• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas-Asas E-Commerce Dalam UU ITE

Setelah mengetahui ruang lingkup dari transaksi elektronik (e-commerce) dalam UU ITE, maka selanjutnya hal yang akan dijelaskan adalah tentang asas hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik

(e-commerce) yang terdapat dalam UU ITE dan aturan

pelaksanaannya yaitu PP No. 82 Tahun 2012.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada dasarnya dalam suatu aktivitas e-commerce yang dilakukan secara virtual tidak secara otomatis menghilangkan prinsip-prinsip hukum yang ada sebelumnya.87 Seperti contoh dalam perjajian jual beli secara online, asas-asas yang melandasi kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian pada dasarnya sama seperti asas-asas hukum yang berlaku pula dalam hukum perdata Indonesia.

Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan tentang asas-asas hukum suatu aktivitas e-commerce berdasarkan pada kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dituliskan di dalam UU ITE maupun aturan pelaksanannya yakni PP No. 82 Tahun 2012.

2.1 Asas Personalia

Berbicara mengenai asas personalia, maka hal yang tidak dapat dihindari adalah rumusan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang

berbunyi, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

Rumusan Pasal 1315 tersebut menjadi titik penting untuk mengetahui letak dari asas personalia. Namun, apakah yang dimaksud dengan asas personalia itu? Dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.88

Di dalam pengaturan mengenai transaksi elektronik dalam hal ini e-commerce yang diatur dalam UU ITE, khususnya di dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Rumusan tersebut jelas, bahwa siapa saja dapat melakukan perjanjian atas namanya sendiri, dan mengikat dirinya sehingga akan melahirkan kewajiban atasnya. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa, setiap orang bebas untuk melakukan e-commerce atas dan untuk dirinya, dan terikat dalam perjanjian e-comemrce tersebut.

Oleh karena itu, UU ITE pun menyadari bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan siapa saja melalui dunia maya, sehingga terikat oleh perjanjian itu, dan hal tersebut tidak mungkin akan dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang.

88

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 15.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum

dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepetingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai bukti yang menunjukan bahwa memang orang perorangan tersebut tidak membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ”.89

Artinya, tidak mungkin seorang dapat terikat pada suatu perjanjian yang bukan atas kehendaknya sendiri atau yang bukan dilakukannya. Hal ini secara hukum juga dikenal dalam Hukum Dagang, yakni pada Pasal 107 KUHD tentang wesel yaitu:

“Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya di dalam sesuatu

surat wesel sebagai wakil orang lain atas nama siapa ia berwenang untuk bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat karena surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-akibat yang sama berlaku abgi seorang wakil yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya”.

Oleh karena itu, asas personalia dalam e-commerce menjadi sangat penting terlebih aktivitas di dunia maya yang tidak mengenal ruang dan waktu, sehingga asas ini harus diletakkan sebagai asas fundamental dalam pelaksanaan transaksi elektronik (e-commerce).

Asas ini juga diterapkan dalam kegiatan e-commerce untuk menjamin bahwa, orang yang sudah melakukan suatu perjanjian

e-commerce, maka atas orang itu terjadi perikatan yang menimbulkan hak

dan kewajiban atasnya.

Rumusan tentang asas personalia juga dapat ditemukan dalam PP No. 82 Tahun 2012, di mana disebutkan bahwa, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum bagi para pihak.90 Artinya, pihak di sini adalah subyek hukum yang dapat melakukan suatu perjanjian atas namanya sendiri. Sehingga, atas perjanjian itu maka pihak tersebut harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian itu.

Dengan demikian, jelas bahwa e-commerce dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 tetap menggunakan asas Personalia yang juga telah dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Asas ini bertujuan untuk menjamin kegiatan e-commerce benar-benar dilakukan oleh pihak yang berkepentingan.

2.2 Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas berkaitan dengan kesepakatan antara para pihak dalam melakukan suatu perjanjian. Kesepakatan dari para pihak tersebut menjadi titik penting, oleh karena dengan kesepakatan tersebut maka suatu perjanjian dapat dikatakan sah, dan dapat melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi para pihak.91

Ketentuan mengenai asas konsensualitas sudah dikenal dalam sistem hukum Indonesia yaitu dalam Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata, yaitu untuk perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, dan syarat yang pertama adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

90

Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012. 91 Ibid, hlm. 34.

Rumusan itulah yang menjadi landasan yuridis bagi suatu aktivitas perjanjian yang selama ini dilakukan. Namun, di dalam konteks e-commerce yang merupakan suatu jenis perdagangan baru, aturan tersebut tetap berlaku akan tetapi diatur tersendiri dalam peraturan tentang itu.

Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU ITE yang menyebutkan bahwa, kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm pengirim telah diterima dan disetujui, dan selanjutnya persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang akan melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) memerlukan suatu kesepakatan. Jika para pihak sudah bersepakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu transaksi elektronik sudah terjadi.

Dalam hal ini, pernyataan kesepakatan harus dilakuakn melalui suatu pernyataan penerimaan atau pernyataan persetujuan yang dilakukan secara elektronik pula. Atau dengan kata lain, consensus antara para pihak dalam transaksi elektronik (e-commerce) adalah melalui suatu pernyataan elektronik.

Hal ini berbeda dengan perjanjian bisnis atau perjanjian jual beli pada ruang nyata yang dapat dilakukan secara lisan. Mengingat

secara elektronik diperlukan untuk mengetahui bahwa para pihak telah bersepakat untuk melakukan transaksi elektronik (e-commerce).

Selain dari rumusan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU ITE, di dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a PP No. 82 Tahun 2012 juga secara eksplisit mengatur bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila ada kesepakatan para pihak.

Rumusan tersebut nampaknya merupakan penulisan kembali atas rumusa Pasal 1320 KUHPerdata, yang memuat tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Artinya, hukum siber baik itu UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan umbrella act bagi e-commerce tetap mempraktikan prinsip hukum yakni asas konsensualitas yang sudah dipraktikan juga sebelum lahirnya UU ITE dan Peraturan Pelaksananya.

Oleh karenanya, asas konsensualitas dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 yang mengatur tentang e-commerce tetap mendudukan asas konsensualitas sebagai salah satu asas penting untuk dilangsungkannya suatu aktivitas e-commerce.

2.3 Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak juga mendasarkan dirinya pada Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya angka 4 yaitu, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaiitu, syarat keempat adalah suatu sebab yang tidak terlarang.

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saj, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.92

Suatu sebab yang tidak terlarang dalam hal ini harus memperhatikan pula ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesulilaan baik atau ketertiban umum”.

Asas kebebasan berkontrak juga dapat dipahami dalam hal berkaitan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan dengan siapa seseorang akan mengadakan perjanjian, apa bentuk perjanjian, serta memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan isi perjanjian.93

Dalam konteks e-commerce UU ITE sendiri tidak menjabarkan secara rinci asas kebebasan berkontrak sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut justru ditemukan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf d PP Nomor 82 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

92 Ibid, hlm. 46. 93

Christiana Tri Budhayati. Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia, Universitas Kristem Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 48.

Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa sejatinya dalam sebuah e-commerce atau transaksi elektronik sekalipun, masih tetap menggunakan asas kebebasan berkontrak yang selama ini juga dijalankan dalam perjanjian-perjanjian konvensional.

Rumusan Pasal 47 ayat (2) huruf d PP No. 82 Tahun 2012 sudah membuktikan bahwa, asas kebebasan berkontrak yang diakui dalam KUHPerdata yang merupakan Lex Generalis hukum perdata Indonesia, juga diakomodir di dalam transaksi elektronik (e-commerce). Sehingga, suatu kontrak elektronik yakni e-commerce juga tetap menjalankan prinsip atau asas kebebasan berkontrak bagi para pihak.

2.4 Asas Pacta Sunt Servanda

Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.94

Sudah barang tentu, asas pacta sunt servanda tersebut merupakan ekstraksi dari rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, daya ikat dari perjanjian itu secara hukum hanya

mengikat para pihak yang terdapat di dalam perjanjian itu, atau perjanjian mengikat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak.

Pacta sunt servanda juga mempunyai pengertian bahwa suatu pactum, yaitu persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah

sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu, menurut hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu kontrak yang mengikat.95

Dalam konteks e-commerce yakni suatu transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE menyebutkan bahwa, transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.96 Dalam pengertian dengan asas pacta sunt servanda, maka kontrak elektronik mengenai suatu e-commerce mengikat para pihak yang terdapat di dalam kontrak/ perjanjian tersebut.

Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) tersebut memang pada dasarnya tidak secara rinci meyebutkan mengenai daya berlaku dari sebuah kontrak /perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, namun dari bunyi Pasal 18 ayat (1) a quo secara inheren mengandung prinsip pacta sunt servanda.

Dengan demikian, segala macam kontrak elektronik dalam suatu

e-comemerce harus tunduk pada prinsip pacat sunt servanda. Artinya,

para pihak yang sudah masuk ke dalam perjanjian tersebut, memiliki

95 Peter Mahmud Marzuki. Keberlakuan Doktrin Contra Proferentem Dalam Hukum Kontrak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 5.

kewajiban secara hukum untuk patuh dan taat kepada isi dari perjanjian tersebut.

