• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Sampel ikan diambil dari beberapa lokasi yang mewakili perairan Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) yang terletak di Indonesia bagian, Barat, Tengah, dan Timur. Identifikasi spesimen dan analisa histopatologi dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Penelitian berjalan selama bulan Maret 2005 sampai dengan Juni 2006.

Bahan dan Alat Penelitian 1. Parasitologi

Bahan dan alat yang digunakan dalam teknik parasitologi terdiri dari: a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)

b. Kaca pembesar c. Mikroskop cahaya d. Mikroskop stereo e. Timbangan elektronik f. Cawan Petri g. Gelas plastik h. Botol plastik film i. Gelas objek

j. Larutan garam fisiologis k. Ethanol 70% l. Akuades m. Pewarna Acetocarmine n. KOH bubuk o. Minyak cengkeh p. Entellan q. Alkohol r. Xylol s. Kertas label

2. Patologi

Bahan dan alat yang digunakan dalam analisis patologi terdiri dari: a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)

b. Kaca pembesar

c. Fosfat buffer formalin 10% d. Gelas objek e. Pewarna HE f. Blok parafin g. Mikrotome h. Mikroskop cahaya i. Mikroskop video Metode

1. Pemilihan dan Pengacakan Sampel

Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilakukan terhadap kondisi yang sudah terjadi di populasi alamiah. Untuk itu, metoda pemilihan dan pengacakan sampel dilakukan agar gambaran umum populasi tersebut dapat terwakili. Besaran sampel yang diambil didefinisikan berdasarkan dua kategori yaitu: kelompok jenis ikan dan kelompok lokasi pengambilan. Besaran sampel ikan ditentukan menggunakan formula seperti dijelaskan dalam Permin & Hansen (1998). Dengan tingkat kepercayaan 90%, dugaan prevalensi kecacingan pada 70%, dan presisi 15%, maka di setiap lokasi diperlukan minimal 26 satuan sampel ikan. Kelompok ikan laut yang diteliti terdiri dari:

• Ikan Pelagis 1 yang memiliki relung, pola penyebaran dan diet yang sama dengan mamalia la ut predator pemakan ikan (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 15-20 cm)

dunia: Animalia filum: Chordata kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Scombridae

• Ikan Pelagis 2 yang memiliki relung yang sama, namun pola penyebaran dan diet yang berbeda dengan kelompok Pelagis 1 (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 30-50 cm)

dunia: Animalia filum: Chordata kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Caesionidae

genus: Caesio, Pterocaesio

• Ikan Demersal yang memiliki relung, pola penyebaran dan pola diet yang berbeda dengan ikan pelagis 1 dan Pelagis 2 (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 20-30 cm).

dunia: Animalia kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Serranidae

genus: Cephalopolis, Variola, Aethaloperca,Epinephelus

Berdasarkan ketentuan di atas, ditarik 36 ekor ikan dari setiap lokasi perairan yang mewakili populasi ikan di: Ujung Kulon (untuk mewakili perairan Indonesia bagian Barat), Bali (untuk mewakili perairan Indonesia bagian Tengah), dan perairan P. Lembata/Nusa Tenggara Timur (untuk mewakili perairan Indonesia Timur). Ketiga lokasi pengambilan ini merupakan provinsi yang berbeda, terpisah dengan jarak yang lebih besar dari 20 mil laut dan juga merupakan habitat satwa yang berdekatan dengan perairan samudera Hindia. Dengan demikian setiap lokasi mewakili populasi ikan dan juga satwa liar perairan yang berbeda di bagian selatan Indonesia. Jenis-jenis ikan sampel disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Jenis ikan- ikan sampel yang digunakan dalam penelitian. A= tuna/tongkol (Scombridae), B=kerapu (Serranidae) dan C=ekor kuning (Caesionidae)

