• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2010 di University Farm, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor yang terletak pada ketinggian 250 m dpl. Pengamatan pasca panen dilaksanakan di Laboraturium Produksi, Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Laboraturium Kebun Percobaan Muara, Bogor, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 genotipe padi introduksi dari Jepang dan Korea yaitu Takanari, Nongan, Sankesou, 2032-B, 2029-B dan Ciherang sebagai kontrol. Pupuk yang digunakan adalah Urea dengan dosis 250 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP-18 150 kg/ha. Pengendalian OPT menggunakan pestisida sesuai kebutuhan. Alat yang digunakan adalah alat budidaya pertanian (bak persemaian, cangkul, alat tandur jajar), jangka sorong, mistar, timbangan digital, pengukur kandungan klorofil (SPAD-klorofilmeter).

Metode Percobaan

Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Perlakuan yang dievaluasi adalah 6 aksesi dengan empat ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Ukuran petak yang digunakan untuk setiap satuan percobaan adalah 5 m x 3.5 m dengan jarak tanam 20x(30 + 20) cm. Tata letak percobaan disajikan pada Lampiran 1. Benih disemai terlebih dahulu di bak persemaian selama 12 hari kemudian ditanam 1 bibit per titik tanam.

Model statistik yang digunakan adalah:

Yij = μ+αi+βj+εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan yang diberikan oleh aksesi ke-i dan kelompok ke-j

i = 1, 2, 3, …,6 j = 1, 2, 3,4

µ = nilai tengah populasi αi = pengaruh aksesi ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh galat umum percobaan

Apabila setelah dilakukan pengujian dengan sidik ragam menghasilkan nilai F-hitung nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Penelitian Pra Tanam

Pengolahan lahan dilakukan sejak sebulan sebelum tanam dengan cara membersihkan gulma, menggemburkan, menggaru tanah dan diairi hingga berlumpur. Benih padi disemai selama 12 hari.

Penanaman

Penanaman dilakukan dengan menanam bibit padi di lahan dengan jarak tanam 20 x (30 + 20) cm menggunakan 1 bibit/lubang tanam.

Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan pada penelitian ini antara lain pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama dan penyakit. Pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis rekomendasi untuk Babakan Sawah Baru yaitu 250 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan SP-18 150 kg/ha. Pupuk Urea diaplikasikan 3 kali masing-masing sepertiga yaitu pada saat tanam, 3 minggu setelah tanam (MST) dan 7 MST. Pupuk KCl dan SP-18 diaplikasikan pada saat tanam. Pemupukan dilakukan dengan menaburkan pupuk secara merata di seluruh permukaan lahan.

Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabutnya dengan tangan maupun alat pertanian. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan pestisida yang sesuai. Penyemprotan dilaksanakan apabila terlihat gejala yang menyerang dengan dosis yang disesuaikan.

Panen

Panen dilakukan pada saat malai telah memasuki fase masak penuh yaitu 90 % gabah telah menguning. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong malai dalam satu rumpun. Pengamatan pasca panen yang dilakukan meliputi pengamatan komponen hasil serta mutu beras dan nasi.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh untuk masing-masing unit percobaan. Peubah yang diamati antara lain:

 Pengamatan vegetatif

a. Tinggi tanaman, diukur mulai pangkal batang sampai ujung daun tertinggi pada 8 MST.

b. Diameter batang pada saat panen ( 16 MST). c. Kandungan klorofil daun pada 7 MST.

d. Jumlah anakan, dihitung jumlah seluruh anakan per rumpun pada 8 MST.

 Pengamatan generatif dan komponen hasil

a. Umur berbunga, dengan kriteria 50 % tanaman mengeluarkan malai. b. Umur panen, dihitung jumlah hari mulai dari saat semai sampai panen. c. Jumlah anakan produktif, dihitung jumlah anakan yang bermalai.

d. Jumlah malai per rumpun, dihitung dengan cara menghitung seluruh malai yang terbentuk pada saat panen.

e. Panjang malai, diukur dari buku pada pangkal malai sampai ujung malai. f. Panjang dan lebar daun, diukur pada daun bendera dan 2 daun di bawahnya. g. Jumlah gabah total, dihitung dari jumlah gabah pada satu malai dari rata-rata

3 malai/rumpun.

h. Persentase jumlah gabah hampa, yaitu perbandingan jumlah gabah hampa dengan gabah total.

i. Persentase jumlah gabah isi, yaitu perbandingan jumlah gabah isi dengan gabah total.

j. Bobot 1000 butir.

k. Bobot gabah kering giling per ubinan (2.5 x 2.5 ) m. l. Dugaan bobot gabah kering giling per hektar.

