BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
3. Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen
Di dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen yaitu: Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 41 Ketika membahas mengenai penegakkan hukum dalam perlindungan konsumen, maka perlu
39 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 9
40 Eli Wuria Dewi, Op. Cit, hlm.5.
41 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
30 diberlakukannya asas-asas hukum yang berfungsi sebagai landasan penetapan hukum itu sendiri. Asas – asas hukum merupakan fondasi suatu Undang-Undang apabila asas tersebut dikesampingkan maka bangunan Undang- undang tersebut akan runtuh.42
Di dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta partisipasi hukum.43
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:44
a. Asas manfaat ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b. Asas keadilan ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
42 Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen ( Aspek Substansi Hukum, Struktur Hukum dan Kultur Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen), Ombak, Yogyakarta, 2014, hlm. 38.
43 Pasal 2 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
44 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
31 c. Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual;
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen ini dimaksudkan dalam hal untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e. Asas kepastian hukum ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.45 Adapaun Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:46
a. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
b. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan c. asas kepastian hukum.
45 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 26
46 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Op.
Cit., hlm.33.
32 Sebagai asas hukum, maka dengan sendirinya menempatkan asas yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dalam gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat didalamnya.
Adapun keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum oleh banyak jurist menyebutnya sebagai tujuan hukum, namun persoalannya sebagai tujuan hukum, Radbruch Friedman maupun Achmad Ali sama-sama mengatakan adanya kesulitan ketika dalam mewujudkan secara bersamaan. Namun lebih bagusnya memang harus saling melengkapi.
Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan / atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf c) b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat
unsur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi itu ( pasal 3 huruf d)
c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab ( pasal 3 huruf e)
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka, jadi konsumen perlu dilindungi karena konsumen dianggap memiliki suatu kedudukan yang tidak seimbang
33 dengan pelaku usaha, ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen.47
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:48
1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
47 Adrian Sutedi, S.H., M.H, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghali Indonesia, Bogor, 2008, hlm.9
48 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
34 B. TINJAUAN UMUM MENGENAI PELAKU USAHA
1. Pengertian Pelaku Usaha
“Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,dinyatakan: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.49
Sehubungan dengan hal tersebut Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.50 Pelaku usaha sering juga diartikan sebagai pengusaha yang dapat menghasilkan barang dan jasa. Di dalam pengertian tersebut termasuk didalamnya pembuat, grosir, dan pengecer professional, yaitu merupakan setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumennya, adapaun Sifat profesional merupakan syarat mutlak ketika dalam hal menuntut pertanggung jawaban dari produsennya tersebut.
Pelaku usaha merupakan istilah yang sering digunakan pembuat Undang-Undang yang pada umumnya dikenal dengan istilah atau sebutan
49 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
50 Az. Nasution, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, hlm. 17.
35 pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha baik privat maupun public), ketiga kelompok pengusaha itu adalah :51
a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, dan sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memperoduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/ atau jasa-jasa lain, mereka dapat terdiri atas orang, badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/ badan yang memproduksi sandang, dan sebagainya.
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, supermarket, dan sebagainya.
Pelaku usaha sebagai penyelenggara kegiatan usaha, adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif yang didalamnya berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap konsumen, pelaku usaha sama seperti seorang produsen.
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pada Pasal 6 menyatakan bahwa hak pelaku usaha adalah:52
51 Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 11.
52 Rosmawati, Op. Cit., hlm.65.
36 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam hukum penyelesaian sengketa konsumen.
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
5) Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai kewajiban dari pelaku usaha antara lain:53
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan danpemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
53Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 5 Tahun 1999 TLN Nomor 3821, Pasal 7.
37 d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut, yaitu merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.
Untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.54
54 Numardjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 18.
38 Adapun tanggung jawab pelaku usaha menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:
Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.55
Jika seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian menimbulkan kerugian, maka konsumen tersebut dapat menggugat atau meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Pihak yang menimbulkan kerugian yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, tergantung dari siapa pihak yang menimbulkan kerugian bagi konsumen tersebut.
3. Hubungan Konsumen dan Pelaku Usaha
Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan, hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi.56 Konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan yang saling ketergantungan atau keterkaitan, tanpa adanya konsumen pelaku usaha tidak dapat terjamin kelangsungan usahanya,
55 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hlm. 59.
56 Abdul HalimBarkatullah, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E Commerce Lintas Negara Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 27.
39 sebaliknya tanpa hasil dari produksi pelaku usaha, konsumen tidak dapat memenuhi kebutuhannya.57
Hubungan antara konsumen dan pelakui usaha sering timbul suatu masalah, permasalahan yang sering terjadi antara konsumen dan pelaku usaha yaitu menempatkan konsumen pada posisi yang lemah, timbul permasalahan akibatnya dari konsumen tidak memahami atas hak-haknya dengan pelaku usaha yang melupakan kewajiban-kewajiban serta tanggunga jawabnya sebagai pelaku usaha. Posisi lemah konsumen terhadap pelaku usaha juga disebabkan karena konsumen tidak terlibat dalam proses hingga hasil akhir dari suatu produksi, oleh karena itu sangat penting adanya perlindungan hukum bagi konsumen.
