• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani di Megamendung dan Katulampa Bogor, serta di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai bulan Juni 2010 hingga Desember 2011.

Ekstraksi Bahan Tanaman

Biji srikaya, buah cabai jawa, dan batang serai wangi dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil lalu dikeringudarakan. Setiap bahan tumbuhan dihaluskan dengan blender dan diayak dengan pengayak bermata 0,5 mm sehingga dihasilkan serbuk. Serbuk setiap bahan tanaman sebanyak 200 gram direndam dalam pelarut metanol dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 24 jam. Selanjutnya cairan rendaman tersebut disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring dan ditampung menggunakan labu erlenmeyer. Hasil penyaringan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 ˚C dan tekanan 335 mbar. Pelarut yang diperoleh kembali pada proses penguapan tersebut digunakan untuk merendam ulang ampas bahan tanaman hingga hasil penyaringan agak bening atau tidak berwarna. Hasil ekstrak kasar bahan tanaman yang diperoleh ditimbang kemudian disimpan di dalam lemari es pada suhu ±4˚C sampai digunakan untuk pengujian.

Pemeliharaan Lalat Buah

Lalat buah yang berasal dari lapangan sulit untuk dikembangbiakkan karena memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan kondisi di laboratorium. Karena itu, untuk keperluan pemeliharaan (rearing) serangga uji di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga IPB, induk lalat buah diperoleh dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan, Jatisari, Karawang, Jawa Barat.

Panen telur dilakukan sejak imago berumur 10 hari. Botol pengumpul telur merupakan buah tiruan yang terbuat dari gelas plastik berukuran Ø 6 cm x 10 cm, dindingnya berlubang berukuran Ø 0,2 – 0,5 mm dengan kerapatan 1 cm x 1 cm.

14

Sebelum dipasang, botol diolesi jus buah mangga untuk menarik lalat buah dan untuk mempertahankan kelembapan di dalam botol, agar telur yang diletakkan tidak mengalami kekeringan. Telur diletakkan oleh lalat dewasa dengan ovipositornya ke dalam lubang-lubang di dinding botol, sehingga massa telur akan terkumpul pada lubang-lubang tersebut. Panen telur dilakukan pada pagi hari dan diambil pada pagi hari berikutnya. Telur dikumpulkan dengan cara membasuh permukaan dalam botol, dan disaring menggunakan kain kassa hitam dan saringan kawat (Gambar 1a). Selanjutnya telur yang terkumpul diukur dengan gelas ukur. Massa telur yang dihasilkan dapat diukur secara volumetrik, 1 ml telur berisi ±18.000 butir (Kuswadi 2000).

(a)

(d) (c)

(b)

Gambar 1 Pemeliharaan lalat buah: pengumpulan telur (a), pemeliharaan larva dalam pakan buatan (b), penyaringan pupa (c), dan pemeliharaan imago (d)

15 Telur lalat buah sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam pakan buatan dengan komposisi bahan seperti tercantum pada Lampiran 2. Pakan buatan dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran 20 cm x 14 cm x 10 cm, selanjutnya telur disebarkan pada pakan buatan tersebut dan diinkubasi selama 5 hari (Gambar 1b).

Setelah 5 hari, wadah pakan buatan dimasukkan ke dalam wadah plastik yang berisi serbuk gergaji steril. Larva yang telah siap menjadi pupa akan meloncat ke dalam serbuk gergaji. Proses pupasi akan berlangsung selama 12 hari. Selanjutnya pupa yang terbentuk disaring dan dikumpulkan (Gambar 1c).

Pupa yang telah terkumpul disimpan dalam cawan petri dan dimasukkan ke dalam kurungan kasa berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm (Gambar 1d). Setiap kurungan berisi 1000 pupa. Imago lalat buah yang baru keluar dari pupa diberi air yang disimpan dalam botol berisi kapas, setelah 2 hari diberi pakan protein (yeast extract) dan gula pasir dengan perbandingan 1:4. Pakan ditambahkan setiap dua hari sekali.

Budi Daya Cabai Persiapan Lahan

Lahan yang akan ditanami cabai dibersihkan dari berbagai jenis gulma yang dilakukan secara manual menggunakan cangkul dan sabit. Lahan kemudian diolah hingga tanah menjadi gembur agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Tahap selanjutnya adalah pembuatan bedengan dengan ukuran 5 m x 1 m x 0,5 m, dengan jarak antarbaris 1 m. Jarak tanam dalam bedengan adalah 50 cm x 50 cm.

Penyemaian Benih dan Pembibitan

Benih cabai direndam dalam sediaan Actigrowth (Bacillus polymyxa dan

Pseudomonas flourescens) dengan konsentrasi 10 ml/l selama 6 jam. Selanjutnya benih disemai dalam nampan plastik (30 cm x 15 cm x 5 cm) yang telah berisi tanah dan pupuk kandang (1:1). Setelah 14 hari, bibit cabai dipindahkan ke dalam

polybag berkapasitas 0,2 L yang telah berisi tanah dan pupuk kandang (1:1) (v/v). Setelah bibit berumur 1 bulan, bibit dipindahtanamkan ke lapangan.