Sampel ikan merupakan hasil tangkapan beberapa nelayan dengan tonase kapal kurang dari 10 ton di lokasi- lokasi tersebut di atas, dan ikan telah dicampur di pasar atau pelelangan ikan sebelum dibeli untuk diteliti. Dengan demikian telah terjadi pengacakan terhadap ikan laut hasil tangkapan tersebut. Untuk menjamin bahwa sampel ikan ditarik dalam satu siklus yang sama, maka pengambilan sampel dilakukan pada fase bulan kwartal pertama (awal bulan dalam penanggalan Jawa/Islam). Semua sampel ikan diidentifikasi berdasarkan cara Allen (2000) dan diberi kode untuk penandaan pengelompokan berdasarkan jenis ikan dan lokasi sampel.

2. Isolasi Cacing Dari Sampel Ikan Laut

Ikan pelagis diambil dari hasil tangkapan nelayan di beberapa lokasi tersebut di atas. Ikan tuna/tongkol, kerapu dan ekor kuning tersebut diawetkan dengan pendinginan sebelum dibedah dan diteliti saluran pencernaannya. Di setiap provinsi tempat pengambilan sampel, 12 ekor ikan tuna atau tongkol, 12 ekor ikan kerapu, dan 12 ekor ikan ekor kuning diambil dari pelelangan ikan, atau tangkapan nelayan. Isolasi cacing parasitik dilakukan di lokasi pengambilan sampel. Telaah dilakukan terutama pada insang, organ pencernaan, dan daging

A B

(otot di sekitar rongga abdomen). Spesimen ikan dibedah dengan membuat sayatan pada bagian ventral ikan. Sayatan dimulai dari kloaka ke arah anterior sampai operkulum untuk memaparkan insang dan organ pencernaan. Organ dipisahkan berdasarkan kategori: insang, lambung, hati-empedu, dan usus untuk kemudian direndam dalam cairan garam fisiologis selama 2-3 jam. Cacing yang ditemukan kemudian dipindahkan ke dalam larutan garam fisiologis segar dan diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya. Spesimen yang didapat dari daerah diawetkan dengan alkohol 70% untuk analisis lebih lanjut dengan pewarnaan di Laboratorium Helmintologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pewarnaan pada spesimen cacing perlu dilakukan agar cacing dapat diidentifikasi dengan lebih tepat.

Cacing yang berhasil diisolasi disimpan di dalam larutan NaCl fisiologis selama 8 jam dalam suhu dingin, kemudian dipindahkan dalam alkohol 70% yang baru dididihkan dan disimpan dalam suhu ruangan sampai suhu alkohol kembali ke suhu ruangan. Tingkat infestasi cacing parasitik dari berbagai daerah ditentukan dengan cara mengidentifikasi dan menghitung jumlah cacing yang ditemukan dari jaringan tubuh inang (insang, saluran pencernaan, daging).

Gambar 3 Pengendapan dengan gelas Baerman untuk mengisolasi cacing dari daging ikan.

3. Isolasi Cacing (stadium infektif) dari Daging

Stadium infektif berbagai jenis cacing (larva, plerocercoid, cercaria, atau metacercaria) diisolasi menggunakan metoda pengendapan menggunakan gelas Baerman pada Gambar 3 dengan langkah- langkah sebagai berikut:

1. Sampel daging dari etanol 70% dikeringkan dengan menggunakan saringan selama 5 menit dalam suhu ruangan.

2. Sampel dikeringkan lebih lanjut sebelum ditimbang menggunakan timbangan elektronik

3. Daging kemudian digerus secara perlahan menggunakan mortar dan sedikit akuades

4. Daging diletakkan di atas kain kasa dan saringan yang terpasang pada bibir gelas Baerman (Gambar 3)

5. Gelas Baerman kemudian diisi dengan akuades sampai daging terendam

6. Biarkan selama satu malam (8 jam atau lebih) dalam suhu ruangan 7. Endapan diambil dengan pipet dari dasar gelas Baerman dan

