INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sedangkan perbanyakan planlet mutan dilakukan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai Agustus 2010.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang dipakai yaitu biji buah JC, planlet mutan jeruk batang bawah JC hasil peningkatan keragaman genetik dengan induksi mutasi fisik dengan dosis radiasi sinar gamma 1000, 2000, 3000 rad. Isolat P.citrophthora dan B. theobromae. Media yang dipakai media dasar MS (Murashige-Skoog), KVMV (Kontrol Vitamin Morel Wetmore), PDA (Potato Dextros Agar), dan V8. Bahan Sterilisasi yang digunakan Alkohol 70%, alkohol 96%, dan aquades steril. Bahan lain yang digunakan yaitu HCL 1.0 N dan 0.1 N, NaOH 1.0 N dan 0.1 N, alumunium foil, plastik wrap, spirtus, tisu, agar.
Peralatan untuk pembuatan media yaitu gelas ukur, labu takar, Erlenmeyer, gelas piala, pipet volumetrik, magnetic stirrer, spatula, hot plate, botol kultur, corong, timbangan analitik, pH meter, autoclave, dan oven. Peralatan untuk menanam antara lain Laminar Air Flow Cabinet, petridhis, lampu bunsen, pinset, hand sprayer, pisau, dan gunting. Peralatan lain yang digunakan yaitu ruang gelap, ruang kultur, rak kultur, penggaris, kamera digital.
Metode Penelitian
Persiapan Inokulum P. citrophthora
Isolat P. citrophthora merupakan hasil isolasi dari batang kayu jeruk yang berasal dari Desa Oehala, Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur. Batang kayu yang menunjukan gejala terlebih dahulu dicuci menggunakan air mengalir, kemudian bagian yang sakit dipotong dengan ukuran 1x1cm, dan didesinfeksi dengan larutan klorok 0.5% selama 30 detik. Selanjutnya dibilas dengan air steril, dikeringkan dengan kertas tisu dan ditanam pada media Potato Dextrose Agar (PDA). Setelah 3 sampai 4 hari masa inkubasi cendawan yang menunjukan ciri koloni Phytophthora sp. dibiakan pada media V8 untuk merangsang sporulasi.
Persiapan Inokulum B. theobromae
Isolat B. theobromae hasil dari isolasi tanah yang berasal dari Lampung. Isolasi dilakukan dengan metode trapping. Tanah diinokulasikan pada buah apel. Setelah tiga hari masa inkubasi pada baki steril, bagian buah apel yang berwarna coklat diambil secara aseptik dan diletakkan di atas media PDA. Setelah 3 hari masa inkubasi cendawan yang menunjukan ciri koloni Botryodiplodia dibiakan pada media PDA untuk mendapatkan biakan murni dan diidentifikasi.
Perbanyakan Planlet Japansche Citroen
Planlet berasal dari biji jeruk yang masih muda, berukuran ± 1 mm. Biji jeruk yang digunakan berasal dari buah muda JC dengan diameter antara 1-2 cm. Buah disterilkan terlebih dahulu dengan cara dicuci bersih kemudian direndam dengan menggunakan alkohol 96% selama 5 menit, kemudian buah dibakar dalam laminarflow untuk mengurangi kontaminasi saat pemisahan biji dan buah. Setelah itu buah dikupas menggunakan pisau steril dan dikeluarkan bijinya. Selanjutnya biji jeruk ditanam pada media kontrol vitamin morel wetmore (KVMW). Biji diinkubasi di ruang gelap dengan suhu ± 21oC. Setelah ± 1-2 bulan tumbuh tunas, tunas dipisahkan dari kulit biji dan ditanam pada media Murashige and Skoog (MS). Biakan kemudian disimpan di ruang kultur dengan suhu ± 21oC, dengan penyinaran lampu TL.