16

Pemupukan

Dosis pupuk kandang yang digunakan adalah 20 ton/ha (Wiryanta 2002, Berke et al. 1999). Jenis pupuk kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kotoran kambing. Pemberian pupuk kandang dilakukan pada 4 minggu sebelum tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara menyebarkan pupuk secara merata di atas bedengan, kemudian tanah dicangkul lagi supaya pupuk dapat menyebar secara merata sampai ke dalam tanah.

Pada 4 minggu setelah tanam (MST), tanaman cabai diberi pupuk sebanyak 250 kg urea/ha, 500 kg TSP/ha, dan 400 kg KCl/ha (Wiryanta 2002). Pemberian pupuk kimia dibagi menjadi dua sampai tiga kali pemupukan. Pupuk tersebut dicampur terlebih dahulu, kemudian ditaburkan secara melingkar ± 5 cm dari tanaman cabai dan ditutup dengan tanah. Pada 6 MST tanaman cabai juga diberi pupuk cair berupa Actigrowth dengan konsentrasi 10 ml/l. Pada 8 MST dilakukan pemberian pupuk cair tambahan.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyiraman dan penyiangan gulma. Selama kegiatan pemeliharaan juga dilakukan perompesan tunas air untuk mengurangi risiko serangan penyakit, memperkokoh tanaman, dan mengoptimumkan penangkapan sinar matahari. Pemasangan ajir dilakukan pada 6 MST.

Panen

Pemanenan dilakukan mulai 10 MST. Pemanenan dilakukan terhadap buah cabai yang sudah merah atau masak penuh dan terhadap buah cabai yang masak 90%.

Percobaan Lapangan

Evaluasi Ketahanan Lima Genotipe Cabai tehadap Serangan Lalat Buah

Percobaan lapangan dilaksanakan di Megamendung sejak Juni hingga Oktober 2010. Pada penelitian ini digunakan lima genotipe cabai yang terdiri dari dua genotipe cabai hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB

17 yaitu genotipe F3 (12x10) dan F3 (10x14), serta tiga varietas cabai yang umum digunakan oleh masyarakat yaitu cabai Hot Pepper Tornado, Keriting 09, dan SP Hot 77.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Pada penelitian ini diamati tingkat serangan lalat buah. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pengaruh Genotipe Cabai yang Tahan dan Rentan, serta Perlakuan Insektisida terhadap Serangan Lalat Buah

Percobaan lapangan dilaksanakan di Katulampa sejak November 2010 hingga April 2011. Percobaan ini merupakan lanjutan dari pengujian sebelumnya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terbagi (split plot), genotipe cabai sebagai petak utama dan perlakuan insektisida sebagai anak petak. Cabai yang digunakan adalah cabai keriting 09 dan cabai besar SP Hot 77, sementara perlakuan insektisida yang diuji ialah campuran ekstrak cabai jawa (Piper retrofractum) dan srikaya (Annona squamosa) 0,2%, ekstrak serai wangi

(Cymbopogon nardus) 0,2%, spinosad (Tracer 120 SC) 0,8 ml/l (konsentrasi formulasi), imidakloprid (Confidor 5 WP) 0,8 g/l (konsentrasi formulasi), dan kontrol.

Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Peubah yang diamati ialah tingkat serangan lalat buah dan hasil panen. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah

Percobaan lapangan dilaksanakan di Katulampa sejak Mei hingga November 2011. Perlakuan disusun sebagai percobaan faktorial dalam rancangan acak kelompok. Faktor pertama ialah perlakuan mulsa dengan tiga taraf, yaitu mulsa plastik perak-hitam, mulsa jerami, dan tanpa mulsa. Faktor kedua ialah insektisida yang sama seperti yang digunakan pada percobaan kedua. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Peubah yang diamati ialah tingkat

18

serangan lalat buah dan hasil panen. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Tanaman produksi. Tanaman produksi yang digunakan adalah cabai

keriting 09 sebagai genotipe cabai yang tahan terhadap lalat buah. Bibit cabai keriting 09 yang sudah berumur 1 bulan dipindahtanamkan ke lapangan, dengan jarak tanam 50 cm x 50 cm.

Tanaman perangkap. Tanaman perangkap yang digunakan adalah cabai

merah besar SP Hot 77 yang telah diketahui rentan terhadap serangan lalat buah berdasarkan penelitian sebelumnya. Umur cabai merah besar sama dengan umur cabai keriting yang ditanam. Cabai merah besar ditanam dalam polybag

berkapasitas 5 L yang telah berisi tanah dan pupuk kandang (1:1) (v/v). Jarak antartanaman cabai merah besar adalah ±1 m. Tanaman perangkap diletakkan di antara tanaman penolak (serai wangi) dan tanaman produksi (Gambar 2).