diamati dibawah mikroskop stereoskopik

8. Parasit dihitung dan dipindahkan ke dalam etanol 70% untuk identifikasi

4. Metoda Pewarnaan Semichon’s Acetocarmine

Pewarnaan Semichon Acetocarmine digunakan untuk mengidentifikasi cacing pipih (Trematoda dan Cestoda), hal ini karena pewarnaan tersebut merupakan metoda pewarnaan yang tepat (Kusumamihardja 1995). Pewarnaan spesimen dilakukan dengan merendam spesimen dalam larutan acetocarmine dan melakukan dehidrasi dengan alkohol bertahap sebelum fiksasi pada sediaan gelas objek. Bahan pewarnaan acetocarmine seperti pada Gambar 4 disiapkan melalui langkah-langkah berikut:

1. 100 ml akuades dicampur dengan 100 ml asam asetat glacial 2. Bubuk lithium carmine dicampurkan sampai larutan menjadi jenuh 3. Larutan dipanaskan sampai 950 C selama 15 menit

Pewarnaan spesimen dilakukan dengan prosedur sebagai berikut

a) Spesimen cacing direndam dalam larutan pewarna acetocarmine selama 15-20 menit sampai warna terserap (spesimen menjadi berwarna merah cerah)

b) Spesimen dibilas dalam etanol 70% dan kemudian direndam dalam larutan asam alkohol (99 bagian etanol 70% dicampur dengan 1 bagian HCl)

c) Dehidrasi spesimen dengan alkohol bertahap (70%, 85%, 95%, 100%) direndam selama 5 menit pada tiap-tiap konsentrasi alkohol.

d) Perendaman dengan xylol sampai spesimen terlihat tembus pandang e) Membuat sediaan dengan bahan Entellan sebagai media fiksasi

5. Metoda Pewarnaan dengan Minyak Cengkeh

Untuk cacing nematoda dan acanthocephala yang memiliki struktur berbeda dengan cacing pipih (trematoda/cestoda) digunakan pewarnaan khusus dengan menggunakan KOH dan minyak cengkeh. Pewarnaan KOH- minyak cengkeh dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

1. Spesimen direndam dalam larutan KOH 1% (Bubuk KOH dilarutkan dalam akuades) selama 1-3 menit sampai kutikula / lapisan luar spesimen terlihat agak melunak dan tembus pandang

2. Cacing kemudian dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 1-3 menit sampai organ-organ tubuh terlihat berwarna lebih jelas

3. Dehidrasi spesimen dengan alkohol bertahap (70%, 85%, 95%) 4. Membuat sediaan dengan bahan Entellan sebagai media fiksasi

Gambar 4 Perangkat pewarnaan Semichon Acetocarmine yang digunakan dalam proses identifikasi cacing

6. Metoda Identifikasi

Identifikasi cacing parasitik mengacu pada panduan dalam Yamaguti (1958), Soulsby (1982), Noble & Noble (1989), Kusumamihardja (1995), Williams & Bunkley-Williams (1996), dan Moravec et al. (1999). Secara garis besar, kriteria identifikasi terangkum dalam Tabel 1. Spesimen yang telah diwarnai diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa 160x. Berdasarkan morfologi spesimen dibedakan menjadi 3 filum yaitu: cacing pipih (Plathyhelminthes), cacing gilig (Nemathelminthes), dan Acanthocephala. Masing- masing kelompok tersebut dipisahkan lagi menjadi beberapa stadium yaitu: dewasa, larva pada Nemathelminthes; dan procercoid / plerocercoid pada Plathyhelminthes. Untuk cacing gilig (Nemathelminthes) dibedakan berdasarkan bentuk esophagus menjadi: cacing parasitik (esophagus lurus), cacing non- parasitik (esophagus berbentuk gada). Identifikasi dilakukan sampai tingkat

genus untuk kemudian menentukan sifat zoonosis cacing tersebut berdasarkan

genus. Penentuan risiko zoonosis dilakukan dengan menggunakan daftar cacing parasit zoonosis pada ikan yang disusun oleh Orlandi et al. (2002).

