• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERMAL PADA BANGUNAN KONSTRUKSI KAYU RUMAH PRE PABRIKASI TAHAN GEMPA FAHUTAN IPB

B. Bahan dan Alat

B.1 Bahan penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Bangunan prepabrikasi tahan gempa (Gambar 1). Bangunan pre-pabrikasi tahan gempa terbuat dari bahan utama kayu mangium dengan atap terbuat dari asbes.

Gambar 1. Rumah pre-pabrikasi tahan gempa B.2 Peralatan penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Pyranometer model EKO tipe MS-401

Pyranometer adalah alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran besarnya intensitas radiasi matahari. Besaran yang terbaca dalam Pyranometer ini adalah mV (mili Volt), oleh karena itu perlu dikonversi kedalam besaran intensitas matahari yaitu W/m2. Faktor konversi yang

21 digunakan untuk Pyranometer tipe MS-401 ini adalah dengan menggunkan persamaan.

…………...29 Keterangan :

I = Intensitas matahari (W/m2)

n = Voltase pembacaan Volt meter (mV) 2. Hybrid recorder

Hybrid recorder digunakan untuk merekam pergerakan suhu yang terbaca oleh sensor suhu (termokopel).

3. Termokopel CC

Termokopel merupakan sensor untuk mengukur suhu yang disambungkan dengan recorder sebagai alat perekam hasil pengukuran.

4. Termometer air raksa

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu ruang secara langsung. Termometer ini dibagi menjadi dua macam, yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering. Termometer bola basah adalah termometer yang digunakan untuk mengukur suhu ruangan dalam keadaan jenuh (100% RH). Termometer bola kering adalah termometer yang digunakan untuk mengukur suhu dalam udara kering atau kelembaban sebenarnya (kelembaban dibawah 100%)

(a) (b)

22

(e) (f)

Gambar 2. Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian (a) hybrid recorder, (b) Yokogawa recorder, (c) Yokogawa recorder, (d)anemometer, (e) pyranometer, (f) voltmeter

5. Chino Recorder Yokogwa tipe 3058

Chino recorder digunakan untuk merekam pergerakan suhu yang terbaca oleh sensor suhu (termokopel).

6. Rol Kabel 7. Obeng

8. Personal Komputer 9. Kamera Digital C. Pola Pengambilan Data

Metode pola pengambilan data dilakukan dengan cara yang berbeda, dilakukan dan dibagi sesuai dengan parameter lingkungan yang dicari namun pengukuran dilakukan dalam rentang waktu yang sama, pengukuran dilakukan selama 12 jam mulai pukul 06:00 hingga 18:00. Beberapa metode pengambilan data terebut adalah sebagai berikut :

C.1 Pola pengukuran suhu

Pola pengambilan data atau pengukuran suhu pada bangunan dilakukan dengan menggunakan termometer bola basah dan termometer bola kering serta beberapa termokopel yang dihubungkan dengan recorder yang kemudian ditempatkan pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara umum dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan. Titik-titik pengukuran terlihat pada Gambar 2, pengukuran suhu oleh termokopel yang terpasang dalam bangunan terdiri dari 36 titik pengukuran dengan pembagian menjadi dua bagian, yaitu : 24 titik pengukuran oleh recorder pertama yang tersebar disekitar ruang tamu dan

23 halaman rumah, kemudian 12 titik pengukuran oleh recorder yang kedua ditempatkan diruang kamar.

