• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ABDUL

A. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasjim

3. Aspek Politik

Aspek politik adalah aspek yang paling menonjol pada diri beliau, karena beliau sendiri di samping seorang tokoh agama beliau adalah seorang politisi yang handal. Dalam dunia politik beliau tidak hanya sekedar berbicara melainkan ikut terlibat dalam proses kemerdekaan RI hingga sesudah kemerdekaan.

Pemikiran beliau mengenai politik tercermin dari jiwa dan sikap beliau yang tegas. Karena latar belakang beliau adalah seorang agamawan, maka pemikiran beliau selalu berdasarkan kepada ajaran agama yang beliau pahami. Beliau adalah sosok yang sangat gigih ingin memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam.

37

Beliau adalah sosok yang kuat dalam pendiriannya. Jika ia telah menetapkan sesuatu pendirian maka ia akan bela pendirian itu mati-matian. Meskipun pendirian yang ia tetapkan itu menimbulkan reaksi berupa kritik dari lawan politiknya, namun tidak membuat ia mundur dalam pendiriannya. Jadi tak heran meskipun ia memiliki banyak pendukung akan tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya.38

Namun demikian meskipun beliau adalah sosok yang keras dalam pendirian, segala bentuk pemikiran yang ia sampaikan serta bantahan yang ia lontarkan disampaikan dengan cara yang sportif, hingga orang-orang yang menentangnya hanya sebatas wacana tidak sampai menimbulkan benturan fisik.39

Sepintas Wahid Hasjim terlihat sebagai sosok yang konservatif, mungkin penilaian sementara ini dapat dilihat dari latarbelakang beliau sebagai seorang NU yang bepaham tradisionalis. Namun kalau diperhatikan lebih jauh lagi beliau adalah sosok yang sangat moderat, bahkan lebih jauh lagi oleh putra beliau Gusdur disebut sebagai sosok yang liberal.40 Pernyataan yang pada pada akhirnya membuat Gus Dur mendapat kritik tajam dari adik kandungnya yaitu Gus Sholah.41

38

Aboe Bakar, Riwayat Hidup., h. 209

39

Ibid.

40

Gus Dur dan Gus Sholah, K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, (Jakarta : FNKS, 1998), h. 6

41

Mengenai perdebatan antara Gus Dur dan Gus Sholah, baca: K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, (Jakarta : FNKS, cet. I November 1998

Salah satu ide beliau mengenai politik adalah lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Untuk lebih jelasnya perlu kiranya penulis menjelaskan persoalan mengenai Piagam Jakarta, karena dari Piagam Jakarta inilah akan terlihat pemikiran politik Wahid Hasjim.

Piagam Jakarta lahir atas usulan Wahid Hasjim dan Kahar Mudzakir. Permasalah berawal dari persoalan ideologi negara. Terdapat dua kelompok yang sangat bersebrangan dalam melihat masalah ini. Kelompok pertama datang dari dari golongan kebangsaan yang disebut sebagai kelompok nasionalis sekuler yang menginginkan negara ini terlepas dari idioliogi agama. Sedangkan kelompok yang kedua yang dimotori oleh golongan agamawan muslim (nasionalis islami) menghendaki Islam sebagai dasar negara.42

Masing-masing kelompok ini memiliki argumen dengan latar belakang sejarah yang panjang. Kelompok pertama yang merupakan kelompok nasionalis berargumen bahwa perjuangan pergerakan bangsa dimulai oleh golongan nasionalis dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang menurut golongan nasionalis sebagai organisasi modern pertama di tanah air ini.43 Budi Utomo merupakan akar sejarah yang melahirkan gerakan-gerakan nasionalis sekuler lainnya, seperti: Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 4 Juli 1927, Partai

42

Endang Sefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : CV. Rajawli, 1986), h. 3

