• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG INFORMASI

B. Hukum Pidana Dan Tindak Pidana

5. Asas Legalitas

Asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar-dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.70) Lebih jauh dari itu, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum.71)

Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang tercela harus ada ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana dan memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Asas legalitas ini dianggap sebagai salah satu wujud dari perjanjian antara penguasa dan individu itu. Dalam artian, kebebasan individu sebagai subjek hukum mendapatkan jaminan perlindungan kontraktual melalui asas legalitas.72)

69) https://www.legalaid.vic.gov.au/find-legal-answers/victims-of-crime, pada tanggal 20 April 2019 pukul 21.00.

70) Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 68.

71) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 81.

Asas legalitas di dalam hukum pidana begitu sentral dan penting, mengingat asas ini menjadi pintu pertama dari hukum pidana untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan pidana sekaligus pertanggung jawaban bagi pelanggarnya. Het legaliteitbeginsel is een van de meest fundamentale beginselen van het strafrecht (Asas legalitas adalah asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana).73)

Asas legalitas dicetuskan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach (1775-1833), seorang Sarjana Hukum Pidana Jerman dalam bukunya: Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendasar yang dalam bahasa Latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa ada perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.74)

Terkait dengan asas legalitas yang diajarkan oleh Feuerbach, sebenarnya menghendaki penjeraan tidak melalui pengenaan (sanksi) pidana namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan sehingga harus dicantumkan dengan jelas kejahatan dan pidananya.75)

Secara tegas seorang Juris Pidana terkenal dari Jerman, Frank von Liszt menulis, “the nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege principles are the bulwark of the Citizen against the state’s omnipotence; they protect the

73)Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum

Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,

Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6.

74) Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 605.

individual against the brutal force of the majority, against the Leviathan.”76) (Prinsip nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege adalah benteng warga negara melawan kemahakuasaan negara; mereka melindungi individu melawan kekuatan brutal dari mayoritas, melawan Leviathan/sejenis mahkluk raksasa yang ganas).

Dilihat dari sejarah terbentuknya, Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki hubungan erat dengan usaha manusia untuk mendapatkan suatu kepastian hukum pada abad ke-18 atau dengan perkataan lain pencatuman ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan masyarakat.77) Gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah.

Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan bahwa : “ Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Berdasarkan asas tersebut, terdapat tujuh aspek yang dihasilkan, yaitu78) :

a. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang

b. Tidak ada penerapan undang-undang berdasarkan analogi c. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan

76) Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, hlm. 141.

77) P A F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan

terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1995, hlm.

123.

d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex certa) e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana

f. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang g. Penuntutan hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang

Tradisi Sistem civil law memiliki empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu lex scripta, lex certa, non-retroactivity, dan analogy.79)

a. Lex Scripta

Aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.

b. Lex Certa

Berkaitan dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang

ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.80)

c. Nonretroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (nonretroaktif). Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Akan tetapi, ada pengecualian terhadap asas nonretroaktif ini, seperti yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyatakan bahwa “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”

d. Analogi

Ilmu hukum pidana mengenal beberapa metode penafsiran, yaitu : penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. Syarat pokok untuk melakukan penafsiran terhadap suatu undang-undang adalah undang-undang itu harus ditafsirkan berdasarkan undang-undang itu sendiri. Menurut Simons81), untuk menafsirkan suatu undang-undang sekali-kali tidak boleh mencari bahan-bahan penafsiran di luar undang-undang. Hampir semua metode penafsiran dapat digunakan, akan tetapi ada metode penafsiran yang masih menjadi perdebatan tentang keberlakuannya yaitu penafsiran secara analogi. Paham klasik yang didukung oleh Simons, Vos dan Van Hattum pada dasarnya tidak memperkenankan analogi dalam hukum pidana sedangkan Pompe dan Jonkers selaku penganut paham modern memperbolehkan berlakunya hukum pidana.

Analogi sendiri adalah metode penafsiran dimana terdapat sesuatu yang diatur secara tegas oleh undang-undang dan kemudian terdapat hal lain yang tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang, sedangkan hal lain ini memiliki sifat dan dasar yang sama dengan hal yang telah diatur dengan tegas oleh undang-undang tersebut di atas, maka undang-undang yang telah mengatur sesuatu hal secara tegas itu, dipergunakan untuk menafsirkan hal yang tidak diatur dengan tegas oleh undang-undang.82)

81) P A F Lamintang dan Djisman Samosir, Op.Cit., hlm. 2.

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Teori Efektivitas)

Dokumen terkait