• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI PERAIRAN INDONESIA BAGIAN SELATAN

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 April 1971 dan merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Sejak kecil penulis tertarik dengan kegiatan alam terbuka dan juga mempelajari ilmu biologi. Dengan berbekal latar belakang ini, pendidikan S1 di bidang biologi dari University of Alberta, Kanada diselesaikan pada tahun 1994 dengan gelar Bachelor of Science (BSc). Selepas pendidikan, penulis menempuh berbagai pengalaman kerja antara lain sebagai teknisi karantina dan kesehatan ikan di SeaWorld Indonesia, konsultan biologi, sampai akhirnya menangani kegiatan pelestarian satwa Badak Jawa sebagai Manajer proyek WWF Indonesia di Taman Nasional Ujung Kulon.

Didorong oleh keinginan untuk mempelajari kesehatan pada satwa liar, penulis mengikuti pendidikan Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2004 dan juga membimbing beberapa mahasiswa kedokteran hewan IPB yang memiliki minat untuk mempelajari kesehatan satwa liar.

PRAKATA

Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi jalan, petunjuk, dan kekuatan selama penulis menempuh studi di sekolah pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini tidak mungkin dapat tersusun tanpa bantuan dan dukungan moral dari keluarga tercinta: Indriani Noverita dan Rahadrian Ksatria yang selalu memberikan motivasi dan juga inspirasi.

Rasa terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada para dosen pembimbing: drh. Risa Tiuria, MS, PhD; drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD; dan Ir. Etih Sudarnika, MSi, yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi memberikan pengarahan dan masukan yang sangat berarti dalam penelitian ini. Kepada Nisa dan Kenty mahasiswi- mahasiswi FKH, serta kepada Bibi dan Pak Eman di Laboratorium Helmintologi yang telah banyak membantu kerja penulis di laboratorium.

Penelitian ini didukung pula oleh kekompakan rekan-rekan WWF proyek Ujung Kulon: Adji, Pinor, Andri, Hari, Nina, Endang, Ngatiman, Iwan, Mawi, Jaya, Sueb, dan Neng yang berhasil menjalankan kegiatan kantor secara sempurna selama penulis meninggalkan tugas-tugas kantor untuk menempuh pendidikan.

Penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada masyarakat desa Lamalera di provinsi Nusa Tenggara Timur: Bpk Josef Keraf, Bapak Miguel, Rafael, Bpk Stanis Prason Bataona, Bpk. Abel Beding, dan ibu- ibu di pasar ikan Lewoleba yang juga telah memberikan bantuan berupa informasi dan juga pendampingan selama penulis melakukan pengambilan sampel di provinsi yang indah ini.

Semoga Allah memberikan yang terbaik

Bogor, Agustus 2006

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN

Latar belakang... 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 3 Hipotesis penelitian………... 3

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Parasitik dan Manusia………...……….... 4 Cacing Parasitik dan Satwa liar perairan (mamalia laut)... 5 Sebaran cacing parasitik di dunia... 7 Kondisi Patologis akibat Infeksi Cacing Parasitik... 8 Pemantauan Kesehatan Satwa Liar Perairan... 8

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian... 10 Bahan dan Alat... 10 Parasitologi... 10 Patologi... 11 Metoda... 11 Pemilihan dan pengacakan sampel... 11 Isolasi cacing dari sampel ikan laut... 13 Isolasi cacing (stadium infektif) dari daging... 15 Metoda pewarnaan Semichon’s Acetocarmine... 15 Metoda pewarnaan minyak cengkeh... 16 Metoda Identifikasi... 17 Analisis patologis... 18 Analisis statistik dan pemetaan... 19

HASIL

Jenis parasit yang ditemukan... 22 Prevalensi dan intensitas... 26 Kondisi patologis... 29

