• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan

2.4.1 Aspek Regulasi

Aspek regulasi yang digunakan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Instrumen peraturan perundang-undangan ini merupakan intrumen yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan usaha dan/ atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan terjadi pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Pemerintah melalui instansi teknisnya berperan dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terjadinya pencemaran minyak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas industri migas dan aktivitas transportasi kapal dan pelabuhan yang berada di sekitar Selat Rupat.

Peraturan Perundang-undangan yang berperan dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan meliputi:

a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-32

undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan), pemeliharaan (meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam), pengawasan dan sanksi (administrasi, pidana dan denda) yang tegas bagi pihak yang melanggar (110 halaman).

b. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, memuat tentang transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut (206 halaman). c. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut, pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya (9 halaman).

d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, yang memuat pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal, perlindungan laut, pencegahan pencemaran dari kegiatan di pelabuhan, tanggung jawab pemilik atau operator kapal dan pemberian sanksi administratif bagi yang melanggar.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan yang memuat tentang jenis-jenis angkutan air, pengusahaan angkutan di perairan, tanggungjawab dan sistem informasi (49 halaman).

f. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi (13 Halaman).

g. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 04 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal. Peraturan ini memuat tentang pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, peralatan penanggulangan awal pencemaran minyak oleh kapal, tanggung jawab pemilik atau operator kapal,dan pencucian tangki kapal dan dumping.

h. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan,

33

khususnya Bab IV pasal 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 ini memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan (lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman).

Keberadaan instrumen regulasi ini merupakan kontrol bagi stakeholders untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di perairan. Pada lingkup internasional tahun 1954 Badan Maritim Internasional (IMO, international

maritime organization) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh minyak (international convention for the

prevention of pollution of the sea by oil ). Konvensi ini lalu diperbaharui pada

tahun 1973 yang merupakan upaya awal dalam mengatasi dampak pencemaran di laut. Indonesia yang masuk dalam keanggotaan organisasi ini wajib melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO.

Pencegah dan penanggulangan pencemaran minyak di laut bertujuan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. Tugas ini harus diimbangi dengan dua faktor yaitu adanya fasilitas yang memungkinkan untuk bergerak dinamis, dan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. 2.4.2 Aspek Teknologi

Pada umumnya upaya penaganan pencemaran minyak dilaut dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap manusia secara langsung. Ada tiga teknik yang direkomendasikan untuk penanggulangan pencemaran minyak di perairan, meliputi:

1. Secara mekanik

Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut secara mekanik dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan boom dan skimmer.

Booms digunakan untuk melokalisasi dan mengendalikan pergerakan minyak

dan skimmer digunakan untuk mengambil minyak. Boom berfungsi sebagai perangkap melingkar polutan minyak diperairan agar tetap pada lokasi tertentu sehingga minyak di perairan tidak menyebar. Prinsip kerja boom adalah menahan gerakan minyak dari aliran arus sehingga minyak tetap terkumpul didalam boom untuk kemudian dapat dipindahkan dari air laut dengan sistim penyedotan (Gambar 3).

34

Gambar 3 Pengendalian pencemaran minyak di perairan menggunakan oil boom (WWF, 2007)

Penyebaran minyak membentuk suatu lapisan yang tipis disebabkan karena adanya gerakan angin, gelombang, arus atau pasang-surut menyebabkan penanganan pencemaran minyak menjadi lebih sulit. Oleh sebab itu langkah utama yang perlu dilakukan adalah melokalisir pencemaran minyak pada suatu area sehingga masih mempunyai ketebalan yang besar. Upaya untuk melokalisir pencemaran minyak ini akan efektif dilakukan dengan menggunakan boom untuk menghalangi penyebaran minyak yang lebih luas. Penggunaan boom ini akan efektif pada kondisi perairan yang tenang. Apabila kecepatan arus lebih dari 0,75 knot maka lapisan minyak akan pecah menjadi butiran-butiran (droplet). Kelemahan lain dari penggunaan boom ini adalah sulitnya menjaga agar boom ini tetap tegak karena ada dorongan dari arus dan gelombang sehingga miring dan menyebabkan minyak menyebar ke luar.

Oil skimmer merupakan alat mekanis yang berfungsi mengambil minyak

dari permukaan air berdasarkan berat jenis, tegangan permukaan dan medium bergeraknya. Prinsip kerja oil skimmer adalah mampu menyedot minyak dari air dengan menyerap minyak dengan material yang berpori atau mengikat minyak pada suatu material, kemudian memisahkannya dari air. Di dalam skimmer minyak akan dipisahkan dari air atas perbedaan berat jenisnya. Skimmer hanya dapat mengikat minyak dalam keadaan cair yang berada dipermukaan saja dan yang berbentuk droplet akan dilewatkan. Pada umumnya minyak Indonesia

35

bersifat parafinis sehingga skimmer sulit untuk dioperasikan untuk upaya pembersihan perairan. Oil skimmer akan bekerja efektif apabila kondisi air lautnya tenang.

