Karena adanya peluang dari KY itu, saya memutuskan untuk segera menja-lani perawatan.
Oleh keluarga, saya disarankan ope-rasi di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Tapi ternyata rumah sakit itu sedang penuh.
Tinggal satu bed yang kosong di kamar kelas II.
Karena keadaan mendesak, saya teri-ma saja. Yang penting operasi dilaksana-kan segera. Hari itu juga, Senin sore, saya langsung masuk rumah sakit. Dan besok-nya operasi dilaksanakan dengan lancar.
Bagaimana kemudian bisa lulus?
Ujian hakim agung itu gampang-gam-pang.
Apa pandangan hidup Anda?
Ada satu model saya waktu masih ku-liah di fakultas syariah tingkat doktoral, senior saya, namanya Munir Mahali.
Saya banyak berguru dengan beliau, terutama menyangkut pengalaman hi-dup. Saya ingat kata-katanya, “Dek, kita ini oleh Allah diciptakan, tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan atau di-pamerkan. Yang kita lakukan satu saja:
Bagaimana kita bermanfaat bagi orang banyak.”
Dari situlah saya kemudian punya
pe-mikiran. Saya harus melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tak pe-duli nilainya, tak pepe-duli bobotnya.
Yang penting memberi manfaat bagi orang.
Saya lantas merumuskan bagai-mana supaya hidup saya menjadi berkah. Berkah itu bermanfaat dan berpahala. Apapun yang diberikan Allah kepada saya akan saya usa-hakan supaya itu bermanfaat dan membawa pahala untuk orang lain.
Selain itu, kita harus berpresta-si atau melakukan suatu amalan.
Akhirnya lama-lama saya simpulkan, hidup ini berkah dan berprestasi.
Menurut Anda, apa yang masih perlu diperbaiki pada MA?
Saya menulis buku “Membangun sistem peradilan berbasis
perlin-“
47
n Hakim Agung Dr Drs. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum. diwawancara oleh tim Majalah MA.
WAWANCARA
dungan hukum dan keadilan”. Itu terinspirasi dari Pembuka-an UUD 1945, “Melindungi segenap bPembuka-angsa Indonesia…” Siapa yang wajib melindungi? Negara: Eksekutif, legislatif, yudika-tif. Tapi di lingkungan yudikatif belum muncul pemikiran itu.
Hal itu saya munculkan melalui beberapa buku saya. Terak-hir dalam buku tentang tata cara pemeriksaan pemeriksaan ekonomi syariah. Kenapa pemeriksaan? Karena yang perlu diperbarui adalah tata cara pemeriksaan, bukan hukum aca-ranya, tapi penerapannya.
Saya sampaikan di situ, kita kedepankan pelayanan peradi-lan yang prima, modern, humanis, praktis, dan berkeadiperadi-lan.
Kita bukan penguasa, tapi pelindung. Orang yang datang ke pengadilan itu orang yang susah. Mereka harus dilindungi.
Mereka sudah taat hukum, buktinya mereka mau datang ke pengadilan. Kalau tidak, mereka akan main hakim sendiri.
Sekarang MA terus mendorong pelayanan prima sampai memperlombakannya, juga mendorong modernisasi.
Mungkin yang belum itu humanisnya. Pelayanan humanis itu bagaimana kita memanusiakan manusia. Cara bersidang tak lagi “Saudara pengggugat” dsb. Itu salah? Tidak salah. Tapi baik tidak? Tidak, itu tidak baik, karena tidak ada komunikasi
dari hati ke hati antara hakim dan pencari keadilan.
Saya dari awal tak pernah menggunakan kata-kata itu.
Tak mau saya. Karena itu tidak menyelesaikan masalah. Bagi saya, penting komunikasi dari hati ke hati. Maka di persi-dangan saya memanggil peng-gugat dan terpeng-gugat dengan nama panggilannya. Dengan demikian, orangnya merasa dihormati, karena nama ada-lah nyanyian paling merdu bagi pemiliknya. Ini mencair-kan situasi.
Anda banyak menulis buku.
Apa yang mendorong Anda menulis 13 buku karya Anda?
