• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek-Aspek Kebudayaan

Dalam dokumen Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan (Halaman 32-39)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Aspek-Aspek Kebudayaan

Kebudayaan dapat kita bagid alam tiga aspek yang besar, yaitu:

1. Aspek-aspek materiil dari kebudayaan, di mana termasuk di dalamnya hal-hal seperti: ekonomi dan teknologi.

a. Teknologi dan kebudayaan meteril.

Yang dimaksud dengan teknologi adalah jumlah keseluruhan dari tehnik-tehnik yang dimiliki oleh anggota-anggota sesuatu masyarakat, yaitu keseluruhan dari cara bertindak dan cara berbuatnya dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dari lingkungannya, mengadakan processing dari bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, alat-alat untuk menyimpan, makanan, pakaian, perumahan, alat-alat ttanspor dan kebutuhan lain yang berupa benda materil.

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009. Unsur-unsur kebudayaan materil seperti: 1) Alat-alat kerja

2) Wadah, tempat penyimpanan 3) Makanan

4) Pakaian 5) Perumahan 6) Alat-alat transport

b. Sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup

Mata pencaharian hidup yang terdapat pada masyarakat yang sederhana dapat dibagi dalam dua kategori:

1) Mata pencaharian hidup yang intinya bersifat mengumpulkan bahan-bahan makanan yang sudah disediakan oleh alam.

2) Mata pencaharian hidup yang inyinya adalah menghaslkan produksi, artinya masyarakat mengolah alam sebagaimana adanya dan menghasilkan kebutuhan untuk hidup.

Bentuk-bentuk mata pencaharian hidup itu adalah: a) Berburu, menangkap ikan, dan meramu.

System mata pencaharian hidup ini biasanya erat bersangkut paut. Suku-suku banga yang berburu biasanya melakukan pengumpulan terhadap tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang bisa dimakan. Malahan biasanya ditambah lagi dengan mata pencaharian menangkap ikan. Antropologi menyebut ketiga-tiganya dengan ekonomi pengumpulan pangan (food gathering economics).

Suku-suku bangsa berburu itu dapat dilihat dalam dua bentuk dasar:

1. Patrilineal hunting band; yaitu kelompok suku-suku bangsa berburu yang hidup di daerah-daerah dengan binatang-binatang yang terpencar-pencar. Kelompok ini biasanya terdiri dari kira-kira 50 individu, keanggotaan kelompok ditetapkan menurut

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

garis ayah (patrilinial) sedangkan adat perkawinan mewajibkan orang kawin di luar kelompoknya.

Pada suatu patrilineal hunting band pengawasan kelompok atas wilayahnya bersifat penguasaan secara hak ulayat, artinya kelompok menguasai wilayah beserta isinya guna pemakaian oleh anggota-anggotanya. Masing-masing anggota kelompok mempunyai hak yang sama untuk mencari tumbuh-tmbuhan dan berburu dalam wilayah tersebut.

2. Composite hunting band; yaitu suku-suku bangsa yang memburu binatang-binatang yang hidup dalam kawanan yang mengembara menurut musim. Kelompok-kelompok berburu ini biasanya lebih besar (kira-kira 100 orang), keanggotaan kelompok tidak lagi tegas patrineal, sedangkan perkawinan tidak lagi exogam.

Dalam composite hunting band kesadaran hak milik telah lebih jauh berkembang, jika dibandingkan dengan keadaan dalam ptrilineal hunting abnd. Karena keanggotaan kelompok sudah tercampur dan seseorang dapt keluar masuk kelompok dan pindah secara mudah maka sukar untuk bertahannya suatu hak ulayat.

b) Bercocok tanam di ladang.

Bercocok tanam di ladang ataudengan singkat disebut berladang dilakukan dengan membakar hutan-hutan untuk ditanami dan berpindah-pindah. Tanah yang dipakai berladang tadi seringkali belum merupakan milik individu. Tanah itu biasanya kepunyaan kelompok.

c) Bercocok tanam menetap.