Gambar 3. Posisi titik-titik pengukuran termokopel dalam bangunan Agar pola distribusi pengukuran parameter lingkungan merata, maka 36 titik pengukuran dikelompokan kedalam tiga layer atau lapian, yatu di z = 0 cm, z = 150 cm, dan z = -15 cm. Penempatan titik-titik pengukuran dalam bangunan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 3. Koordinat titik-titik penempatan termokopel

No X Y Z Ket. No X Y Z Ket. 1 431 299 0 Lantai 19 431 53 150 udara 2 431 299 150 Udara 20 431 53 0 lantai 3 63 354 150 dinding 21 186 299 150 udara 4 224 233 -15 Udara 22 186 299 0 lantai 5 554 299 0 Lantai 23 308 299 150 udara 6 554 299 150 Udara 24 308 299 0 lantai 7 0 108 -15 Lantai a 0 173 0 dinding 8 431 299 150 Udara b 63 173 150 udara 9 554 173 0 Lantai c 63 53 150 udara 10 554 173 150 Udara d 186 53 150 udara 11 431 354 150 dinding e 554 173 150 udara 12 627 176 150 dinding f 63 173 0 lantai 13 554 173 0 Lantai g 0 108 -15 dinding 15 16 2 1 6 5 21 22 23 24 b f 10 9 e j c h 19 20 14 13 d i l 0 0 4 17 18 0 g 12 0 a 0 k 0 3 0 11 0 8 7

24 Tabel 3. Koordinat titik-titik penempatan termokopel (Lanjutan)

No X Y Z Ket. No X Y Z Ket. 14 15 554 53 53 299 150 150 Udara Udara h i 63 186 53 53 0 0 dinding lantai 16 53 299 0 Lantai j 186 173 0 lantai 17 308 173 300 Udara k 186 0 150 dinding 18 308 173 280 Udara l 308 53 150 dinding

C.2 Pola pengukuran kelembaban

Pola pengambilan data atau pengukuran kelembaban (RH) pada bangunan dilakukan dengan menggunakan termometer bola basah dan termometer bola kering yang ditempatkan pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara secara umum sehingga dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan.

C.3 Pola pengukuran kecepatan udara

Pola pengambilan data atau pengukuran kecepatan udara pada bangunan dilakukan dengan menggunakan anemometer yang diukur pada beberapa titik-titik pengukuran. Titik-titik pengukuran tersebut ditentukan sehingga secara secara umum dapat mewakili setiap titik pada tataletak bangunan.

C.4 Pola pengukuran intensitas cahaya matahari

Pola pengambilan data atau pengukuran besarnya intensitas matahari dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut dengan pyrnometer yang kemudian ditempatkan pada titik yang fokus langsung terkena sinar matahari. Pengukuran dilakukan setiap satu jam mulai pukul 06:00 hingga 18:00. Besaran yang keluar dari pyranometer yang digunakan ialah berupa satuan milivolt tau mV sehingga perlu dikonversi agar menjadi W/m2.

D. Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah pengolahan data dengan menggunakan program Microsoft Excel dengan fokus pengolahan data pada analisis termal yang didalamnya meliputi analisis suhu, kelembaban, kecepatan udara, intensitas matahari, analisis kenyaman termal pada bangunan dan

25 analisis distribusi radiasi matahari serta analisis pindah panas (pindah panas radiasi, konduksi dan konveksi) yang terjadi dalam bangunan pre-pabrikasi tahan gempa yang dan kemudian diakhir dilakukan simulasi distribusi parameter lingkungan dengan menggunakan program surfer 8.

26 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Radiasi Matahari

Jansen (1995) menyatakan bahwa posisi matahari diperlukan untuk menentukan radaisi surya yang diteruskan melalui kaca dan bahan transparan lain, dimana penyinaran berubah-ubah sesuai dengan sudut naik sinar. Kondisi cuaca yang mendung selama beberapa hari akan mengurangi intensitas matahari. Romdhonah (2002) menyatakan bahwa radiasi matahari mempunyai ciri kahs, yaitu sifat keberadaanya yang selalu berubah-ubah tergantung kepada keadaan atmoser dan geometri radiasi matahari.