Filum Klasifikasi Bentuk tubuh Morfologi

Plathyhelminthes Cestoda Pipih, segmen,

tanpa rongga badan, tidak ada saluran pencernaan, batil hisap, scolex Stadium proserkoid, pleroserkoid, sitiserkus, dewasa

Trematoda Pipih, dengan

rongga badan, panjang dan bentuk segmen

Posisi batil hisap (acetabulum), saluran cerna, vitellaria

Nemathelminthes Nematoda Gilig, dengan atau

tanpa selubung

Bentuk mulut, esofagus, bentuk lambung, ujung posterior

Acanthocephala Acanthocephala Gilig, tanpa

segmen, proboscis Rasio panjang proboscis:badan, bentuk proboscis, distribusi duri 7. Analisis Patologi

Analisis dititik beratkan pada saluran pencernaan (lambung dan usus), ikan tuna/tongkol, kerapu dan ekor kuning secara patologi anatomi (PA) dengan mengamati kondisi patologis pada saluran pencernaan dan juga histopatologi (HP) dengan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada saluran cerna. Usus difiksasi dalam larutan fosfat buffer formalin 10% untuk kemudian menjalani proses dehidrasi dengan alkohol bertahap dan penjernihan dengan xylol sebelum dimasukkan ke dalam blok parafin. Setelah itu blok parafin dengan sampel jaringan dipotong menggunakan microtome dan hasil potongan dilekatkan pada sediaan kaca. Sediaan histopatologi dari jaringan saluran cerna diberi pewarnaan Hematoksilin- Eosin (HE), dan diamati berdasarkan variabel- variabel berikut:

1. Keberadaan parasit

2. Infeksi bakteria (untuk menduga adanya infeksi sekunder)

3. Kondisi enteritis (keberadaan sel-sel radang, edema radang, dan bentuk vili)

4. Perubahan-perubahan patologis lainnya (sarang-sarang nekrosis, atrofi vili, deskuamasi epitel, dll)

8. Analisis Statistik dan Pemetaan

Perhitungan statistik dilakukan untuk menghitung:

1. Prevalensi (pendugaan proporsi) dari sampel dan populasi ikan terinfeksi cacing parasitik dengan menggunakan rumus:

P = x/n

P = pendugaan proporsi (prevalensi) pada populasi x = jumlah sampel dengan infeksi cacing parasitic n = total sampel yang diambil

Selang dengan tingkat kepercayaan 95% dihitung sebagai:

P ± Za/2 P(1-P)/n

P = Pendugaan proporsi (prevalensi) kecacingan pada populasi Za /2 = nilai Z dua arah pada tingkat kepercayaan 95% (1.96) n = jumlah sampel yang diambil

2. Galat baku dari intensitas kecacingan pada sampel ikan dengan menggunakan rumus:

x ± t a/2 s___ vn

x = rata-rata intensitas kecacingan (jumlah cacing per individu) t a/2 = nilai distribusi t dua arah dengan tingkat kepercayaan 95% n = jumlah sampel

3. Korelasi Pearson antara jumlah temuan parasit pada inang (intensitas), prevalensi, dan kondisi patologis menggunakan rumus:

? (x.y) – n x y p =

(? xi2 – n x2)(? yi2 – n y2)

p = koefisien Pearson

x, y = nilai dari variable x dan y x, y = rata-rata variable x dan y

Data disusun dalam bentuk tabulasi untuk mempermudah perhitungan dan juga analisis box plot, sementara pendugaan proporsi digunakan untuk menganalisis perbedaan pada prevalensi. Perangkat lunak SPSS versi 12 digunakan dalam analisis data dimana sebagian besar dari analisis statistik yang digunakan bersifat deskriptif dengan membandingkan prevalensi dan juga intensitas dari tiap-tiap jenis parasit yang ditemukan. Keragaman parasit dari setiap lokasi dan jenis ikan juga diteliti untuk melihat apakah ada perbedaan prevalensi dan intensitas pada tiap jenis ikan ataupun lokasi. Selain tabulasi, grafik juga digunakan untuk memaparkan hasil agar dapat dianalisis secara visual. Tabulasi dan grafik juga digunakan pada hasil pengamatan kondisi patologis saluran cerna ikan untuk mempelajari perubahan yang terjadi pada spesimen jaringan usus dari tiap jenis ikan.

Perangkat lunak pemetaan Google™ Earth digunakan untuk verifikasi koordinat titik pengambilan ikan (pelelangan atau pasar) sementara ArcView GIS 3.3 digunakan untuk mengolah data yang diperolah dari pengamatan di lapangan.

Gabungan dari fungsi kedua perangkat lunak ini digunakan untuk memetakan sebaran jumlah dan cacing parasitik berdasarkan data dari lapangan (tingkat infestasi dan koordinat lokasi pengambilan sampel). Database pemetaan dilakukan dengan keterwakilan pada tingkat provinsi (pengamatan dilakukan di provinsi-provinsi yang berbeda) seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel di perairan Banten, Bali dan NTT (ditandai dengan kotak berwarna putih) berdasarkan perangkat lunak Google Earth™.

HASIL

1. Jenis Parasit yang Ditemukan

Spesimen parasit menunjukkan keragaman yang berbeda-beda di tiap lokasi. Lokasi dengan genera terbanyak adalah Bali (15 genera), Selat Sunda (11 genera) dan NTT (5 genera). Semua genera kemudian dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: Zoonotik (tercatat memiliki risiko zoonosis), Dolphin (ditemukan juga pada satwa liar lumba- lumba), dan eksklusif (hanya terdapat pada ikan). Gambar 6 menunjukkan keragaman dan komposisi genera dari tiap lokasi beserta intensitas cacing zoonotik dalam tiap gram daging ikan, sementara rincian genera dari tiap lokasi ditampilkan pada Tabel 2, sementara jenis-jenis ikan inang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Cacing parasitik yang diisolasi dari 3 lokasi pengambilan sampel

Lokasi Filum Klasifikasi Genus Zoonosis Bali Nemathelminthes Nematoda Anisakis sp Ya

Nemathelminthes Nematoda Pseudoterranova sp Ya Plathyhelminthes Trematoda Echinochasmus sp Ya Nemathelminthes Nematoda Procamallanus sp/Dichelyne sp Tidak Nemathelminthes Nematoda Procamallanus sp tidak Plathyhelminthes Trematoda Magnacetabulumsp/Haplosplanchnus sp tidak Plathyhelminthes Trematoda genus 1

Plathyhelminthes Trematoda genus 2

Plathyhelminthes Trematoda genus 3

Plathyhelminthes Cestoda genus 1

Plathyhelminthes Cestoda genus 2

Nemathelminthes Nematoda genus 1

Plathyhelminthes Trematoda Wardula sp/monostomum sp tidak Plathyhelminthes Trematoda Phillopina sp tidak acanthocephala Acanthocephala Leptrhynchoides sp/rhadinorhynchus sp tidak Selat sunda Acanthocephala Acanthocephala Serrasentis sp/Bulbosoma sp ya

Nemathelminthes Nematoda Anisakis sp/Pseudoterranova sp ya Acanthocephala Acanthocephala Leptorhynchoides sp/Rhadinorhynchus sp tidak Plathyhelminthes Cestoda genus 3

Plathyhelminthes Cestoda genus 4

Plathyhelminthes Cestoda genus 5

Plathyhelminthes Cestoda genus 6

Nemathelminthes Nematoda Procamallanus sp/Dichelyne sp tidak Plathyhelminthes Trematoda Lecithocladium sp tidak Plathyhelminthes Trematoda Tetrochetus sp tidak Plathyhelminthes Trematoda genus 4