43

A.K. Paringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1967), h. 1

Indonesia (Partindo) 26 Desember 1931, Partai Indonesia Raya (Parindra) 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24 Mei 1937.44 Sementara kelompok kedua yang diwakili golongan agamawan muslim mengajukan argumen dengan menjadikan Sarekat Islam yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional, bahkan pergerakan telah dimulai pada awal abad ke-20 dalam bentuk pembelaan diri terhadap kekuasaan asing. KH. M. Isa Ansyary, seorang tokoh Masyumi, menekankan bahwa perjuangan dan peperangan untuk kemerdekaan Indonesia itu bukanlah dimulai pada generasinya; bukan juga hanya menyangkut pahlawan-pahlwan 10 November 1945, melainkan merupakan riwayat perlawanan ratusan tahun, yakni pada masa-masa Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Babullah Ternate, Teuku Tjik Di tiro, dan masih banyak lagi pahawan lain yang mana jihad dan perjuangan menjadi benang merah dalam sulaman sejarah di tanah air.45

Dari argumen yang dipaparkan oleh kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam di atas terlihat perbedaan dari sudut pandang menilai cikal-bakal lahirnya pergerakan nasional walaupun kedua kelmpok tersebut sama-sama mengemukakan argumen sejarah. Walau pada dasarnya terlihat golongan nasionalis di sini mengenyampingkan begitu saja peranan umat Islam sebelum lahirnya Budi Utomo. Padahal

44

Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h. 4

45

kenyataannya Budi Utomo lahir bukanlah atas dasar persatuan bangsa melainkah lebih pada perjuangan kesukuan seperti yang digambarkan oleh Harun Nasution:

Boedi Oetomo walaupun dianggap sebagai cikal-bakal gerakan nasionalis namun dalam perjuangannya gerakan ini tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh Indonesia, organisasi ini semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa, pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik penduduk Jawa Tengah, itupun terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.46

Sementara perjuangan umat Islam terdahulu yang perlu dicermati lebih mendalam lagi, yaitu pemersatuan berbagai suku. Menjawab argumen yang dikemukakan oleh kelompok Nasionalis M. Natsir memaparkan:

Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama merentas jalan di negeri ini bagi kegiatan poiltik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia, yang telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.47

Lebih lanjut lagi Harun Nasution menjelaskan bahwa:

Islamlah terutama yang menciptakan pada diri mereka kesadaran berkelompok yang satu. Melalui Islamlah kelompok kesukuan yang berbeda-beda itu disatukan dalam satu masyarakat yang luas dan menyeluruh. Islam telah mampu mendobrak kekuatan nasionalisme lokal.48

Terlepas dari perselisihan mengenai cikal-bakal lahirnya pergerakan nasional, kenyataannya argumen tersebutlah yang pada akhirnya memunculkan konsep pemikiran mengenai Piagam Jakarta.

46

Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.4-5

47

Ibid., h. 8

48

Piagam Jakarta lahir atas prakarsa panitia kecil yang dikenal dengan panitia sembilan. Panitia sembilan ini beranggotakan: Soekarnom Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin. Panitia sembilan ini dibentuk setelah sidang Badang Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pertama berakhir pada tanggal 2 Juni 1945. Sidang BPUPKI beranggotakan sebanyak 62 orang yang termasuk delapan orang Jepang, seorang di antaranya menjadi wakil ketua.49 Selama persidangan terjadi perdebatan panjang hingga akhirnya setelah sidang berakhir 38 orang dari seluruh anggota mengadakan pertemuan, kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang.50

Selama sidang pertama BPUPKI pertentangan yang paling keras berasal dari pihak Soekarno sebagai pihak nasionalis sekuler sementara dari pihak nasionalis Islam adalah Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.51

Soekarno adalah tokoh nasionalis yang menginginkan negara Indonesia berdasarkan kebangsaan dengan tidak memasukkan unsur agama, dengan kata lain memisahkan peranan agama dan negara yang lebih dikenal dengan istilah sekulerisme. Soekarno sebagaimana telah

49

Deliar Noor, Mohammad Hatta; Biografi Politik, (Jakarta : LP3ES, 1990), h. 219

50

Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.30

51

diketahui bahwa yang menjadi idamannya adalah Indonesia bisa menjadi negara seperti Turki yang dipimpin Kemal Attaturk, sedangkan Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim adalah orang yang paling keras menginginkan Indonesia berasaskan Islam.52 Perdebatan mengenai arah negara ini yang pada akhirnya harus diselesaikan dengan pembentukan panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang.

