• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.2. Asal Usul dan Perkembangan Kota Medan

Penduduk asli kota Medan adalah suku bangsa Melayu “Kampung Medan” yang pertama sekali terletak di daerah Medan Putri, yakni dataran “medan” tempat bertemu aliran Sungai Deli dan Sungai Babura. Tempat pertemuan kedua aliran sungai ini dahulu dipergunakan sebagai pelabuhan kecil untuk sarana transportasi melalui air bagi rakyat setempat.

Menurut riwayatnya, “Kampung Medan” didirikan oleh Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak dan Sukapiring, yakni dua dari empat kepala-kepala suku kesultanan Deli.

Pada tahun 1823 seorang pegawai Inggris, yang bernama John Anderson datang mengunjungi kota Medan. Pada saat itu kota Medan masih merupakan kampung kecil dengan junlah penduduk sekitar 200 orang. Kemudian pada tahun 1865, Pemerintah Belanda datang ke Medan dan membuat suatu perjanjian dengan Sultan Deli. Perjanjian

tersebut berisikan akan didirikannya perkebunan tembakau di sekitar kota Medan oleh pemerintah Belanda. Kerjasama antara pemerintah Belanda dengan Sultan Deli menjadi terkenal di seluruh dunia. Kenyataan ini banyak menarik investor asing dan menyebabkan banyak terjadi perpindahan penduduk dari tempat lain ke Medan atau ke Daerah Deli.

Untuk meningkatkan hasil usaha perkebunan tembakaunya, Pemerintah Belanda pada saat itu menjadikan kota Medan sebagai daerah terbuka bagi para pedagang atau para perantau dari daerah lain. Bahkan Pemerintah Belanda banyak mengambil tenaga kerja dari Pulau Jawa. Kebijaksanaan ini ternyata banyak merangsang penduduk dari luar daerah berdatangan ke kota Medan.

Pada tahun 1915 Medan diresmikan menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara dan pada tahun 1918 Medan resmi menajdi kotapraja kecuali daerah di sekitar Kota Matsum dan Sei Kera yang tetap merupakan daerah kekuasaan Sultan Deli.

Ketika Pemerintah Belanda berkuasa, kota Medan disebut dengan “Stadagemeente Medan” di bawah pimpinan Burgemeester atau Walikota. Pada saat itu (1918) jumlah penduduk kota Medan sebanyak 43.826.

Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, pertumbuhan jumlah penduduk Medan meningkat pesat terutama disebabkan oleh migrasi yang terus menerus. Asal para migran tidak hanya dari desa maupun kota-kota propinsi lain di Indonesia, tetapi bahkan dari luar negeri dengan latar belakang rasial yang sangat berbeda. Kenyataan yang demikian menyebabkan kota Medan menjadi daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Masing-masing suku bangsa (etnik) hidup sendiri-sendiri. Tempat tinggal mereka cenderung

mengelompok di sekitar tempat pekerjaan (okupasi) yang juga ada kecenderungan didominasi oleh etnik-etnik tertetu.

Dengan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU, terhitung mulai tanggal 21 September 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat. Keputusan tersebut disusul oleh maklumat Walikota Medan Nomor. 21 tanggal 29 September 1951 yang menetapkan luas kota Medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi empat kecamatan yakni, kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Barat, dan Kecamatan Medan Baru dengan jumlah 59 Kepenghuluan.

Perkembangan selanjutnya di Propinsi Sumatera Utara umumnya dan Kotamadya Medan khususnya, memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan. Oleh karena itu, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1973, dimana dimasukkan beberapa bagian dari wilayah Kabupaten Deli Serdang ke dalam Kotamadya Medan, sehingga luas wilayah Kota Medan menajdi 26.510 Ha yang terdiri 11 kecamatan dan 116 kelurahan. Kemudian dengan Surat Persetujuan Mendagri No. 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1986 jumlah kelurahan di Kotamadya Medan menjadi 144 kelurahan dari 11 kecamatan.

Kemudian melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 tahun 1991 tentang pembentukan beberapa kecamatan di Sumatera Utara termasul 8 (delapan) kecamatan pemekaran di Kotamadya Medan, sehingga yang sebelumnya sebelas menjadi 19 kecamatan. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di Kotamadya Medan, sehingga yang sebelumnya 19

kecamatan dimekarkan menajdi 21 kecamatan. Saat ini ada usaha-usaha untuk mengadakan perluasan wilayah kota Medan dengan meminta sebahagian wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jika ke depan terjadi perluasan wilayah, kemungkinan penambahan kecamatan juga akan terjadi.