12
Perbanyakan Mutan Japansche Citrus
Perbanyakan mutan dilakukan dengan cara mengisolasi 1-2 buku tunas terminal dari planlet penelitian sebelumnya, uji ketahanan mutan jeruk dengan dosis radiasi 1000, 2000, 3000 rad dan tanpa perlakuan iradiasi terhadap cekaman kekeringan. Eksplan dikulturkan pada media KVMW dengan penambahan ekstrak malt 500 mg/l. Sumber karbon yang digunakan adalah sukrosa 30 g/l dan dipadatkan dengan phytagel 2,5 g/l. Kemasaman media diatur 5,8 dengan menambahkan KOH atau HCl 1N. Planlet diinkubasi di ruang kultur dengan temperatur ± 21oC, dengan penyinaran lampu TL.
Uji Media Tanam Jeruk, P. citrophthora dan B. theobromae
Pembuatan media menggunakan media yang biasa digunakan untuk media tumbuh jeruk, P. citrophthora, B.theobromae, antara lain Murashige and Skoog (MS) merupakan media yang biasa digunakan untuk planlet, Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan media yang biasa digunakan untuk B. theobromae dan P. citrophthora, V-8 merupakan media selektif yang baik untuk tumbuh P. citrophthora, MSPDA merupakan media campuran MS dan PDA, MSV8 merupakan media campuran MS dan V8. Peubah yang diamati adalah pertumbuhan patogen dan planlet pada masing-masing media. Pertumbuhan patogen diamati dengan mengukur diameter dalam waktu seminggu. Sedangkan pada planlet yang diamati adalah tinggi planlet, jumlah buku, jumlah daun, serta visual planlet dalam waktu satu bulan.
Uji Ketahanan In vitro Planlet
Planlet jeruk yang berumur ± 4-5 bulan dengan jumlah buku tiga dalam keadaan sehat disubkultur ke dalam tabung kultur berisi media MSPDA bersamaan dengan inokulasi patogen. Biakan patogen dilubangi dengan menggunakan cork borer dengan diameter 2 mm diletakkan di bagian pangkal batang. Tabung kultur diletakan pada ruang kultur dengan suhu ± 21oC, dan penyinaran lampu TL. Pengamatan terhadap keparahan penyakit dilakukan setiap hari selama 2 minggu.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan dua faktor perlakuan dan empat ulangan. Faktor pertama adalah dosis radiasi yaitu tanpa iradiasi (JC), dosis iradiasi 1000 rad (J1000), 2000 rad (J2000), dan 3000 rad (J3000), sedangkan faktor kedua adalah patogen yaitu P.citrophthora dan B. theobromae.
Pengamatan Tingkat Keparahan Penyakit dan Laju Infeksi
Persentase kerusakan nekrosis dan gumosis pada planlet digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit dengan menggunakan metode pemberian skor skala 0 sampai 4 yang dilakukan secara kualitatif (Tabel 1).
Tabel 1 Nilai skoring penyakit pada planlet yang terinfeksi penyebab penyakit BPB (Sinaga, komunikasi pribadi)
Nilai skor % nekrosis dan gumosis Keterangan
0 0 ≤ x < 5 Tidak ada infeksi
1 5 ≤ x < 20 Serangan ringan
2 20 ≤ x < 40 Serangan sedang
3 40 ≤ x < 60 Serangan cukup berat 4 60 ≤ x < 100 Serangan sangat berat
Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsend & Heuberger dalam Aripin et al. (2003):
KP =
x 100%
KP = keparahan penyakit ni = jumlah planletvi = nilai skor dari masing masing kategori N = jumlah planlet yang diamati
14
Laju infeksi penyakit dapat diukur dengan menggunakan rumus:
r = 1/ t2 –t1 (ln x 2 / 1- x 2 – ln x 1/1- x 1)
r = laju infeksi t = waktu pengamatan
x = proporsi bagian tanaman atau bagian dari populasi tanaman yang terkena infeksi atau sakit
Tingkat Keparahan Penyakit
Hasil analisis sidik ragam untuk mengevaluasi ketahanan pada berbagai perlakuan dosis radiasi mutan dan jenis patogen menunjukan bahwa perlakuan patogen berpengaruh nyata terhadap tingkat keparahan penyakit. Setelah dilakuakan uji lanjut Duncan hasilnya seperti pada tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh iradiasi terhadap persen keparahan penyakit pada hari ke enam setelah inokulasi P. citrophthora dan B. theobromae
Perlakuan Iradiasi Persen keparahan1)