PEMBAHASAN

Intensitas parasit... 35 Intensitas cacing parasitik dan kondisi patologis... 36 Pemetaan infestasi cacing parasitik... 38 Pendugaan kesehatan pada satwa liar perairan... 40 Kecacingan... 41 Aspek kesehatan lainnya... 42

SIMPULAN... 43 SARAN... 44 DAFTAR PUSTAKA……….. 45 LAMPIRAN………. 49

DAFTAR TABEL

1 Kriteria identifikasi cacing parasitik... 18 2 Cacing parasitik yang diisolasi dari 3 lokasi

pengambilan sampel... 22 3 Tabel pendugaan proporsi (prevalensi) kecacingan pada

populasi ikan di lokasi pengambilan sampel... 26 4 Tabel analisis galat baku intensitas kecacingan di setiap lokasi

pengambilan sampel... 26 5 Prevalensi (persentase jumlah kasus dari total sampel)

kecacingan di tiap lokasi berdasarkan jenis sampel ikan………….. 27 6 Intensitas Nematoda dan Acanthocephala di setiap lokasi

berdasarkan jenis sampel ikan... 27 7 Kategori infeksi berdasarkan prevalensi

(Williams & Bunkley-Williams 1996)……….. 27 8 Perbandingan persentase radang (enteritis)

dengan intensitas dan prevalensi... 37 9 Indikator pendugaan jenis cacing parasitik yang dapat

menginfestasi satwa perairan lainnya berdasarkan kesamaan sebaran dan pola diet... 41

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup nematoda zoonotik Anisakis sp. di ekosistem laut.... 6 2 Jenis ikan-ikan sampel yang digunakan dalam penelitian... 13 3 Pengendapan dengan gelas Baerman untuk mengisolasi

cacing dari daging ikan... 14 4 Perangkat pewarnaan Semichon Acetocarmine yang

digunakan dalam proses identifikasi cacing……….. 17 5 Lokasi pengambilan sampel di perairan Banten, Bali dan NTT... 21 6 Keragaman dan komposisi genera cacing parasitik... 23 7 Cacing zoonotik yang ditemukan selama penelitian... 24 8 Cacing-cacing non- zoonotik... 25 9 Box plot dari intensitas cacing parasitik nematoda ………... 29 10 Histogram hasil pengamatan sediaan histopatologi……….. 30 11 Keberadaan parasit pada sediaan histopatologi pada ikan ……… 31 12 Infiltrasi sel radang ……… 32 13 Atrofi pada vili usus ikan tuna, deskuamasi sel epitel

pada ikan tuna, dan edema pada villi ikan Kerapu……… 34 14 Pemetaan risiko zoonosis berdasarkan intensitas

cacing yang ditemukan pada tiap gram daging ikan... 39 15 Pemetaan persentase enteritis pada ikan dari lokasi- lokasi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Temuan Cacing Parasitik dan Inang... 49 Lampiran 2. Perhitungan Statistika – Analisis Korelasi

Patologi dan Infestasi Cacing Parasitik... 50 Lampiran 3. Analisis Intensitas cacing parasitik dengan menggunakan

Standard Error Mean (SEM)……… 51 Lampiran 4. Analisis Prevalensi Dengan Menggunakan Uji Proporsi... 52 Lampiran 5. Analisis box plot untuk Intensitas parasit pada

semua jenis ikan per lokasi... 53 Lampiran 6. Komposisi intensitas cacing parasitik dari setiap lokasi... 54

Latar Belakang

Sejak lama orang mengenal hidangan laut yang terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan beberapa invertebrata lainnya yang merupakan jenis makanan yang digemari di seluruh dunia. Di tahun 1989 saja, konsumsi hasil laut (dilihat dari jumlah tangkapan hasil laut seluruh dunia) mencapai 85.7 juta metrik ton (Garrison 1993). Dalam kurun waktu 15 tahun jumlah ini meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah populasi manusia. Telah diketahui bahwa beberapa jenis ikan merupakan inang antara yang membantu penyebaran cacing hati

Chlonorchis sinensis, sementara kepiting merupakan inang antara bagi cacing paru-paru Paragonimus westermanii pada manusia.