Tabel 4. Hasil perhitungan beberapa jenis nilai radiasi tanggal 23-27 April 2009 Tanggal Isc Ion IN Ibi Ith Ibh Idh Idi Ir Iti W/m2 23 1353 1336 998 710 708 601 107 89 21 821 24 1353 1336 998 706 708 601 107 89 21 817 25 1353 1335 997 702 707 601 107 89 21 812 26 1353 1334 997 698 707 600 106 89 21 808 27 1353 1334 996 694 706 600 106 88 21 804 Rata 1353 1335 997 702 707 601 107 89 21 812 Maks 1353 1336 998 710 708 601 107 89 21 821 Min 1353 1334 996 694 706 600 106 88 21 804

Hasil perhitungan menunjukan bahwa dari masing-maing jenis nilai radiasi mulai tanggal 23 April 2009 hingga 27 April 2009 perubahan terlihat relatif stabil, hasil perhitungan memperlihatkan bahwa besarnya rata-rata nilai Extraterrestrial radiation (Ion) 1335,04 W/m2, Inclined radiation (Idi) 88,85

W/m2 , Diffuse radiation (Idh) 106,54 W/m2, direct and diffuse radiation on

horizontal surface (Ith) 707,31 W/m2, Reflektivitas radiation (Ir) 21,32 W/m2,

Total Radiation (Iti) 812,37 W/m2.

Nilai rata-rata intensitas radiasi yang dipancarkan ke permukaan bumi melalui atmosfer untuk daerah khatulistiwa sebesar 1353 W/m2 (Kamaruddin et al, 1998 ) dan selanjutnya kita sebut sebagai radiasi ekstraterensial. Menurut Tiwari (1998) fluktuasi nilai radiasi ekstraterensial ini berkisar antara 1350 hingga 1440 w/m2. Pada perpengukuran dilapangan diperoleh besarnya nilai radiasi ekstraterensial antara 1334 hingga 1336 W/m2 dan jika diambil nilai

27 rata-ratanya yaitu sebesar 1335 W/m2. Perubahan nilai Ion ini terjadi karena

adanya perbedaan panjang gelombang sehingga suhu yang diterima pada bangunan pun menjadi berbeda. Radiasi yang selanjutkan menentukan adalah besarnya radiasi langsung pada daerah terestrial dimana bangunan tersebut berada. Besarnya nilai radiasi terestrial ini dipengaruhi oleh kontur daerah,menurut Tiwari (1998) terdapat tiga wilayah yang mempengaruhi besarnya nilai radiasi tetrestrial langsung ini, yaitu daerah perkotaan, daerah dataran, dan daerah pegunungan. Masing-masing tempat tersebut memiliki konstanta tempat berbeda (Turbidity factor) sesuai dengan tempat yang dihubungkan dengan waktunya dalam bulan. Bangunan pre-pabrikasi berada pada daerah datar sehingg apabila dihubungkan dengan waktu pengukuarn pada bulan april, maka akan diketahui nilai karakteristik tempat (Turbidity factor) sebesar 2,9 dan didapat rata-rata nilai radiasi terestrial normal sebesar 997 W/m2. Hasil perhitungan total, besarnya nilai intensitas radiasi matahari yang diterima oleh bnagunan sebesar 812 W/m2. Besarnya nilai perbandingan radiasi hasil pengukuran dan pehitungan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik perbandingn nilai radiasi matahari (W/m2) hasil perhitungan dan pengukuran.

Intensitas matahari merupakan faktor dominan, karena intensitas matahari secara langsung menjadi penggerak parameter-parameter lingkungan yang lain. Intensitas matahari berperan besar terhadap perubahan lingkungan bangunan. Besarnya intensitas cahaya matahari yang diterima oleh bangunan akan mempengaruhi membentuk iklim mikro dalam bangunan

28 tersebut. Tabel 5 dan Gambar 5 menjelaskan bahwa pergerakan intensitas matahari ini seyogyanya berbentuk parabolik, nilai kritis dari proses ini berada pada nilai 743,87 W/m2 yang terjadi pada sekitar pukul 13:00 saat matahari berada diatas kepala.