P. citrophthora B. theobromae JC 68.75a 81.25a J1000 75.00 a 93.75a J2000 50.00 b 93.75a J3000 62.50 ab 87.50a 1)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
pada taraf α 0.05
Persen keparahan penyakit merupakan proporsi ekspresi area tanaman yang mengalami infeksi penyakit karena serangan patogen dalam satu tanaman. Persen keparahan penyakit menentukan tingkat serangan pertanaman dalam populasi (Sinaga 2010). Pada tabel 1 terlihat bahwa dosis iradiasi sebesar 2000 rad terhadap P. citrophthora memiliki nilai persen keparahan yang nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan planlet jeruk tanpa radiasi yaitu masing-masing sebesar 50% dan 68.75%. Sedangkan persen keparahan planlet dengan iradiasi 1000 dan 3000 rad masing- masing sebesar 75% dan 62.50%. Tampak bahwa dengan dosis iradiasi 1000 rad planlet mutan memiliki tingkat keparahan tertinggi hal ini tidak sesuai dengan evaluasi pada penelitian sebelumnya terhadap cekaman kekeringan. Diduga hal ini disebabkan karena terjadinya recovery (mutasi dapat kembali normal) dari sel-sel yang dapat mengalami mutasi (Nur 2010).
Pengaruh dosis radiasi terhadap tingkat keparahan penyakit dengan inokulasi B. theobromae menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi P. citrophthora. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh B. theobromae menyebabkan persen keparahan hampir mencapai 100%. Dengan teknik uji ketahanan yang dilakukan menunjukan dosis iradiasi tidak berpengaruh
16
nyata terhadap persen ketahanan penyakit. Tingkat keparahan yang tinggi dipengaruhi oleh sifat patogen yang virulen serta jumlah populasi dari patogen yang banyak, hal ini dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu tiga hari B. theobromae sudah dapat menutupi seluruh permukaan media uji, dan dengan jumlah yang banyak dapat menimbulkan keparahan yang lebih tinggi.
Planlet mutan hasil inokulasi jeruk JC dengan patogen P. citrophthora dan B. theobromae diketahui tidak ada planlet mutan yang tahan. Hasil parameter pengamatan persen keparahan penyakit menunjukan bahwa dengan teknik pengujian ketahanan penempelan inokulum pada pangkal batang tidak ada planlet yang tahan terhadap patogen. Hal ini tidak sesuai yang diharapkan bahwa akibat penggunaan radiasi sinar gama dapat terjadi perubahan pada planlet jeruk yang dapat meningkatkan keragaman genetik yang tahan terhadap faktor abiotik maupun biotik, salah satunya tahan terhadap penyakit. Kondisi ini dimungkinkan karena adanya kerusakan pada sel meristem yang sangat sensitive terhadap peningkatan dosis iradiasi yang cenderung menghambat pertumbuhan sel-sel tunas bahkan dapat mematikan. Menurut Duncan (1997) iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan ketidak seimbangan fisiologis tanaman. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma, semakin meningkatkan efek kerusakan pada DNA, dosis tertentu dapat mengakibatkan perubahan struktur kromosom (Harten 1998). Lemahnya kondisi planlet dapat meningkatkan keparahan planlet semakin meningkat.
Metode evaluasi in vitro telah dimanfaatkan pada berbagai tanaman untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat yang baru dan diwariskan pada turunanya (Husni dan Kosmiatin 2005). Hal ini untuk menyeimbangi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada patogen yang dapat meningkatkan sifat patogenisitasnya atau terbentuknya suatu ras baru yang lebih virulen. Salah satunya dengan induksi iradiasi dapat menyebabkan mutasi pada planlet karena sel yang diiradiasi dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia yang ada dalam jaringan tanaman, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan susunan kromosom (Poespodarsono 1998). Menurut Das et al (2000) mutasi yang dihasilkan melalui mutagen fisik telah intensif digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman.
