• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Kuniran ( Upeneus moluccensis)

Jumlah keseluruhan contoh ikan kuniran selama tiga bulan pengambilan data adalah sebanyak 400 ekor yang didominasi oleh ikan betina. Jumlah ikan betina sebanyak 237 ekor dan jumlah ikan jantan sebanyak 163 ekor ikan. Sebaran frekuensi panjang dari ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sebaran selang kelas ukuran panjang ikan kuniran (Upeneus moluccensis)

Dari Gambar 4 terlihat sepuluh selang kelas ukuran panjang dari ikan kuniran. Ikan kuniran dominan tertangkap pada selang kelas 120-127 mm sebanyak 90 ekor dan paling sedikit tertangkap pada selang kelas 168-175 mm sebanyak 2 ekor. Selang kelas 168-175 mm merupakan selang kelas saat ikan kuniran berumur tua sehingga jumlah ikan kuniran lebih sedikit dibandingkan selang kelas yang lain. Selang kelas 120-127 mm didominasi oleh ikan betina dan jantan yang memiliki TKG II dan TKG III. Hal ini diduga bahwa nelayan menangkap ikan pada daerah fishing ground yaitu di sekitar Pulau Damar sehingga ikan-ikan tersebut memiliki kesempatan untuk bereproduksi lebih baik. Selain itu ukuran mata jaring dogol yang digunakan oleh nelayan sebesar 1,5 inchi pada bagian kantong dan 2 inchi pada bukaan mulut merupakan ukuran yang sesuai untuk sumberdaya ikan kuniran agar tetap lestari. Sebaran ukuran panjang ikan kuniran untuk setiap pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 5.

23 Juli 2010

06 Austus 2010

2010

06 Agustus 2010

20 Agustus 2010

03 September 2010

Gambar 5. Sebaran ukuran panjang ikan kuniran (Upeneus moluccensis) untuk setiap pengambilan data

17 September 2010

01 Oktober 2010

15 Oktober 2010

Pada Gambar 5 terlihat kelas panjang ikan kuniran hasil pengamatan pada 23 Juli 2010 hingga 17 September 2010 mengalami pergeseran modus ke arah kanan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran mengalami pertumbuhan. Pada waktu pengambilan data tanggal 23 Juli 2010 ikan yang tertangkap masih berumur muda, karena masih terdapat ikan yang berukuran kecil yaitu 104-111 mm. Ikan akan mengalami pertumbuhan seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini dikarenakan adanya faktor makanan, kualitas air, umur, dan jenis kelamin (Effendie 2002). Kecepatan pertumbuhan ikan muda relatif lebih cepat dibandingkan ikan yang sudah besar. Hal ini dikarenakan ikan besar lebih menggunakan energinya untuk perkembangan gonadnya dibandingkan untuk pertumbuhan tubuhnya (Brojo and Sari 2002). Sedangkan dari 17 September 2010 hingga 1 Oktober 2010 mengalami pergeseran modus ke arah kiri yang diduga ikan tersebut mengalami rekruitmen. Rekruitmen adalah masuknya individu baru karena ikan – ikan dewasa telah melakukan pemijahan.

4.3. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi 4.3.1. Hubungan panjang-berat

Pola pertumbuhan yang terjadi pada ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Jakarta dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang–berat. Berdasarkan analisis hubungan panjang–berat dengan jumlah ikan contoh sebanyak 800 ekor, model pertumbuhan ikan kuniran adalah W = 0,00008L2,6380, dengan koefisien determinasi sebesar 0,8880 (Gambar 6). Dari model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 2,6380. Dengan menggunakan uji-t, maka diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan kuniran adalah allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan berat tubuhnya (Effendie 2002).

Gambar 6. Hubungan panjang-berat ikan kuniran (Upeneus moluccensis) Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif menunjukkan bahwa makanan yang tersedia di perairan Teluk Jakarta sedikit atau dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta kurang subur. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fachrul et al. (2004) yang menunjukkan bahwa perairan Teluk Jakarta berada pada kondisi tercemar sedang sampai tercemar berat. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik untuk pertumbuhan biota–biota perairan begitu juga dengan plankton yang menjadi makanan dari ikan – ikan muda.

