• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asosiasi Lereng Terhadap Deposit Nikel Laterit

Dalam dokumen SEBARAN POTENSI DEPOSIT NIKEL LATERIT DI (Halaman 76-87)

Sumber : Pengolahan data tahun 2008

Grafik 5.6. Asosiasi Spasial Lereng dengan Deposit Nikel Laterit

Selain itu hasil perhitungan juga sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Golightly (1979) dan Ahmad (2006), bahwa topografi (lereng) memiliki peran penting terhadap perkembangan deposit nikel laterit. Sebab pada proses pengayaan nikel laterit, air yang membawa material terlarut akan sangat berperan, dan pergerakan ini dikontrol oleh topografi.

Pada daerah dengan lereng sedang, proses pengayaan umumnya berjalan dengan baik karena run off tidak terlalu besar dan air mampu terpenetrasi ke dalam tanah, dengan demikian terdapat waktu untuk proses pengayaan, sehingga ore yang terbentuk akan tebal dan ekonomis. Berbeda dengan lereng yang terlampau datar, deposit mineral akan terbentuk tebal, akan tetapi drainase kurang baik. Sehingga proses laterisasi tidak dapat berjalan sempurna dan deposit mineral yang dihasilkan tidak ekonomis.

62 

 

5.6 Sebaran Potensi Deposit Nikel Laterit

Untuk mendapatkan sebaran potensi deposit nikel laterit dilakukan integrasi keseluruhan variabel melalui pembobotan yang diperoleh dari hasil pengolahan data.

Tabel 5.9 Matriks Potensi Deposit Nikel Laterit

Kelas

Potensi Batuan Induk Lereng (%)

Struktur Geologi (buffer) (m)

Mineral Permukaan

Tinggi Low Serpentinized 15 – 30 100 Hematite, Goethite,

dan Chlorite

Sedang Low Serpentinized dan

High Serpentinized 2 – 15 200

Hematite, Goethite, dan Chlorite

Rendah Low Serpentinized dan

High Serpentinized <2 dan >30 >200

Hematite, Goethite, dan Chlorite

Sumber : Pengolahan data tahun 2008

Berdasarkan hasil perhitungan, sebaran potensi deposit nikel laterit dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu tinggi, sedang, dan rendah (lihat tabel 5.9). Dari ketiga kelas tersebut, kelas potensi tinggi memiliki kisaran luas terkecil, yaitu sebesar 266,538 hektar atau 21,72% yang tersebar di tepi Barat wilayah penelitian, antara lain hill Nickel, Ferrary South, Lembo South, Hasan South dan North, Koro, Konde, Inalahi, Sumasang, dan Wawono (lihat gambar 5.2).

Kelas sedang memiliki persentasi terbesar, yaitu 42,22% yang tersebar merata di tepi sebelah Barat (hill Ferarry North, dan Inalahi), tengah (hill Wawono, Nickel, dan Anoa South), dan sebagian besar terakumulasi di sisi Timur wilayah penelitian, seperti di hill Mahalona, Farah, Nayoko, dan Nancy. Adapun total luas dari kelas sedang secara keseluruhan mencapai 523,720 hektar.

Kelas terakhir, yaitu rendah, memiliki luasan 447,190 hektar atau 36,05% dari total area yang berpotensi, cakupannya merata di bagian pinggir sebelah Barat (hill Lembo South, Konde, Butoh, dan Rante), Timur (hill Mahalona, Mira, dan Farah), dan sisi Selatan danau Matano (hill Sarah, Terry, dan Nancy) (Lihat Peta 5.8 dan grafik 5.7).

Peta 5.8. Sebaran Potensi Deposit Nikel Laterit

 

Gambar 5.3. Wilayah berpotensi nikel laterit tinggi di hill Konde (kiri) dan potensi sedang di hill Evita (kanan) (primanda, 2008)

64 

 

Sumber : Pengolahan data tahun 2008

Grafik 5.7. Luas Potensi Deposit Nikel Laterit

Dari ketiga kelas potensi deposit nikel laterit di atas, kelas potensi tinggi secara umum tersebar pada wilayah yang memiliki karakteristik fisik yang memiliki asosiasi terbesar dari hasil perhitungan, yaitu pada batuan induk low serpentinized dengan kelas lereng 15 – 30%, berada pada radius 100 meter dari struktur geologi, dan ditemukan adanya mineral permukaan hematite, goethite, dan chlorite.