Sejalan dengan itu pula, Christiana Tri Budhayati menggariskan bahwa,

“asas pacta sunt servanda ini menunjukan adanya jaminan kepastian

hukum pada para pihak yang berjanji, para pihak akan terikat pada apa yang diperjanjikan, terkandung makna bahwa ia tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, pengingkaran tentu akan mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan”.97

Dengan demikian, Penulis hendak mempertegas kembali bahwa

e-commerce menurut UU ITE, juga menerapkan asas pacta sunt servanda bagi para pihak yang melakukan atau melaksanakan e-commerce.

2.5 Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik berkiatan dengan pelaksanaan perjanjian, di mana para pihak yang berada dalam suatu perjajian diharuskan untuk menjalankan perjanjian itu dengan iktikad baik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang menyebutkan, perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Dengan demikian secara tegas undang-undang mengharuskan para pihak melaksanakan satu kewajiban hukum yang muncul karena adanya perjanjian yakni bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.98

97

Ibid, hlm. 50. 98 Ibid, hlm. 51.

Berkenaan dengan iktikad baik itu pula, Ridwan Khirandy menyatakan bahwa, pengertian iktikad baik mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi subyektif yang berarti iktikad baik mengarah pada makna kejujuran serta dimensi kedua adalah dimensi yang memaknai iktikad baik sebagai rasionalitas dan kepatutan atau keadilan.99

Berkenaan dengan e-comemrce atau transaksi elektronik, di dalam UU ITE disebutkan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.100

Rumusan dalam Pasal 17 ayat (2) tersebut secara eksplisit menegaskan bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) untuk harus beriktikad baik, agar arus transaksi elektronik tidak menimbulkan permasalahan yang akan merugikan para pihak.

Sudah jelas bahwa, meskipun di era globalisasi seperti sekarang di mana transaksi sudah dilakukan melalui transaksi elektronik di mana para pihak tidak saling bertatap muka secara langsung, namun hukum tetap mewajibkan bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik tersebut untuk menerapkan asas iktikad baik.

Selain diatur dalam Pasal 17 ayat (2), ketentuan mengenai iktikad baik juga dijumpai di dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a PP No. 82

99 Ridwan Khirandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Jakarta, 2003, hlm. 13.

Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa, “penyelenggaraan transaksi elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan iktikad baik.”

Asas iktikad baik dalam transaksi elektronik (e-comemrce) kembali dimunculkan dalam hukum formil dari UU ITE yakni PP No, 82 Tahun 2012, di mana para pihak yang melaksanakan transaksi elektronik harus melakukan transaksi itu dengan iktikad baik. Artinya, meskipun para pihak itu tidak pernah bertemu secara langsung untuk membicarakan perihal perjanjian, namun hanya melalui transaksi elektronik pun para pihak harus tetap beriktikad baik.

Rumusan kedua pasal tersebut, baik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012, menunjukan bahwa kemajuan teknologi informasi yang mana merubah cara melaksanakan suatu perjanjian, yaitu melalui dunia maya sekalipun, tetap diwajibkan oleh hukum bagi para pihak yang bertransaksi atau berjanji itu untuk tetap menjalankan perjanjian atau transaksi elektronik dengan iktikad baik.

Berikut Penulis rumuskan dalam tabel asas-asas E-commerce UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 dengan yang terdapat di dalam KUHPerdata:

Tabel 1. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas-asas UU ITE dan PP 82

Tahun 2102

KUHPerdata

Asas Personalia Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 46 ayat (1).

Pasal 1315

Asas konsensualitas Pasal 20 ayat (2) dan (2) jo pasal 47 ayat (2) huruf a.

Pasal 1320 (1)

Asas kebebasan berkontrak

Pasal 47 ayat (2) huruf d. Pasal 1320 (4)

Asas pacta sunt servanda

Pasal 18 ayat (1) Pasal 1338

Asas iktikad baik Pasal 17 ayat (2) jo Pasal 46 ayat (2) huruf a

Pasal 1338 (3)

3. Sahnya Perjanjian E-Commerce Dalam Perspektif UU ITE

Di dalam melakukan suatu perjanjian, maka hal utama yang harus dilakukan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya atau berlakunya suatu perjanjian tersebut. Oleh karenanya, secara a

contrario jika syarat-syarat dalam perjanjian tidak dipenuhi maka suatu

perjanjian tidak dapat dikatakan sah atau berlaku, dan tidak akan melahirkan hak dan kewajiban bagi siapapun.

Begitu pula dengan transaksi elektronik (e-commerce), sudah barang tentu para pihak yang yang akan melakukan perjanjian dalam

transaksi elektronik harus memenuhi syarat-syarat perjanjian, sehingga perjanjian tersebut dapat menjadi sah dan dapat dilakukan transaksi elektronik, yang akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak tersebut.