Perlakuan iradiasi dengan dosis 2000 rad dapat menunda terjadinya kematian pada planlet. Perlakuan dosis iradiasi 2000 rad (J2000) memiliki laju infeksi paling rendah yaitu sebesar 0.091. Sedangkan laju infeksi JC sebesar 0.116 berbeda nyata dengan J1000 dengan laju infeksinya sebesar 0.115, hal ini menunjukan bahwa planlet J1000 tidak berpengaruh dalam ketahanan jika dibandingkan dengan JC. Sedangkan laju infeksi perlakuan dengan dosis iradiasi 3000 rad tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan JC dan J1000, yaitu sebesar 0.107. Tingkat laju infeksi menunjukan semakin besar nilai laju infeksi maka infeksi yang terjadi semakin cepat, semakin cepatnya infeksi maka patogen lebih mudah untuk menimbulkan penyakit. Perlakuan iradiasi 2000 rad pada kalus memiliki tingkat laju infeksi paling rendah, hal ini menunjukan planlet jeruk 200 rad relative lebih tahan terhadap P. citrophthora.
Gambar 8 Persen keparahan penyakit pada mutan JC yang mendapat iradiasi sinar gama (0, 1000, 2000, 3000 rad) dengan inokulasi P. citrophthora 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 K e p ar ah an Pen y aki t (% )
18
Gambar 9 Persen keparahan penyakit pada mutan JC yang mendapat iradiasi sinar gama (0, 1000, 2000, 3000 rad) dengan inokulasi B. theobromae
Laju infeksi dengan perlakuan iradiasi 2000 rad pada patogen B. theobromae sebesar 0,142. Sedangkan laju infeksi perlakuan iradiasi 1000 dan 3000 rad serta tanpa iradiasi pada planlet jeruk, berturut-turut sebesar 0,156; 0,164 dan 0,131. Dilihat dari selisih nilai laju infeksi setiap perlakuan tidak berbeda. Hal ini menunjukan bahwa iradiasi planlet mutan jeruk tidak menunjukan ketahanan planlet terhadap B. theobromae.
Gejala Penyakit Busuk Pangkal Batang
Gejala penyakit busuk pangkal batang tampak pada planlet jeruk yang diberi perlakuan dosis iradiasi 0, 1000, 2000, dan 3000 rad dan diinokulasi P. citrophthora dan B. theobromae. Pada hari pertama dan kedua setelah inokulasi (HSI) P.citrophthora dan B. theobromae gejala pada planlet jeruk belum muncul, namun inokulum patogen sudah mulai berkembang. Periode inkubasi pada semua planlet jeruk yaitu tiga HSI, dengan munculnya gejala awal berupa klorosis. Menurut Agrios (1996) klorosis merupakan gejala awal yang ditunjukan dengan gejala berupa menguningnya jaringan tanaman akibat nekrotik jaringan kloroplas. Kloropas pada daun muncul dari ujung daun planlet bagian atas, ujung daun tersebut berwarna hijau kekuningan (Gambar 1). Klorosis yang terjadi pada
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 K e p ar ah an Pen y aki t (% )
Waktu pengamatan (hari)
JC J1000 J2000 J3000
planlet selain disebabkan karena perkembangan patogen juga dapat terjadi karena adanya persaingan dalam memperoleh unsur hara pada media.
