• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Asas Ultimum Remidium dalam Peradilan Anak

Asas ultimum remidium atau the last resort principle) dalam peradilan anak tidak terlepas dari peranan Hakim anak dalam mengadili perkara anak. Peranan hakim dalam peradilan anak sangat penting karena vonis dari hakim apakah akan menjatuhkan pidana {straf) atau memberikan tindakan (maatregel) menjadi hal yangpenting,(http://www.perlindungananak.blogspot.com/2010/08/.html//).

Dalam Undang Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini telah diatur juga tentang beberapa syarat hakim anak. Menurut pasal 10, salah satu syarat untuk diangkat menjadi hakim anak adalah mempunyai minat perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Persyaratan sedemikian, mencerminkan adanya unsur perlindungan terhadap anak.

Diharapkan Hakim Anak yang mengadili anak nakal dalam memberikan keputusannya, memutus dengan lebih mengedepankan dan melindungi kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Menurut Hadi Supeno (2010:111) terkait dengan pemidanaan terhadap anak menyatakan bahwa:

“Pemidanaan dalam peradilan anak adalah merupakan upaya terakhir (ultimum remidium), dengan menyadari bahwa anak melakukan perbuatan salah tidak sepenuhnya dengan kesadarannya tetapi sesungguhnya merupakan korban dari orang-orang sekitarnya dan lingkungan sosialnya, semestinya pemejaraan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Menurut Labeling theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya stigma "nakal" dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau masyarakatnya, bahkan putusan pengadilan.

Berkaitan dengan ini ada 3 proposisi teori labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan terhadap anak nakal, yaitu:

1. Seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundangundangan, melahirkan karena ia ditetapkan demikianoleh penguasa;

2. Tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling;

3. Labeling merupakan suatu proses yang melakukan identiflkasi dengan citra sebagai devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the rejector.

Pemberian status "tahanan anak", "tersangka anak", "terdakwa anak", "anak pidana", atau "anak negara" melalui sistem peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan kenakalan anak yang bersangkutan pada masa yang akan datang.

Kenakalan anak yang muncul setelah anak diberi label oleh negara sebagai "anak nakal" merupakan secondary deviant. Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau mengabaikan asas subsidiaritas (ultimum remedium) bertentangan dengan ketentuan ketentuan dalam The Riyadh Guidelines yang menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan. Juga harus dipertimbangkan tentang kondisi fisik dan psikologis anak, tempat atau lokasi perbuatan pidana tersebut dilakukan. Sealin itu dipertimbangkan juga tentang perbuatan pidana tersebut dapat membahayakan orang tua anak, dan atau membahayakan anak nakal.

Sebenamya masih banyak jenis tindakan/maatregel yang dapat diberikan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum (legal research) yang dilakukan ini adalah menggunakan tipe kajian sosiologis/non doktrinal (socio legal research).

Menurut Syamsuddin Pasamai (2010:61) yang dimaksud dengan penelitian sosiologis/non doktrinal (socio legal research), yaitu studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum. Hal ini berarti bahwa dalam penelitian ini akan melihat bagaimana penerapan asas ultimum remidium dalam menjatuhkan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak, serta melihat pertimbangan apakah yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi anak yang melakukan tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Gorontalo.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Gorontalo, dengan dasar pemikiran bahwa dalam proses peradilan pidana anak di Pengadilan Negeri Gorontalo, dimana terhadap terdakwa dalam hal ini adalah anak selalu berakhir dengan penjatuhan sanksi pidana penjara.

3.3 Jenis Dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan:

a. Data primer, di mana data ini diperoleh dari lokasi penelitian melalui wawancara.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari berbagai aturan hukum dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan peradilan pidana anak.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.

Bahan hukum sekunder dimaksud adalah literatur/pustaka hukum, hasil-hasil penelitian hukum, jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan penelitian.

3. Bahan hukum terrier (tersier), yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah, website dan sebagainya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi Lapangan, yaitu pengamatan langsung di lokasi penelitian.

b. Wawancara, yaitu melakukan wawancara kepada responden maupun kepada informan atau pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian permasalahan yang akan diteliti.

c. Studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan dari berbagai literatur yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.

3.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Syamsuddin Pasamai (2010:28) deskriptif pada dasarnya data dari penelitian ini tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, dan berdasarkan teori-teori atau konsepsi-konsepsi yang bersifat umum, atau dengan kata lain penelitian dekriptif bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematik dan akurat mengenai sesuatu fakta dan kareteristik tentang populasi atau mengenai bidang-bidang tertentu, sedangkan kualitatif adalah dimana pelaksanaan penelitian ini lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap hubungan antar fenomena yang diamati.