Tabel 5. Perbandingan statistik nilai intensitas matahari (W/m2) hasil pengukuran.

23-27 April 2009

Jam Maksimum Rata-rata Minimum (W/m2)

06:00 172,00 124,00 20,00 13:00 856,00 743,87 636,00

18:00 66,00 39,20 22,00

Perubahan nilai intensitas radiasi yang secara ekstrim tidak dengan mudah menyebabkan perubahan suhu lingkungan menjadi berubah pula secara signifikan. Hal ini disebabkan suhu udara tidak berubah secara cepat apabila dibandingkan dengan perubahan intensitas matahari, karena suhu dipengaruhi oleh pergerakan udara.

Gambar 5. Grafik perbandingan statistik nilai intensitas matahari (W/m2) hasil pengukuran.

B. Kondisi Termal pada Bangunan pre-Pabrikasi Tahan Gempa B.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang cukup berpengaruh dan secara tidak langung mempengaruhi pengendalian metabolisme manusia. ASHRAE (American Society of Heating, Refrigerating

29 and Air Conditioning Engineers ) mensyaratkan tingkat kenyamanan dipengaruhi oleh: suhu udara ruangan, kelembaban ruangan, dan kecepatan angin dalam ruangan dengan batasan kenyamanan berada pada suhu efektif 23oC – 27oC, kecepatan angin 0,1 - 1,5 m/s , kelembaban relatif (RH) antara 50-60%. Lain halnya dinyatakan oleh Anggraeni (1998) batas kenyamanan pada daerah khatulistiwa berkisar antara suhu 22,5ºC sampai 29,5ºC dengan kelembaban udara relatif sebesar 20-50%.

Pengukuran dilakukan mulai tanggal 23 April hingga 27 Apri 2009 yang ditempatkan pada titik-titik pengukuran yang mewakili posisi pendistribusian suhu pada bangunan, terdapat 36 titik pengukuran yang dibagi kedalam tiga layer. Pengukuran suhu dilakukan mulai pukul 06:00 pagi hingga puku 18:00, seperti apa yang telah disyaratkan bahwa suhu efektif untuk bangunan pada daerah tropis antara 22,5ºC sampai 29,5ºC (Anggraeni, 1998) sedangkan menurut ASHRAE berada antara 23oC-27oC. Terihat pada Gambar 3, suhu rata-rata hasil pengukuran dalam bangunan mulai pukul 06:00 hingga pukul 12:00 relatif masih berada pada kondisi suhu efektif walaupun kondisi terus meningkat. Kondisi lingkungan sekitar bangunan yang cukup teduh karena pengaruh barier berupa bangunan gedung dan pepohonan membuat pergerak suhu diawal tidak terlalu signifikan naik namun bergerak secara perlahan dan kontinyu.

Mengacu pada standar yang dikemukakan oleh Anggraeni (1998), hasil pengukuran relatif berada pada kondisi yang nyaman, hal ini perlihatkan pada Gambar 6 bahwa rata-rata suhu hasil pengukuran berada diantara batas minimum dan maksimum, dan batas tidak nyaman terlihat terjadi selepas pukul 12:00 hingga pukul 15:00 dimana suhu rata-rata melebihi kondisi suhu kenyamanan standar yaitu suhu rata-rata pengukuran melebihi 29oC (standar Anggraeni, 1998). Namun apabila mengacu pada standar ASHRAE tingkat kenyamanan dalam satu hari relatif lebih pendek, dilihat dalam Gambar 3, mulai pukul 06:00 hingga pukul 10:00 suhu dalam bangunan masih berada dalam kondisi nyaman, yaitu diantara 23oC-27oC, namun selepas pukul 10:00 hingga pukul 16:00 suhu dalam bangunan berada diatas 27oC, dan ini artinya berada diluar kondisi kenyaman termal menurut ASHRAE. Titik kritis

30 pengukuran suhu berada pada pukul 13:00 dimana suhu pada saat itu mencapai 30,34oC dan kondisi ini tentu membuat suhu dalam bangunan termasuk kedalam kondisi yang tidak nyaman karena berada diatas batas suhu efektif , kondisi ini bertahan selama dua jam mulai pukul 12:30 hingga pukul 14:30. Selepas pukul 13:00 intensitas suhu mulai menurun dan mulai kembali masuk kedalam suhu daerah nyaman dan berhenti pada suhu 26,43oC tepat pada pukul 18:00.