Plathyhelminthes Cestoda Bothriocephalus sp tidak NTT Nemathelminthes Nematoda Capillaria sp ya

Plathyhelminthes Cestoda Bothriocephalus sp tidak Plathyhelminthes Cestoda genus 3

Plathyhelminthes Cestoda genus 4

Plathyhelminthes Cestoda genus 4

Plathyhelminthes Trematoda Hirudinella sp tidak Acanthocephala acanthocephala Leptorhynchoides sp/rhadinorhynchus sp tidak

Keragaman Parasit 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Selat sunda Bali NTT

Lokasi Jumlah Genera Exclusif Dolphin Zoonotik - 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

Selat Sunda Bali NTT

Jumlah parasit per gram daging

Cestoda Trematoda Nematoda Acanthocephala Protozoa, Alga, dll 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

Selat Sunda Bali NTT

Prevalensi parasit dalam daging

Cestoda Trematoda Nematoda Acanthocephala Protozoa, Alga, dll

Gambar 6 Keragaman dan komposisi genera cacing parasitik (A) beserta intensitasnya pada tiap gram daging ikan (B) dan juga prevalensi (C) dari tiap lokasi

A

B

Semua cacing yang ditemukan dari ikan sampel merupakan cacing parasitik, baik yang bersifat zoonotik maupun non- zoonotik. Terlihat bahwa genera yang bersifat zoonotik ditemukan di semua lokasi, namun demikian keragaman genera parasit tersebut tidak berbeda jauh (2 genera di Selat Sunda, 3 di Bali, dan 1 genus di NTT). Sebaran cacing parasitik di setiap lokasi cukup bervariasi, nematoda genus Anisakis sp. dan Procamallanus/Dichelyne sp. ditemukan hanya di lokasi Bali dan Selat Sunda, sementara Acanthocephala genus Leptorhynchoides/Rhadinorhynchus sp. ditemukan di Selat Sunda dan NTT. Total genera yang telah diidentifikasi terdiri dari: Trematoda (11 genera), Cestoda (7 genera), Nematoda (5 genera), dan Acanthocephala (2 genera). Jenis Trematoda menunjukkan jumlah genera yang tertinggi, pola serupa juga ditemukan oleh Arthur & Lumanlan-Mayo (1997) pada spesies parasit dari ikan di Filipina (90 spesies trematoda, 6 spesies cestoda, 20 spesies nematoda, dan 5 spesies Acanthocephala). Beberapa genera cacing belum dapat diidentifikasi karena kondisi spesimen atau pewarnaan yang tidak memadai. Foto dari beberapa cacing zoonotik yang ditemukan dari ikan- ikan sampel disajikan dalam Gambar 7, dan cacing non- zoonotik pada Gambar 8.

Gambar 7 Cacing zoonotik yang ditemukan selama penelitian. (A) Anisakis sp. dari usus ikan tuna dan ekor kuning di Selat Sunda dan Bali. (B)

Capillaria sp. dari usus ikan kerapu di NTT.

B A

Gambar 8 Cacing-cacing non- zoonotik. (A) Cacing pita tetraphyllidae stadium pleroserkoid, (B) Cacing pipih Lecithocladium sp. (C)

Leptorhynchoides sp. / Rhadinorhynchus sp. dari filum

Acanthocephala, (D) Nematoda Dichelyne sp. / Procamallanus sp. (E) Larva acanthocephala, dan (F) Cacing pipih Hirudinella sp.