 Karakteristik mutu beras dan nasi

a. Uji mutu beras: kadar amilosa, ukuran beras, dan pengapuran.

b. Uji mutu nasi: tekstur nasi, aroma, warna dan rasa nasi yang diuji oleh para panelis.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

Penelitian dilakukan di University Farm, Babakan Sawah Baru, Dramaga, Bogor pada Januari hingga Juni. Kondisi lahan pada bulan Januari-Maret memiliki suhu rata-rata 25.73ºC, dan curah hujan rata-rata 375.73 mm per bulan. Pada bulan April-Juni memiliki suhu rata-rata 26.56ºC, dan curah hujan rata-rata 225.73 mm per bulan. Menurut Ikeda (2000) pada daerah empat musim, padi jenis sub tropis yang dibudidayakan akan tumbuh optimum pada suhu 20ºC- 23ºC, sistem irigasi yang baik, dan pada ketinggian 0-1400 m dpl. Oleh karena itu, kondisi suhu di wilayah tropis lebih tinggi daripada daerah penanaman di wilayah sub tropis.

Penyemaian merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum penanaman di lahan. Sebelum disemai, benih padi japonica dioven selama 24 jam pada suhu 45ºC lalu direndam dalam air selama 4 jam dan ditiriskan. Perlakuan tersebut bertujuan sebagai seleksi terhadap benih yang kurang baik, terapung, melayang yang harus dibuang. Selain itu, agar terjadinya proses tisiologis yaitu terjadinya perubahan kimiawi di dalam benih sehingga cepat berkecambah. Kemudian benih tersebut disemai di bak persemaian selama 12 hari.

Lahan diolah sebulan sebelum penanaman dan pembasmian hama keong sawah dilakukan secara manual. Pengairan dilakukan dengan pengaturan pada saat padi memasuki fase pertumbuhan awal berumur 1-3 MST genangan air diberikan setinggi 1-3 cm. Dengan demikian, serangan keong sawah dapat ditekan untuk meminimumkan penyulaman. Pada fase primodia bunga hingga bunting dan berbunga, lahan digenangi dengan ketinggian air 5 cm untuk menekan pertumbuhan anakan yang baru. Pada fase pengisian biji, air dipertahankan setinggi 3 cm dan fase pemasakan lahan diairi dan dikeringkan secara bergantian kemudian seminggu sebelum panen, lahan dikeringkan.

Hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi adalah walang sangit, dan penyakit tungro. Tanaman padi yang mengidap penyakit tungro menunjukkan gejala kerdil, perubahan warna daun menjadi jingga kemerahan, anakan berkurang, dan malai tidak sempurna. Pengendalian yang dilakukan yaitu dengan

melakukan sanitasi dan penyemprotan pestisida. Gulma, singgang, dan ceceran gabah yang tumbuh (voluntir) dapat menjadi inang serangga seperti wereng hijau maupun patogen penyebab tersebarnya virus tungro. Penyemprotan pestisida dapat menekan populasi wereng hijau yang berarti mengurangi kecepatan penyebaran virus. Penggunaan insektisida dilakukan berdasarkan pengamatan. Penyemprotan menggunakan insektisida berbahan aktif imidacloprid (racun lambung dan kontak) dengan dosis 400 g/ha ke seluruh lahan penanaman.

Rekapitulasi Sidik Ragam

Berdasarkan hasil uji F pada peubah pengamatan keseluruhan genotipe padi, pada penanaman yang dilakukan di daerah tropis (Bogor) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, jumlah klorofil daun, panjang malai, panjang daun bendera, jumlah gabah total, umur berbunga, umur panen, dan bobot 1000 butir. Hasil uji F tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada peubah diameter batang, persentase gabah hampa, persentase gabah isi, bobot per ubinan dan bobot per hektar. Nilai koefisien keragaman (KK) untuk keseluruhan peubah berkisar 2.5-24 persen (Tabel 2). Gomez dan Gomez (1995) menjelaskan bahwa nilai KK menunjukkan tingkat ketepatan perlakuan dalam suatu percobaan dan menunjukkan pengaruh lingkungan dan faktor lain yang tidak dapat dikendalikan dalam suatu percobaan.