Gambar 6. Grafik perbandingan nilai rata-rata suhu (oC) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum suhu dalam suatu ruangan

B.2 Kelembaban (RH)

Kelembaban merupakan salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam menentukan nyaman tidaknya suatu lingkungan, Lampiran 5 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai kelembaban pada bangunan pre- pabrikasi rata-rata 80% dan jika kita lihat, nilai tersebut merupakan ambang nilai kelembaban maksimum yang diizinkan pada suatu lingkungan bangunan. Nilai kelembaban untuk daerah tropis yang termasuk kedalam kondisi nyaman berkisar antara 30% hingga 80% RH. Menurut ASHRAE kondisi kelembaban yang nyaman berada pada antara 50-60% RH, sedangkan menurut Angraeni (1998) kelembaban yang efektif untuk daerah tropis bearada pada rentang 20-50% RH. Seperti yang terlihat pada Gambar 7, rata-

31 rata nilai kelembaban hasil pengukuran berada jauh diatas kondisi standar yang disyaratkan.

Gambar 7. Grafik perbandingan nilai rata-rata kelembaban (RH) pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kelembaban dalam suatu ruangan

Material bangunan yang terbuat dari kayu membuat bangunan tersebut mudah menyerap uap air pada kondisi basah, sehingga apabila kita korelasikan dengan Gambar 9 terihat bahwa besarnya kelembaban pada pukul

06:00 pagi nilainya jauh diatas batas yang diizinkan yaitu sekitar 90%, hal ini terjadi karena pada pagi hari kondisi bangunan dalam keadaan lembab basah, sebagian besar material bangunan yang terdiri dari kayu mengandung uap air.

Gambar 8. Grafik perbandingan nilai rata-rata kelembaban (RH) didalam dan luar bangunan.

Penurunan besarnya nilai kelembaban ini berbanding lurus dengan semakin meningatnya suhu lingkungan di sekitar bangunan, hal ini jelas

32 diperlihatkan oleh pergerakan rata-rata nilai kelembaban yang berkurang secara perlahan yang terjadi sekitar pukul 06:00 hingga pukul 10:00. Intensitas matahari secara tidak langsung berpengaruh terhadap besarnya kelembaban pada bangunan, intensitas matahari yang cukup kuat membuat suhu lingkungan menjadi lebih tinggi, hal ini membuat material bangunan yang cenderung mengandung banyak uap air, melepaskan kalor sehingga suhu didalam ruangan menjadi lebih tinggi dan kelembaban menjadi lebih rendah.

Kelembaban udara yang tinggi mengakibatkan terjadinya penguapan dipermukaan kulit sehingga mekanisme pelepasan panas bisa terganggu. Dalam keadaan seperti itu pergerakan udara akan sangat membantu proses penguapan. Sebaliknya, bila kelembaban udara rendah, orang akan menderita efek keringnya udara (selaput lendir mengering, batuk rejan, radang mata, kulit menyamak, dan sebagainya), dan untuk mengatasinya diperlukan tambahan uap air ke dalam udara.