Undang-undang ITE (UU No. 11 Tahun 2008) yang mengatur tentang transaksi elektronik, tidak menguraikan secara rinci syarat sahnya suatu perjanjian sehingga suatu transaksi elektronik dapat dilakukan.

Dari Hasil Penelitian yang dilakukan, ketentuan dalam Bab V UU ITE yang mengatur secara khusus tentang transaksi elektronik tidak mengatur secara khusus tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara elektronik (e-commerce).

Namun ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian elektronik dalam hal ini suatu transaksi elektronik (e-commerce) diatur di dalam Pasal 47 ayat (2), yang menyatakan, “kontrak elektronik dianggap sah apabila:”

- Terdapat kesepakatan para pihak;

- Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

- Terdapat hal tertentu; dan

- Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Rumusan mengenai syarat sahnya suatu kontrak elektronik di atas pada dasarnya sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata juga merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak jika akan melakukan suatu perjanjian atau kontrak.

Oleh karena dalam syarat sahnya kontrak elektronik yang mengatur tentang e-commerce sama dengan syarat kontrak atau perjanjian pada umumnya, maka berikut ini akan diuraikan atau dijelaskan keempat syarat tersebut.

Pertama, baik Pasal 47 ayat (2) maupun Pasal 1320

KUHPerdata mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. 101

Secara umum kesepakatan antara para pihak tersebut berawal dari penawaran dan penerimaan. Akan selalu ada pihak yang menawarkan serta pihka yang menerima tawaran. Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh E. Allan Fansworth & William F. Young bahwa, kesepakatan yang merupakan pernyataan

kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan.102

Begitu juga dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce), kesepakatan para pihak yang dilakukan melalui kontrak elektronik menjadi bukti bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan, sehingga dapat dikatakan telah terjadi kesepakatan antara para pihak.

Penawaran yang disampaikan secara elektronik dapat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak yang ditawari. Dalam transaksi elektronik, pernyataan secara elektronik dianggap sebagai persetujuan atau telah terjadi persesuaian kehendak atau kesepakatan para pihak, sehingga transaksi elektronik (e-commerce) dianggap telah terjadi.

Berkaitan dengan kesepakatan itu pula, maka berlaku pula prinsip kesepakatan bebas, artinya kesepakatan yang dibuat oleh para pihak tersebut dilakukan dalam keadaan bebas merdeka tanpa paksaan, buak karena khilaf atau karena penipuan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Dalam kaitannya dengan kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik, maka dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 82 Tahun

102

E. Allan Fansworth & William F. Young. Contracts (Cases & Materials), The Foundation Press Inc. New York, 1980, hlm. 179-195.

2012 telah ditetapkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan produk secara elektronik harus memberikan informasi yang benar, jelas dan lengkap mengenai produk tersebut.

Sehingga, jika pihak penerima akan memperoleh informasi yang lengkap dan akan menuntunnya pada pernyataan bahwa ia akan bersepakat atau setuju dengan apa yang ditawarkan, sehingga transaksi elektronik dapat dilakukan.

Oleh karena itu, Penulis berpendapat di dalam transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a tetap memerlukan kesepakatan para pihak yakni melalui pernyataan penerimaan secara elektronik untuk menyatakan bahwa suatu kesepakatan telah terjadi.

Kedua, perihal kecakapan. Baik di dalam Pasal 1320

KUHPerdata maupun Pasal 47 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa, salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan dari para pihak. Kecakapan di sini adalah menyangkut kemampuan secara hukum untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.

Kecakapan diukur berdasarkan subyek hukum yang melakukannya, yakni jika itu adalah orang (person) akan dilihat dari usia kedewasaan menurut hukum, dan jika itu adalah badan hukum (rechtspersoon) akan dilihat dari aspek kewenangan.103

Seseorang yang sudah dinyatakan dewasa secara hukum, maka orang tersebut dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dalam hal ini adalah perjanjian. Sedangkan untuk badan hukum, maka yang akan dilihat adalah status (kesahan) badan hukum tersebut, serta apakah badan hukum tersebut memang memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perjanjian.

Dalam konteks transaksi elektronik, kecakapan dari para pihak menjadi kendala tersendiri, oleh karena dilakukan melalui dunia

virtual. Artinya, antara para pihak tidak dapat mengetahui secara pasti

apakah pihak yang akan diajak berjanji sudah cakap atau tidak.

Oleh karena itulah, di dalam Pasal 49 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012 mengharuskan agar setiap penyelenggara transaksi elektronik untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada siapa saja yang akan melakukan perjanjian dengannya.

Dokumen terkait