BAB III SEKITAR DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH
LANDASAN TEORI
B. Mau’izhah Hasanah dalam B entuk Tabsyir
3. ASBAB AN- NUZUL
Menurut bahasa “sabab Al-Nuzul” berarti turunnya ayat-ayat
al-Qur‟an. Al-Qur‟an diturunkan Allah SWT. Kepada Muhammad SAW. Secara
7
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an 3, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
beangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Subhi Al-Shalih memberikan definisi Sabab Al-Nuzul sebagai berikut:
“sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang menagandung sebab itu , atau memberi jawaban terhadap sebab itu,
atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.”
Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat-ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.8
Manna‟ al-Qaththan mendefinisikan, sababun nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur‟an diturunkan pada waktu sesuatu itu
terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.
Mengacu pada kedua definisi diatas, dapatlah diformulasikan bahwa sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur‟an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu
sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur‟an.9
Manfaat Mengetahui Asbab An-Nuzul
Pengetahuan mengenai Asbab an-nuzul mempunyai banyak faedah, yang terpenting diantaranya yaitu:
8Ahmad Syadali, Ahmad Rofi‟i, Ulumul Qur‟an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 89-90
9
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004),
64
1. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian
syari‟at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala
peristiwa sebagai Rahmat bagi umat.
2. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat al-„Ibrah „umum al-Lafzhi la bikhushsush as-sababi (yang menjadi pegangan adalah lafazh umum, bukan sebab khusus).
3. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbabunnuzul akan membatasi takhsish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.10
a. QS Surat An-Nahl: 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.11 Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah)
10Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 96-97
11
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, (Mesir: Mawaqi‟ At-Tafasir , tt), hal. 440/ 1
dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.12
Ayat ini turun di Makkah saat diperintahkan agar berdamai dengan Quraisy. Allah juga memerintah beliau agar berdakwah menyeru kepada
Agama Allah dan syari‟at-Nya dengan lemah lembut, tidak kasar atau keras demikiannlah seharusnya kaum muslim memberikan nasihat tentang hari kiamat. Yang merupakan hikmah bagi bagi para pelaku kemaksiatan dari kalangan ahli tauhid, dan mengahapus perintah perang terhadap orang-orang kafir.
Telah dikatakan pula, “siapa saja kalangan orang-orang kafir yang bisa diharapkan keimananya dengan cara hikmah maka dia harus melakukan
tanpa ada pertempuran.”13
b. QS Al-Baqarah: 66
Hari sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi-bagi orang-orang yahudi sesuai usul mereka sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas duniawi. Mereka dilarang mengail ikan pada hari itu. Tetapi, sebagian mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail, tetapi membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu. Peristiwa ini sementara tafsir terjadi di salah satu desa kota Aylah yang kini dikenal dengan Teluk Aqabah. Kemudian setelah hari sabtu berlalu, mereka mengailnya. Allah murka terhadap mereka, maka Allah berfirman kepada mereka, “jadilah kamu kera yang hina
12
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah, (Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji‟,1420 H), jilid iv, h.613
13
Syaikh Imam Al-Qurthubi; Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti, Tafsir
66
terkutuk.” Perintah ini bukan perintah kepada Bani Isra‟il untuk mereka
laksanakan, tetapi ini adalah taskhir, yakni perintah menghasilkan terjadinya sesuatu. Anda ingat firman-Nya: sesungguhnya perintah-Nya
apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, „jadilah!‟, maka terjadilah ia” (QS. Yasin {36}: 82).
Tidak jelas, apakah bentuk rupa mereka yang diubah menjadi kera atau hati dan pikiran mereka saja. Namun yang jelas, kisah ini dikenal dikalangan mereka, khususnya para pemuka agama mereka sebagaimana
diisyaratkan oleh kata “sesungguhnya kalian telah mengetahui.” Dalam ayat lain dijelaskan bahwa ada diantara mereka yang dijadikan kera dan babi (baca QS. Al-Maidah {5}: 60).
Apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi selanjutnya. Hal ini juga sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-orang bertakwa.14
c. QS Al-Baqarah: 232
Salah seorang sahabat Nabi saw yang bernama Ma‟qal bin yasar
menentang pernikahan anaknya dengan mantan suaminya yang bernama Asim bin Adi. Orang ini, Asim, telah menalaknya tetapi, setelah berakhir masa iddahnya, keduanya ingin mengikatkan tali pernikahannya kembali dengan sebuah pernikahan baru.
14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol, 1, h. 221-22
Dengan latar belakang inilah ayat tersebut diwahyukan dan mencegahnya (Ma‟qal) dari penentangannya atas pernikahan tersebut.