Gambar 1 Gejala awal klorosis dengan (A) inokulum P. citrophthora (B) inokulum B. theobromae
Nekrosis merupakan gejala penyakit yang ditandai dengan degenerasi protoplas lalu diikuti dengan matinya sel-sel jaringan, organ, dan seluruh tumbuhan (Sinaga 2000). Menurut Umezurike (1979) nekrosis terjadi karena adanya aktifitas patogen yang menghasilkan enzim selulitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek dan dapat diabsorb oleh patogen, namun dapat berakibat matinya jaringan tanaman. Agrios (1996) menyatakan bahwa penyakit BPB dapat terjadi oleh gangguan inokulum patogen terhadap translokasi air pada tanaman pembuluh xylem dan floem. Nekrosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan daun berwarna coklat dan mati (Gambar 2). Pada inokulum P. citrophthora daun berubah warna menjadi coklat dan pada daun dengan inokulum B. theobromae daun berubah warna menjadi hitam. Peneliti lain Maryono (2010) melaporkan gejala penyakit BPB dengan inokulasi buatan isolat B. theobromae yang sama pada bibit JC menyebabkan gejala nekrosis pada kambium dan pembuluh, namun perkembangannya sangat lambat (Gambar 3).
B A
20
Gambar 2 Gejala lanjut Nekrosis dengan (A) Inokulum P.citrophthora (B) Inokulum B. theobromae
Gambar 3 Gejala nekrosis pada batang jeruk 2 bulan setelah inokulasi (foto: oleh Tri Maryono)
Nekrosis yang terus berkembang diikuti gejala gumosis, menurut Agrios (1996) gumosis atau sering disebut blendok merupakan gejala yang khas dalam penyakit BPB. Gumosis ini merupakan cairan yang dihasilkan tumbuhan sebagai respon inang terhadap serangan patogen atau adanya benda asing dalam jaringan tanaman. Planlet jeruk yang diinokulasi P. citrophthora menimbulkan gejala gumosis rata-rata 6 HSI, sedangkan pada B. theobromae perkembangan gejala gumosis lebih cepat yaitu rata-rata 4 HSI. Gambar 4 menunjukan perbandingan gejala gumosis penyakit BPB di lapangan dan in vitro. Pada inokulasi P. citrophthora gumosis berwarna kuning bening dan lebih cair atau encer seperti tampak pada gambar 4A. Hal ini sesuai dengan laporan Balitjestro (2006) bahwa kulit kayu yang terserang patogen Phytophthora spp. permukaannya cekung dan
tidak merata dan mengeluarkan gumosis encer. Pada gambar 4B gejala di lapangan, gumosis lebih encer dan mudah meluas. Sedangkan planlet yang diinokulasi B. theobromae gumosis berwarna kuning kecoklatan dan lebih kental (Gambar 4C) begitu juga gejala yang ditemukan di lapangan yang mana gumosis berwarna lebih gelap (Gambar 4D). Pada gambar 5 menunjukan gejala gumosis pada bibit JC yang terserang penyakit BPB, tampak gumosis keluar dari pangkal batang dekat titik penyambungan okulasi. Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika, Malang, Jawa Timur melaporkan bahwa pada pembibitan jeruk JC disana tidak sedikit bibit yang terserang penyakit BPB.
Gambar 4 Gejala Gumosis atau Blendok: (A) pada Planlet jeruk dengan inokulasi P. citrophthora, (B) pada batang jeruk di lapangan yang disebabkan oleh Phytophthora spp., (C) pada planlet jeruk dengan inokulasi B. theobromae, (D) pada batang jeruk di lapangan yang disebabkan oleh Bortydiplodia
Gambar 5 Gejala gumosis pada pembibitan JC (foto: Julinda Henuk) D
C B
22
Gambar 6 Sindrom gejala dengan inokulasi P. citrophthora (A) 3-4 HSI, (B) 5-6 HSI, (C) 7-9 HSI, (D) 10-11 HSI, (E) 11-12 HSI, (F) 13-14 HSI
Gambar 7 Sindrom gejala dengan inokulasi B. theobromae (A) 3-4 HSI, (B) 5-6 HSI, (C) 7-9 HSI, (D) 10-11 HSI, (E) 11-12 HSI, (F) 13-14 HIS
A
B
C
F
E
D
A
B
C
D
E
F
Gambar 6 dan 7 menunjukkan perkembangan pertumbuhan gejala dengan infeksi P. citrophthora lebih lambat dibandingkan dengan B. theobromae. Pada 13 HSI koloni P. citrophthora lebih sedikit dibandingkan dengan B. theobromae yang telah menutupi permukaan media dan planlet jeruk. Perlakuan inokulasi permukaan planlet dengan P. citrophthora telah terselimuti koloni patogen rata- rata 12 HSI, sedangkan pada inokulasi B. theobromae koloni miselium menutupi seluruh permuakaan planlet pada 7 HSI. B. theobromae mulai membentuk stroma berwarna hitam yang merupakan matriks hifa vegetatif dan bentuknya seperti sklerotium pada 13 HSI. Stroma terbentuk membentuk piknidia yang di dalamnya terdapat konidia. Pada suhu kamar, Phytophthora sp. yang dibiakkan pada media PDA dapat tumbuh memenuhi cawan petri dengan diameter 9 cm pada 21 HSI, sedangkan Botryodiplodia sp. mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat yaitu, 3 sampai 7 HSI (Henuk 2010).