Gambar 7. Pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan jenis kelamin

Persamaan pola pertumbuhan ikan kuniran jantan adalah W = 0,0001L2,5708 sedangkan persamaan pola pertumbuhan ikan betina adalah W = 0,00008L2,6480 (Gambar 7). Melalui uji-t, dapat diketahui bahwa ikan kuniran, baik yang berjenis kelamin jantan maupun betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Jakarta kurang cukup menyediakan makanan untuk pertumbuhan dari ikan kuniran, baik jantan maupun betina dikarenakan kondisi perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran sedang sampai dengan berat yang merupakan kondisi yang tidak baik bagi pertumbuhan organisme akuatik (Fachrul et al. 2004).

4.3.2. Faktor kondisi

Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan (Effendie 2002).

Gambar 8. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang

Pada Gambar 8 terlihat nilai rata-rata faktor kondisi ikan kuniran jantan berdasarkan selang kelas panjang adalah 1,0480-1,1053 sedangkan ikan betina berkisar antara 0,8527-0,9989. Faktor kondisi terbesar pada ikan jantan terletak pada selang kelas panjang 144-151 mm sedangkan ikan betina faktor kondisi

terbesar terletak ada 136-143 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang kelas tersebut ikan-ikan mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mempertahankan hidupnya dan memanfaatkan makanan di sekitarnya. Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000).

Selain itu pada selang kelas 136-143 mm, merupakan ukuran yang paling dominan mengalami TKG IV sehingga tubuh dari ikan betina pada selang kelas tersebut lebih besar dibandingkan pada ukuran selang kelas panjang yang lain. Sedangkan faktor kondisi yang terkecil pada ikan betina terdapat pada selang kelas 168-175 mm. Hal ini adalah ukuran ikan saat ikan-ikan tersebut telah selesai melakukan proses pemijahan sehingga faktor kondisi semakin kecil. Namun kemudian akan terjadi peningkatan nilai faktor kondisi karena ikan yang telah mengalami pemijahan akan menggunakan energi yang diperoleh untuk pertumbuhan (Harahap and Djamali 2005).

Pada ikan jantan, selang kelas 144-151 mm merupakan selang kelas yang paling dominan terdapat TKG IV, sehingga faktor kondisi pada selang kelas tersebut lebih besar. Faktor kondisi terkecil pada ikan jantan terdapat pada selang kelas 96-103 mm. Hal ini disebabkan karena ikan-ikan yang masih muda belum mempunyai kemampuan hidup yang baik di tempat hidupnya dan dapat diduga pula karena kalah bersaing mendapatkan makanan dengan ikan yang lebih tua.

Gambar 9. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan data

Nilai faktor kondisi ikan kuniran bervariasi untuk setiap pengambilan data. Baik ikan kuniran jantan maupun betina memiliki faktor kondisi terbesar pada waktu pengambilan data 03 September 2010 (Gambar 9). Hal ini dikarenakan TKG IV paling dominan terdapat pada waktu pengambilan data tersebut.

Nilai faktor kondisi baik ikan jantan maupun betina mengalami fluktuasi. Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Fluktuasi nilai faktor kondisi ini juga dipengaruhi oleh aktivitas ikan dalam melakukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan selama proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai.

4.3.3. Nisbah kelamin

Nisbah kelamin adalah perbandingan antara ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi. Tabel nisbah kelamin untuk ikan kuniran dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus moluccensis) Jumlah (ekor) Proporsi (%) Standar Deviasi Selang Kepercayaan (95%) Jantan 163 40,75 3,85 34,44% < J < 47,06% Betina 237 59,25 3,19 54,02% < B < 64,48% Jumlah 400 100

Nisbah kelamin antara ikan kuniran jantan dengan betina sebesar 40,75% : 59,25% atau 1:1,5 (Tabel 2). Dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, diharapkan perbandingan ikan jantan dengan ikan betina berada dalam kondisi yang seimbang (1:1) (Purwanto et al 1986 in Affandi et al. 2007). Namun yang terjadi pada nisbah kelamin ikan kuniran adalah keadaan yang tidak seimbang. Hal ini dikarenakan adanya pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan. Selain itu ketidak seimbangan

tersebut juga disebabkan oleh perbedaan umur karena kematangan gonad yang pertama kali (Yustina and Arnentis 2002). Keseimbangan rasio kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina (Sulistiono et al. 2001).