Kelas potensi sedang terdapat di wilayah yang memiliki karakteristik batuan induk low serpentinized dan high serpentinized, dengan kelas lereng 2 hingga 15 persen, radius dari struktur geologi berjarak 100 – 200 meter, dan ditemukan adanya mineral permukaan hematite, goethite dan chlorite.

Kelas potensi terakhir dicirikan oleh batuan induk low serpentinized dan high serpentinized, kelas lereng di bawah 2 persen dan di atas 30 persen, berada pada radius 300 meter ke atas dari struktur geologi, dan disetai adanya mineral permukaan hematite, goethite, dan chlorite.

Sedangkan wilayah yang tergolong ke dalam tidak berpotensi ditunjukkan oleh batuan induk clay dan conglomerate. Masuknya karakteristik fisik tersebut ke wilayah tidak berpotensi dikarenakan batuan induk clay dan conglomerat secara kimiawi ketika melapuk tidak akan menghasilkan mineral lapukan yang

mendukung terbentuknya deposit nikel laterit. Sehingga meskipun karakteristik lainnya mendukung bagi terbentuknya deposit, seperti lereng, struktur geologi, dan sebaran mineral permukaan; tetap tidak akan terbentuk deposit nikel laterit, Contoh dari sebaran wilayah ini terdapat di bagian tengah wilayah penelitian (hill Delaney), Utara (hill Tonia dan Shelley), Timur (sisi Selatan hill Mira dan sebagian wilayah Fingal Valley), dan Barat (hill Koro South, Konde South, dan Manggali Lake) (lihat gambar 5.2).

Selain itu wilayah tidak berpotensi juga termasuk daerah dengan karakteristik fisik yang mendukung namun berdasarkan hasil pencitraan tidak terdapat sebaran mineral permukaan. Hal ini dikarenakan daerah tersebut sudah selesai dilakukan penambangan atau merupakan pabrik pengolahan dari barang tambang. Wilayah dengan kategori berikut secara umum tersebar di bagian tengah wilayah penelitian, antara lain mencakup hill Plant Site Bonsora, Betsy, Lamangka, Disposal, Diana, Chandra, Clara East, Laila, dan lain-lain. Setelah dilakukan survey lapang hasil dari modelling menunjukkan kesesuaian dengan fakta yang ada, wilayah tersebut memang merupakan lokasi pengolahan barang tambang atau merupakan daerah yang sudah selesai dilakukan penambangan, contohnya di hill Plant Site dan Bonsora yang merupakan pusat pengolahan serta hill sekitar Lamangka South yang merupakan daerah yang sudah selesai ditambang (main out).

Kemudian dalam kaitannya dengan kerapatan vegetasi, seperti yang terlihat pada grafik 5.8, sebagian potensi deposit nikel laterit tinggi terdapat pada wilayah yang bervegetasi sedang, yaitu seluas 392.067 hektar, kemudian diikuti oleh kerapatan rapat (175,008 hektar) dan jarang (2.392 hektar). Sebaran dari potensi tinggi dan kerapatan vegetasi sedang antara lain terdapat di Selatan wilayah peneltian (hill Hasan South dan Ferrary South) dan Sebelah Utara (hill Sumasang South dan Songko). Sedangkan potensi tinggi berkerapatan vegetasi jarang dan rapat masing-masing terdapat di hill Konde North dan Konde Central.

66 

 

Sumber : Pengolahan data tahun 2008

Grafik 5.8. Hubungan Antara Kerapatan Vegetasi dan Potensi Deposit Nikel Laterit (Sumbu aksis “y” menunjukkan kelas kerapatan vegetasi, aksis “x” luas wilayah sebaran, dan data

tabular tipe kerapatan vegetasi)

Untuk potensi sedang, kerapatan vegetasi sebagian besar rapat (358,068 hektar), selanjutnya Sedang (136,856 hektar), dan jarang (25,862 hektar). Sebaran dari potensi sedang dengan karakteristik kerapatan vegetasi rapat banyak dijumpai di Timur wilayah penelitian, antara lain (hill Mahalona Southwest dan Northwest). Potensi sedang dengan vegetasi jarang dan sedang terdapat di hill Terry dan Marlene.

