BAB 2. TINJAUAN GEOLOGI DAN TEORI DASAR
2.3 Atribut Seismik
2.3.2 Atribut Impedansi Akustik
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa koefisien refleksi gelombang seismik akan ditentukan oleh rapat massa dan kecepatan gelombang pada masing-masing medium yang dilaluinya.
Rapat massa (ρb) juga akan mempengaruhi kecepatan gelombang seismik dalam suatu reservoar yang dilaluinya. Formulasi yang diturunkan oleh Gassmann memperlihatkan bahwa kecepatan (Vp) akan berbanding terbalik dengan rapat masaa (ρb) pada medium berpori yang terisi oleh fluida. Rapat massa (ρb) batuan reservoar ditunjukkan pada persamaan 2.7 dan 2.8. Sedangkan untuk mencari Vp dapat menggunakan persamaan :
V = + μ + ( ( ∅) ) ∅ (2.10) Di mana β adalah Kd/Km (Kd adalah nilai modulus bulk pada saat kering, Km
adalah modulus bulk dari matriks), μ adalah modulus geser, ϕ adalah porositas, Cmadalah kompresibilitas dari matriks, Cf adalah kompresibilitas dari fluida dan ρbadalah densitas bulk yang didapat dari persamaan 2.7 dan 2.8.
Impedansi akustik untuk gelombang P secara formulatif adalah :
Zp= ρbVp (2.11) Dengan mengingat ρb (persamaan 2.7 dan 2.8) dan Vp (persamaan 2.10) maka jelaslah bahwa impedansi akustik gelombang P terpengaruh oleh besar pori-pori (ϕ) dan saturasi air (Sw) selain pengaruh yang kuat dari kompresibilitas. Dengan memasukkan nilai Vp yang berbeda-beda pada tiap fluida maka akan diketahui nilai Swyang berbeda-beda.
Visualisasi dari persamaan Gassmann (persamaan 2.10) yang menunjukkan pengaruh porositas dan saturasi terhadap kecepatan gelombang seismik diberikan dalam Gambar 2.14. Terlihat penambahan saturasi air sebesar 20 % hanya menyebabkan penambahan Vp sedikit tetapi penambahan modulus bulk yang sangat besar (dalam Giga pascal) akan menyebabkan Vp bertambah secara signifikan.
Gambar 2.14 Kecepatan gelombang P sebagai fungsi modulus bulk untuk beberapa nilai porositas (ϕ) dan saturasi air (Sw). (Munadi, 2000).
Impedansi akustik didefinisikan sebagai kemampuan batuan untuk melewatkan gelombang seismik yang melaluinya.Secara fisis, impedansi akustik merupakan produk perkalian antara kecepatan gelombang kompresi dengan densitas batuan.
Semakin keras suatu batuan maka impedansi akustiknya semakin besar pula, sebagai contoh: batupasir yang sangat kompak memiliki impedansi akustik yang lebih tinggi dibandingkan dengan batulempung.
Karakterisasi reservoar saat ini sangat disukai kebanyakan orang untuk meningkatkan produksi dari suatu lapangan migas. Karakterisasi reservoar adalah melakukan integrasi dari semua data-data yang ada, seperti data seismik, geologi, data sumur / log, sehingga sifat-sifat dari batuan pada reservoar yang ada dapat dimengerti dengan baik. Inversi impedansi akustik (perkalian antara percepatan dan densitas) adalah salah satu data yang sangat penting di dalam melakukan karakterisasi reservoar. Inversi impedansi akustik (IA) adalah suatu proses konversi dari data seismik menjadi data impedansi akustik. Impedansi akustik merupakan sifat dasar dari suatu batuan. Maka dari itu, bekerja dengan menggunakan impedansi akustik mempunyai beberapa keuntungan (jika dibandingkan bekerja dengan data seismik) yaitu :
1. Keyakinan yang tinggi dengan hasil interpretasi, karena resolusinya lebih baik.
2. Di banyak daerah, impedansi akustik dapat menunjukkan indikasi suatu jenis batuan, dapat juga menunjukkan porositas, bahkan bisa sebagai indikator dari kehadiran hidrokarbon.
3. Analisa kuantitatif dari sifat-sifat reservoar, seperti net pay dan porositas rata-rata dapat diturunkan / dihitung lebih cepat dan lebih akurat dari data impedansi akustik, jika dibandingkan perhitungan dengan menggunakan analisa amplitudo seismik.
Data seismik impedansi akustik dapat digolongkan sebagai data atribut seismik yang diturunkan dari amplitudo. Data seismik impedansi akustik didapatkan melalui proses inversi seismik.
Dalam proses akusisi data seismik, tras seismik konvensional didapatkan dari hasil konvolusi antara deret koefisien refleksi (RC(t)) dengan wavelet (t) :
S(t) = RC(t) * w(t) (2.12) Maka data impedansi akustik didapatkan dengan “membagi” tras seismik dengan wavelet yang sesuai. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Animasi didapatnya data seismik dari konvolusi antara RC dan wavelet. Serta didapatnya data IA dari hasil pembagian antara data seismik dengan wavelet. (Jason Geoscience,
Apabila data seismik konvensional melihat batuan di bawah permukaan sebagai interfacing antar lapisan batuan, maka data impedansi akustik melihat batuan di bawah permukaan sebagai susunan lapisan batuan itu sendiri. Karena merupakan kumpulan lapisan, maka data IA lebih mendekati gambaran nyata lapisan di bawah permukaan sehingga menjadi lebih mudah untuk dipahami.