4.3.4. Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad dapat diamati secara morfologi dan histologi. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan kuniran jantan dan betina untuk setiap waktu pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan data

Gambar 11. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang total

Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan berat tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina and Arnentis 2002). Apakah kualitas lingkungannya baik dan makanan yang tersedia cukup melimpah. Hal inilah yang menjadi faktor penentu dari keberhasilan proses pemijahan selain faktor fisiologis dari ikan tersebut. Pada Gambar 11 terlihat bahwa TKG IV pada ikan jantan dominan terdapat pada selang 144-151 mm, sedangkan pada ikan betina TKG IV dominan terdapat pada selang kelas 136-143 mm. Jelas sekali terlihat bahwa ikan jantan memiliki ukuran panjang yang lebih besar saat mengalami matang gonad. Hal ini dikarenakan makanan yang dimakan oleh ikan betina lebih diutamakan untuk perkembangan gonadnya dibandingkan pertumbuhan panjang tubuhnya seperti yang terjadi pada ikan jantan. Atmaja (2008) menyatakan bahwa ikan yang memiliki jenis kelamin yang berbeda mengalami tingkat kematangan pada waktu yang berbeda dan ukuran yang berbeda

pula meskipun tempat pemijahannya sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sift-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, dan arus) (Atmaja 2008). Secara alamiah TKG akan berjalan menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).

Keterangan : SC : spermatogonia, SP : spermatocyst primer, SS : spermatocyst sekunder, Spt : spermatid, S : spermatozoa

Gambar 12. Struktur histologi gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan pada TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV

Pada Gambar 12 secara histologis, pada gonad ikan kuniran jantan TKG I ditemukan spermatogonia dengan jaringan ikat yang kuat. Pada TKG II, gonad lebih

TKG I TKG II

TKG III TKG IV

SP

SS S

SC

Spt

berkembang dengan jaringan ikat mulai berkurang. Spermatogonia membelah secara mitosis menjadi spermatocyst primer yang terletak di dalam kantung tubulus seminiferus. Pada TKG III, terjadi dua kali pembelahan yang pertama adalah spermatocyst primer membelah secara meiosis menjadi spermatocyst sekunder yang meliputi proses duplikasi DNA dan rekombinasi dari informasi genetik, dan yang kedua adalah pembelahan secara meiosis tanpa melibatkan duplikasi DNA menjadi benih sel yang disebut dengan spermatid. Pada TKG IV, spermatid melakukan proses spermiogenesis menjadi spermatozoa yang siap dikeluarkan untuk membuahi sel telur (Cabrita et al. 2008).

Keterangan : Og: oogonia, ZO : zygotene oocytes, Ot : ootid, Ov : ovum

Gambar 13. Struktur histologi gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina pada TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV

TKG I TKG II

TKG III TKG IV

ZO

Ot

Ov

Og

Pada Gambar 13, TKG I menunjukkan ovari yang belum matang yang mengandung oogonia yang terletak di sepanjang lamella, oosit tidak ditemukan, dan inti sel sudah terlihat jelas. Pada TKG II oogonia membelah secara mitosis menjadi oosit primer dengan jumlah relatif banyak. Selanjutnya oosit primer mengalami fase pertumbuhan awal (pre-vitellogenesis) yang menyebabkan munculnya material di sitoplasma serta membentuk lapisan folikel yang terdiri dari lapisan granulosa dan sel theca. Setelah itu, terjadi fase pertumbuhan kedua (vitellogenesis) yang menghasilkan cortical alveoli, lipid globules, kuning telur, dinding oosit, serta membuat lapisan folikel menjadi semakin tebal. Selanjutnya, pada TKG III diameter telur terlihat lebih besar, sel telur berkembang menjadi ootid dan banyak dijumpai butiran kuning telur. Kemudian pada TKG IV, ootid berkembang menjadi ovum dengan butiran kuning telur berwarna kuning tua menandakan telur telah matang, serta terdapat butiran minyak. Setelah TKG IV, sel telur siap untuk diovulasikan (Cabrita et al. 2008)

4.3.5. Indeks kematangan gonad

Indeks kematangan gonad merupakan cara untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara kuantitatif. Sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah berat dan bertambah besar mencapai ukuran maksimum ketika ikan akan memijah (Atmaja 2008).