Di dalam Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak adanya proses produksi, distribusi pada pemasaran hingga penawaran, rangkaian kegitan yang seperti itu merupakan rangkaian perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya kepada pihak tertentu saja, hal tersebut biasanya dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam suatu adanya sistem distribusi dan pemasaran produk barang yaitu untuk mencapai suatu tingkat produktifitas dan efektifitas terentu dalam rangkaian untuk mencapai sasaran usahanya, dan pada tahap penyaluran dan distribusi itu menghasilkan suatu hubungan bersifat massal.
57 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm 9-10.
40 C. TINJAUAN UMUM TENTANG IKLAN
1. Pengertian Iklan dan Tujuan Iklan
Iklan atau advertising yaitu berasal dari bahasa yunani yang bermakna menggiring orang pada suatu gagasan. Namun ketika dilihat dari pengertian iklan secara komprehensif yaitu semua bentuk dari aktifitas untuk menghadirkan serta mempromosikan suatu ide, barang ataupun jasa secara nonpersonal dan yang dibayar oleh suatu sponsor tertentu.
Iklan merupakan salah satu alat yang umum digunakan dalam perusahan untuk mengarahkan suatu komunikasi persuasif pada konsumen atau masyarakat luas. Menurut pendapat Kolter yaitu bahwa periklanan sebagai segala bentuk penyajian dan promosi ide, dan jasa secara personal oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran.58
Ketika ditinjau dari segi komunikasi, iklan atau periklanan (Advertisment) adalah proses komunikasi yang paling efektif serta melibatkan suatu sponsor tertentu yaitu pemasang iklan bisa disebut produsen atau pengiklan. Pengiklan atau produsen adalah orang yang membayar jasa sebuah media massa atau media publikasi. Dan biasanya iklan dibuat atas dasar pesanan pemasang iklan oleh sebuah agen atau biro iklan atau bisa saja oleh bagian humas (public relations) sebagai lembaga pemasang iklan yang bersangkutan.59
Jadi dapat disimpulkan bahwa iklan atau periklanan merupakan proses penyampaian pesan berupa suatu produk yang melalui media masaa, yang
58 Phill Kolter, Manajemen Pemasaran, Prenhalindo, Jakarta,2002, hlm 658.
59 Ramsiah Tasruddin,Strategi Periklanan Dalam Perspektif Komunikasi Pemasaran, Alauddin University Press, Makasar, 2011, hlm 1.
41 bertujuan untuk membujuk konsumen di masyarakat luas untuk membeli atau menggunakan produk yang di iklankan, serta memberikan suatu pesan merek terhadap suatu produk yang di iklankan.
Tujuan adanya iklan untuk meraih pencapaian perspektif positif atau pemikiran yang positif, serta sebagai sumber informasi terhadap konsumen dalam pengambilan keputusan untuk pembelian suatu produk yang telah di iklankan, misalnya iklan susu kental manis.
Adapun tujuan iklan untuk perusahaan yaitu untuk mempengaruhi sikap atau persepsi serta perilaku konsumen supaya konsumen berperilaku sesuai dengan apa yang di inginkan perusahaan yaitu dengan membeli atau menggunakan produk yang diiklankannya. Ada beberapa tujuan iklan ketika ditinjau dari sifat yaitu:
a. Iklan informatif yaitu bertujuan untuk membentuk serta menciptakan kesadaran atau pengenalan dan pengetahuan tentang produk atau fitur-fitur baru dari produk yang sudah ada.
b. Iklan persuasif yaitu bertujuan menciptakan kesukaan, preferensi, dan keyakinan, sehingga konsumen mau membeli dan menggunakan barang dan jasa.
c. Iklan yang mengingatkan yaitu bertujuan untuk mendorong pembelian ulang (repeat order).
d. Iklan yang menguatkan yaitu bertujuan untuk meyakinkan konsumen bahwa produk mereka adalah pilihan yang tepat.60
60 Ramsiah Tasruddin,Strategi Periklanan Dalam Perspektif Komunikasi Pemasaran,Alauddin University Press, Makasar 2011,
42 2. Pengertian Iklan yang Tidak benar
Iklan atau periklanan merupakan salah satu sarana pemasaran yang banyak digunakan oleh pelaku usaha tentunya untuk memperkenalkan produk-produk yang dihasilkan kepada konsumen. Idealnya itu informasi yang disampaikan oleh pelaku usaha bukan hanya untuk menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh suatu produk tersebut, tetapi perlu diibangi dengan informasi yang didalamnya memuat kekurangan yang dimiliki suatu produk yang bersangkutan.61
Adapun yang dirumuskan pada pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan adanya fakta material dalam suatu iklan, dimana pernyataan tidak benar mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih dan membeli produk yang diiklankan.62
Menurut Milton Handler, iklan tidak benar (false advertising) adalah jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang dhiarapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.63
61 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Tidak benar, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 5.