Tabel 6. Perbandingan nilai kelembaban (%) di dalam dan luar bangunan

Jam Dalam Luar

6.00 13.00 18.00 6.00 13.00 18.00 Rata-rata 88.80 77.25 82.75 88.89 77.32 82.77 Maksimum 92.60 84.70 92.40 92.40 84.30 92.10 Minimum 83.40 69.20 75.20 84.20 69.60 76.00 B.3 Kecepatan aliran udara

Pergerakan udara menyebabkan terjadinya aliran udara yang mendorong adanya perbedaan tekanan udara antara dalam dan luar bangunan. Angin menyebabkan zona tekanan tinggi dan tekanan rendah disekeliling bangunan sehingga terjadi aliran udara. Kecepatan aliran udara sangat bepengaruh dalam sistem kenyamanan termal teutama saat proses pertukaran panas antara permukaan kulit dengan lingkungan didalam bangunan, oleh karena itu perlu adanya desain yang sesuai antara sistem ventilasi dalam bangunan dengan proses aktivitas penghuni sehingga aliran udara yang masuk tidak terlalu mengalami fluktuasi yang tinggi sehingga dapat menganggu proses pertukaran panas yang terjadi pada kulit manusia dalam bangunan.

33 Tabel 7. Perbandingan nilai rata-rata kecepatan udara (m/s) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kecepatan udara dalam suatu ruangan

23-27 April 2009 Jam

Maksimum Rata-rata Minimum

(ASHRAE) (Pengukuran) (ASHRAE)

( m/s )

6:00:00 1.50 0.11 0.10

13:00:00 1.50 0.17 0.10

18:00:00 1.50 0.20 0.10

Besarnya kecepatan udara yang disyaratkan untuk kondisi kenyamanan termal di daerah tropis berkisar antara 0,10 m/s hingga 1,50 m/s. Hasil pengukuran pada Tabel 7 menunjukan bahwa rata-rata kecepatan udara yang masuk kedalam bangunan berkisar 0,11 m/s hingga 0,20 m/s. Kondisi lingkungan bangunan yang terletak pada posisi diantara bangunan gedung dan pepohonan membuat pergerakan udara tidak terlalu tinggi, sehingga aliran yang masuk kedalam bangunan terdegradasi.

Nilai rata-rata yang diperoleh sebenarnya kurang begitu optimal bagi penghuni yang tinggal didalamnya, karena dengan nilai rata-rata kecepatan udara sebesar 0,20 m/s dapat membuat proses pertukaran kalor antara tubuh dengan lingkungan menjadi kurang optimal, setidaknya rata-rata nilai kecepatan udara yang optimal antara 1 m/s hingga 1,2 m/s.

Gambar 9. Grafik perbandingan nilai rata-rata kecepatan udara (m/s) hasil pengukuran dengan syarat maksimum dan minimum kecepatan udara dalam suatu ruangan.

34 B.4 Hubungan antara suhu, kelembaban, dan kecepatan udara

Tiwari (1998) mengatakan bahwa suhu merupakan parameter lingkungan yang membentuk atau mempenengaruhi sifat-sifat termal lainnya pada suatu lingkungan, baik itu kelembaban, pergerakan udara, tekanan lingkungan, hingga proses pindah panas pada bangunan. Oleh karena itu dari setiap parameter lingkunga tersebut tentunya memiliki hubungan dengan suhu.

Hubungan antara suhu dengan kelembaban memiliki keterkaitan yang cukup sulit dijelaskan, hal ini terjadi karena pengukura kelembaban tidak dilakukan secara kontinyu setiap jam berbeda dengan pengukuran suhu menggunakan recorder (Gambar 9). Walaupun begitu apabila kita lihat pada satu titik waktu tertentu pada jam 12 hingga jam 13 dari mulai tanggal 23 hingga 27 April 2009, kelembaban memiliki hubungan berbanding terbalik terhadap waktu. Dapat dijelaskan bahwa ketika pergerakan suhu diawal mulai naik

Gambar 10. Grafik hubungan antara suhu dengan kelembaban terhadap waktu (Jam)

(nilai suhu sebesar 23oC), saat itu besarnya kelembaban (RH) relatif tinggi (sebesar 80% hingga 90%), kondisi sebaliknya terlihat saat pergerakan jam mulai memasuki waktu tengah hari dimana saat itu suhu bangunan mencapai rata-rata nilai tertinggi, sehingga terlihat bahwa besarnya nilai kelembaban rata-rata (RH) mengalami penurunan hingga mencapai sekitar 75% RH.