Panitia sembilan bertugas untuk mencari jalan tengah antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Setelah melalui perdebatan panjang, maka diperolehlah hasil dari rapat panitia sembilan ini yang menyetujui sebulat-bulatnya rancangan naskah yang disusun oleh anggota-anggota panitia ini. Kesepakatan ini disampaikan oleh Soekarno dalam sidang paripurna Badan Penyelidik:

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.

Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagaimana tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.53

Selanjutnya Soekarno membacakan hasil rancangan panitia sembilan yang isinya:

“Pembukaan : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan

52

Ibid.

53

Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemedekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungin segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.54

Dalam Piagam Jakarta di atas terdapat tuju kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra yang dapat berakibat disintegrasi bangsa. Tujuh kata ini adalah hasil kerja keras dari A. Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.55 Dalam hal-hal yang bisa menjadi perbedaan pendapat ini kelihatan Hatta lebih memperlihatkan pendirian menengah agar tidak memperuncing keadaan.

Walaupun tujuh kata yang terdapat di dalam Piagam Jakarta telah disepakati oleh seluruh panitia kecil, namun sebagaimana disinggung di atas pada akhirnya tetap menimbulkan pro dan kontra,

54

Ibid., h. 31-32

55

alasannya karena tujuh kata tersebut dianggap menyakiti perasaan umat selain Islam.

Wacana ini muncul ketika Hatta didatangi seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Walaupun pada dasarnya mereka tahu bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka yang bukan beragama Islam. Untuk mengatasi permasalahan ini Hatta sebagai salah satu dari panitia kecil keesokan harinya pada tanggal 1 Agustus 1945 sebelum sidang Paniti Persiapan bermula mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimendjo dan Mr. Teuku Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah pro dan kontra ini. Akhirnya diperolehlah kesepakatan untuk menghapus anak-kalimat tersebut dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.56

Namun perlu dipaparkan bahwa mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam sidang mendadak yang diadakan oleh Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 ternyata menjadi tanda tanya. Hal ini karena pernyataan yang dilontarkan oleh Prawoto tentang kealpaan Wahid Hasjim, alasan yang dikemukakan oleh Prawoto adalah pada tanggal

56

18 Agustus 1945 Wahid Hasjim sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Sementara Hatta dalam hal ini meyakini kehadiran Wahid Hasjim.57 Kalau memang Wahid Hasjim ketika itu tidak hadir, maka dalam hal ini perlu dipertanyakan posisi Wahid Hasjim, apakah beliau betul-betul menerima sepenuhnya hasil perubahan tersebut atau sebaliknya, mengingat sebelumnya beliau adalah orang yang paling keras memperjuangkan kalimat yang sarat nilai keislaman tersebut. Bahkan lebih jauh lagi Wahid Hasjim adalah orang yang memiliki cita-cita kuat agar Indonesia berdasarkan syari’at Islam. Atau penerimaan Wahid Hasjim terhadap perubahan pada Piagam Jakarta karena jiwa toleran beliau, apalagi dihubungkan dengan persatuan dan kesatuan bangsa.

Walau terdapat pro dan kontra mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam rapat tersebut namun jelaslah bahwa Wahid Hasjim adalah satu seorang tokoh muslim yang memiliki peranan penting dalam proses pembuatan Piagam Jakarta hingga perubahan yang terjadi dalam Piagam Jakarat tersebut.

Dari uraian mengenai perjalan Piagam Jakarta dapat dilihat bahwa Wahid Hasjim telah memberikan sumbangan sangat besar dalam pemikiran politik di Indonesia. Walau apa yang ia cita-citakan sebelumnya tidak sepenuhnya berhasil, namun Sila Ketuhanan Yang

57

Maha Esa merupakan hasil dari pengkajian terhadap Piagam Jakarta salah seorang pencetusnya adalah Wahid Hasjim.

Dokumen terkait