• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian belakang hewan menurun; pangkal ekor naik; sumbatan cervix mencair; cervix mengendor

Masa Kosong

Masa kosong adalah jarak antara induk beranak sampai dengan bunting kembali. Masa kosong merupakan faktor yang penting dalam tata laksana sapi perah dalam hal waktu kebuntingan yang diinginkan. Panjang masa kosong akan berbeda pada tiap ternak (Payne, 1970). Menurut Selow (2009), masa kosong atau days open

menghasilkan kebuntingan yaitu sekitar 85 hari. Menurut Yusran et al.(1990), masa kosong di Grati Kabupaten Pasuruan Jawa Timur yaitu 120,5142,36 hari dan menurut Basyir (2009), masa kosong memiliki kisaran 2-3 bulan (60-100 hari).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masa kosong 85 hari umumnya diperoleh pada induk sapi perah yang mengalami standing estrus dan seharusnya kajian ilmiah masa kosong harus memberikan gambaran variabel performan reproduksi pasca partus seperti lamanya pengeluaran plasenta estrus pertama pasca partus, involusi uteri sehingga faktor penentu dalam formulasi masa kosong dapat diketahui dengan jelas. Masa kosong akan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan program reproduksi sapi secara lebih baik terutama dalam penentuan waktu inseminasi pertama pasca partus melalui wadah organisasi koperasi peternak yang membinanya (Selow, 2009).

Kebuntingan

Kebuntingan merupakan suatu peristiwa semenjak terjadinya pembuahan sampai masa kelahiran atau selama perkembangan janin sampai menjadi fetus di dalam uterus (Yudhie, 2010). Menurut Sudono et al. (2004), lama bunting pada sapi perah adalah sembilan bulan. Tawaf (2010), juga mengatakan lama bunting pada sapi perah 2835 hari atau sembilan bulan.

Lama bunting yaitu selang waktu sejak sapi dikawinkan dan terjadi kebuntingan sampai beranak (Tawaf, 2010). Lama kebuntingan pada sapi perah dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain bangsa atau breed, umur, frekuensi beranak, dan kelamin anak yang dikandung. Sapi perah Friesian Holstein memiliki rata-rata lama kebuntingan 279 hari (Selow, 2009).

Ternak yang sedang laktasi, produksi susunya akan semakin berkurang (Selow, 2009). Sapi yang telah dikawinkan dan bunting akan menghasilkan susu yang lebih sedikit daripada sapi yang tidak bunting. Produksi susu akan menurun saat sapi bunting 7 bulan sampai beranak (Sudono et al.,2004).

Ternak yang sedang bunting, secara fisik perut akan membesar dan kelenjar ambing membengkak. Selanjutnya akan disusul dengan keluarnya kolustrum susu dan pada ujung puting akan terbentuk lapisan semacam lilin. Secara umum masa kebuntingan dibagi dalam tiga periode yaitu periode ovum, periode embrio dan periode fetus (Selow 2009).

Kebuntingan mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap produksi susu, hal tersebut dilihat dari sebuah penelitian yang menunjukan bahwa pakan yang dibutuhkan foetus (janin) sapi FH antara 100-135 kg susu dan penelitian lainnya terhadap sapi perah FH menunjukan angka yang lebih besar yaitu 240-400 kg susu (Sudono et al., 2004). Salah satu faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah umur induk, sapi dara yang bunting pada umur relatif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek daripada induk sapi yang lebih tua (Toelihere, 1977).

Selang Beranak atau Calving Interval

Selang beranak atau calving interval adalah selang waktu beranak sampai beranak berikutnya. Jarak beranak yang ideal berkisar antara 12-14 bulan (Tawaf, 2010). Sudono et al.(2004), mengatakan selang beranak yang optimal adalah 12 dan 13 bulan, jika selang beranak diperpendek akan menurunkan produksi susu 3,7-9% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang. Jika selang beranak diperpanjang sampai 450 hari akan meningkatkan produksi susu yang dihasilkan sebesar 3,5 %. Meskipun demikian, jika ditinjau dari segi ekonomi akan merugikan karena susu yang dihasilkan tidak sepadan jika dibandingkan dengan pakan yang diberikan.