Juga di riwayatkan dalam riwayat lain bahwa ayat tersebut diwahyukan tatkala Jabir bin Abdullah menentang pernikahan sepupunya dengan mantan suaminya. Barang kali, di zaman jahiliah, hak ini diberikan kepada banyak saudara dekat.
Jelas dalam hukum fiqih kita, saudara laki-laki dan sudara sepupu tidak memiliki perwalian (wilayat) atas saudara-saudara perempuan atau para sepupunya, tetapi seperti yang kita akan jelaskan dalam pembahasan ini, makna dari ayat di atas merupakan sebuah aturan umum mengenai perwalian dan selain dari mereka yang tak satupun dari orang-orang ini dibolehkan menentang pernikahan semacam itu: termasuk ayahnya, ibunya, sepupunya, ataupun orang-orang yang tidak ada kaitan saudara).15
D. QS An-Nahl: 90
Asbabu an-Nuzul ayat ini terdapat melalui hadits dari Al-Hafizh
Ya‟la meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair, dia berkata, (520) yang
artinya:
“Berita kedatangan, Nabi saw. Sampai kepada Aksam din shaifi.
Dia bermaksud menemuinya. Namun kaumnya melarang aktsam. Dengan berkata, Engkau pemuka kami tidak rela jika jika kamu berendah diri kepadanya. Aktsam berkata, kalau begitu, agar ada orang yang menemuinya guna menyampaikan siapa aku dan mengetahui siapa dia. Maka dia mengutus dua orang untuk menemui Nabi saw. Keduanya berkata, kami utusan aktsam bin Shaifi. Dia bertanya, siapa engkau dan apa engkau? Nabi menjawab, siapa aku? Aku adalah Muhammad bin Abdullah. Dan apa aku? Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian Nabi saw membaca ayat „sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajikan‟. Mereka berkata, Ulangilah ucapan
15
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
68
itu untuk kami, maka beliau mengulang-ulangnya hingga mereka hafal.
Dua orang utusan kembali kepada aktsam dan berkata, „ dia menolak
untuk memerinci nasabnya sampai ke atas. Lalu kami menanyakannya tentang nasabnya. Ternyata dia bernasabkan orang bersih dan
terpandang. Dia pun menyampaikan beberapa kalimat yang kami hafal.‟
Tatkala Aktsam mendengar kalimat-kalimat tersebut, dia berkata, „ aku
berpendapat bahwa dia menyuruh manusia berakhlak mulia dan melarang berkahlak tercela. Karena itu, jadilah kalian sebagai pelopor dalam
69
A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah
Berdasarkan 6 surat dan ayat yang penulis kutip mengenai makna
mau‟izah hasanah dalam al-Qur‟an, baik dalam bentuk kata al-ma‟izhatu yang terdapat dalam surat an-Nahl: 125, al-Baqarah: 66, an-Nur: 34, maupun dalam bentuk kata wa‟aza atau yu‟izhu yang terdapat dalam surat an-Nisa: 63, al-Baqarah 232, al-A‟raf: 164 dan luqman: 13, semua bentuk kata itu, menurut
seluruh mufassir sepakat mendefinisikan kata-kata mau‟izhah hasanah dengan kata-kata yang mengandung nasihat yang bagus, tidak menyakiti dan menakut-nakuti. Akan tetapi Imam As-suyuti dalam tafsirnya jalalain menafsirkan mau‟izhah hasanah lebih menekankan kepada nasihat atau perkataan yang halus.1 Sementara At-Thabari lebih menekankan kepada peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya).2
Sedangkan menurut Quraish Shihab, Kata-kata al-mau‟izhatu dalam Tafsirnya mengatakan, al-Mau‟izhatu terambil dari kata wa‟azha yang berarti Nasihat. Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. adapun
1
Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, (Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo, tt), h, 363 2
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari,Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Al
70
Mau‟izhah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.3
Sementara Quthub dalam tafsirnya bahwa nasihat yang baik atau
mau‟izhah hasanah yakni lebih menekankan kepada dakwah yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.4
Dalam sebuah nasihat yang baik (mau‟izhah hasanah), dikatakan bahwa seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya;
3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 7, h. 392-393
4
Sayyid Quthub, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet ke 2, jilid-7, h. 224
a. ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, baik yang menyangkut isi, bentuk, maupun ungkapan-ungkapan yang digunakan.
b. Kepada para pemeluknya, Islam menawarkan gizi mental (dengan kebijaksanaan) serta pengayaan spritual (nasihat yang baik) seraya menganjurkan metode-metode logis manakala menghadapi lawan dialog.
