• Tidak ada hasil yang ditemukan

Babi dalam Kebudayaan Indonesia

Dalam dokumen Laporan penelitian. oleh : VISUAL (Halaman 68-71)

Bab III KARAKTER VISUAL BABI DAN PENGGUNAANNYA PADA

3.1.4 Babi dalam Kebudayaan Indonesia

Setiap kebudayaan yang ada di seluruh Indonesia memiliki bentuk dan cara masing-masing, baik dari segi perupaan, pemaknaan atau pun dari segi estetika. Kadang ada persamaan, ada juga perbedaannnya. Hal ini tentu saja menyebabkan beraneka ragamnya perlakuan manusia terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk juga budaya dalam memperlakukan hewan yang ada di sekitarnya. Babi sebagai hewan yang cukup dekat dalam lingkungan manusia, mendapat perlakuan yang berbeda-beda tergantung pada budaya manusia yang ada di sekitarnya.

3.1.4.1 Penggunaan kata Babi dalam Percakapan sehari-hari

Karena sebagian besar penduduk Indonesia memeluk agama Islam, maka ada kemungkinan ajaran agama Islam mempengaruhi perlakuan yang diterima oleh binatang. Misalnya, perlakuan terhadap anjing, babi, serta semut. Selain itu, ada peraturan

mengenai makan daging dan penyembelihan binatang. Di Indonesia biasanya, binatang yang memiliki pertanda yang baik diperlakukan secara baik. Dapat dikatakan pula bahwa perlakuan terhadap binatang didasarkan pada kemampuan binatang itu. Misalnya, kemampuan untuk menarik kekayaan, kesejahteraan serta mengangkat strata sosial seseorang. Berkaitan dengan hewan babi, Islam dengan sangat jelas mengharamkan hewan tersebut. Maka tidaklah aneh jika babi pada akhirnya dianggap sebagai hewan yang kotor dan hina. Ketika seseorang mengumpat lawan bicaranya seperti dibawah ini ;

ƒ “Ooooo babi lu.” ƒ “Dasar babi lu!!!” ƒ dll.

Bisa dikatakan kata-kata seperti ini memicu seseorang menjadi marah, hinaan seperti ini akan dianggap sangat kasar. Dianggap sangat kasar karena menggunakan kata babi untuk menghina seseorang, dari penjelasan tersebut semakin memperjelas bahwa hewan babi dianggap hewan yang hina dan rendah kelasnya didalam lingkungan masyarakat.

3.1.4.2 Hewan Babi dalam budaya masyarakat Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana didalamnya terdapat berbagai macam suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda tentunya. Jika dikaitkan dengan pembahasan mengenai hewan babi ini dengan kebudayaan suku-suku di Indonesia, maka tiap suku memiliki anggapan yang berbeda-beda mengenai hewan ini. Bagi suku-suku yang memeluk agama Islam, tentu saja babi akan dianggap sebagai hewan yang diharamkan. Selain itu dunia mistis yang dekat dengan masyarakat juga menjadikan hewan ini sebagai hewan yang ditakuti salah satunya dengan mitos babi ngepet.

Tidak sedikit orang percaya bahwa dalam kehidupan sehari-hari mahluk-mahluk halus yang bergentayangan di malam hari. Bukan hanya mahluk halus, atau roh gentayangan tetapi juga mahluk jadi-jadian dengan misi khusus yaitu mencari uang. Selain melalui cara yang wajar dalam mencari uang, ada pula yang melakukan cara 'lain' demi mengumpulkan uang dalam jumlah yang sangat banyak, salah satunya adalah dengan pesugihan. Kata yang satu ini tentu sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengetahui bahwa mahluk halus dan mahluk

jadi-jadian tersebut sengaja di pelihara untuk menambah kekayaan seseorang. Babi sudah mendapat 'cap' sebagai mahluk ‘terjorok’ di dunia, tetap saja itu kurang dan namanya masuk menjadi salah satu binatang jadi-jadian untuk memperbanyak kekayaan seseorang. Dikatakan bahwa babi ngepet merupakan salah satu danyang jahat yang mampu memberikan kekayaan berwujud babi hutan. Caranya biasanya orang yang ingin kaya tersebut berubah pada malam hari menjadi seekor babi, sementara seseorang harus menjaga nyala api khusus yang ia dapatkan dari tempat pesugihannya, karena kalau nyala api tersebut mati, nyawa orang yang berubah menjadi babi ngepet itu pun juga mati. Sementara si babi, yang sibuk mencari rumah target hanya perlu mengetuk-ketukan kakinya di depan rumah targetnya dan uang dari rumah sang target langsung berpindah ke rumah sang babi. Ada orang yang tidak percaya bahwa keberadaan babi ngepet tersebut hanya bersifat halusinasi manusia biasa. Hal tersebut merupakan doktrinasi yang kita (khususnya orang Jawa) terima sejak kita masih balita. Menurutnya, mungkin karena pada jaman dulu sebagian besar masyarakat jawa terbilang miskin sehingga muncul kecurigaan antara satu sama lain. Jadi apabila ada seseorang yang memiliki kekayaan lebih, atau termasuk dalam jajaran 'orang kaya' dalam waktu singkat, mereka akan langsung menuduh dia memelihara tuyul atau menjadi babi ngepet.

Diluar mengenai mitos babi ngepet yang ada di Pulau Jawa, untuk sebagian masyarakat yang tidak memeluk agama Islam khususnya di Indonesia bagian timur, hewan babi bahkan dianggap sebagai penentu status sosial seseorang. Seperti di Irian Jaya, hewan babi melambangkan status sosial seseorang, semakin banyak jumlahnya maka semakin terpandanglah orang tersebut. Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cendrawasih Dr J Mansoben, di Jayapura, mas kawin bagi sebagian besar suku di Irian Jaya adalah ternak babi. Hewan ini menjadi mas kawin karena babi adalah binatang yang sangat dekat dengan masyarakat sejak nenek moyang, bernilai sosial karena dagingnya dapat dibagi-bagi kepada semua anggota keluarga, dan menjadi status sosial seseorang. Makin banyak babi yang dipelihara, status sosial orang itu makin tinggi di dalam masyarakat. Sebaliknya, memiliki banyak babi bakal mendapatkan istri lebih dari satu. Mas kawin berupa babi dan pendampingnya harus ada dalam adat meminang perempuan. Jika tidak ada mas kawin, status sosial keluarga runtuh sama sekali. Perempuan dinilai

tidak berarti, perempuan murahan, dan orangtua tidak memiliki adat dalam masyarakat. Selain itu menangkap babi di hutan juga menunjukkan ketangkasan pria mendapatkan gadis.

Selain sebagai mas kawin, bentuk hewan babi juga digunakan sebagai motif-motif pada bangunan-bangunan tradisional. Salah satunya adalah bangunan tradisional suku Lore dari pulau Sulawesi. Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari pebaula (berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan bati (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan pemilik rumah, sedangkan ragam hias babi melambangkan kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik rumah.

Jika dilihat karakter dan sifat hewan ini, hewan babi sering digunakan sebagai makian yang cukup menghina bagi seseorang. Akan tetapi penjelasan diatas bisa menggambarkan bahwa bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya yang non muslim menganggap jika dinilai sebagai materi, hewan babi adalah sesuatu yang berharga dan akan melambangkan status sosial seseorang.

Dalam dokumen Laporan penelitian. oleh : VISUAL (Halaman 68-71)

Dokumen terkait