Penduduk kota Medan berdasarkan sensus tahun 2000 berjumlah 1.898.013 jiwa yang terbagi atas 939.039 jiwa laki-laki dan 958.977 perempuan. Angka ini terjadi peningkatan yang sangat nyata dibanding sepuluh tahun yang lalu yakni 1.730.725 jiwa pada tahun 1990 yang terbagi atas 866.241 jiwa laki-laki dan 864.511 jiwa perempuan.

Penduduk kota Medan terkenal sangat majemuk terutama dari sukubangsa dan agama. Kemajemukan ini juga ditandai dengan penguasaan suatu okupasi dan terjadinya pengelompokan tempat tinggal berdasarkan sukubangsa walaupun tidak bersifat mutlak. Di kota Medan kelompok etnik Cina banyak bermukim di pusat-pusat kota seperti kampug Sei Rengas dan Pandahulu. Hal ini erat kaitannya dengan jenis pekerjaan mereka yang umumnya terpusat pada aktivitas perdagangan kelas menengah ke atas, seperti kampung kota Matsum dan kampung Mesjid, karena pekerjaan mereka kebanyakan bergerak di bidang perdagangan kelas menengah ke bawah. Etnik Batak bermukim di sekitar pusat perkantoran seperti Kecamatan Medan Baru, dan sekitar daerah tanah pertanian di pinggiran kota seperti Sei Putih Barat, Teladan. Hal ini karena pekerjaan yang mereka tekuni cenderung pada bidang perkantoran (birokrasi pemerintahan) disamping bidang-bidang pertanian. Sedangkan etnik Jawa dan Melayu banyak bermukim di daerah pinggiran kota Medan seperti Suka Ramai, Sudi Rejo, Sei Agul dan Helvetia. Pekerjaan mereka kebanyakan sebagai buruh di pusat-pusat kota ataupun buruh di bidang industri di samping pertanian.

Keanekaragaman suku bangsa di kota Medan dapat juga dilihat dari kelompok keagamaan mereka, yaitu organisasi keagamaan yang mengelola kehidupan sosial dan agama. Sebahagian besar etnik Minangkabau banyak berkelompok dan berorganisasi ke dalam kelompok Muhammadiyah.

Etnik Mandailing banyak berkelompok ke dalam organisasi Al Washliyah. Etnik Toba banyak berkelompok ke dalam persekutuan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) atau GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia). Etnis Karo banyak berkelompok dengan GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Di samping itu terdapat suatu organsiasi kelompok yang dibentuk berdasarkan marga.

Masyarakat Cina, umumnya bergerak pada lingkup kelas menengah dan atas. Dalam hal pengelolaan bisnis dan perdagangan oleh masyarakat Cina umumnya telah dilakukan dengan cara-cara yang lebih modern.

Masyarakat yang berasal dari etnis Jawa umumnya bekerja di sektor buruh, pertanian, pekerja harian, dan aspek pekerjaan “orang kebanyakan” lainnya. Namun dalam hal perkembangannya, saat ini sudah mulai banyak di antara mereka yang bekerja sebagai staf pengajar, pegawai pemerintah dan TNI Polri. Hal ini terutama yang berasal dari pendatang kemudian, yang ditugaskan oleh atasan mereka yang berada di Jakarta atau di tempat lainnya.

Pada masyarakat yang berasal dari etnis Melayu, umumnya mereka bekerja sebagai petani, pegawai pemerintah, dan pekerja harian di berbagai lapangan. Sebagai penduduk asli, mereka banyak yang dulunya menjadi pegawai kerajaan dengan segala hak dan kewajiban yang terkait dengan pekerjaan tersebut. Orang Melayu umumnya tidak menempati posisi strategis dalam pemerintahan dan bisnis. Walaupun saat ini

walikota Medan berasal dari etnis Melayu, peranan dan posisi mereka belum mencapai puncaknya. Namun demikian, beberapa organisasi sosial dan keagamaan sudah diduduki oleh orang Melayu.

Jenis-jenis pekerjaan berbagai etnis tersbut di atas ternyata sedikit banyak juga mempengaruhi dalam pengelompokan tempat tinggal atau pemukiman mereka. Atau dengan istilah lain terdapat signifikansi antara preferensi pekerjaan dengan lokasi tempat tinggal. Di samping itu, banyak kelompok pemukiman di kampung-kampung yang terpisah secara fisik dan sosial. Kelompok pemukiman ini merupakan daerah kantong etnik yang relatif jelas.