Pada kelas potensi rendah, sebagian vegetasi berkarakteristik rapat (351,21 hektar), sedang (84,042 hektar) dan jarang (6.885 hektar). Adapun sebaran potensi rendah dengan kerapatan tinggi terdapat di sisi Timur wilayah penelitian, seperti hill Mahalona dan Mira. Potensi rendah dengan kerapatan vegetasi sedang dijumpai di sisi Selatan wilayah penelitian, mencakup hill Fiona Lake dan Lembo South. Sedangkan potensi rendah dengan kerapatan jarang, memanjang di bagian Selatan wilayah penelitian, yaitu dari hill Lamangka hingga Pinang.

Dari persebaran tersebut, dapat diketahui bahwa deposit mineral nikel laterit tinggi secara umum terdapat di kerapatan vegetasi sedang. Dimana semakin rendah potensi deposit, terdapat kecenderungan kerapatan vegetasi akan

meningkat menjadi rapat. Secara kualitatif kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan kerapatan vegetasi dapat menjadi indikator bagi keberadaan deposit nikel laterit.

BAB 6 PENUTUP

6.1 Kesimpulan

1) Sebaran potensi deposit mineral permukaan nikel laterit memiliki nilai yang tinggi pada jenis batuan induk low serpentinized, berada pada radius 100 meter dari struktur geologi, kemiringan lereng 15 - 30 persen, dan disertai adanya mineral permukaan hematite, goethite, dan chlorite. Potensi deposit mineral akan semakin rendah apabila jarak dari struktur geologi makin jauh, lereng terlalu landai atau curam, dan memiliki batuan induk high serpentinized.

2) Deposit mineral nikel laterit tinggi secara umum terdapat di kerapatan vegetasi sedang, dimana semakin rendah potensi deposit, terdapat kecenderungan kerapatan vegetasi akan meningkat menjadi rapat. Secara kualitatif kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan deposit nikel laterit dapat diidentifikasi melalui perubahan kerapatan vegetasi.

3) Variabel fisik batuan induk, struktur geologi dan lereng memiliki asosiasi positif terhadap keberadaan deposit nikel laterit. Dimana pada batuan induk asosiasi positif terdapat di jenis low serpentinized dan high serpentinized, struktur geologi terdapat pada radius 100 – 200 meter, dan lereng di kemiringan 2 – 30 persen.

Ahadjie, J. (2003). Spatial Data Integration for Classification of Stream Sediment Geochemical Anomalies in Masbate Island, The Philippines. Enschede, The Netherland: International Instititute for Geo-Information Science and Earth Observation.

Ahmad, W. (2005). Laterite: Fundamental of Chemistry, Mineralogy, Weathering Processes and Laterit Information. Sorowako, South Sulawesi: PT. International Nickel Indonesia.

Ahmad, W. (2006). Laterite : Mine Geology at PT. International Nickel Indonesia. Sorowako, South Sulawesi: PT. International Nickel Indonesia. Carranza, E.J.M. (1999). Geologically-Constrained Probabilistic Mapping of

Gold Potential, Baguio District, Philippines). Delft, The Netherland: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.

Carranza, E.J.M., dan Hale, M. (2000). Geologically Constrained Probabilistic Mapping of Gold Potential, Baguio District, Philippines. Delft, The Netherland: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.

Carranza, E.J.M., dan Hale, M. (2002). Mineral Imaging With Landsat TM data for Hydrothermal Alteration Mapping in Heavily Vegetated Terrane. London: International Journal of Remote Sensing.

Carranza, E.J.M. (2002). Thesis: Geologically Constrained Probabilistic (Examples from The Philippines). Delft, The Netherland: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.

Carranza, Emmanuel. John. 2004. Weight of Evidence Modelling of Mineral Potential: A Case Study Using Small Number of Prospect, Abra, Philippines. International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC). The Netherland

Carter, Bonham., Agerterbeg, dan Wright, D.F. (1989). Weight of Evidence Modelling: A New Approach to Mapping Mineral Potential. Canada: Geological Survey of Canada.