35 Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hubungan antara suhu dengan kelembaban (RH) memililki hubungan berbanding terbalik.

Hubungan antara suhu dengan kecepatan dijelaskan pada Gambar 10. Pergerakan suhu diawal-awal jam ternyata berbanding lurus dengan kecepatan pergerakan udara. Namun ini terjadi hanya pada enam jam diawal, yaitu terjadi antara pukul 12:00-13:00. Pergerakan udara yang terjadi didalam bangunan bisa terjadi karena adanya perbedaan suhu dan tekanan udara antara didalam dan diluar bangunan, sehingga hal ini menyebabkan udara di luar bangunan akan bergeraka kedalam bangunan agar tekanan didalam dan diluar bangunan seimbang.

Gambar 11. Grafik hubungan antara suhu dengan kecepatan udara terhadap waktu (Jam)

Selanjutnya hubungan antara suhu dengan besarnya intensitas matahari dijelaskan oleh Gambar 11. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa suhu dengan intensitas radiasi matahari memiliki hubungan yang berbanding lurus. Hal ini jelas terjadi karena suhu merupakan salah satu hasil turunan dari nilai intensitas radiasi. Pergerakan suhu pada bangunan selalu diikuti oleh besarnya perubahan intensitas rasiasi.

36

Gambar 12. Grafik hubungan antara suhu dengan intensitas radiasi matahari terhadap waktu (Jam)

C. Pindah Panas pada banguanan

Soegijanto (1999) menyatakan bahwa bangunan akan mendapatkan perolehan panas dan mengeluarkan atau kehilangan panas ke lingkungan sekitarnya, perolehan dan pengeluaran panas dapat terjadi melalui peristiwa perpindahan panas.

Proses pindah panas yang terjadi melalui tiga proses pindah panas, yaitu: pindah panas radiasi, pindah panas konveksi dan pindah panas konduksi. Gambar 12 menunjukan bahwa proses pindah panas yang terjadi pada bangunan pre-pabrikasi dimulai dengan adanya pindah panas radiasi yang dipancarkan langsung oleh matahari, pindah panas radiasi tidak memerlukan medium karena pindah panas radiasi merupakan transfer energi melalui gelombang eletromagnetik.

Gambar 13. Proses pindah panas dalam bangunan Qkonv Qkonv

Qkond Qkond

Qkonv(in)

Qrad Q

37 Tabel 8 menunjukan hasil perhitungan nilai rata-rata pindah panas radiasi pada atap sebesar 482 w/m2. Proses pindah panas pada bangunan dimulai dengan adanya pancaran radiasi dari energi surya yang memiliki gelombang pendek dan memiliki energi yang besar lalu gelombang ini akan diteruskan melalui proses pindah panas konveksi yang terjadi antara lapisan udara di lingkungan dengan lapisan atap asbes.

Selanjutanya yang berperan adalah pindah panas konduksi pada lapisan atap. Energi yang masuk kedalam bangunan berubah menjadi gelombang panjang dan memiliki energi yang tidak terlalu besar, gelombang panjang ini yang akan terperangkap dalam bangunan dan tidak bisa diteruskan ke luar bangunan melainkan akan terus dipantulkan didalam bangunan sehingga suhu dalam bangunan menjadi naik. Proses pindah panas konveksi yang terjadi di dalam bangunan terdiri dari konveksi antara atap dengan udara di dalam bangunan, konveksi antara udara di dalam dengan lantai dan dinding, dan kemudaian konveksi yang terjadi dipermukaan kulit manusia dengan udara didalam bangunan.

