• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KUHPERDATA DAN

B. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.18

Menurut Maris Feriyadi setidaknya adalima asas yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian, yaitu:19

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:20

17Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan

dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal. 319

18Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, 2006

19 M. Harianto, Asas-Asas Dalam Perjanjian,

a. membuat atau tidak membuat perjanjian b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan 2. Asas konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latinconsensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya sebagai sesuatu formalitas. Asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya

20Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 25.

kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.

Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil.21

a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.

Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:

diakses tanggal 10 Maret 2014.

b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.

c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.

d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

3. Asas pacta sunt servanda

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

4. Asas itikad baik

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

a. itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap

batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

5. Asas kepribadian(personality)

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian.Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat 1 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini memberi pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan.Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata,

tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian-perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan semua menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang

berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.

Dokumen terkait