2 Prevalensi dan Intensitas

Proporsi individu yang terinfeksi parasit (prevalensi) dari setiap lokasi menunjukkan adanya perbedaan, namun demikian total prevalensi di semua lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok (Selat Sunda 84%, Bali 94% dan NTT 90%). Fakta ini diperkuat dengan analisis pendugaan proporsi pada Tabel 3 yang menunjukkan selang prevalensi yang saling tumpang tindih antar lokasi. Grafik histogram pendugaan proporsi ditampilkan dalam lampiran 4. Analisis galat baku untuk intensitas kecacingan (jumlah cacing per individu) secara keseluruhan disajikan dalam tabel 4, sementara tabel 5 dan 6 masing- masing menunjukkan rincian tingkat prevalensi dan intensitas parasit di tiap lokasi berdasarkan jenis parasit dan jenis sampel ikan. Intensitas dari setiap lokasi juga tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok (tumpang tindih selang intensitas kecacingan di semua lokasi).

Tabel 3 Tabel pendugaan proporsi (prevalensi) kecacingan pada populasi ikan di lokasi pengambilan sampel

Lokasi Prevalensi +/- Selang kepercayaan 95%

Selat sunda 84% 12% 72% - 96%

Bali 94% 9% 85% - 100%

NTT 90% 10% 83% - 100%

Tabel 4 Tabel analisis galat baku intensitas kecacingan di setiap lokasi pengambilan sampel

Lokasi Intensitas Galat baku Selang kepercayaan 95%

Selat sunda 4.08 1.9 2.18 - 5.98

Bali 8.17 3.62 4.55 - 11.79

Tabel 5 Prevalensi (persentase jumlah kasus dari total samp el) kecacingan di tiap lokasi berdasarkan jenis sampel ikan.

Selat Sunda Bali NTT

Tuna 8% 0% 0% Ekor kuning 0% 0% 17% Kerapu 17% 14% 17% Tuna 42% 25% 25% Ekor kuning 0% 17% 8% Kerapu 0% 14% 17% Tuna 0% 67% 17% Ekor kuning 67% 67% 17% Kerapu 25% 43% 17% Tuna 58% 25% 100% Ekor kuning 0% 0% 0% Kerapu 0% 0% 0% Acanthocephala LOKASI Cestoda Trematoda Nematoda

Filum Jenis Ikan

Tabel 6 Intensitas Nematoda dan Acanthocephala (rata-rata jumlah cacing dalam tiap kasus) di setiap lokasi berdasarkan jenis sampel ikan.

Selat Sunda Bali NTT

Tuna 0 4.5 1 Ekor Kuning 2 3.5 2.5 Kerapu 1.33 1.67 1 Tuna 2.71 1 8.5 Ekor Kuning 0 0 0 Kerapu 0 0 0 Acanthocephala LOKASI Nematoda Jenis Ikan Jenis cacing

Keterangan: Cacing cestoda dan tematoda tidak ditampilkan karena jumlahnya terlalu kecil untuk dibandingkan.

Tabel 7 Kategori infeksi berdasarkan prevalensi (Williams & Bunkley-Williams 1996)

Berdasarkan kategorisasi yang dikembangkan oleh Williams & Bunkley- Williams (1996) pada tabel 7, prevalensi dan intensitas di lokasi- lokasi sampel dapat dibagi menjadi:

1. Prevalensi pada lokasi Selat Sunda masuk kategori “biasanya” (Usually

70%-89%) dengan intensitas yang tergolong ringan (light 1-5), dan intensitas zoonosis sangat ringan (verylight <1)

2. Prevalensi pada lokasi Bali tergolong “hampir selalu” (almost always

90%-98%) dengan tingkat infestasi yang tergolong ringan (light 1-5), dan intensitas zoonosis ringan (light 1-5)

3. Prevalensi di NTT tergolong “hampir selalu” (almost always 90%-98%) dengan intensitas ringan (light 1-5) dan intensitas zoonosis sangat ringan (very light <1)