70   Dalvi, A.D., Bacon, W.G., dan Osborn, R.C. (2004). The Past and The Future of

Nikel Laterite. Canada: Inco Limited.

Debghani, M., dan Gingrerieh, J. (2005). Alteration Extraction Data for Mineral Exploration. Iran: Geological Survey of Iran.

Elias, M. (2001). Nickel Laterite Deposits – Geological Overview, Resources and Exploitation. Australia: CSA Australia.

Goligthly, P.J. (1979). Nikeliferous Laterite: A General Description. International Laterite Symposium. Canada: Inco Metals Company.

Gozzard, J.R. (2006). Image Processing of ASTER Multispectral Data. Australia: Geological Survey of Western Australia.

Kalinowski, A., Oliver, S. (2004). ASTER Mineral Index Processing Manual. Australia: Remote Sensing Applications Geoscience.

Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W. (2004). Remote Sensing and Image Interpretation (Fifth Edition) , New York: John Wiley.

Mulyana, A.K. (2006). Model Aplikasi Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis, Wilayah Delta Berau Kalimantan Timur : Pengaruh Statistics Enchancement Terhadap Akurasi Klasifikasi Tutupan Lahan dari Band VNIR Citra ASTER, Cibinong: Badan Koordinasi Survey Dan Pemetaan Nasional.

Mustaring, M.C. (2006). Laporan Kerja Praktek Mahasiswa. Sorowako. Exploration and Mine Development, PT. International Nickel Indonesia, Tbk.

Purwadhi, S.H. (2001). Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Grasindo.

Rajesh, H.M., (2004). Aplication of Remote Sensing and GIS in Mineral Resource Mapping – An Overview. Australia: University of Queensland.

Rojas, S.A., 2003. Predictive Mapping of Massive Sulphide Potential in The Western Part of The Escambray Terrain, Cuba. Enschede, Netherland: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Rowan, L.C., Simpson, C.J., dan Mars, J.C. (2005). Lithologic Mapping of The

Mordor, NT, Australia Ultramafic Complex by Using ASTER. Remote Sensing of Environtment Journal, 99, 105-126

Raines, G.L., dan Canney, F.C. (1998). Remote Sensing In Geology. New York: John Wiley & Sons.

Rokhmatuloh, (2007). Bahan Ajar Aplikasi Sistem Informasi Geografis 2: Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Geologi/Mineral dan Pemetaan Vegetasi. Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Soe, M., Kyaw, Toe.A., dan Takashima, I. (2006). Application of Remote Sensing Technique on Iron Oxide Detection from ASTER and Landsat Images of Taninthary Coastal Area, Myanmar. Japan: Akita University.

Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Surono, dan Supandjono, J.B. (1991). Geology of The Malili Quadrangle, Sulawesi. Bandung: Directorates of General of Geology and Mineral Resources, Department of Mines and Energy.

Sukamto, R., (1975). The structure of Sulawesi in the Light of Plate Tectonics. Paper presented in the Regional Conference of Geology and Mineral Resources, Southeast Asia, Jakarta.

Standar Nasional Indonesia, (1998). SNI 13-4726-1998 - Klasifikasi Sumber Daya Mineral dan Cadangan. Indonesia: Penulis

Ustin, S.L., Smith, M.O., Jacquemoud, S., Verstraete, M.M., dan Govaerts, Y. (1997). Geobotany – Vegetation Mapping of Earth Sciences. California: Department of Land, Air, and Water Resources, University of California Wang, H., Cai, G., dan Cheng, Q. (2002). Data Integration Using Weight of

Evidence Model: Application in Mapping Mineral Resource Potentials. Makalah dipresentesasikan pada Symphosium on Geospatial Theory, Processing and Applications, Ottawa.

Wijanarko, K.B. (2007). Skripsi : Kelembaban Tanah di Daerah Ciliwung Hulu. Depok: Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Dalam dokumen SEBARAN POTENSI DEPOSIT NIKEL LATERIT DI (Halaman 76-87)

Dokumen terkait