2. Secara kimia

Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan

yang aktif yang dikenal dengan nama surfactant. Menurut IPIECA (2001), molekul surfactant mengandung dua bahagian, yaitu headgroup yang bersifat polar (hydrophilic) dan tailgroup yang bersifat non polar (oleophilic).

Dispersant dapat menyebabkan minyak pecah menjadi butiran-bituran

kecil (droplet) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air (Gambar 4). Hasil dispersi ini adalah semakin besarnya

droplet minyak yang masuk ke dalam badan air sehingga mempercepat

terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terbiodegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil. Hal ini mencegah minyak untuk tidak terbawa oleh angin hingga ke pantai sehingga dapat mengurangi daya toksisitasnya dan mencegah kematian burung dan pengaruh yang merugikan kepada manusia.

Gambar 4 Aktivitas surfactant dan dispersi minyak menjadi droplet (IPIECA 2001)

36

Penggunaan dispersant tidak akan efektif pada air yang tenang karena membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan tumpahan minyak. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut. Tetapi saat ini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa hidrokarbon.

Pertimbangan ekonomi dan ekologi berperan penting sebagai skenario penggunaan dispersant. Prioritas penyemprotan dispersant pada area pantai wisata atau dermaga dapat menjadi pertimbangan secara ekonomi. Wilayah rawa bakau secara ekonomis memerlukan perlindungan prioritas namun pertimbangan ekologi penggunaan dispersant dapat menyebabkan kerusakan ekosistem (IPIECA 2001). Dispersant dapat disemprotkan pada polutan minyak dengan menggunakan helikopter ataupun boat (Gambar 5).

Gambar 5 Pengendalian pencemaran minyak di perairan menggunakan dispersant (WWF, 2007)

Berkaitan dengan perlengkapan kapal, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 dan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 juga menjelaskan tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun penanggulangan pencemaran minyak. Para produsen minyak dan gas sudah memiliki protap (prosedur tetap) dan fasilitas penanggulangan pencemaran minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam penanggulangan pencemaran minyak yang terjadi dalam lingkup

37

pelabuhan dan penanggulangan bencana pencemaran minyak yang terjadi diluar lingkungan pelabuhan (ADPEL 2008).

3. Secara biologi

Bioremediasi adalah suatu cara penanggulangan pencemaran minyak dengan memanfaatkan organisme tertentu yang dapat mendegredasi polutan minyak. Bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman bagi lingkungan (Munawar et al. 2007).

Menurut Syakti (2004), mikroorganisme dapat memanfaatkan minyak sebagai sumber karbon untuk pembentukan biomasa dan energi bagi pertumbuhannya. Organisme tersebut terdistribusi secara luas di laut, dan cenderung berlimpah pada perairan yang tercemar minyak akibat buangan industri dan limbah cair domestik.

Mikroorganisme pengurai minyak yang biasa digunakan adalah sianobakteria dan alga biru. Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi (Churchill 1995).

Komponen minyak bumi yang sulit terdegradasi jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi sehingga mikroba pendegradasi komponen ini jumlahnya lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Kemampuan sel mikroorganisme untuk melanjutkan pertumbuhannya sampai minyak bumi terdegradasi secara sempurna bergantung pada suplai oksigen yang mencukupi dan nitrogen sebagai sumber nutrien. Seiring dengan berkurangnya konsentrasi minyak dan berkurangnya substrat maka populasi bakteri ini jumlahnya berkurang hingga hilang (Sin 2001).

Penanggulangan pencemaran minyak harus terkoordinasi dengan melibatkan berbagai stakeholders yang meliputi pemerintah (Administrator Pelayaran, Pelindo, Kementrian Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan), pengusaha migas, operator kapal (nakoda/kapten kapal), nelayan setempat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan unsur masyarakat harus berkoordinasi

38

dalam menanggulangi pencemaran minyak di perairan. Koordinasi ini sangat penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat diatasi, dimana segenap komponen bahu membahu saling mengisi kekurangan dan saling tukar informasi. 2.5 Pendekatan Sistem

Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam lingkungan kompleks (Marimin 2004). Sistem merupakan suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen (Ford 1999).

Pendekatan sistem (system approach) diartikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem harus memenuhi tiga karakteristik yaitu kompleks, dinamis dan probabilistik

Menurut Hardjomidjojo (2006), untuk menyelesaikan persoalan dengan pendekatan sistem dapat dilakukan dengan tiga filosofi sistem yang dikenal dengan SHE (sibernetik, holistik dan efektifitas). Sibernetik (goal oriented), artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan. Holistik yaitu cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Efektif artinya bahwa system yang dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan.