Adanya bercocok tanam menetap dalam berbagai lingkungan alam, disebabkan karena di sini tekhnik manusia sudah mencapai taraf sedemikian rupa, sehingga manusia dapat mengatasi

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

rintangan-rintangan alam. Berdasarkan kepada sistem peralatan yang dipakai maka bentuk bercocok tanam ini dapat dibagi atas: a. Bercocok tanam tanpa bajak. Ini sering juga disebut

hand-agriculture atau hoe-hand-agriculture, dalam dalam sistem ini petani mengolah tanah sebelum sitanami dengan menggunakan cangkul atau hoe. Dalam hand-agriculture, hoe-agriculture ini tentu termasuk pula bercocok tanam di ladang, karena berladang biasanya dilakukan dengan tongkat cocok tanah atau cangkul saja.

b. Bercocok tanam dengan bajak (plough-agriculture). Dalam system ini petani mengolah tanah dengan bajak yang ditarik oleh binatang atau manusia. Dengan tehnik ini manusia bisa bekerja dengan lebih efisien dan lebih intensif daripada dengan cangkul. Hanya saja, cara ini memerlukan pemeliharaan ternak atau tenaga buruh untuk menarik bajak.

2. Aspek-aspek sosial dari kebudayaan, dimana termasuk ke dalamnya hal-hal seperti: organisasi sosial, system kekerabatan, perkawinan, struktur politik. a. Organisasi sosial/struktur sosial.

Organisasi sosial adalah segi dari kebudayaan yang meliputi hubungan antar manusia yang demikian. Organisasi sosial atau social organization adalah istilah yang paling banyak dipakai di dalam karangan-karangan antropologi untuk mencakup masalah-masalah kemasyarakatan, misalnya: hal perkawinan, percaraian, mas kawin, hukum waris, system kekerabatan, kelompok kekerabatan, upacara-upacara inisiasi, perkumpulan rahasia, pelapisan sosial, pimpinan, masyarakat, system hak milik, hukum adat, hukum tanah, dan sebagainya, segala gejala dan masalah yang ada dalam masyarakat pedesaan dan yang biasanya dibicarakan secara anthropological approach.

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

Kerabat adalah orang-orang yang mempinyai pertalian kepada seseorang karena hubungan darah atau perkawinan. Kekerabatan adal;ah hal-hal yang berhubungan dengan kerabat atau disebut juga kinship.

Kelompok-kelompok kekerabatan

Seorang sarjana antropologi (G.P. Murdock 30) membedakan tiga kategori kelompok kekerabatan, yaitu:

1. Kelompok kekerabatan berkorporasi (corporate kingroups).

Klen-kecil, merupakan suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga yang luas yang merasa berasal dari seorang nenek moyang yang satu sama lain terikat melalui garis keturunan laki-laki saja (garis patrilineal) ataupun garis keturunan perempuan saja (matrilineal).

2. Kelompok kekerabatan kadang kala (occassional kingroups). Kelompok kekerabatan ini hanya bergaul kadang-kadang saja (ocassional), sifatnya besar dengan banyak anggota, biasanya tidak mempunyai unsure (f), seperti yang tersebut pada corporate kingroup tadi.

3. Kelompok kekerabatan menurut adat (circumscriptive kingroups). Kelompok ini sedemikian besarnya hingga tidak saling kenal mengenal. Para anggota sering hanya tahu tanda-tanda adat saja. Rasa kepribadian kelompok biasanya juga hanya ditentukan oleh tanda-tanda adat saja.

b. Pengawasan sosial/social control.

Dalam pembicaraan mengenai penghidupan ekonomis dan organisasi sosial, kita telah melihat bahwa kenyataan-kenyataan fisik dan biologis, kebutuhan-kebutuhan akan bahan makanan, perhubungan darah, persamaan dalam usia dan tempat tinggal yang sama memberikan dasar untuk persekutuan-persekutuan sosial dan menghubungkan manusia dalam kelompok-kelompok.

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

Ada tiga proses sosial yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan dalam masyarakat, yaitu:

a. Ketegangan-ketegangan sosial antara adat-istiadat dan kebutuhan individu.

b. Ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi karena perbedaan-perbedaan kebutuhan antara golongan-golongan khusus.

c. Ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi karena adanya individu-individu (deviants) yang dengan sengaja menentang adat-istiadat.