Tabel 2. Rekapitulisasi Sidik Ragam Pengaruh Genotipe Padi yang Diuji di Lingkungan Tropis Karakter F-hitung KK (%) Genotipe Tinggi tanaman ** 4.9

Jumlah anakan total ** 15.3

Jumlah anakan produktif * 14.7

Jumlah klorofil daun ** 4.4

Diameter batang tn 13.5

Panjang malai ** 9.7

Panjang daun bendera * 21.7

Lebar daun bendera ** 11.9

Jumlah gabah total ** 16.3

Persentase gabah isi tn 3.5

Persentase gabah hampa tn 24.0

Umur berbunga 50 % ** 3.0

Umur panen ** 2.5

Bobot 1000 butir * 16.0

Bobot per ubinan tn 7.9

Bobot per hektar tn 15.4

Keterangan: KK = koefisien keragaman, *=berbeda nyata pada taraf 0.05, **=berbeda sangat nyata pada taraf 0.01, tn=tidak nyata

Karakter Vegetatif dan Generatif

Keragaan karakter tinggi tanaman pada setiap aksesi padi sub tropis dengan padi Ciherang menunjukkan perbedaan tidak nyata kecuali pada padi Sankesou (Tabel 3). Tinggi tanaman yang terendah pada 2029 B yaitu 69 cm dan tertinggi Sankesou yaitu 83 cm. Kisaran tinggi tanaman yang ditunjukkan oleh semua aksesi yaitu antara 69-83 cm merupakan tinggi tanaman semi dwarf (60-90 cm). Berdasarkan Balai Besar Penelitian Padi (2008) morfologi tanaman Ciherang untuk tingginya yaitu berkisar 107-115 cm (Lampiran 3).

Tabel 3. Keragaan Vegetatif Genotipe Padi Introduksi dan Pembanding No. Aksesi Tinggi Tanaman (cm) (8 MST) Jumlah Anakan (8 MST) Diameter batang (cm) (16 MST) Kandungan Klorofil SPAD (7 MST) 1 2029 B 69b 20a 0.6 38b 2 Takanari 72b 17a 0.7 42a 3 Nongan 74b 12b 0.6 41a 4 2032 B 74b 20a 0.6 38b 5 Sankesou 83a 16a 0.6 38b 6 Ciherang 73b 18a 0.7 35c

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05

Muliasari (2009) menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan apabila bibit ditanam dengan umur muda (10 hari), maka tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan dengan bibit yang lebih tua (21 dan 25 hari) dengan jarak tanam yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara potensi bibit untuk tumbuh dan lingkungan tumbuhnya. Tinggi tanaman padi yang semidwarf berfungsi untuk tanaman lebih tegak dan tahan rebah.

Diameter tanaman pada semua genotipe padi menunjukkan perbedaan tidak nyata. Ciherang dan Takanari mempunyai diameter terbesar yaitu 0.7 cm dan pada aksesi lainnya berdiameter 0.6 cm. Pengamatan diameter dilakukan karena menurut Yamin dan Moentono (2005) bahwa korelasi antara diameter batang dengan kuat batang menunjukkan hubungan yang nyata sehingga dapat dipakai sebagai kriteria seleksi untuk ketahanan rebah. Hal ini sejalan dengan Vergara et al. (1991) yang menyatakan bahwa batang besar cenderung mempunyai tangkai malai yang besar untuk menyangga malai dan memperkecil rebah. Disamping itu, batang besar mempunyai kecenderungan lebih banyak jaringan pembuluh (vascular bundles), dimana jaringan ini dapat membantu memperkuat tegaknya tanaman.

Masing-masing genotipe memiliki jumlah anakan yang tidak berbeda nyata dengan Ciherang kecuali Nongan yang memiliki jumlah anakan terkecil yaitu 12 anakan. Sebaliknya, jumlah rumpun terbanyak dimiliki oleh 2029 B dan 2032B yaitu 20 anakan. Kisaran jumlah anakan yang ditunjukkan oleh semua genotipe yaitu antara 12-20 anakan (Tabel 3). Pada keseluruhan pengamatan semua genotipe, semua rumpun produktif tetapi jumlah gabah per malainya sedikit. Hal

ini dikarenakan oleh jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak akan mengakibatkan masa masak malai tidak serempak sehingga menurunkan produktivitas dan mutu beras (Abdullah et al., 2008). Sebaliknya, jika jumlah gabah per malai banyak maka masa pemasakan akan lebih lama, sehingga mutu beras menurun atau tingkat kehampaan tinggi karena ketidakmampuan sumber mengisi limbung.