Perkembangan kedua patogen ini dipengaruhi oleh karakter masing-masing patogen. P. citrophthora merupakan organisme hemibiotrop, dapat menyerang dan mendapatkan makanan dari jaringan hidup, tetapi masih mampu berkembang dan bersporulasi setelah jaringan inangnya mati (Sinaga 2000). Meskipun patogen ini lambat, namun patogen pasti akan mematikan, sedangkan B. theobromae memiliki siklus hidup yang lebih cepat dan juga dapat mematikan inangnya. Lain halnya di lapangan inokulasi patogen yang sama, B. theobromae pada bibit jeruk JC baru menunjukan gejala nekrosis ± 2 bulan setelah inokulasi buatan (Maryono 2010). Dibandingkan dengan inokulasi in vitro, waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui terjadinya proses infeksi yang ditunjukan oleh penyakit BPB jauh lebih lama. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan gejala berkorelasi positif dengan proses infeksi patogen. Berdasarkan perkembangan gejala penyakit yang terjadi dengan metode inokulasi patogen pada planlet jeruk dapat digunakan sebagai teknik uji ketahanan in vitro BPB jeruk. Keuntungan lain dari teknik ini ialah penghematan waktu evaluasi ketahanan BPB jeruk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil evaluasi in vitro ketahanan jeruk mutan dengan radiasi 1000, 2000, dan 3000 rad terhadap BPB yang disebabkan oleh P. citrophthora dan B. theobromae diketahui ada planlet jeruk yang tahan terhadap kedua patogen. Teknik evaluasi ketahanan dengan cara penempelan inokulum pada planlet dapat digunakan untuk memberi informasi awal mengenai ketahanan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memvalidasi teknik uji ketahanan planlet dengan cara penempelan inokulum dengan uji ketahanan tanaman jeruk setelah aklimatisasi.
Agrios G. 1996. Plant Pathology. Ed ke-3. New York: Academic Press.
Aripin K, Lubis L, Zulnayati. 2003. Pengaruh jenis tanah terhadap serangan jamur akar putih (Rigidoporus mikroporus Swarrzi. FR ) van ov pada tanaman karet. [laporan penelitian]. http://www.library.usu.ac.id. [5 juli 2010] Badan Litbang Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Jeruk. hal 39.
Balitjestro. 2006. Penyediaan Batang Bawah dalam Pengelolaan Blok Penangkar Benih. http://www.citrusindo.org [3 Juli 2010]
Balitjestro. 2004. Masyarakat Jeruk Indonesia. Website:http:www.citrus- indonesia.com.[3 Mei 2009]
Drenth A, David IQ. 2004. Principles of P. citrophthora Disease Management. ACIAR Monograph 114:154.
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2006. Peta penyebaran serangan OPT pada tanaman hortikultura. hal 14.
Duncan RR. 1997. Tissue Culture Induced Variation and Crop Improvement. Adv Agron. 58:201-204.
Erwin, DC and Olaf K. Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. Minnesota : The American Phytopathological Society.
George EF and Sherington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegenetics 1-72p.
Graham, JH and L.W. Timmer. 2008. Phytophthora diseases of citrus. Citrus Research and Education Centre, Lake Alfred, Institute of Food and agricultural Sciences, University of Florida.13p.