c. Kemurahan hati dan kebaikan merupakan dua metode dasar dalam semua jenis seruan kampanye jika dilakukan pada saat yang tepat dan ditempat yang semestinya.5
Berbeda dengan Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat al-Baqarah:66 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Mau‟izhah adalah peringatan keras. Jadi makna ayat ini adalah kami jadikan siksaan dan hukuman sebagai balasan atas pelanggaran mereka terhadap larangan-larangan Allah dan perbuatan mereka membuat berbagai tipu muslihat. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang bertakwa menjauhi tindakan
seperti itu agar hal yang sama tidak menimpa mereka.” Sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu „Abdillah bin Baththah, dari Abu hurairah Ra,
bahwa Rasulullah bersabda:
“janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi, dengan cara menghalalkan apa yang di haramkan Allah melalui tipu
muslihat yang amat rendah”. (Isnad hadits ini jayyid (baik)).6
5
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 721-722 6
Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M. „Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2009), jilid 1, h. 151
72
Selain al-Qur‟an menggunakan kata dalam bentuk al-mau‟izhatu,
al-Qur‟an juga menggunakan Kata ya‟izhuhu dalam bentuk mudhari‟. Meski demikian Quraish Shihab menjelaskan atau memaknakan nasihat tetap dengan kata-kata yang menyentuh hati mad‟u. Akan tetapi dalam bentuk yai‟zuhu beliau lebih menekankan kepada makna ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Sebagaimana ketika beliau menafsirkan surat luqman:13. Penyebutan kata ini sesudah kata dia berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak. Kata ini juga mengsiyaratkan bahwa nasihat itu dilakukannya dari saat ke saat, sebagaimana dari bentuk kata kerja masa kini dan datang pada kata
ya‟izuhu .
Sementara ulama yang memahami kata wa‟zh dalam arti ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa anak luqman itu adalah seorang musyrik, sehingga sang ayah menyandang hikmah itu terus menerus menasihatinya sampai akhirnya sang anak mengakui tauhid. Hemat penulis sebagaimana tutur Quraish Shihab, pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Thahir Ibnu Asyur ini adalah sekedar dugaan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Nasihat dan ancaman tidak harus dikaitkan dengan kemusyrikan. Di sisi lain, bersangka baik terhadap anak luqman jauh lebih baik dari pada bersangka buruk.
Kata bunayya dalam surat luqman: 13 tersebut adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah ibny, dari kata ibn yakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini kita dapat berkata bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik.
Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah untuk menekan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik. Memang “At-takhliyah muqaddamun al
at-tahliyah” (menyingkirkan keburukan lebih utama dari pada menyandang perhiasan).7
Di riwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari al-Qasimbin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya:
“Luqman Hakim berkata kepada anaknya ketika menasihatinya, hati anakku, janganlah kamu bertopeng karena pada malam hari
menakutkan dan pada siang hari dicela.” Perkataan luqman kepada Anaknya
Hai anakku, kebijakan itu mendudukan kaum miskin di majlis para raja. Hai anakku, jika kamu mendatangi suatu perkumpulan manusia, lepaskanlah kepada mereka panah islam, yaitu salam. Kemudian duduklah di sisi mereka. Janganah kamu berbicara hingga mereka selesai bicara. Jika mereka tercurah ke dalam dzikrullah, tahanlah panahmu bersama
7
Abdullah bin Muhammadbin Abdurrahman bin Ishaq Ali Syaikh; penerjemah, M. „Abdul Ghaffar; editor isi, M. Yusuf Harun...(et al.), Tfasir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i, 2009), jilid 1, h.126-127
74
mereka. Jika mereka tercurah kepada selain itu maka pindahlah dari mereka ke kaum yang lain.8
Pelajaran merupakan salah satu cara untuk menyeru kepada kebenaran dan tak ada seorang pun yang tidak membutuhkannya. Salah satu nama lain al-Qur‟an adalah pelajaran (al-mau‟izhah). Surah Yunus, ayat 57, menegaskan, “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu...” dalam kitab-kitab hadits, ada bab khusus yang membahas tentang pelajaran.
Sebagian ayat-ayat al-Qur‟an menyatakan bahwa Rasulullah saw adakalanya meminta Jibril supaya memberi pelajaran kepadanya. Ali bin Abi Thalib ra adakalanya pula meminta sebagian dari sahabat-sahabat beliau supaya memberi pelajaran kepadanya karena mendengarkan pelajaran itu akan berdampak bagi orang yang mendengarkan apabila ia tidak tahu. (Murthada Muthahhari, Dah Guftar, hal. 224). Selanjutnya untuk memperkenalkan Luqman dan tingkat keilmuan serta kebijaksanaanya, ayat ini menunjukkan nasihat pertama dari luqman. Nasihat yang tercantum dalam al-Qur‟an itu merupakan nasihat paling
utama kepada putranya.