Kandungan klorofil diukur menggunakan SPAD-klorofilmeter saat tanaman berumur 7 MST dan diukur pada daun ke- 3 dan ke- 4 yang terkena cahaya matahari penuh. Semua genotipe padi introduksi mempunyai jumlah kandungan klorofil yang berbeda nyata dengan padi Ciherang yang mempunyai kandungan klorofil terendah yaitu 35 SPAD. Sebaliknya, Takanari dan Nongan mempunyai kandungan klorofil paling tinggi yaitu 42 SPAD dan 41 SPAD. 2029B, 2032B dan Sankesou mempunyai kandungan klorofil yang tidak berbeda nyata satu sama lain yaitu 38 SPAD (Tabel 3). Kandungan klorofil daun yang ditetapkan dengan SPAD berkorelasi positif dan sangat nyata dengan kandungan klorofil yang ditetapkan secara destruktif. Pengukuran klorofil daun secara destruktif berkorelasi positif nyata dengan kadar N daun dengan ambang batas kandungan klorofil kekurangan hara nitrogen (N) yaitu dibawah 35 SPAD (Argenta et al., 2004). Tiap-tiap genotipe pada saat pertumbuhan vegetatif tidak mengalami kekurangan hara dan menunjukkan bahwa padi introduksi ini memiliki kandungan klorofil yang lebih banyak daripada Ciherang.

Pengamatan generatif untuk umur berbunga 50 % dan umur panen pada tiap genotipe memiliki perbedaan yang tidak nyata terhadap Ciherang kecuali Nongan. Terlihat bahwa Nongan memiliki waktu berbunga dan panen yang cepat daripada genotipe lainnya maupun pembanding. Sebaran pada umur berbunga 50 % yaitu 72-86 hari (Tabel 4). Siregar (1981) menggolongkan umur padi dalam lima kelompok yaitu genjah (100-115 hari), setengah genjah (116-125 hari), setengah dalam (126-135 hari), dalam (136-150 hari) dan dalam sekali (lebih dari 150 hari). Berdasarkan penggolongan ini semua genotipe padi termasuk berumur genjah kecuali 2029 B yaitu setengah genjah (Tabel 4). Hal ini baik karena menurut Khush (1995) padi tipe baru diharapkan berumur sedang yaitu 110-130 hari.

Tabel 4. Keragaan Generatif Genotipe Padi Introduksi dan Pembanding No. Aksesi UB (HSS) UP (HSS) ∑AK PM (cm) PB (cm) LDB (cm) 50 % 1 2029 B 86a 82a 72b 84a 85a 86a 117a 16a 19ab 22b 1.12b 2 Takanari 111a 15a 22a 36a 1.17b 3 Nongan 101b 11b 21a 24b 1.68a 4 2032 B 114a 18a 18b 23b 1.16b 5 Sankesou 114a 15a 23a 30ab 1.19b 6 Ciherang 115a 15a 22a 24b 1.04b

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05

Umur Berbunga (UB), Umur Panen (UP), ∑Anakan Produktif (∑AK), Panjang Malai

(PM), dan Panjang & Lebar Daun Bendera (PB &LDB).

Padi introduksi memiliki anakan produktif cukup banyak yaitu dengan kisaran 11-18 anakan. Pada pengamatan hasil jumlah gabah per malai untuk anakan produktif, persentase bulir yang hampa sangat tinggi (Tabel 5). Menurut Horrie et al. (2006), kehampaan dan persentase gabah isi lebih dipengaruhi oleh faktor genetik daripada nongenetik. Faktor genetik dapat diperbaiki melalui pemuliaan. Faktor nongenetik disebabkan oleh lingkungan, seperti suhu tinggi yang menyebabkan respirasi tinggi dan terbatasnya hara karena tanah kurang subur. Pada Tabel 6 terlihat bahwa terserangnya penyakit tungro pada padi introduksi merupakan salah satu faktor lingkungan yang menyebabkan persentase kehampaan gabah tinggi.