Mengacu pada pengelompokan di atas, prevalensi dan intensitas di setiap lokasi tidak jauh berbeda. Namun bila dirinci lebih lanjut, rata-rata jumlah parasit yang ditemukan pada setiap kasus infeksi parasit (intensitas) menunjukkan perbedaan di setiap lokasi. Dari tabel 6 di atas, perbedaan intensitas teramati untuk total intensitas dari tiap jenis ikan, dan intensitas tiap filum di tiap lokasi, sementara diagram-diagram box plot pada Gambar 9 menggambarkan intensitas dengan variasi tinggi adalah cacing parasitik nematoda dan acanthocephala, sementara trematoda menunjukkan variasi rendah (distribusi merata). Hal ini diperkuat dengan hasil analisis dengan ga lat baku pada lampiran 3. Lampiran 5 menunjukkan hasil analisis box plot dengan pengelompokan berdasarkan lokasi, sementara komposisi intensitas cacing parasitik ditampilkan pada lampiran 6.

TUNA KRAPU EKUNING SPECIMEN IKAN 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Intensitas Nematoda 31 TUNA KRAPU EKUNING SPECIMEN IKAN 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 Intensitas trematoda 3 10 5 TUNA SPECIMEN IKAN 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Intensitas Acanthocephala 9

Gambar 9 Box plot dari intensitas cacing parasitik nematoda (A), trematoda (B) dan acanthocephala(C) dari semua lokasi termasuk pencilan (outlier) yang ditandai dengan asterisk (*) dan lingkaran (o)

3. Kondisi Patologis

Secara patologi anatomi (PA) terlihat beberapa perubahan seperti mengelupasnya lapisan epidermis ikan, lepasnya sisik, serta ditemukannya gas yang berlebih pada rongga abdomen ikan dasar dari famili Serranidae (kerapu). Lesio traumatik juga teramati pada beberapa organ seperti insang, dan juga sirip- sirip (dorsal, ventral, pektoral dan kaudal). Namun demikian, tidak terlihat adanya perubahan yang terjadi akibat agen infeksius pada pengamatan PA. Hasil pengamatan pada sediaan histopatologi terangkum dalam Gambar 10.

Parasit berhasil ditemukan di jaringan usus ikan (lumen dan vili) dari semua lokasi, dan 20% dari total spesimen histopatologi yang diamati di setiap lokasi menunjukkan keberadaan berbagai jenis cacing parasitik. Namun demikian teknik histopatologi tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi genus parasit tersebut.

A B

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Selat sunda Bali NTT

Lokasi

Persentase dari total spesimen yang diamati

Parasit Sel Radang Infeksi sekunder Perubahan Umum

Gambar 10 Histogram hasil pengamatan sediaan histopatologi. Batang menggambarkan persentase variabel (parasit, Sel radang, Infeksi sekunder, dan perubahan umum) dari total gelas objek yang diamati.

Gambar 11 menunjukkan cacing parasitik yang terpotong secara melintang saat pembuatan sediaan histopatologi. Walaupun cacing tidak dapat teridentifikasi sampai tingkat genus, berdasarkan morfologi organ masih dapat dikenali stadium larva (Gambar 11A) dan cacing dewasa (Gambar 11B dan 11C) di antara vili usus, atau pada lumen. Spesimen pada Gambar 11 menunjukkan berbagai perubahan pada jaringan usus seperti:

1. Distorsi pada vili karena adanya tekanan dari cacing (Gambar 11A).

2. Pembengkakan dan distorsi pada struktur vili akibat keberadaan cacing di lumen, sementara vili dipenuhi oleh sel-sel radang (Gambar 11B).

3. Jumlah otot menurun akibat penyerapan nutrisi yang terganggu oleh keberadaan parasit (Gambar 11C).

Gambar 11 Keberadaan parasit pada sediaan histopatologi pada ikan Tuna (A dan B) serta ikan ekor kuning (C). Tanda panah menunjukkan adanya parasit (kemungkinan dari filum Nemathelminthes). HE. 500X

A

B

Gambar 12 Infiltrasi sel radang ditandai dengan panah pada (A) pada usus ikan

Dokumen terkait