Gambar 14. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan data

Indeks kematangan gonad ikan kuniran bervariasi pada setiap waktu pengambilan data. Untuk ikan kuniran jenis kelamin jantan kisaran IKG ikan kuniran antara 0,6428%-1,3475%, sedangkan ikan betina IKG berkisar antara 1,9876%-4,8514%. IKG tetinggi terdapat pada tanggal 03 September 2010 (Gambar 14). Hal ini sesuai dengan waktu pemijahan ikan kuniran dimana TKG IV dominan terdapat pada tanggal tersebut baik jantan maupun betina. Pada ikan jantan, indeks kematangan gonad mengalami penurunan pada tanggal 01 Oktober 2010, sedangkan pada betina indeks kematangan gonad mengalami penurunan pada tanggal 17 September 2010. Adanya penurunan IKG disebabkan ikan-ikan tersebut telah melakukan proses pemijahan.

Kisaran IKG betina umumnya lebih besar dibandingkan ikan yang berjenis kelamin jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (2002) bahwa umumnya pertambahan berat gonad ikan betina berkisar 10 – 25% dari berat tubuhnya, sedangkan ikan jantan berkisar 5-10% dari berat tubuhnya.

Gambar 15. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang total

Pada Gambar 15 nilai IKG rata-rata tertinggi untuk ikan jantan terdapat pada selang kelas 144-151 mm sebesar 1,3183% sedangkan pada ikan betina IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 136-143 mm sebesar 4,1542%. Hal ini diduga pada selang kelas kelas tersebut merupakan selang kelas panjang bagi ikan - ikan yang memiliki TKG III dan IV atau ikan-ikan yang berada dalam fase

perkembangan gonad maksimum sebelum pemijahan. Kemudian pada selang kelas selanjutnya terdapat nilai rata-rata IKG mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan pada kelompok ukuran tersebut telah melakukan proses pemijahan, sehingga nilai IKG-nya menurun. Effendie (2002) menyatakan, indeks kematangan gonad akan semakin meningkat nilainya dan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan, kemudian menurun dengan cepat sampai selesai pemijahan.

IKG ikan kuniran baik jantan maupun betina memiliki rata – rata nilai IKG dibawah 20%. Hal ini menunjukkan kelompok ikan kuniran dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya (Bagenal 1987 in Yustina and Arnentis 2002). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pulungan et al. (1994) in Yustina and Arnentis (2002) yang juga menyatakan bahwa umumnya ikan yang hidup pada perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun.

4.3.6. Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina. Dari jumlah total ikan betina yang diamati, terdapat 41 ekor ikan betina yang memiliki TKG IV dimana hanya ikan betina TKG IV saja yang dihitung fekunditasnya.

Gambar 16. Hubungan antara panjang total dengan fekunditas TKG IV ikan kuniran (Upeneus moluccensis)

Pada gambar 16 diketahui hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan kuniran dengan koefisien korelasi sebesar r = 0,2161. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan kuniran tidak erat. Tidak eratnya hubungan tersebut dikarenakan terdapatnya fekunditas yang bervariasi di dalam ukuran panjang total yang sama.

Jumlah telur yang diperoleh selama penelitian bervariasi dari 26.658 hingga 75.030 butir. Fekunditas maksimum dijumpai pada ukuran panjang total 166 mm dengan berat gonad 3,0303 gram. Sedangkan fekunditas minimum ditemukan pada ukuran panjang total 158 mm dengan berat gonad sebesar 1,5631 gram. Rata-rata fekunditas ikan kuniran sebesar 42.005 butir telur. Hal ini menunjukan bahwa ikan kuniran memiliki potensi reproduksi yang tinggi, dikarenakan semakin banyak telur yang dikeluarkan diduga akan menghasilkan jumlah individu baru yang melimpah. Nikolsky (1963) in Effendie (2002) menyatakan bahwa fekunditas pada ikan tergantung dengan kondisi lingkungannya. Jika ikan hidup di habitat yang banyak ancaman predator maka jumlah telur yang dihasilkan akan besar atau fekunditas semakin tinggi, sedangkan ikan yang hidup di habitat dengan sedikit predator akan memiliki jumlah telur yang lebih sedikit.

Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang total. Namun terkadang hubungan keduanya memiliki koefisien korelasi yang kecil. Hal ini dikarenakan model – model yang digunakan tidak sesuai untuk menyatakan hubungan fekunditas dengan panjang total, karena terdapat variasi fekunditas dan perbedaan umur pada ikan-ikan yang mempunyai ukuran panjang yang hampir sama (Brojo and Sari 2002).

Koefisien korelasi dari hubungan antara fekunditas TKG IV dengan berat total ikan kuniran r = 0,2755 (Gambar 17). Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara fekunditas dengan berat total tidak erat dikarenakan dalam satu ukuran berat total yang sama memiliki jumlah telur yang berbeda-beda. Beberapa faktor yang berperan terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina yaitu fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk, ukuran telur, ukuran ikan, kondisi lingkungan, makanan, dan kepadatan populasi (Moyle and Cech 1988).

Gambar 17. Hubungan antara fekunditas dengan berat total TKG IV ikan kuniran (Upeneus moluccensis)

Selama dilakukannya penelitian, fekunditas rata-rata tertinggi ditemukan pada tanggal 03 September 2010 sebanyak 51.007 butir dan fekunditas rata-rata terendah berada pada tanggal 20 Agutus 2010 sebanyak 38.093 butir. Pada tanggal 03 September 2010 merupakan waktu pengambilan data yang dominan terdapat TKG IV dari ikan betina (Gambar 18). Semakin tinggi TKG, maka fekunditas pun akan banyak.

Gambar 18. Sebaran fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan waktu pengambilan data

4.3.7. Diameter telur

Diameter telur yang diamati sebanyak 6.150 butir telur yang bervariasi antara 0,15 - 0,41 mm. Sebaran diameter telur ikan kuniran berdasarkan selang kelas dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan selang kelas diameter telur

Ikan betina TKG IV yang diamati diameter telurnya berjumlah 41 ekor dengan satu puncak ukuran diameter telur yaitu 0,29-0,30 mm (Gambar 19). Selanjutnya terus mengalami penurunan hingga selang kelas 0,41 – 0,42 mm. Dari sebaran frekuensi tersebut dapat diketahui bahwa tipe pemijahan ikan kuniran Upeneus moluccensis adalah total spawning. Hal ini sesuai dengan penelitian Sjafei dan Susilawati (2001) di Teluk Labuan, Banten yang menyatakan bahwa tipe pemijahan Upeneus moluccensis adalah total spawning.

Pada Gambar 20 sebaran diameter telur bervariasi setiap waktu pengambilan data. Puncak tertinggi terdapat pada waktu pengambilan data 03 September 2010, sedangkan puncak terendah pada waktu pengambilan data 23 Juli 2010. Hal tersebut dikarenakan bulan September merupakan waktu pemijahan dari ikan kuniran sehingga banyak telur yang diamati sebaran diameter telurnya.

Gambar 20. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) berdasarkan waktu pengambilan data

Gambar 21 merupakan sebaran diameter telur pada tiga bagian gonad, anterior, median, dan posterior.

Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis) pada bagian anterior, median, dan posterior

Terdapat satu puncak pada sebaran diameter telur baik pada bagian anterior, median, maupun posterior (Gambar 21). Hal ini diduga ikan kuniran mempunyai sifat pemijahan total, butir-butir telurnya yang sudah matang akan dikeluarkan

sekaligus dalam jangka waktu singkat pada saat pemijahan berlangsung. Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Russell (1976) bahwa ikan yang memiliki diameter telur yang sama pada semua bagian gonadnya akan melakukan pemijahan secara total sedangkan ukuran telur yang berbeda dalam tubuh ikan betina menandakan pemijahan secara bertahap.

Dokumen terkait