Buku-buku itu saya tulis, awalnya karena keperluan mengajar. Sewaktu bertugas di PA Bantul, saya mengajar di IAIN, UII, dan UMY. Saya ber-tanya-tanya, buku apa yang bisa jadi pegangan saya. Waktu itu belum ada. Maka mulailah saya menulis.
Kemudian, saya membuat buku-buku yang praktis, mu-dah dibaca, mumu-dah dipahami, mudah diamalkan. Tidak nj-limet. Pertama, untuk keper-luan mengajar. Kedua, untuk keperluan tugas di pengadilan agama. Dan ketiga, untuk para cakim.
Ada satu keistimewaan Mukti Arto yang mungkin tak banyak hakim memilikinya.
Yaitu, kemampuan membangun hubung-an baik denghubung-an pemerintah setempat.
Kemampuan itu sudah ia tunjukkan sejak awal kariernya di badan peradilan.
Sewaktu masih panitera di PA Sukoharjo (1976-1981), selain mengurusi adminis-trasi (tata usaha), Mukti Arto mencoba mengatasi masalah-masalah yang tak ter-tangani. Di antaranya, ia menyelesaikan masalah kenaikan pangkat para pegawai yang terhambat dan mencari tanah untuk kebutuhan PA dengan membangun hu-bungan baik dengan Pemda/bupati.
Setelah menjadi hakim di PA Klaten (1981-1986), Mukti Arto akrab dengan bu-pati setempat. Ia sering mendapat tugas sebagai rohaniwan di lingkungan Pemda.
Ia juga mengajar di Prajab calon guru-gu-ru SD dan membantu pembinaan rohani para guru di kecamatan-kecamatan.
Ketika menjabat wakil ketua PA Su-koharjo (1986-1992), tugasnya hanya di dalam. Tapi kalau perlu lobi-lobi deng-an Pemda, itu diserahkdeng-an ke Mukti Arto.
“Prinsip saya, apapun yang ditugaskan ke saya, saya laksanakan sebaik mungkin,”
kata Mukti Arto.
Sewaktu Mukti Arto menjadi Ketua PA Bantul, ia punya kedekatan dengan Bupa-ti Bantul, Sri Roso Sudarmo. Kemuspida-an KPA diakui oleh Pemda, disetarakKemuspida-an dengan KPN.
Rupanya Mukti Arto dipercaya betul oleh sang bupati. Maka apapun yang ia usulkan, pasti disetujui oleh bupati. Misal-nya, ketika lahan PA Bantul berkurang
aki-Akrab dengan Sri Roso
bat pelebaran jalan raya, dan Mukti Arto meminta lahan pengganti di belakang kantor PA, permintaan itu langsung di-setujui oleh Sri Roso. Lahan yang tadinya mau diambil oleh Samsat dialihkan untuk PA Bantul. Dengan perluasan itu, lahan PA Bantul menjadi 3.000 m².Pada kesempatan lain, ketika PTA Yog-yakarta juga mengalami kesulitan untuk mendirikan kantor, ketua PTA lantas me-minta bantuan Mukti Arto untuk mende-kati Sri Roso. Ketika itu, PTA Yogya mau membangun kantor baru di Janti, tetapi rencana itu tidak kunjung disetujui oleh bupati.
KPTA lantas menelepon Mukti Arto, meminta bantuannya untuk melakukan pendekatan dengan bupati.
Begitu ketemu bupati, Mukti Arto men-dapat penegasan dari Sri Roso. Ia tak se-tuju kalau PTA dibangun di Janti, karena lahannya sempit, lingkungannya pabrik, dan transportasi umumnya tak ada.
Mukti Arto lantas meminta arahan dari Sri Roso. Bupati itu lantas menun-juk Dongkelan, Bantul. “Di sana ada ta-nah kas 6.000 m², saya bisa mengaturnya untuk PTA. Lahannya luas, prospeknya bagus, lingkungannya santri, dan semua transportasi umum lewat situ,” kata Sri Roso.
Kedekatan Mukti Arto dengan Sri Roso berjalan selama ia menjabat KPA Bantul.
Kalau ada kesempatan ceramah tarawih pada bulan Ramadan, Mukti Arto aktif mensosialisasikan program Pemda Ban-tul. Berkali-kali Sri Roso membatalkan acaranya di tempat lain agar bisa men-gikuti ceramah yang disampaikan oleh Mukti Arto. (MMA/ar/vp)