Deptan (1983) menggolongkan panjang malai menjadi tiga yaitu pendek (<20 cm), sedang (20-30 cm), dan panjang (> 30 cm). Berdasarkan penggolongan tersebut rata-rata panjang malai keseluruhan genotipe yang diukur tergolong sedang yaitu 21 cm (Tabel 4). Panjang malai tidak berbeda nyata terhadap Ciherang (22 cm) kecuali pada 2029 B (19 cm) dan 2032B (18 cm) yang tergolong bermalai pendek.

IBPGR-IRRI (1980) menyatakan bahwa daun teratas pada padi disebut daun bendera yang terletak di bawah malai. Berdasarkan sudutnya, daun bendera dapat dikelompokkan dalam empat kelompok yaitu berdaun tegak, sedang, datar dan turun. Daun bendera pada keseluruhan genotipe termasuk tegak dengan panjang daun bendera yang tidak berbeda nyata terhadap Ciherang kecuali pada

Takanari (36 cm) dan Sankesou (30 cm) (Tabel 4). Lebar daun bendera hanya berbeda nyata pada jenis Nongan yang memiliki karakteristik yang cukup lebar yaitu 1.68 cm. Hal ini berkorelasi positif dengan kandungan klorofil yang juga termasuk tinggi pada Nongan (Tabel 3).

Produksi Gabah Kering Giling

Jumlah gabah per malai sebaran jumlah gabahnya pada seluruh genotipe yaitu 84-164 butir dengan persentase rata-rata gabah hampanya lebih besar (71 %) daripada persentase gabah isi (29 %) (Tabel 5). Maka dari itu, bobot gabah kering giling per ubinannya (126 rumpun) rendah dan tidak berbeda nyata satu sama lain. Tabel 5. Keragaan Komponen Hasil Genotipe Padi Introduksi dan

Pembanding No. Aksesi ∑ G/M (butir) % GH (persen) % GI (persen) B GKG/U (kg) B GKG/ha (ton) B 1000 (g) 1 2029 B 100cd 78 23 2.22 3.55 22a 2 Takanari 131cb 79 21 2.00 3.20 16b 3 Nongan 146ab 77 23 1.62 2.59 16b 4 2032 B 84d 82 18 1.72 2.75 18ab 5 Sankesou 164a 49 51 2.50 4.00 16b 6 Ciherang 102cd 64 36 2.12 3.39 22a

Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05

∑ Gabah/Malai (∑ G/M), % Gabah Hampa (% GH), % Gabah Isi (% GI), Bobot

GKG/Ubinan (B GKG/U), Bobot GKG/Hektar (B GKG/ha),dan Bobot 1000 butir (B 1000).

Konversi produksi per hektarnya pun rendah (sekitar 50 % potensi) karena berdasarkan Balai Besar Penelitian Padi (2008), Ciherang dapat berproduksi sekitar 6 ton/ha (Lampiran 3). Pada pengamatan, Ciherang berproduksi hanya 3.39 ton/ha dan tidak berbeda nyata dengan padi lainnya dengan produksi per hektar yang paling tinggi adalah Sankesou dan terendah adalah Nongan. Bobot 1000 butir pada tiap genotipe berbeda nyata lebih rendah daripada Ciherang kecuali 2029B dan 2032B (Tabel 5).

Serangan Hama Penyakit

Menurut Nguyen dan Van Tran dalam Rice Information (2000), padi varietas japonica lebih resisten pada temperatur rendah, tetapi rendah resistensinya pada hama dan penyakit dibandingkan padi jenis indica. Hal ini ditunjukkan pada persentase terserangnya penyakit tungro ini cukup besar pada masing-masing jenis padi introduksi di setiap ulangan. Pada rata-rata ulangan tersebut terlihat persentase tertinggi terserang yaitu padi 2032B (45.0 %) dan terendah Sankesou (6.3 %) serta lainnya pada Nongan (41.3 %), Takanari (27.5 %), 2029B (22.5 %), Ciherang (12.5 %) (Tabel 6). Serangan tungro ini menyebabkan persentase gabah hampa pada setiap genotipe menjadi cukup tinggi. Menurut Muhsin dan Widiarta (2009) di Indonesia, daerah endemik hampir ada di setiap daerah yang tertular tungro, seperti Bogor, Subang, dan Garut (Jawa Barat), Pekalongan dan Klaten (Jawa Tengah), Padang Galak (Bali), dan Pinrang (Sulawesi Selatan).