62 Ibid, hlm.. 109
63 Milton Handler, Business Tort, Case and Materials, Foundation Press, New York, 1972, hlm 475.
43 Penjelasan lebih rinci diberikan oleh Sri Handayani yang menjelaskan bahwa iklan tidak benar tersebut meliputi :64
a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan waktu dan jaminan, garansi dari jasa.
b. Iklan yang memuat informasi secara keliru, salah dan tidak tepat tentang barang atau jasa.
c. Iklan yang memuat informasi tentang resiko pemakaian barang
d. Iklan yang mengeksploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau kegiatan seseorang.
e. Iklan yang melanggar etika periklanan.
f. Iklan yang melanggar tentang peraturan periklanan.
g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan.
Dalam praktik bisnis kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai dengan kondisi produk sebenarnya, yang tidak benar atau suatu produk yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara mengungkapkan hal-hal yang tidak benar, serta mempergunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta.65
Iklan sebagai sarana untuk memperoleh informasi merupakan media yang cukup dikenal oleh masyarakat luas dan sangat mudah untuk ditemukan. Berbagai informasi produk yang berupa barang dan atau jasa dengan mudah dapat dikumpulkan dan ditemukan oleh konsumen dan dapat
64 Dedi Harianto, Op, Cit, hlm. 109.
65 Ibid, hlm 110.
44 dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih atau membeli barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen dan daya belinya.
Dapat ditentukan beberapa bentuk penyesatan informasi yang terdapat dalam iklan, antara lain sebagai berikut:66
a. Iklan yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, harga, tarif, ketepatan waktu, jaminan, dan garansi barang dan / atau jasa.
b. Tidak memenuhi janji-janji sebagaimana dikatakan dalam iklan.
c. Mendeskripsikan atau memberikan informasi secara keliru, salah maupun tidak tepat mengenai barang dan / atau jasa.
d. Memberikan gambaran secara tidak lengkap mengenai informasi barang dan / atau jasa.
e. Memberikan informasi yang berlebihan mengenai kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan / atau jasa.
f. Membuat perbandingan barang dan / atau jasa yang tidak benar konsumen.
g. Menawarkan barang dan/ atau jasa dengan kondisi yang menarik tetapi kemudian menawarkan barang dan / atau jasa lain dengan kondisi yang lain pula.
h. Menyebutkan apa yang dapat diharapkan dari suatu produk tanpa menyinggung tentang apa yang tidak dapat diharapkan (resiko, efek samping)
66 Ibid, hlm. 112.
45 i. Memberikan kesaksian yang tidak benar (mempergunakan seseorang
yang ternyata bukan pemakai produk tersebut).
Pada dasarnya standar kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di Negara- Negara maju, misalnya Amerika Serikat, yaitu dengan telah mempergunakan unsur-unsur fakta material sebagaimana tertuang dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta konsumen rasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi keberadaan fakta material dan konsumen rasional tersebut belum cukup jelas diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia, sehingga pada praktiknya belum secara tegas dijadikan sebagai dasar penentuan ikaln tidak benar.67
D. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM.
1. Pelindungan Konsumen dalam perspektif hukum islam
Perlindungan konsumen adalah hal yang sangat penting dalam hukum islam, agama islam itu melihat bahwa perlindungan konsumen bukan hanya sebagai hubungan keperdataannya saja melainkan sudah menyangkut
67 Ibid, hlm. 113.
46 terhadap kepentingan publik yang secara luas, bahkan menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT.68
Sejarah perlindungan konsumen dalam Islam sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul, beliau membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid dengan mendapatkan imbalan atau upah.69 Sekalipun tidak banyak literatur yang berbicara tentang aspek perlindungan konsumen ketika itu, namun prinsip-prinsip perlindungan konsumen dapat ditemukan dari praktik-praktek bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kejujuran, keadilan dan integritas Rasulullah tidak diragukan lagi oleh penduduk Mekkah, sehingga potensi tersebut meningkatkan reputasi dan kemampuannya dalam berbisnis.70
Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, konsumen mendapatkan perhatian yang cukup besar dalam ajaran Islam,yaitu baik dalam Qur’an maupun ada didalam Hadits. Bisnis yang adil dan jujur menurut Al-Qur’an yaitu bisnis yang tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi. Di dalam QS. Al-Baqarah ayat 279 Allah SWT berfirman :
Artinya : “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
68 Zulham, Op. Cit., hlm 7.
69 Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, Sebuah studi Analisis Berdasarkan Sumber-sumber Autentik, , Qisthi Press, Jakarta, 2009, Hlm. 152
70 Jusmaliani, dkk, Bisnis berbasis syariah, , Bumi Aksara, Jakarta ,2008, Hlm. 49
47 erangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Sepintas ayat tersebut diatas memang berbicara tentang riba, tetapi
Sepintas ayat tersebut diatas memang berbicara tentang riba, tetapi