Berdasarkan uraian di atas, maka setelah semua data terkumpul baik data primer maupun data sekunder selanjutnya akan diolah dan dianalisis dengan cara memberikan gambaran yeng jelas mengenai data yang diperoleh tentang permasalahan penerapan asas ultimum remidium terhadap penjatuhan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana dalam proses

peradilan anak di Pengadilan Negeri Gorontalo untuk lebih mendapatkan gambaran nyata, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pelaksanaan perlindungan anak saat ini memang sering terabaikan oleh proses atau sistem peradilan pidana anak saat ini. Perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam proses peradilan pidana masih jauh dari mewujudkan kepentingan anak yang terbaik.

Secara empirik berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Gorontalo didapatkan bahwa putusan-putusan pengadilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana lebih didominasi oleh putusan berupa pidana penjara. Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menegaskan bahwa prisnsip pemidanaan terhadap anak sebagai langkah terakhir (ultimum remedium), oleh sebab pidana perampasan kemerdekaan adalah pidana yang paling dihindarkan terhadap pelaku tindak pidana anak mengingat dampak negatif dan stigmatisasi pada anak, akan tetapi kenyataannya tidak berjalan lebih baik.

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang perkara anak yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo yang dimana terhadap putusannya selalu di dominasi oleh penjatuhan sanksi pidana, maka dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Sumber Data : Pengadilan Negeri Gorontalo Keterangan:

Dari gambaran tebel di atas menunjukan bahwa pada tahun 2011 terdapat 5 (lima) perkara atau tindak pidana anak yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo, pada tahun 2012 terdapat 3 (tiga) perkara, yang dimana terhadap keseluruhan perkara tersebut pengadilan melalui putusan hakim menjatuhkan sanksi pidana.

08/Pid.B/2011/PN. Gtlo Penganiayaan Zainal Al Hasni 16 thn

Pidana Penjara 1

Tahun

16/Pid.B/2011/PN. Gtlo Pencurian Safrin Mbuinga 17 thn

Pidana Penjara 6

Bulan

36/Pid.B/2011/PN. Gtlo Pencurian Yohan Hoke 17 thn

Pidana Penjara 4

Bulan

77/Pid.B/2011/PN. Gtlo Pencabulan Melki Liando 13 thn

Pidana

94/Pid.B/2012/PN. Gtlo Pengeroyokan Ramdhan Thoma 17 thn

Pidana Penjara 7

Bulan

109/Pid.B/2012/PN.Gtlo Penggelapan Silki Djafar 15 thn

Pidana Penjara 10

Bulan

203/Pid.B/2012/PN.Gtlo Laka Lantas Rizki Kaunang 15 Tthn

Pidana Penjara 8

Bulan

Adapun beberapa kutipan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan responden terkait dengan penerapan asas ultimum remidium dalam penjatuhan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, adalah sebagai berikut:

Menurut Bapak Bapak David F.A Porajow selaku Hakim Di Pengadilan Negeri Gorontalo yang diwawancari menyatakan bahwa:

Asas ultimum remidium memang harus diterapkan dalam mengadili suatu perkara atau tindak pidana yang dimana terdakwanya adalah anak. Proses peradilan anak memang berbeda dengan proses peradilan pada umumnya jika terdakwanya adalah orang yang sudah dewasa. Hal ini pun dibuktikan dengan adanya perbedaan dalam acuan hukum acara pidananya, yang dimana untuk terdakwa orang dewasa mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan khusus untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak mengacu pada ketentuan hukum acara sebagaimana yang telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Lebih lanjut Bapak David F.A Porajow mengungkapkan bahwa:

Dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimana pembuat UU secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan dalam UU Pengadilan Anak khusunya berkaitan dengan stesel pemidanaan menganut sistem dua jalur atau yang dikenal dengan istilah Double Track System, yang dimana antara saksi pidana dan sanksi tindakan dianggap berdiri sendiri sehingga kedudukan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki derajat yang sama/setara atau dengan kata lain sanksi tindakan dalam peradilan anak tidak bersifat fakultatif atau tidak sebagai pelengkap saja untuk sanksi pidana. Oleh sebab itu maka hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan dengan menggunakan sanksi mana yang tepat atau layak diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam UU Pengadilan Anak juga secara jelas menganut asas ultimum remidium yang dimana penjatuhan sanksi berupa pidana adalah upaya terakhir, sedangkan sanksi tindakan seharusnya lebih diutamakan dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana, dengan pertimbangan untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Menurut Bapak Arif Hakim Nugraha, selaku Hakim di Pengadilan Negeri Gorontalo, yang diwawancari menyatakan bahwa:

Penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana, dimana seharusnya hakim benar-benar perlu mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, dan menurut saya sebetulnya sanksi yang tepat untuk diberikan kepada anak pelaku tindak pidana adalah merupakan sanksi tindakan, oleh sebab sekalipun anak adalah pelaku tindak pidana maka anak tersebut dapat dikatakan sebagai korban, korban akibat kurangnya pengawasan atau kontrol oleh orang tua, masyarakat bahkan pemerintah, yang dengan kurangnya pengawasan atau kontrol tersebut inilah yang dapat menyebabkan anak tersebut terjerumus untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, seperti melakukan tindak pidana pencurian, penganiayaan, menggunakan obat-obat terlarang, mengkonsumsi minuman beralkohol dan lain sebagainya. Pada prinsipnya sanksi tindakan lebih memiliki manfaat yang baik untuk diberikan kepada anak yang terlanjur melakukan perbuatan atau tindak pidana. Oleh karena sanksi tindakan tidak hanya dimana anak tidak dititipkan dalam lembaga pemasyarakatan, tetapi sanksi tindakan lebih mengarah kepada perbaikan perilaku anak, seperti malakukan pembinaan, rehabilitasi serta memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak. Lain halnya dengan sanksi pidana yang menurut saya sanksi pidana adalah lebih mengarah atau menjurus pada pemberian penderitaan terhadap pelaku tindak pidana.

Lebih lanjut Bapak Arif Hakim Nugraha mengungkapkan bahwa:

Oleh karena itu seharusnya hikim menurut saya didalam mengadili perkara anak, harusnya tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis saja tetapi juga lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non yuridis, seperti mempertimbangkan dari segi aspek sosiologis, psikologis anak serta aspek kriminologinya. Dengan pertimbangan ini maka menurut saya di dalam putusannya nanti akan pula memberikan sanksi yang tepat kepada anak (sanksi tindakan) yang lebih bernilai edukatif atau mendidik.

Berdasarkan kutipan hasil wawancara dengan beberapa responden selaku hakim, dimana respondenpun mengatakan bahwa asas ultimum remidium sangat perlu untuk diterapkan dalam proses persidangan perkara anak, akan tetapi fakta empirik dalam proses persidangan perkara

anak di Pengadilan Negeri Gorontalo asas ultimum remidium yang mengartikan bahwa penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap anak adalah upaya terakhir tidak diterapkan oleh karena berdasarkan fakta empirik bahwa pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 dimana terdapat 8 (delapan) perkara anak yang disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo yang dimana keseluruhan terhadap terdakwa anak dijatuhi pidana penjara.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Penerapan Asas Ultimum Remidium Dalam Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Di Pengadilan Negeri Gorontalo

Tindak pidana yang dilakukan anak merupakan masalah serius yang dihadapi setiap Negara. Di Indonesia masalah tersebut banyak diangkat dalam bentuk seminar dan diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga terkait lainnya. Kecenderungan meningkatnya pelanggaran yang dilakukan anak atau pelaku usia muda yang mengarah pada tindak kriminal, mendorong upaya melakukan penanggulangan dan penanganannya, khusus dalam bidang hukum pidana (anak) beserta acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak. Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak perlu ada perbedaan antara prilaku orang dewasa dengan pelaku anak, dilihat dari kedudukannya seorang anak secara hukum belum dibebani kewajiban dibandingkan orang dewasa, selama seseorang masih disebut anak, selama itu pula dirinya tidak dituntut

pertanggungjawaban, bila timbul masalah terhadap anak diusahakan bagaimana haknya dilindungi hukum, (Mulyana W. Kusumah, 1996:3).

Anak yang diduga telah melakukan tindak pidana diproses melalui proses peradilan pidana dengan menggunakan landasan yuridis yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Peradilan Anak yang ditangani oleh penyidik khusus menangani perkara anak, jaksa yang juga khusus menangani perkara anak, dan hakim khusus menangani perkara anak, dan peran aktif dari penegak hukum ini sangat diperlukan sekali dalam menyelesaikan perkara anak nakal agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pada pemeriksaan proses peradilan pidana, anak kerapkali tidak dapat mengembangkan hak-haknya karena rendahnya pengetahuan anak dengan demikian perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya.

Perwujudan perlindungan disini adalah antara lain usaha-usaha sebagai berikut: pembinaan, pendampingan, penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan, penjaringan, dan usaha ini tidak mengabaikan aspek-aspek mental, fisik dan sosial seseorang.

Hak-hak anak pada pemeriksaan di tingkat peradilan tersebut harus diberi perhatian khusus dari peningkatan kualitas peradilan, pengembangan perlakuan adil maksudnya yaitu sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh undang-undang tersebut dibedakan antara anak dengan orang dewasa dan kesejahteraan yang bersangkutan selama proses peradilan. Berbicara

mengenai pemidanaan terhadap anak sering menimbulkan perdebatan, karena masalah ini mempunyai konsekuensi yang sangat luas baik menyangkut diri prilaku maupun masyarakat. Pemidanaan merupakan unsur dari hukum pidana, dimana pemidanaan itu mempunyai akibat negatif bagi yang dikenai pidana, khususnya adalah anak.