Tanaman penolak. Tanaman penolak (repelen) yang digunakan adalah

serai wangi (Cymbopogon nardus). Serai wangi ditanam pada saat persiapan lahan atau satu bulan sebelum tanaman cabai dipindahtanamkan ke lapangan. Serai wangi diletakkan di sekeliling petak lahan pada bagian terluar, dengan jarak antartanaman ±2 m (Gambar 2). Keterangan: = serai wangi = cabai besar = tanpa mulsa = mulsa plastik = mulsa jerami = perangkap lalat buah

= serai wangi = cabai besar = tanpa mulsa = mulsa plastik = mulsa jerami = perangkap lalat buah

 

19

Perangkap lalat buah. Perangkap lalat buah terbuat dari wadah plastik

yang dilubangi pada salah satu sisi sebagai lubang masuk lalat buah. Kapas yang telah ditetesi atraktan metil eugenol(Petrogenol 800 L) dengan dosis anjuran 0,25 ml/perangkap, diletakkan pada bagian tengah wadah yang digantung dengan kawat. Selanjutnya perangkap lalat buah diisi dengan air sabun 2% sebanyak 60 ml. Perangkap lalat buah tersebut diletakkan pada empat sudut lahan percobaan yang berjarak ±10 m dari tanaman produksi. Perangkap lalat buah digantung pada pohon pisang dengan ketinggian 2 m dari permukaan tanah. Jarak antar perangkap lalat buah adalah ±40 m. Pengamatan lalat buah yang terperangkap dilakukan setiap minggu dengan mengamati jenis lalat buah dan jumlahnya.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan mulai 4 MST hingga 12 MST. Pada setiap petak perlakuan diamati 10% tanaman contoh dari jumlah tanaman pada petak perlakuan. Pada percobaan ini diamati musuh alami lalat buah, hasil panen cabai merah, dan tingkat serangan hama lalat buah yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah buah terserang

Tingkat serangan = x 100%

Jumlah buah yang diamati

Buah cabai yang terserang lalat buah di lahan petani di Megamendung dan Katulampa dibawa ke laboratorium untuk dipelihara. Buah cabai terserang tersebut dimasukkan ke dalam kotak plastik (30 cm x 15 cm x 5 cm) yang telah dialasi serbuk gergaji steril (telah dioven selama 1 jam pada suhu 100 °C). Larva lalat buah dibiarkan berkembang dalam buah cabai hingga menjadi pupa. Pupa-pupa yang terbentuk dalam serbuk gergaji dipisahkan dan dimasukkan ke dalam kurungan kasa berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. Imago lalat buah yang telah keluar kemudian diberi pakan berupa larutan madu 10% yang diteteskan pada kapas, setelah 2 hari diberi pakan protein (yeast extract) dan gula pasir dengan perbandingan 1:4. Selain imago lalat buah, juga diamati parasitoid yang keluar.

20

Identifikasi lalat buah menggunakan kunci identifikasi yang dikemukakan oleh Drew (1994), sedangkan identifikasi parasitoid menggunakan panduan kunci identifikasi parasitoid pada Tephritidae (Wharton 2011).

Percobaan Laboratorium Pengujian Pengaruh Penolakan (Repelen)

Pengujian respons serangga terhadap repelen dilakukan dengan menggunakan olfaktometer berbentuk huruf Y yang terbuat dari kaca. Ujung tangkai olfaktometer ditutup dengan kasa kemudian tangkai olfaktometer tersebut dihubungkan dengan selang ke pompa pengisap. Di antara olfaktometer dan pompa pengisap dipasang flowmeter untuk memantau laju aliran udara (Gambar 3).

Gambar 3 Olfaktometer tabung Y

Pada pengujian pengaruh penolakan digunakan insektisida yang sama dengan yang digunakan pada pengujian di lapangan yaitu:

a) campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikayadengan konsentrasi 0,2% (A1); b) ekstrak serai wangi (dengan konsentrasi 0,2% (A2);

c) spinosad (Tracer 120 SC) dengan konsentrasi anjuran 0,8 ml/l (A3); d) imidakloprid (Confidor 200 SL) dengan konsentrasi anjuran 0,8 g/l (A4); e) kontrol (A5).

21 Setiap pengujian menggunakan kombinasi dua insektisida yang berbeda, sehingga ada 10 kombinasi yaitu A1 x A5, A2 x A5, A3 x A5, A4 x A5, A1 x A2, A1 x A3, A1 x A4, A2 x A3, A2 x A4, dan A4 x A5.

Setiap larutan insektisida atau kontrol (akuades) diteteskan pada kertas saring berukuran 1 cm x 1 cm sebanyak 0,5 ml yang diletakkan pada bagian ujung salah satu lengan olfaktometer, sedangkan di bagian ujung lainnya diteteskan larutan insektida atau kontrol sesuai kombinasi perlakuan yang diuji. Serangga uji sebanyak 10 ekor betina yang berumur 7 hari, diletakkan satu per satu di dekat ujung tangkai olfaktometer. Setelah semua bagian olfaktometer dipasang, pompa pengisap dijalankan dengan laju aliran udara diatur sesuai yang diinginkan. Jumlah serangga yang memasuki lengan perlakuan atau lengan kontrol dari olfaktometer dicatat. Data jumlah lalat buah yang tertarik dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Data jumlah lalat buah pada setiap pengujian juga dibandingkan menggunakan uji-t.

Dokumen terkait