Gambar 2.16 menunjukkan perbandingan visual dari data seismik konvensional
dengan data seismik IA.
Gambar 2.16 Perbandingan visual antara data rekaman seismik dan data IA . (Jason Geoscience, 2001).
Untuk mendapatkan data seismik IA, ada beberapa hal yang harus disiapkan yaitu :
1. Data seismik yang dipakai harus diproses dengan menjaga keaslian amplitudonya (preserve amplitude).
2. Hasil interpretasi (horizon hasil interpretasi utama). 3. Data log sumur (minimal data log sonik dan densitas). 4. Wavelet.
Berikut ini akan ditunjukkan flow chart standar dari proses pembuatan data IA pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Diagram alir dari proses pembuatan IA. (Jason Geoscience, 2001).
Dalam seismologi eksplorasi, dikenal ada dua pemodelan data seismik, yaitu pemodelan ke depan (forward modeling) dan pemodelan ke belakang (inverse modeling). Skematik pemodelan seismik ini ditunjukkan pada Gambar
2.18. Forward modeling adalah pembuatan tras seismik (synthetic seismic trace)
dari data impedansi akustik sintetik yang telah diubah menjadi deret koefisien refleksi dengan menggunakan persamaan :
= ( ) ( )
( ) ( ) (2.13)
Dan kemudian dikonvolusikan dengan wavelet tertentu menggunakan persamaan :
( ) = ( )∗ ( ) + ( ) (2.14) Di mana S(t) adalah tras seismik, RC(t) adalah koefisien relektifitas, w(t) adalah wavelet seismik, dan n(t) adalah noise (umumnya diabaikan). Sedangkan yang dimaksud dengan inverse modeling proses dekonvolusi, yaitu mengembalikan tras
seismik sintetik menjadi deretan koefisien refleksi dengan cara mengubah persamaan 2.14 menjadi :
RC(t)= w(t)* S(t) (2.15)
Gambar 2.18 Pemodelan data seismik. (Russell, 1998).
Gambar 2.19 memperlihatkan konvolusi antara model bumi berupa
perlapisan batuan yang ditunjukkan oleh impedansi akustik dengan algoritma
modeling berupa wavelet yang menghasilkan respon seismik berupa sintetik
seismogram. Hasil forward modeling adalah respon seismik, sedangkan hasil
inverse modeling adalah model bumi yang mencerminkan batuan (impedansi
akustik).
Dari persamaan 2.15 terlihat jelas bahwa tujuan dari inversi seismik adalah untuk mendapatkan kembali koefisien reflektivitas yang tidak lain adalah bidang batas antar lapisan batuan. Dalam proses inversi seismik ini, data seismik yang bersifat band limited frequency karena kehilangan kandungan frekuensi rendah dan tinggi akibat konvolusi dengan wavelet yang bersifat band limited, mendapatkan kembali kandungan frekuensi yang hilang tersebut dengan cara menambahkan kandungan frekuensi rendah dan tinggi yang diambil dari data log, sehingga data seismik tersebut kembali menjadi broad band frequency. Hasil akhir dari inversi seismik adalah broad band impedance. (Yilmaz, 2001).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inversi seismik merupakan suatu usaha untuk mengubah data seismik yang awalnya merupakan amplitudo sebagai fungsi waktu menjadi impedansi akustik sebagai fungsi waktu.
Karena impedansi akustik adalah sifat batuan yang dipengaruhi oleh jenis litologi, porositas, kandungan fluida, kedalaman, tekanan, dan temperatur, maka impedansi akustik dapat digunakan sebagai indikator litologi, hidrokarbon, pemetaan litologi, pemetaan satuan aliran sampai dengan analisa kuantitatif. (Sukmono, 2000).
Dari pembahasan tersebut terlihat bahwa data seismik konvensional melihat obyek bawah permukaan dalam bentuk bidang batas antara lapisan-lapisan batuan, sedangkan impedansi akustik sebagai hasil inversi melihatnya sebagai lapisan batuan.
Keuntungan menggunakan penampang seismik inversi dibandingkan dengan penampang seismik amplitudo adalah kemampuannya memberikan gambaran bentuk penampang bumi yang sesungguhnya. Penampang ini mampu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai penyebaran batuan baik secara
vertikal maupun secara lateral. Lapisan batuan yang berpori dan yang tidak berpori akan lebih mudah dibedakan dalam penampang impedansi akustik dari pada dalam penampang seismik amplitudo.
Beberapa metode yang digunakan untuk mendapatkan koefisien reflektivitas pada persamaan 2.15, yaitu :
1. Metode Recursive (band limited inversion). 2. Metode Sparse Spike.
3. Metode Model Based (Blocky).