Tabel 6. Rataan Persentase Serangan Tungro pada Saat 7 MST

No. Aksesi Ulangan Rata-

rata 1 2 3 4 ………...%... 1. 2029 B 20 50 10 10 22.5 2. Takanari 20 60 10 20 27.5 3. Nongan 50 50 60 5 41.3 4. 2032 B 50 50 60 20 45.0 5. Sankesou 10 10 0 5 6.3 6. Ciherang 20 10 20 0 12.5

Tanaman terserang pada umur padi memasuki pembentukan malai yaitu 7 MST (Gambar 1). Kondisi ini didukung oleh populasi wereng hijau yang cukup banyak, hama ini dikenal efektif dalam penyebaran virus. Maka dari itu, pengendalian yang dilakukan adalah sanitasi lahan atau pembuangan gulma dan penyemprotan insektisida berbahan aktif imidacloprid (racun lambung dan kontak) dengan dosis 400 g/ha ke seluruh lahan penanaman. Menurut Wirasajaswadi (2009) serangan yang terjadi pada tanaman yang telah mengeluarkan malai umumnya tidak menimbulkan kerusakan fatal. Sehingga, padi introduksi yang terserang masih bisa berproduksi dan tidak berbeda nyata terhadap Ciherang.

Karakteristik Mutu Beras

Selain karakter-karakter agronomi, pengamatan mutu beras juga dilakukan untuk mengetahui genotipe padi introduksi sub tropis yang menunjukkan karakteristik ciri beras yang baik. Pengamatan mutu beras terdiri dari karakteristik rendemen penggilingan beras, fisik beras, dan tekstur beras. Menurut Damardjati dan Purwani (1991) secara umum kriteria dan pengertian mutu beras meliputi mutu pasar (market quality), mutu tanak (cooking quality) dan mutu rasa (eating quality). Mutu pasar ditentukan oleh sifat fisik dan penampakan beras antara lain ukuran dan bentuk beras, persentase bulir patah, persentase menir, butir rusak dan benda asing. Mutu tanak ditentukan oleh kadar amilosa dan suhu gelatinisasi. Mutu rasa ditentukan oleh faktor subjektif yang dipengaruhi oleh lokasi, suku, bangsa, lingkungan pendidikan, tingkat golongan dan jenis pekerjaan konsumen.

Pada Tabel 7 disajikan karakteristik rendemen penggilingan padi pada 5 genotipe padi introduksi sub tropis dengan pembanding Ciherang. Tahap awal setelah proses pemanenan adalah pengeringan gabah basah menjadi gabah kering giling yang dijemur selama 3 hari dan menghasilkan kadar air rata-rata ± 14 % yang cukup baik dalam proses penggilingan.

Gambar 1. Hama Penyakit yang Menyerang Padi: (A) Padi pada 7 MST Gejala Tungro (B) Wereng Hijau

Menurut Food and Agriculture of Organization (2005), proses penggilingan gabah biasanya dilakukan pada kadar air sekitar 14 %. Butir gabah yang basah (kadar air tinggi) akan menyebabkan butir beras remuk, sebaliknya gabah yang sangat kering (kadar air terlalu rendah) butir beras juga akan patah dan dihasilkan butir-butir menir.

Tabel 7. Karakteristik Rendemen Penggilingan Beras Genotipe Padi Introduksi dan Ciherang

No. Aksesi Kadar air Gabah Berat Gabah Berat Pecah Kulit Berat Beras Putih Beras Kepala Rendemen (%) ---gram--- ---%--- 1. 2029 B 14.2 500 291 208 8 42 2. Takanari 14.0 500 305 265 49 53 3. Nongan 14.0 500 305 248 10 50 4. 2032 B 14.4 500 247 200 6 40 5. Sankesou 13.7 500 312 277 55 55 6. Ciherang 13.9 500 188 157 26 31 Rata-rata 14.03 500 274.7 225.8 25.7 45.2