Masyarakat dari etnis Cina dan Minangkabau, bertempat tinggal di daerah yang merupakan konsentrasi kegiatan ekonomi dan bisnis di tengah kota, seperti di sekitar pasar, sekitar pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal penggunaan tempat tinggal dengan kegiatan pekerjaan pada kedua masyarakat tersebut.

Masyarakat Minangkabau yang pindah untuk mendekati pusat-pusat perbelanjaan tidak membangun rumah atau toko baru tetapi dengan membeli atau menyewa rumah-rumah rakyat dari pemilik-pemilik lama. Para pemilik lama tersebut sebagian besar etnis Jawa, Melayu, Mandailing yang kemudian pindah ke tempat yang lebih baik di pinggiran kota. Sementara itu orang Cina tinggal di atas toko-toko mereka yang bertingkat dalam pasar atau kompleks perdagangan. Rumah itu dibeli dari pengelola pengadaan rumah dan toko.

Etnis Batak Toba dan Mandailing tersebar di pinggiran, dalam kampung- kampung etnik yang terpisah di beberapa tempat. Begitu pula halnya yang terjadi pada

etnis Melayu, Jawa, dan lain sebagainya. Proses bermukim ke daerah pinggiran kota pada berbagai etnis pada umumnya hampir sama. Mereka menjual tanah yang ada di tengah kota dengan harga yang relatif mahal, kemudian membeli tanah di daerah pinggiran dengan harga yang relatif murah.

Orang Mandailing dalam bermukim lebih menetap dibanding pemukiman Cina atau Minangkabau. Hal ini dikarenakan orang Mandailing cenderung memandang daerah rantau sebagai tempat menetap permanen. Mereka tidak perlu harus mengikuti pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. Mereka juga mempunyai lebih banyak pilihan pekerjaan dibanding orang Minangkabau atau Cina. Pada mulanya orang Mandailing yang telah lama menetap di Kota Medan, bermukim di daerah perkotaan dan menempati rumah yang disediakan oleh Belanda atau Kesultanan Deli.

Setelah kemerdekaan, generasi kedua perantau Mandailing yang orang tuanya pedagang mulai merasa bahwa berdagang atau menjalankan usaha kecil di bidang bisnis eceran tidak lagi merupakan pekerjaan yang memadai. Pertama, ada dua kelompok etnik lain yang menguasai pekerjaan tersebut, Minangkabau dan Cina. Kedua, pemuda Mandailing yang berpendidikan merasa bahwa pekerjaan-pekerjaan kantoran lebih prestisius dan memberikan akses yang lebih mudah kepada kekuasaan dan uang.

Apabila dirasa telah mampu untuk membeli tanah dan atau rumah orang Mandailing mencarinya di pinggiran kota. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan keuangan mereka dan situasinya lebih nyaman. Keadaan yang sama juga terjadi pada etnis Toba. Sehingga terdapat persaingan yang ketat antara suku Mandailing dengan Batak Toba untuk membeli tanah dari orang-orang Melayu dan Jawa.

Pada orang Melayu, proses kepindahan pemukiman mereka juga hampir sama. Mulanya, orang Melayu menguasai tanah yang luas dan memiliki banyak rumah di kota. Kampung ini merupakan kampung-kampung Melayu lama di sekitar pusat kota. Namun karena orang Melayu tidak menempati posisi-posisi strategis dalam bisnis atau pemerintahan, maka lama kelamaan mereka mulai terdesak keluar dari sekitar pusat kota. Lama kelamaan kampung Melayu menjadi pemukiman perantau.

Walaupun terdapat sedikit perbedaan pada orang Jawa yang mengalami proses pemindahan pemukiman ke pinggiran kota, akan tetapi secara umum juga hampir sama. Hanya saja bila dilihat dari sejarah pemukiman mereka, memang pada masa awalnya mereka juga sudah bertempat tinggal di daerah pinggiran, di lahan pertanian atau perkebunan, atau sekitar rawa-rawa. Lama kelamaan pemukiman tersebut menjadi daerah perkotaan sesuai dengan pertumbuhan kota Medan. Ketika daerah pemukiman mereka telah menjadi daerah ramai atau tergolong perkotaan, tanah mereka dibeli oleh orang Mandailing atau Toba.

Adapun orang Aceh bermukim secara tersebar sesuai dengan jenis pekerjaan mereka. Akan tetapi mereka tetap hidup secaraberkelompok dengan sesama etnisnya dalam kelompok-kelompok kecil. Ada yang berada di daerah pinggir pantai bagi yang bekerja sebagai nelayan. Ada pula yang berada di tengah kota bagi yang bekerja sebagai pedagang atau pekerja lainnya.

Dokumen terkait