Tidak semua orang dapat menikmati hidangan laut, hal ini karena adanya sekelompok protein pada otot yang disebut parvalbumins pada ikan dan tropomyosin pada krustasea yang dapat menimbulkan reaksi alergis pada beberapa individu. Hal ini dikenal dengan istilah Seafood Hypersensitivity

(Auckland Allergy Clinic 2003). Selain dari alergen ini, hidangan laut juga dapat mengandung berbagai jenis parasit yang dapat menimbulkan reaksi mirip atau lebih parah dibanding dengan Seafood hypersensitivity. Meningkatnya konsumsi jenis makanan tertentu dapat menyebabkan meningkatnya prevalensi parasit pada suatu populasi. Salah satu contoh adalah penyebaran cacing parasitik Anisakis spp. Larva cacing Anisakis spp telah ditemukan pada ikan yang dijual di pasar daerah Jakarta pada tahun 1978, namun belum ada kasus anisakiosis tercatat pada saat itu (Hadidjaja et al. 1978, Ilahude et al. 1978). Pada tahun 1996 kasus hipersensitifitas anisakiosis akibat infeksi larva nematoda tersebut tercatat di Sidoarjo Jawa Timur (Uga et al. 1996), kejadian ini kemungkinan besar terkait dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah atau kurang matang (sushi /

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa konsumsi ikan dapat menyebabkan penyebaran parasit baik pada manusia (zoonosis) maupun pada satwa liar perairan, karenanya perlu dipelajari sebaran ikan laut, parasit serta prevalensi dan tingkat infestasi yang terjadi pada populasi yang diwakili oleh sampel ikan hasil tangkapan dari alam.

Aspek lain yang berkaitan dengan infestasi cacing parasitik adalah hubungan antara ikan laut dengan satwa liar perairan pemangsa ikan laut. Salah satu kendala pengelolaan satwa liar adalah sulitnya memantau kesehatan satwa yang hidup di habitat alami. Untuk satwa liar yang hidup di darat, sampai saat ini tinja dapat digunakan dalam pendugaan kesehatan satwa tersebut, namun hal ini hampir tidak mungkin dilakukan pada satwa liar perairan karena sulitnya mendapatkan sampel tinja yang utuh. Untuk itu perlu dilakukan beberapa metode pendekatan menggunakan indikator- indikator lainnya. Pada satwa perairan, terutama ikan, pemantauan status kecacingan merupakan hal yang penting karena cacing yang menginfeksi ikan di populasi alam dapat pula menginfeksi ikan di fasilitas penangkaran atau budidaya (akuakultur), yang akhirnya dapat menimbulkan kerugian ekonomis pada sektor perikanan (Buchmann & Bresciani 2001).

Buchmann & Bresciani (2001) juga menunjukkan bahwa masuknya jenis parasit eksotis ke dalam suatu ekosistem juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap populasi yang sudah ada di ekosistem tersebut. Dengan demikian pemantauan kesehatan dan status kecacingan pada satwa perairan yang bermigrasi dari satu daerah ke daerah lainnya menjadi sangat penting, terutama untuk satwa yang memiliki pola migrasi lintas negara seperti berbagai jenis paus yang bermigrasi setiap tahun dari daerah sub-tropis ke daerah tropis (Reeves et al. 2003). Berbagai jenis lumba- lumba dan paus merupakan satwa mamalia perairan yang populasinya sudah terancam karena aktifitas nelayan dan perburuan. Dengan mengetahui status kesehatan satwa tersebut, maka upaya perlindungan satwa yang dilindungi serta pencegahan penyebaran parasit eksotis akan menjadi lebih baik.

Tujuan Penelitian

• Mengidentifikasi keberadaan cacing parasitik dan yang memiliki potensi

zoonosis pada ikan laut dari perairan di bagian selatan Indonesia.