Ketiga proses sosial ini memerlukan pengawasan dan pengendalian. Sistem-sistem yang dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan ketegangan-ketegangan sosial tadi disebut sistem pengendalian sosial, atau pengawasan sosial/social control.

Pengendalian sosial (social control) atau sering disebut pula sebagai kontrol sosial merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk bertingkah laku dengan cara yang diakui (tata karma) sebagaimana ditentukan oleh kebudayaan.

Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kontrol sosial adalah kekuatan yang bertujuan mengajak, mendidik, mengarahkan bahkan memaksa individu atau masyarakat agar mematuhi norma dan nilai yang telah berlaku dalam dan diakui masyarakat.

Norma-norma Sosial

Kontrol sosial terlaksana melalui norma-norma sosial. Setiap anggota masyarakat menyatakan nilai-nilainya melalui sistem norma sosial (social normative system). Norma-norma tersebut memberikan petunjuk kepada individu anggotanya tentang tingkah laku yang seharusnya mereka lakukan. Tanpa norma sosial tidak ada masyarakat. Kalaupun terdapat masyarakat tanpa norma sosial (anomi), maka masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang anarkis, yaitu suatu masyarakat yang kacau tanpa organisasi sosial yang efektif. Norma sosial menetapkan tingkah

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

laku yang pada umumnya diharapkan oleh sejumlah orang, dibutuhkan oleh orang lain yang secara tetap dilakukan oleh mereka di dalam menanggapi situasi tertentu. Tingkah laku individu ditetapkan oleh norma sosial yang mungkin dianggap penting atau remeh tatapi selalu disertai oleh elemen keharusan (imperatif).

Kebanyakan tingkah laku sosial diatur oleh norma-norma sosial. Hasil semacam ini khususnya kebanyakan pada masyarakat yang kompleks, di mana berbagai macam aktivitas yang diizinkan terbuka bagi anggota masyarakat. Kumpulan norma-norma sosial membentuk tatanan yang dikenal sebagai sistem normatif dari masyarakat (social normative system). Setiap masyarakat manusia memiliki sistem normatif yang terdiri dari kompleks norma-norma sosial yang saling berhubungan, yang berfungsi memberikan petunjuk bagi para anggotanya.

Norma sosial terbagi tiga kategori:

1. Kebiasaan (folkways). 2. Adat (mores)

Adat (mores) adalah kepercayaan terhadap kebenaran dan kesalahan dari tindakan-tindakan (perbuatan) kelompok masyarakat. Adat bukanlah sesuatu yang didapatkan dengan pertimbangan atau pemikiran seseorang secara individual atau dapat dilaksanakan oleh karena seseorang memutuskan bahwa hal itu akan menjadi pemikiran yang baik dan benar (good and true ideas). Adat berangsur-angsur timbul dari kebiasaan praktis dari orang. Secara kolektif tanpa pilih secara sadar atau terencana. Adat timbul dari kelompok, yang memandang perbuatan tertentu tampak berbahaya dan harus dilarang. Dengan demikian, sebenarnya adat merupakan pertimbangan praktis kelompok terhadap kesejahteraan kelompoknya.

3. Hukum

Kelompok utama dari norma sosial adalah norma hukum. Hukum berisikan perlakuan legislatif atau dengan kata lain aturan tingkah laku

Zuraidah Hafni : Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan, 2009.

yang dinyatakan dan digambarkan secara formal, didukung oleh organisasi pemerintahan, yang membentuk sanksi, ataupun hukuman yang negatif bagi para pelanggarnya.

3. Aspek-aspek rohani dari kebudayaan.

Religi adalah suatu sistem kepercayaan dan upacara-upacaranya yang terdapat dalam setiap kebudayaan manusia.

Magic adalah segala sisrem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di alam. Sedangkan religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri pada kemauan dan kekuasan makhluk-makhluk halus (ruh, dewa-dewa) yang menempati alam.

Unsur-unsur pokok dari religi:

1. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku serba religi.

2. Sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya.

3. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.

4. Kelompok-kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi serta sistem upacara-upacara keagamaannya.

Dalam dokumen Piagam Madinah Dari Perspektif Kebudayaan (Halaman 32-39)

Dokumen terkait