Frekuensi melahirkan sangat penting bagi peternak dan pembangunan peternakan, karena tiap penundaan kebuntingan ternak mempunyai dampak ekonomis yang penting. Pada peternakan sapi perah yang ideal, kelahiran harus diusahakan 12 bulan sekali. Efisiensi reproduksi dan keuntungan peternakan sapi perah dapat maksimal ketika rata-rata calving interval untuk sekelompok ternak sekitar 13 bulan (Selow, 2009).

Selang beranak dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi reproduksi, selang beranak yang ideal berkisar 12 sampai 15 bulan dan adanya selang beranak yang panjang dapat disebabkan oleh faktor manajemen yaitu kesengajaan menunda kebuntingan atau karena faktor genetik. Selang beranak juga mempunyai pengaruh terhadap lama laktasi dan produksi susu (Selow, 2009). Calving Intervalmerupakan kurun waktu yang sangat penting bagi peternak karena berkaitan dengan kesinambungan produksi susu, upaya tersebut dapat dicapai apabila induk sapi dapat memiliki calving interval 12 sampai 14 bulan artinya bahwa kondisi ini akan

diperoleh pada masa kosong 85-120 hari dengan lama bunting 278 hari (Selow, 2009). Rataan selang beranak dipeternakan Pangalengan, Lembang, Rawa Seneng dan Cirebon yaitu 465, 462, 429, dan 470 hari serta 407,26 hari di PT. Taurus Dairy Farm (Kurniatin, 2000).

Panjang pendeknya selang beranak merupakan pencerminan dari fertilitas ternak, selang beranak dapat diukur dengan masa laktasi ditambah masa kering atau waktu kosong ditambah masa kebuntingan. Selang beranak yang lebih pendek menyebabkan produksi susu perhari menjadi lebih tinggi dan jumlah anak yang dilahirkan pada periode produktif menjadi lebih banyak (Yudhie, 2010).

Usaha yang dilakukan untuk memperpendek Calving Interval atau selang beranak antara lain: ketepatan mendeteksi estrus dan Inseminasi Buatan (IB) pasca beranak, peningkatan Sumber Daya Manusia Inseminator, manajemen pakan, manajemen pedet dan mencegah kawin berulang serta penanganan penyakit (Yudhie, 2010). Panjangnya periode waktu dari kelahiran sampai estrus pertama merupakan sebagian besar faktor yang ikut menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi. Jarak beranak yang lama atau panjang menyebabkan turunnya produksi susu secara keseluruhan pada sapi perah, penurunan jumlah pedet yang dihasilkan, peningkatan biaya produksi dan perkandangan untuk pemeliharaan (Yudhie, 2010).

Hubungan Produksi Susu dengan Service Per Conception

Ternak sapi perah memegang peranan penting dalam penyediaan gizi bagi masyarakat. Produk utama yang dihasilkan dari ternak sapi perah adalah susu. Susu merupakan cairan bukan kolostrum yang dihasilkan dari proses pemerahan ternak perah (Priyono, 2009). Populasi sapi perah rata-rata meningkat setiap tahunnya akan tetapi tidak diiringi dengan peningkatan produksi susu sehingga masih harus impor dari negara lain. Rendahnya produksi susu disebabkan oleh beberapa faktor penentu dalam usaha peternakan yaitu pemuliaan dan reproduksi, penyediaan dan pemberian pakan, pemeliharaan ternak, penyediaan sarana dan prasarana serta pencegahan penyakit dan pengobatan (Hartutik, 2006). Salah satu faktor reproduksi diantaranya adalah service per conception(Tawaf, 2010).

Menurut Priyono (2009), manajemen reproduksi yang baik harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya adalah masa kering, service period, lama laktasi, calving interval, service per conception maupun umur beranak.