Harten VA. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Aplication New York. Cambrige University Press. Hal 111-162.
Henuk JBD. 2010. Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia [Tesis]. Bogor : Institut Petanian Bogor, Fakultas Pertanian. Husni A, Kosmiatin M. 2005. Penerapan Teknologi Fusiprotoplas dalam
Perakitan Jeruk Lokal Tipe Baru. Laporan Hasil Penelitian Program Insentif Terapan Tahun 2005. Hal 42 (tidak dipublikasiakan
26
Maluszynki M, Nicterlein K, Van Zanten L and Ahloowalia BS. 2000. Officially released mutans varieties. Mutation Breeding 12:1-83.
Martias. 2004. Respon pertumbuhan bibit jeruk JC terhadap pemberian CaCO3 dan pupuk P pada tanah Ultisol. J. Hort.14 (1): 33-40
Maryono T. 2010. Peran FMA dan PGPR dalam Menginduksi Ketahanan Tanaman Jeruk terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian.
Masyarakat Jeruk Indonesia. 2004. Varietas Batang Bawah Jeruk dan Sifatnya. http://www.citrus-Indonesia.com. [ 3 Juli 2010]
Miller PM. 1995. V8-Juice agar as general purpose medium for fungi and bacteria. Phytopathology 45: 461-462.
Mitra, S.K. 1997. Postharvest Physiology and Storage of tropical and Subtropical Fruits. UK : CAB Internasional.
Murashige T. and Skoog F. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassay with Tobacco Tissue Culture Physid Plant 15:473-497.
Nur Fitria. 2010. Seleksi Ketahanan Batang Bawah Jeruk (JC) terhadap Cekaman Kekeringan [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Poespodarsono S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU- IPB
Bogor. hal 169.
Purbiati T, Supriyanto A dan Yati. 2002. Kompatibilitas Batang Atas dan Batang Bawah pada Penyambungan Tunas Pucuk (PTP) Jeruk (Citrus sp.) secara In Vitro. Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika. Tlekung.
Samson J.A. 1980. Tropical Fruit. Longman, London and New York. 250p. Sinaga MS. 2000. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bogor: Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB; Bogor.
Semangun H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Slavov S. 2005. Phytotoxins and In vitro Screening for Improved Diseases Resistant Plants. Bulgaria. AgroBio Institute, Sofia.
Soedjono S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 2:22.
Starrantino A and Caruso A. 1983. The development of tolerance cells to mineral stress. Hortikultura 19:377-382.
Steel RGD dan Torrie J. 1960. Principles and Procedurs of STATISTICS with Special Reference to the Biological Sciences. McGraw-Hill Bokk Company, Inc. New York.
Supriyanto A. 1990. Pengolahan pembibitan jeruk bebas penyakit dalam kantong plastic. Sub Balai Penelitian Holtikultura Tlekung. Hal 15.
Susanto S. 2003. Pertumbuhan dan Pembuahan Jeruk Besar Cikoneng pada Beberapa Jenis Batang Bawah. Jurnal Ilmu Pertanian. 1:57-63.
Syarifah IS. 2006. Seleksi In Vitro untuk Ketegangan terhadap Aluminium pada 4 genotipe Jagung. Jurnal Akta Agrosia 2:61-66.
Timmer LW, SM Garnsey, J.H Graham. 2000. Compendium of Citrus Diseases 2nd id. The American Phytophathological society. 92P.
Triatminingsih R, Karsinah. 2004. Perbanyakan Bibit Jeruk Citromelo dan JC secara In vitro. Jurn. Hort. 14(4):238245
Triwiratno A. 1998. Pengendalian Penyakit Blendok pada Tanaman Jeruk Besar. Balai pengkajian teknologi pertanian karang ploso.
Umezurike GM. 1979. The cellulolytic enzymes of Botryodiplodia theobromae
Pat.: Separation and characterization of cellulases and β-glucosidases. Biochem. 177:9-19.
Tabel Lampiran 1 Komposisi media MS (Murashige and Skoog)