• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. ANALISIS TEKNIK DAN TEKNOLOG

4. Aspek Teknologi Proses Produksi

Teknologi proses produksi bioetanol limbah tanaman jagung ini secara garis besar ada dua perlakuan dan terdapat empat rancangan percobaan. Dua perlakuan yang dimaksud adalah perlakuan awal untuk menghilangkan kandungan lignin secara kimiawi serta perlakuan awal untuk menghilangkan kandungan lignin secara biologis.

Rancangan percobaan yang dilakukan antara lain rancangan pertama (R1), yaitu proses produksi bioetanol dengan proses deliginifikasi secara kimiawi menggunakan kalsium hidroksida serta proses fermentasi dengan menggunakan bantuan mikroba

Zymomonas mobilis – Pichia stipitis. Diagram alir rancangan percobaan pertama dapat

dilihat pada Lampiran 3. Rancangan kedua (R2) merupakan proses produksi bioetanol dengan proses deliginifikasi secara kimiawi menggunakan kalsium hidroksida serta proses fermentasi dengan menggunakan bantuan mikroba Saccharomyces cerevisiae – Pichia stipitis. Diagram alir rancangan percobaan kedua dapat dilihat pada Lampiran 4. Rancangan ketiga (R3) merupakan proses produksi bioetanol dengan proses deliginifikasi secara biologis menggunakan bantuan white rot fungi jenis Phanerochaete chrysosporium serta proses fermentasi dengan menggunakan bantuan mikroba Zymomonas mobilis – Pichia stipitis. Diagram alir rancangan percobaan ketiga dapat dilihat pada Lampiran 5. Rancangan keempat (R4) merupakan proses produksi bioetanol dengan proses deliginifikasi secara biologis menggunakan bantuan white rot fungi jenis Phanerochaete chrysosporium serta proses fermentasi dengan menggunakan bantuan mikroba Saccharomyces cerevisiae –

Pichia stipitis. Diagram alir rancangan percobaan keempat dapat dilihat pada Lampiran 6.

Dari keempat rancangan yang ada, setelah dilakukan analisis efisiensi produksi, maka rancangan yang akan diterapkan dalam skala selanjutnya adalah rancangan pertama (R1), yaitu proses produksi bioetanol dengan proses deliginifikasi secara kimiawi menggunakan kalsium hidroksida serta proses fermentasi dengan menggunakan bantuan mikroba Zymomonas mobilis – Pichia stipitis.

Secara umum Hambali (2007) menjelaskan terdapat beberapa tahapan dalam pembuatan bioetanol, yaitu tahap persiapan bahan baku, tahap pemasakan, tahap fermentasi kemudian tahap pemurnian. Tahapan tersebut digunakan apabila menggunakan bahan baku berpati dan bergula, namun untuk bahan baku lignoselulosa terdapat perbedaan pada perlakuan awal bahan baku yang digunakan, sehingga diagram alir untuk bahan lignoselulosa berdasarkan pada rancangan pertama (R1) disajikan pada Gambar 9. Namun untuk diagram alir yang lebih lengkap disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 9. Rancangan pertama (R1) proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa

a.

Perlakuan awal (delignifikasi)

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memanfaatkan lignoselulosa untuk bahan baku bioetanol adalah rendahnya tingkat digestibilitas enzim dalam proses depolimerisasi selulosa (hidrolisis). Kesulitan ini disebabkan karena kompleksitas struktur lignoselulosa. Untuk mengatasi kesulitan ini, maka perlu dilakukan perlakuan awal terhadap lignoselulosa. Perlakuan awal akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digestibilitas enzim (Kim dan Holtzapple 2006).

Delignifikasi merupakan proses penghilangan kandungan lignin dari lignoselulosa. Perlakuan awal pada bahan berlignoselulosa akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digestibilitas enzim, sehingga akan mempermudah untuk menghidrolisis polisakarida menjadi gula yang lebih sederhana (Moiser et al. 2005).

Sebelum memasuki proses perlakuan awal, terlebih dahulu bahan baku lignoselulosa berupa batang, tongkol, daun dan klobot dilakukan pengecilan ukuran sampai dengan 40 mesh. Kemudian dilakukan delignifikasi secara biologis dan kimiawi. Delignifikasi kimiawi menggunakan Ca(OH)2, sedangkan delignifikasi secara biologis menggunakan kapang pelapuk putih jenis Phanerochaete chrysosporium. Kedua metode delignifikasi tersebut memiliki satu tujuan utama yaitu menghilangkan kandungan lignin pada lignoselulosa.

Delignifikasi alkali menggunakan kalsium hidroksida memiliki kelebihan tersendiri, yaitu kemudahan dan keamanan dalam recovery dengan karbondioksida (Moiser et al. 2005) serta relatif murah jika dibandingkan dengan basa lain (Kaar dan Holtzapple 2000). Selama proses delignifikasi menggunakan Ca(OH)2, lignin terpisah dari lignoselulosa. Semakin lama proses delignifikasi semakin banyak ikatan-ikatan di dalam lignoselulosa yang terputus. Terdapat tiga pembagian tahap dalam proses delignifikasi alkalim yaitu initial, bulk, dan residual. Dalam tahap initial, terjadi pemutusan ikatan α-O-4 dan β-O-4 pada gugus fenolik, kemudian diikuti dengan pemutusan ikatan β-O-4 pada gugus non-fenolik pada tahap bulk. Apabila delignifikasi terus dilanjutkan sampai tahap residual, maka akan terjadi pemutusan ikatan antar atom C pada lignin dan degradasi karbohidrat (Kim dan Holtzapple 2000).

Biodelignifikasi atau delignifikasi secara biologis dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologis, kapang pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Kapang pelapuk putih jenis Phanerochaete chrysosporium menghasilkan enzim lignoselulolitik yang bertanggung jawab dalam pendegradasian lignin.

b.

Sakarifikasi dan fermentasi simultan

Tahap berikutnya setelah melalui delignifikasi adalah tahap sakarifikasi dan fermentasi simultan. Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa. Secara umum sintesis bioetanol yang berasal dari biomassa terdiri atas dua tahap utama, yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada metode terdahulu proses hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah atau separated

hydrolysis and fermentation (SHF) dan yang terbaru adalah proses simultaneous

saccharification and fermentation atau sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF). Proses hirdrolisis dan fermentasi akan menjadi lebih efektif dan efisien jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, proses ini dikenal sebagai proses sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF). Sakarifikasi dan fermentasi simultan adalah kombinasi antara hidrolisis dengan enzim dan fermentasi yang dilakukan dalam suatu reaktor. Proses ini memiliki keuntungan yaitu polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol (Samsuri et al. 2007). Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis, serta Pichia stipitis.

c.

Destilasi

Setelah proses fermentasi selesai, dilakukan destilasi untuk memisahkan etanol. Distilasi merupakan pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78oC, sedangkan air adalah 100oC (kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78–100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.

Dari proses distilasi akan dihasilkan etanol dengan kadar etanol maksimal 95%. Untuk aplikasi bahan bakar, etanol hasil destilasi harus dimurnikan yaitu dengan cara dikeringkan. Pengeringan etanol dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara-cara pengeringan etanol yang ada adalah antara lain pengeringan menggunakan kapur (CaO), garam, benzene dan penggunaan ”molecular sieve”. Namun dalam penelitian ini tidak sampai pada dehidrasi atau pengeringan.

Dokumen terkait