Suatu pendekatan sistem akan berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut: 1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan (Manetsch and Park 1979).

Menurut Pramudya (1989), analisis sistem merupakan studi mengenai sistem atau organisasi dengan menggunakan azas-azas metode ilmiah, sehingga

39

dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, stategi, dan taktik. Winardi (1989) menyatakan bahwa sistem harus dipandang secara holistic (keseluruhan), sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan.

Suatu sistem mempunyai input (masukan) yang akan berproses untuk menghasilkan output (keluaran). Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sub-sistem (sub-sistem kecil) yang akan membentuk suatu hirarki.

Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). 2.5.1 Modeling (pemodelan)

Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi dari keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Pada pelaksanaan pendekatan sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji.

Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya.

Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan

40

memberikan hasil simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya, sehingga akan memberikan informasi yang tidak tepat. Model akan dianggap baik apabila model dapat menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata dalam sistem tersebut.

Menurut Pramudya (1989), ada empat keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan pendekatan sistem yaitu: (1) memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang.

Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: (1) model ikonik (model fisik) yaitu model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, (2) model analog (model diagramatik) yaitu model yang sifatnya lebih sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus, seperti pada proses pengendalian mutu industri, dan (3) model simbolik (model matematik) yaitu model yang menggunakan simbol-simbol matematika.

Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah menentukan struktur model yang akan memberikan bentuk dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. 2.5.2 Sistem Dinamik

Sistem dinamis merupakan sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono 2000).

41

Eriyatno dan Sofyar (2007), untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain:

1. Analisis kebutuhan, merupakan permulaan dalam pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mendefinisikan kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. Analisis kebutuhan ini dilakukan melalui survei, pendapat ahli, diskusi dan observasi lapangan.

2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahannya. Pertentangan itu timbul karena adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem.

3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem dapat digambar dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan diagram input-output (black box).

4. Pemodelan sistem merupakan implikasi dari system yang dihadapi. Model ini merupakan gambaran abstrak dari dunia nyata yang dapat dianggap dunia nyata terhadap suatu aspek.

5. Simulasi model adalah peniruan prilaku suatu gejala dalam memahami suatu proses dengan membuat peramalan prilaku atau gejala di masa yang akan datang.

6. Validasi Model merupakan penilaian objektifitas dari pekerjaan ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif dilakukan uji validasi (Muhammadi et al. 2001).Validasi model dapat dilakukan melalui dua uji, yaitu:

42

a. Uji validasi struktur yaitu suatu uji yang memfokuskan keyakinan pada kebenaran logika. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah.

b. Uji validasi kinerja yaitu uji yang lebih menekan pada pemeriksaan kebenaran yang taat pada data empiris. Validitas kinerja berguna untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan kinerja sistem nyata sesuai dengan data empirik

Model yang baik adalah model yang memenuhi kedua syarat tersebut, yaitu syarat logis-empiris (logico-emperical). Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan Program Stella 9.0.2. Program ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem, sehingga dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang dibangun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi.

Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah menentukan struktur model yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari input, proses, output, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis.

Melalui simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem yang dikaji, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku dari gejala atau proses tersebut di masa depan.

Ada 4 tahapan dalam melakukan simulasi model, yaitu:

a. Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala (proses) yang akan disimulasikan.

43

b. Pembuatan konsep pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus.

c. Simulasi model; pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model.

d. Validasi hasil simulasi; validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil.

Model yang baik adalah model yang dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif dilakukan uji validasi (Muhammadi et al. 2001). Ada dua jenis validasi dalam model, yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah, sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan kinerja sistem nyata atau sesuai dengan data empirik.

Validasi struktur meliputi dua pengujian, yaitu validasi konstruksi dan validitas kestabilan. Validasi konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Uji validasi konstruksi ini sifatnya abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada akan terlihat dari konsistensi model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Menurut Barlas (1996), validasi kestabilan merupakan fungsi dari waktu. Model yang stabil akan memberikan output yang memiliki pola yang hampir sama antara model agregat dengan model yang lebih kecil (disagregasi).

Validitas kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta.

Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sensitivitas yang berguna untuk mengetahui respon model terhadap stimulus. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui alternatif tindakan baik

44

untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas dalam bentuk perubahan perilaku atau kinerja model, digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model.

Menurut Muhammadi et al. (2001), uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) intervensi fungsional, dengan memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas: step, random, pulse,

ramp dan forecast, trend, if, sinus dan setengah sinus dan (2) intervensi struktural,

dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara

Dokumen terkait