Keberhasilan program-program reproduksi dan manajemen pakan yang balance

(seimbang) baik dari segi kuantitas maupun kualitas merupakan salah satu faktor yang meningkatkan produktivitas sapi perah. Toelihere (1977), mengatakan bahwa nilai service per conception yang rendah diartikan dengan kesuburan hewan betina yang tinggi sehingga efisiensi reproduksi meningkat, efisiensi reproduksi yang baik menyebabkan produktivitas sapi perah meningkat pula (Tawaf, 2010).

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan survey terlebih dahulu pada bulan Agustus 2009 dan pengumpulan data pada bulan Januari sampai dengan Februari 2010.

Materi

Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi perah Friesian Holstein (FH) milik peternakan rakyat KPSBU Lembang. Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari KPSBU Lembang yaitu data tanggal inseminasi buatan, tanggal kebuntingan, tanggal beranak, tanggal kawin kembali setelah beranak, populasi sapi per tahun, populasi sapi laktasi per tahun dan produksi susu per tahun sapi perah FH betina mulai tahun 2000 sampai dengan 2009. Data yang digunakan berasal dari 2055 ekor sapi FH yang kemudian diseleksi menjadi 115 ekor sesuai dengan catatan pelayanan kesehatan yang lengkap.

Prosedur

Pengambilan data sekunder reproduksi dan produksi susu dilakukan di KPSBU Lembang. Dari data sekunder yang diperoleh maka diseleksi sapi-sapi yang memiliki pelayanan kesehatan lengkap yaitu tanggal IB, tanggal beranak, tanggal kawin kembali setelah beranak dan tanggal kebuntingan. Data yang diperoleh berasal dari 2055 ekor sapi yang kemudian dilakukan seleksi terhadap sapi yang memiliki catatan pelayanan kesehatan lengkap sehingga menghasilkan 115 ekor sapi untuk dilakukan pengolahan data sehingga data tersebut dapat dianalisa secara deskriftif. Data yang digunakan dimulai dari tahun 2000 sampai dengan 2009 untuk populasi sapi, produksi susu per tahun, rataan produksi susu per hari, persentase laktasi dan populasi sapi laktasi, sedangkan data service per conception, calving interval, masa kosong, kebuntingan dan kawin kembali setelah beranak dari tahun 2002 sampai dengan 2009.

Rancangan

Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan diuji menggunakan analisis korelasi sederhana.Analisa deskriptif ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi diantaranya interval kawin kembali setelah beranak, S/C, periksa kebuntingan, masa kosong, kebuntingan dan selang beranak (calving interval).

Analisis koefisien korelasi linier atau korelasi sederhana digunakan untuk mengetahui hubungan antara produksi susu per tahun dengan S/C, produksi susu per liter per ekor per hari dengan S/C dan untuk mengetahui hubungan antara populasi laktasi dengan produksi susu per tahunnya. Analisis koefisien korelasi linier yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus koefisien korelasi antara dua peubah X dan Y (Steel dan Torrie, 1991) yaitu :

∑ (X – Xi)(Y – Yi)/(n – 1)

r XY =

√[(X-Xi)2/(n – 1)] [(Y – Yi)2/(n – 1)]

Peubah

Peubah yang diamati

1. Interval Sapi Dikawinkan Kembali Setelah Beranak : interval sapi dari waktu kelahiran sampai dengan dikawinkan kembali.

2. Service Per Conception(S/C) : jumlah pelayanan inseminasi yang diperlukan hewan betina untuk mendapat kebuntingan.

3. PKB : periksa kebuntingan, selang dari sapi terakhir dikawinkan sampai dengan mengalami pemeriksaan (palpasi rektal), satuannya hari.

4. Masa Kosong : interval sapi dari beranak sampai bunting kembali, satuannya hari.

5. Kebuntingan : jarak sapi dari terakhir dikawinkan sampai dengan melahirkan, satuannya hari.

6. Selang Beranak : jangka waktu induk beranak sampai dengan beranak berikutnya, satuannya hari.

7. Produksi Susu : produksi susu terdiri atas produksi susu rataan per tahun dan produksi susu rataan per harinya.

8. Persentase Laktasi : jumlah sapi yang sedang laktasi per tahun dibagi dengan jumlah total sapi pertahun dalam satuan unit dikalikan 100 persen. Satuannya persen.

Dokumen terkait