Terhadap anak nakal, hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang terdapat dalam Pasal 23 dan 24. Anak yang melakukan tindak pidana ataupun prilaku menyimpang, ia tetap harus dilindungi, karena anak sebagai generasi muda merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi untuk meneruskan cita-cita dan perjuangan bangsa. Oleh karena itu anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku tersebut, karena anak berbeda dengan orang dewasa, di mana anak merupakan harapan bangsa yang nantinya akan menentukan kesejahteraan bangsa diwaktu yang akan datang. Untuk melindungi anak tersebut dari perlakuan hukum yang sewenang-wenang, maka dibentuklah Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk melindungi hak-hak anak meskipun anak tersebut melakukan tindak pidana ataupun perilaku penyimpang lainnya.

Keberadaan Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak, yaitu UU No. 3 Tahun 1997 ini memberikan harapan akan tersedianya peraturan

hukum yang mengkhususkan pengaturan terhadap anak nakal. Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan dan menurut peraturan hukum lain yang berlaku di masyarakat. Dalam Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak terdapat pengaturan tentang batas usia anak yang menjadi kompetensi absolutnya, sanksi pidana yang dapat diancamkan, hukum acara, dan tindakan (maatregel) bagi anak nakal pelaku tindak pidana (anak nakal dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak).

Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk dalam sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya serta penghargaan terhadap pendapat anak, dan dalam ketentuan pasal 16 Ayat (3) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila

sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium).

Pemberian pembedaan perlakuan terhadap perkara anak adalah salah satu bentuk perlindungan yang diakui dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Asas ultimum remedium atau asas yang menggunakan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan perkara anak tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan dari hukum pidana anak atau dalam hal ini pemidanaan yang terdapat dalam Undang Undang Tentang Pengadilan Anak. Dalam instrumen internasional diatur juga beberapa konvensi yang memberikan perlindungan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Perlindungan ini tidak hanya mengenai hak-hak normatif anak saja tetapi juga ada perlindungan terhadap anak yang akan dikenakan sanksi pidana. Perlindungan itu berupa pengenaan tindakan dari pada pidana. Pidana sebagai alterantif terakhir dan jangka waktunya diusahakan sesingkat mungkin.

Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman pada Standard Minimum Rules of the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahtraan anak secara maksimal memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

3. Penentuan batasan usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.

4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya terakhir (ultimum remidium).

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/wali.

6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.

7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.

8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan pearturan ini.

Beijing rules ini mempunyai dua sasaran yang penting yaitu:

1. Memajukan kesejahteraan anak. Sasaran ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani perkara anak, khususnya di dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana yang menekankan kesejahteraan anak.

2. Prinsip proporsionalitas. Prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas sematamata (just desort).

Menurut penulis, prinsip-prinsip Beijing Rules di atas, mengatur anak pelaku tindak pidana untuk dihindarkan dari sanksi pidana penjara, akan tetapi prinsip tersebut belum sepenuhnya dimasukkan dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, selain itu terdapat kekurangan dalam peraturan perlindungan anak sehingga pelaksanaan peradilan anak masih terjadi perlakuan yang tidak mencerminkan perlindungan terhadap anak, khusunya anak yang berhadapan dengan hukum atau anak yang melakukan tindak pidana. Lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berarti telah menyelesaikan persoalan anak yang berhadapan dengan hukum atau yang telah melakukan tindak pidana, hal ini dapat dilihat diantaranya adalah jaksa dalam menangani kasus anak masih tetap cenderung memberikan tuntutan pidana dan bukan tindakan.

Akibatnya dalam persidangan hakim khusus yang diharapkan dapat memberikan keadilan kepada anak yang telah melakukan tindak pidana

Padahal secara jelas dalam penjatuhan saksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana dimana berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, hakim diberikan alternatif untuk menjatuhkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana yaitu seperti menjatuhkan sanksi tindakan, dan sebagaimana kita ketahui bahwa penjatuhan saksi berupa sanksi pidana adalah merupakan upaya terakhir atau ultimum remidium.

Pada prinsipnya penjatuhan sanksi atau hukuman yang bersifat pidana oleh pengadilan melalui hakim terhadap anak yang melakukan tindak pidana menurut penulis bukanlah hal yang salah, akan tetapi sebaiknya hakim perlu melakukan suatu pertimbangan apakah dengan putusan berupa sanksi pidana kepada anak yang melakukan tindak pidana dapat memberikan nilai edukatif terhadap anak atau nilai manfaat.

Penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana menurut penulis dapat menimbulkan dampak negatif dan kerugian. Adapun dampak dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah, anak akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak, anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka kemungkinan bagi terpidana

Penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana menurut penulis dapat menimbulkan dampak negatif dan kerugian. Adapun dampak dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah, anak akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak, anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka kemungkinan bagi terpidana

Dokumen terkait