Nasihat Luqman ini mengajarkan bahwa manusia itu harus berpegang teguh pada idiologi yang paling mendasar, yaitu idiologi tauhid dan memiliki nilai Tauhid dalam segala aspek dan dimensi kehidupan. Segala gerak yang bersifat destruktif dan melawan Allah SWT berakar dari mempersekutukan Allah SWT. Kesukaan kepada uang, memuja tahta,
8
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, penerjemah, Syihabuddin, Kemudahan dari Allah:
nafsu birahi dan semacamnya termasuk cabang-cabang dari mempersekutukan Allah, memenuhi perintah-Nya, berlepas diri dari selain-Nya dan menghancurkan segala berhala di dalam wilayah kekuasaanya.9
Sementara At-Thabari dalam tafsirnya mengatakan makna dari
wa‟izhhum yakni berilah pelajaran kepada mereka dengan menakut-nakuti mereka akan siksa Allah yang akan datang menimpa mereka, dan siksa itu akan turun di rumah-rumah mereka. Juga memperingatkan mereka dari perbuatan buruk yang dilakukannya dari keraguan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.10 Kata-kata wa‟izhhum juga di artikan oleh Al-Qurthubi dengan pelajaran yang membuat mereka takut.11
Dalam surat an-Nisa:63 yang dikutipnya mengatakan, kata
wa‟izhhum di susul dengan kata qaulan Baligan, menunjukkan bahwa pelajaran itu harus berbekas dan masuk ke relung hati mad‟u yang menjadi
obyek dakwah.
Kata baligan terdiri dari huruf-huruf Ba, Lam, dan gain. Pakar bahasa menyatakan bahwa semua kata yang terdiri dari huruf-huruf tersebut mengandung arti sampainya sesuatu ke sesuatu yang lain. Ia juga bermakna “cukup”, karena kecukupan mengandung arti sampainya sesuatu
kepada batas yang dibutuhkan. Seorang yang pandai menyusun kata sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik lagi cukup
9
Allamah Kamal Faqih Imani dan Tim utama, Tafsir Nurul Qur‟an, Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2008), h. 279-280
10Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah, Akhmad Affandi; Editor, Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 7, h. 284-285
11
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah, Ahmad Rijali Kadir; Editor, Mukhlis B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid, 5, h. 626
76
dinamai balig. Muballigh adalah seorang yang menyampaikan suatu berita yang cukup kepada orang lain. Pakar-pakar sastra menekankan perlunya dipenuhi beberapa kriteria sehingga pesan yang disampaikan dapat disebut baligan, yaitu:
1. Tertampungya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan.
2. Kalimatnya tidak bertele-tele tetapi tidak pula singkat sehingga mengaburkan pesan. Artinya kalimat tersebut cukup, tidak berlebih atau berkurang.
3. Kosakata yang merangkai kalimat tidak asing bagi pendengaran dan
pengetahuan lawan bicara, mudah diucapkan serta tidak “berat”
terdengar.
4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan sikap lawan bicara. Lawan bicara atau orang kedua tersebut boleh jadi telah meyakini sebelumnya atau belum memiliki ide sedikitpun tentang apa yang akan disampaikan.
5. Kesesuaian dengan tata bahasa.
Ayat an-Nisa itu mengibaratkan hati mereka sebagai wadah ucapan, sebagaimana dipahami dari kata fi anfusihim. Wadah tersebut harus diperhatikan, sehingga apa yang dimasukkan ke dalamnya sesuai, bukan saja dalam kuantitasnya, tetapi juga dengan sifat wadah itu. Ada jiwa yang harus diasah dengan ucapan-ucapan halus, dan ada juga yang harus dihentakkan dengan kalimat-kalimat keras atau ancaman yang
menakutkan. Walhasil, disamping ucapan yang disampaikan, cara penyampaian dan dan waktunyapun harus diperhatikan.12
Sementara Al-Qurthubi dalam tafsirnya menafsirkan kata wakul lahum fi anfusihim Qaulan Baligan, dengan larangan kepada mereka dengan cara yang baik saat berbisik lagi sendiri. Al-Hasan berkata, “katakan pada mereka jika kalian menampakkan apa yang ada dalam hati kalian, maka aku akan memerangi kalian, dan balagha al qaul balaghatan dan rajulun baligh yaitu ia berbicara dengan apa yang ada dalam hatinya.13