Proses penggilingan dilakukan dengan menimbang masing-masing sampel sebesar 500 gram kemudian gabah dikupas kulitnya menggunakan alat tipe roll karet. Pengupasan kulit gabah menghasilkan beras pecah kulit dengan pengurangan berat sebesar 45 %. Kemudian dilakukan pemutihan atau penyosohan dengan menggunakan mesin penyosoh tipe friksi. Pemutihan beras merupakan tahap akhir dari proses penggilingan gabah menjadi beras yang siap dimasak menjadi nasi. Proses pemutihan beras ini menghasilkan beras putih dengan pengurangan berat sebesar 18 %. Keseluruhan proses penggilingan hingga menjadi beras siap konsumsi menghasilkan rata-rata rendemen sebesar 45.2 % (Tabel 7). Menurut Perpadi (2009) rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil (PPK) yang berkonfigurasi sederhana yaitu Husker- Polisher (H-P) rata rata sebesar hanya 55.7 % dengan kualitas beras kepala 74.3 %. Tabel 7 menjelaskan bahwa untuk keseluruhan genotipe rendemen beras hasil penggilingan rendah atau berkurang sebesar 10.5 %. Kualitas beras kepala pada seluruh genotipe termasuk rendah dibawah standar (Tabel 7). Pada tiap genotipe rendemen yang tinggi terdapat pada Nongan dan Sankesou sedangkan

yang lainnya rendah. Menurut Perpadi (2009) dikarenakan oleh aspek budidaya padi (good farming practice) yang meliputi sifat genetik (varietas) dan perlakuan saat budidaya (benih, pupuk, penyiapan lahan, pemberantasan hama dan gulma, irigasi) yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap rendemen yang dihasilkan.

Karakteristik fisik beras pada masing-masing genotipe menunjukkan bahwa ukuran beras tipe panjang dimiliki oleh aksesi 2029 B, Takanari, Sankesou dan Ciherang. Genotipe lainnya yaitu Nongan dan 2032 B termasuk beras tipe sedang. Pada fisik bentuk keseluruhan genotipe tidak beda nyata yaitu sedang dan pengapuran sebagian besar kecil kecuali pada 2029B dan Ciherang (Tabel 8).

Tabel 8. Karakteristik Fisik Beras Genotipe Padi Introduksi dan Ciherang

No. Aksesi Ukuran

Rasio Panjang dan Diameter

Bulir

Pengapuran

1. 2029 B Panjang Sedang Sedang

2. Takanari Panjang Sedang Kecil

3. Nongan Sedang Sedang Kecil

4. 2032 B Sedang Sedang Kecil

5. Sankesou Panjang Sedang Kecil

6. Ciherang Panjang Sedang Sedang

Keterangan: Ukuran : Sangat Panjang (> 7.50 mm), panjang (6.61-7.50 mm), sedang (5.51-6.60 mm), dan pendek (< 5.50 mm). Bentuk : perbandingan antara panjang dan lebar butir; butir ramping (> 3.0), sedang (2.1-3.0), dan bulat (< 2.0). Pengapuran: visualisasi persentase rata-rata pengapuran pada 10 butir/aksesi; yaitu tinggi (L = > 20%), sedang (M = 11-20%), rendah (S = < 10%), dan butir bening (0%).

Pada Gambar 2 dan 3 di bawah ini dapat dilihat untuk masing-masing genotipe untuk kelompok ukuran sedang dan panjang. Menurut Kustianto et al. (1982) bahwa secara umum beras yang diinginkan dan bernilai tinggi di pasaran adalah yang berukuran panjang atau sedang, dan mempunyai bentuk lonjong atau sedang. Maka pada semua genotipe memiliki mutu fisik yang sudah sesuai pasar.

Tabel 9 menjelaskan mengenai karakteristik tekstur nasi pada setiap genotipe padi. Kadar amilosa merupakan penciri atau indikator rasa nasi pada masing-masing genotipe. Damardjati (1988) mengklasifikasikan kadar amilosa beras menjadi tiga, yakni rendah (10-20%) pulen, sedang (20-25%), dan tinggi (25-33%) pera sedangkan beras ketan memiliki kadar amilosa < 10%. Menurut klasifikasi tersebut, 2029B termasuk berteksur nasi sedang, Nongan, 2032B dan Ciherang termasuk nasi bertekstur pulen sedangkan Takanari dan Sankesou termasuk nasi bertekstur pera.

Gambar 2. Kelompok Beras Ukuran Sedang: (A) Nongan, (B) 2032B

Gambar 3. Kelompok Beras Ukuran Panjang: (C) Sankesou,

Dokumen terkait