hadis yang dipahami para orientalis, Goldziher. Menurut Azami terdapat kesalahan di dalam memahami makna Sunnah dan hadis dalam pandangan mereka.

1

Menurut telaah Gusdur, dua rangka besar telaah Azami atas pemikiran orientalis tersebut dilanjutkan secara detail atas beberapa pemikiran mereka. Meski demikian Gusdur juga menilai bahwa pekerjaan Azami masih belum secara komprehensif mematahkan teori dan pemikiran Barat atas hadis. Hasil kerja Azami hanya menyorot beberapa aspek yang central, sementara masih banyak pemikiran Barat yang cenderung menyerang hadis dan belum tersentuh. Lihat Abdurrahman

Wahid et.al., “Sumbangan M.M. Azami…,h. 38-46.

2

Dalam suatu kesempatan Goldziher mengatakan bahwa sebelum Islam kemudian diadopsi oleh orang-orang Islam.3 Menurut Azami pandangan Goldziher ini tidak berdasarkan argumen yang dapat dipercaya sama sekali dan bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Tradisi yang berkembang dalam dunia Islam dan dilakukan oleh kalangan muslim sebenarnya tidak dapat lepas dari tradisi kebiasaan orang-orang sebelum Islam datang. Akan tetapi bukan berarti bahwa nilai-nilai ajaran yang ada di dalam Islam semuanya mengadop dan meniru orang-orang yang hidup sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan perilaku yang dilakukan Nabi saw dan umat Islam juga sama dengan kebiasaan-kebiasaan orang yang ada masa sebelumnya, tetapi hal ini tidak berlaku dalam masalah hukum dan keyakinan.

Menurut Azami, Kata sunnah memang berasal dari bahasa Arab dan telah dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut diartikan secara bahasa sebagai tata cara, perilaku hidup, syariah, dan jalan hidup, terpuji atau tercela.4 Kata sunnah ini dapat ditemukan di berbagai syair Arab pra-Islam maupun sesudah masa Islam.5 Sunnah tidak dapat diartikan kepada makna lain selain beberapa makna tersebut. Jika kaum jahiliyah dan animis menggunakan istilah sunnah tentu hal tersebut wajar sebab kata sunnah adalah bagian dari bahasa Arab sedangkan mereka juga menggunakan bahasa yang sama. Akan

3

Ignaz Goldziher,Introduction..,h.

4

Azami, Hadis Nabawi, h. 21.

5

tetapi penggunaan bahasa itu hanya sebatas pada arti etimologis (harfiyah), sedangkan penyandaran kata sunnah kepada Nabi saw berarti tradisi yang dibangun oleh Nabi saw dan diikuti oleh umat Islam. Goldziher dan Schacht dipandang oleh Azami terjebak dalam memahami makna sunnah sebagai masalah yang ideal dan norma yang disepakati masyarakat.6 Jadi sunnah Nabi saw lepas dari aturan dan tradisi orang-orang pra-Islam.7 Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi saw jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis. Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan menghindari tradisi kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi itu tidak berkisar pada masalah hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.8

Azami menyangkal sunnah diartikan dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Islam, kemudian dalam perkembangannya dirujukkan hanya kepada tradisi yang dibangun dari Nabi. Sebab jika

6

Schacht sepakat dengan Snouck Hurgronje dalam memahami sunnah

sebagai ‘the sunna of the Prophet, that is, his model behaviour, the consensus of the orthodox community’ di mana dalam perkembangannya, Schacht juga sepakat dengan Goldziher dan Margoliouth, dalam memahami konsep sunnah, yakni model kehidupan Nabi, preseden, jalan hidup, tradisi yang hidup, yang diadop dari orang animis, norma ideal suatu masyarakat. Lihat Joseph Schacht,The Origins…,h. 1, 5, dan 59. Bandingkan dengan Ahmed Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence,edisi ke-1, (Delhi, India: Adam Publishers & Distributors, 1994), h. 91.

7

Azami, Hadis Nabawi, h. 20.

8

demikian, berarti sunnah Nabi tiada lain adalah merupakan tradisi masyarakat Islam lalu dikhususkan penamaannya untuk sunnah Nabi. Sunnah Nabi adalah perilaku dan teladan Nabi dalam menjalankan syari’at Islam. Adapun kalangan umat Islam, baik sejak masa sahabat, tabi’in dan umat Islam lain jika mencontoh tradisi Nabi maka itu adalah suatu kewajiban.9

Azami melihat terdapat kesalahan dalam pandangan Margoliouth, demikian pula Goldziher. Kesalahan mereka dalam memahami kata sunnah seringkali terkungkung kepada makna literer, sunnah berarti tradisi, kebiasaan hidup yang ada. Berangkat dari pemahaman literer ini lalu digeneralisasikan termasuk sunnah Nabi tiada beda dengan sunnah orang lain, bahkan sebelum Islam datang.10 Sunnah Nabi itu benar-benar dari perilaku dan kebiasaan yang dibangun atas dasar bimbingan wahyu, sementara umat Islam memang diperintahkan untuk mengikutinya. Adapun kebiasaan sahabat setelah sepeninggal Nabi, jika bertentangan dengan sunnah Nabi tentu sunnah Nabi yang lebih didahulukan. Hal ini pernah digambarkan oleh Ibnu Umar yang memberi pertimbangan keutamaan untuk mendahulukan sunnah Nabi dari sunnah Umar. Kewajiban yang mesti diikuti adalah sunnah Nabi, bukan sunnah yang lain.11

9

Azami, Hadis Nabawi, h. 25.

10

Azami, Hadis Nabawi, h. 10, dan 21-24.

11

Azami menggarisbawahi bahwa sunnah secara bahasa memang berarti tata cara, tradisi, dan perilaku hidup, baik itu bersifat positif ataupun negatif. Definisi ini juga dipergunakan dalam Islam untuk merujuk makna yang sama, lalu dalam perkembangannya, kata tersebut diperuntukkan hanya untuk merujuk kepada tata cara Nabi saw.12 Meskipun kalangan bangsa Arab tetap menggunakan istilah sunnah ini dalam arti sempit, yakni tata cara, kebiasaan, dan tradisi. Ini bukan berarti penggunaan kata sunnah merujuk kepada makna yang biasa digunakan masyarakat Arab, apalagi merujuk kepada penggunaan masyarakat Arab jahiliyah. Dengan demikian, kata sunnah dipakai untuk menunjukkan tata cara Nabi saw dalam perkembangannya, seringkali dibubuhi awalan “al” untuk membedakan antara sunnah Nabi dengan sunnah-sunnah yang lain. Masyarakat Islam sejak dahulu tidak pernah menggunakannya untuk arti “kebiasaan masyarakat” tetapi berpulang kepada diri Nabi saw.13

Dokumen terkait