Tabel 8. Nilai pindah panas Radiasi pada atap bangunan pre-pabrikasi Hari ke Radiasi W/m2 1 501 2 473 3 484 4 477 5 476 Rata-rata 482 Maksimum 501 Minimum 473

Tabel 9 memperlihatkan bahwa rata-rata nilai konveksi terbesar terjadi pada proses pindah panas antara atap asbes dengan udara luar, hal ini terjadi karena kontribusi faktor koefisien pindah panas konveksi cukup besar dibandingkan dengan yang lain dan penaruh intenitas matahari langsung. Nilai rata-rata pindah panas konveksi antara atap asbes dengan udara luar sebesar 12,62 W/m2, asbes dengan udara dalam 0,81 W/m2, dinding dengan udara

38 dalam 5,34 W/m2, dinding dalam dengan udara dalam 0,25 W/m2, udara dalam dengan lantai 0,23 W/m2, dan lantai dengan udara luar sebesar 0,25 W/m2.

Tabel 9. Nilai pindah panas Konveksi pada bangunan pre-pabrikasi Hari ke- Konveksi Asbes- udara luar Asbes- udara dalam Dinding- udara luar Dinding- udara dalam Udara dalam- lantai Lantai- udara luar W/m2 1 18.03 0.14 7.86 0.03 0.52 0.30 2 11.83 0.93 3.86 0.26 0.23 0.32 3 12.81 0.63 5.07 0.29 0.07 0.45 4 10.10 0.33 4.74 0.33 0.03 0.05 5 10.31 2.02 5.16 0.31 0.32 0.12 Rata-rata 12.62 0.81 5.34 0.25 0.23 0.25 Maksimum 18.03 2.02 7.86 0.33 0.52 0.45 Minimum 10.10 0.14 3.86 0.03 0.03 0.05

Pindah panas secara konduksi dijelaskan pada Tabel 10, nilai rata-rata pindah panas konduksi yang terjadi pada bangunan terjadi pada lapisan atap sebesar 11,45 W/m2, lapisan dinding luar 1,54 W/m2, lapian dinding dalam 15,42 W/m2, lapian pintu 15,04 W/m2, lapisan lantai 1,25 W/m2, dan lapisan tanah sebesar 2,08 W/m2. Pindah panas radiasi lebih dominan dipengaruhi oleh intensitas matahari sedangkan pindah konveksi dan konduksi lebih dominan dipengaruhi oleh karakteritik material, ketebalan material dan koefisien pindah panas.

Tabel 10. Nilai pindah panas Konduksi pada bangunan pre-pabrikasi

Konduksi Hari ke Lapisan atap Dinding luar Dinding dalam Lapian

pintu Lantai Tanah W/m2 1 22.60 16.69 16.91 13.35 1.52 2.53 2 15.44 10.42 17.35 27.25 1.58 1.70 3 7.53 13.46 18.49 17.44 2.09 2.06 4 0.38 13.43 19.06 16.90 0.38 2.05 5 11.30 13.71 5.26 0.27 0.70 2.07 Rata-rata 11.45 13.54 15.42 15.04 1.25 2.08 Maksimum 22.60 16.69 19.06 27.25 2.09 2.53 Minimum 0.38 10.42 5.26 0.27 0.38 1.70

39 D. Kenyamanan Termal dan Simulasi Termal pada Bangunan pre-Pabrikasi

tahan gempa

D.1 Kenyaman termal pada bangunan

Standar kenyamanan termal menurut Internasional Standard, ISO 7730:1994 menyatakan bahwa sensasi manusia terhadap suhu merupakan fungsi dari empat faktor iklim yaitu, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, dan kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat kegiatan yang berkaitan dengan tingkat metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa kenyamanan termal tidak dipengaruhi secara nyata oleh hal-hal lain, misalnya oleh perbedaan jenis kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku bangsa, tempat tinggal geografis, adaptasi,faktor kepadatan, faktor warna, dan sebagainya.

Dokumen terkait