• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal-usul Mistisisme

MISTISISME DALAM PEMIKIRAN ISLAM

A. Asal-usul Mistisisme

Ada beberapa teori mengenai asal usul atau munculnya tasawuf dalam Islam, antara lain:

1. Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dikatakan bahwa za>hid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen. Pengaruh lain, yakni kebiasaan Nabi Isa (Yesus) berpuasa pada siang hari lalu beribadah sepanjang malam.14

2. Filsafat mistik pythagoras yang berpendapat bahwa ruh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi ruh. Kesenangan ruh adalah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhu>d. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah menurut pendapat sebagian orang yang mempengaruhi timbulya zuhu>d dan sufisme dalam Islam.

3. Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Esa. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada

14Mahjuddin, Akhlak Tasawuf Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi klasik dan Penemuaan Kebahagian Batin bagi Sufi Kontemporer ( Jakarta; Kalam Mulia, 2010), h. 97.

120

Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, ruh jadi kotor, dan untuk dapat kembali ke asalnya ruh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian ruh adalah dengan menjauhi dunia dan mendekati Tuhan dengan sedekat-dekatnya. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum za>hid dan sufi dalam Islam.

4. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus bisa meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. paham

fana>’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan paham nirwana.

5. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.

Sementara itu, Abu> al-A’la Afi>fi> sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal–usul zuhu>d yang merupakan cikal bakal ajaran tasawuf. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga: Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Alquran dan al-Sunnah. Kedua, sumber ini mendorong untuk hidup

wara>’, taqwa> dan zuhu>d. Kedua, reaksi ruhaniah kaum Muslimin terhadap sistem

sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi– konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran

di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, yang bermula dari al-fitnat al-kubra> yang menimpa Khalifah ketiga, Usman bin Affan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut. Ketiga, reaksi terhadap fikih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak dapat memuaskan dalam pengamalan agama Islam.15 Menurut at-Taftaza>ni>, pendapat Afi>fi> yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhu>d bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fikih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fikih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhu>d maupun gerakan

zuhu>d. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya

Muktazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fikih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhu>d dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.16

Inilah beberapa teori tentang munculya sufisme di kalangan umat Islam. Yang menarik adalah, penerimaan umat Islam terhadap zuhu>d ternyata dengan signifikan dibarengi munculnya kesadaran ruhani. Apalagi bila mengingat bahwa

zuhu>d yang pada hakikatnya merupakan benih-benih tasawuf ternyata tergambar

15Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 5-6.

122

dalam pribadi Nabi saw. Apabila kita mencermati sejarah kehidupan Nabi, segera bisa ditemukan bahwa siklus kehidupan Nabi sangatlah sufistik.17

Dengan demikian, dengan ataupun tanpa pengaruh-pengaruh dari luar, sufisme bisa timbul dalam Islam. Di dalam Islam terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan. Di antaranya firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah (2): ayat 186:18

            … Terjemahnya:

Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku…19

Pada prinsipnya, ajaran Islam itu sendiri sangat sarat dengan unsur-unsur sufistik, baik yang tertuang dalam kitab suci maupun yang dipraktikkan secara riil dalam kehidupan Nabi saw. Sehingga, dengan atau tanpa adanya pengaruh dari luar, ajaran tasawuf memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam praktiknya boleh jadi ajaran tasawuf itu kemudian telah diperkaya dengan konsep-konsep mistisisme dari luar. Persentuhan Islam dengan filsafat Yunani, banyaknya

17Lihat: http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2007/01/menggugat-orisinali tas-tasawuf. h. 1.

18Hal senada juga dapat dilihat dalam QS. Al-Qaaf: 16 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

19

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006), h. M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Ciputat Tengerang: Lentera Hati, 2010), h. 28.

pemeluk Islam yang sebelumnya beragama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, serta sikap Islam yang terbuka, menjadi alasan kuat yang memungkinkan terjadinya asimilasi ajaran tasawuf dengan mistisisme luar.

Mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa term tasawuf dan sufi adalah sebuah term yang muncul setelah abad II Hijriah. Sebuah term yang sama sekali baru dalam agama Islam. Menurut para pengkaji, disiplin tasawuf muncul dalam Islam di sekitar abad ke III Hijrah atau abad IX Masihi.20Ia adalah lanjutan dari kehidupan keberagamaan yang bersifat za>hid dan ‘a>bid di sekitar serambi Masjid Nabawi pada ketika itu.21 Pakar sejarah juga sepakat bahwa yang mula-mula menggunakan istilah ini adalah orang-orang yang berada di kota Bagdad Irak. Pendapat yang menyatakan bahwa tema tasawuf dan sufi adalah baru serta terlahir dari kalangan komunitas Bagdad merupakan satu pendapat yang disetujui oleh mayoritas penulis buku-buku tasawuf.22

Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad VIII Masehi) yang sebelumnya

20Lihat misalnya: ‘Abd al-Kari>m al-Qus}ayri>, al-Risa>lah al-Qus}ayriyyah, Muh}ammad ‘Ali Sabih (tahqi>q) (Kairo: Syirkah Maktabah wa Tat}bi>qat Mus}t}a>fa> al-Ba>bi> al-Halabi> wa Awla>duh, 1330 H), h. 138.

21

Kebanyakan pengkaji sufisme berpendapat bahwa sufi dan sufisme disamakan dengan sekelompok Muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Z|ar al-Ghiffa>ri>. Mereka ini menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah swt. Pola kehidupan mereka kemudian dicontohi oleh sebahagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme. Lihat; Ibrahim Basyumi, Nasy’at al-Tas}awwuf fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), h. 9.

22 http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2007/01/menggugat-orisinalitas-tasawuf. h. 1.

124

merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam, meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam kehidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya, pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf, dan orangnya disebut orang sufi.23

Ada pula yang berpandangan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (s}uffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-s}uffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad saw. Kemudian, menurut catatan sejarah, di antara sekalian sahabat Nabi, maka yang pertama sekali memfilsafatkan ibadah dan menjadikan ibadah secara satu yang khusus, adalah sahabat Nabi yang bernama Huzaifa bin al-Yama>ni>, salah seorang sahabat Nabi yang mulia dan terhormat. Dialah yang pertama kali menyampaikan ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan

“Tasawuf” dan beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.24

Menurut cacatan sejarah, sahabat Nabi Huzaifah bin al-Yama>ni> inilah yang pertama-tama mendirikan Madrasah Tasawuf. Akan tetapi pada masa itu belumlah terkenal dengan nama tasawuf, masih sangat sederhana sekali. Imam Sufi yang pertama di dalam sejarah Islam yaitu Al-H{asan al-Bas}ry seorang ulama besar ta>bi’i>n. Ia murid pertama Huzaifah bin al-Yama>ni> dan alumni dari Madrasah yang pernah didirikan oleh Huzaifah bin Al-Yamani. Selanjutnya, tasawuf itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah Huzaifah bin Al-Yama>ni> di Madinah, kemudian diteruskan Madrasah Al-H{asan al-Bas}ry di Basrah dan seterusnya oleh Sa’ad bin al-Mussayib salah seorang ulama besar ta>bi’i>n, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah pelajaran Ilmu tasawuf telah mendapat kedudukan yang tetap dan tidak akan terlepas lagi dari masyarakat umat Islam sepanjang masa.25