• Mengembangkan metoda pemetaan risiko zoonosis.

• Mempelajari perbedaan prevalensi dan intensitas infestasi cacing parasitik dari setiap lokasi.

• Mempelajari perubahan patologi anatomi dan histopatologi pada saluran cerna ikan dari populasi alami.

Manfaat Penelitian

• Diketahui jenis parasit yang zoonotik dan non- zoonotik pada ikan laut di lokasi perairan bagian selatan Indonesia.

• Identifikasi lokasi perairan dengan risiko zoonosis dari ikan laut.

• Penggunaan tingkat infestasi cacing parasitik pada ikan laut sebagai indikator pendugaan kondisi kesehatan khususnya infestasi cacing pada satwa liar perairan.

• Diketahui gambaran perubahan patologis akibat infestasi cacing parasitik zoonotik dan non-zoonotik yang terjadi pada ikan dari beberapa lokasi yang berbeda.

Hipotesis Penelitian

• Ditemukan jenis parasit cacing pada ikan laut baik yang bersifat zoonotik maupun non-zoonotik.

• Terdapat perbedaan prevalensi dan intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan dari tiap lokasi perairan.

• Data jenis parasit, preva lensi dan intensitas dapat digunakan untuk pemetaan jenis parasit ikan dan risiko zoonosis serta indikator biologis untuk pendugaan kesehatan satwa perairan.

• Terdapat berbagai perubahan patologis pada saluran cerna ikan laut yang terinfestasi cacing parasitik.

• Ada korelasi antara perubahan patologis dengan tingkat infestasi cacing parasitik.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Parasitik dan Manusia

Infeksi cacing parasitik pada manusia terjadi dengan masuknya stadium infektif parasit tersebut ke dalam tubuh manusia. Hilderbrand et al. (2003) menyebutkan bahwa jenis parasit yang sering ditemukan pada ikan laut adalah jenis nematoda Anisakis spp. dan cacing pita Dihyllobothrium spp. Ikan terinfeksi parasit tersebut akibat memakan krustasea kecil yang sudah terinfeksi. Koie (2001) menunjukkan bahwa larva dari nematoda Anisakis simplex tidak berkembang di tubuh krustasea kecil (copepoda), namun berkembang menjadi larva 3 (L3) di tubuh ikan. Beberapa spesies cacing pipih seperti Chlonorchis sinensis dan Paragonimus westermanii memerlukan inang antara (siput) dan inang definitif dalam siklus hidupnya. Stadium infektif masuk ke dalam tubuh manusia bila ikan dimakan dalam keadaan mentah atau kurang matang.

Orlandi et al. (2002) menyusun tabel berisi daftar parasit yang ditularkan melalui makanan dan air beserta sebaran geografis. Dari tabel ini terlihat bahwa ikan tercatat sebagai sumber utama penyebaran parasit terutama jenis trematoda, acanthocephala, dan nematoda. Beberapa kasus alergi timbul akibat larva cacing parasitik yang ada pada ikan yang dikonsumsi secara mentah atau kurang matang. Beberapa penelitian menyebutkan juga bahwa alergen tetap ada walaupun larva telah mati. Reaksi yang timbul akibat masuknya parasit berupa reaksi alergis yang meliputi urtikaria, ana filaksis, dermatitis, gastroenteritis eosinofilik, sampai gejala asma (Bircher et al. 2000). Infeksi cacing dan protozoa dapat dideteksi melalui antibodi IgE yang spesifik terhadap serangan parasit (Yman 2000). Imunoglobulin E ini merupakan reaksi tanggap kebal inang terhadap alergen dari parasit. Alergen nematoda (Ascaridoid) merupakan protein yang sangat stabil dan dapat mempertahankan struktur, aktifitas biokimiawi, dan sifat-sifat alergenisitasnya bila didinginkan setelah mengalami denaturasi dengan panas (Kennedy 2000).

Cacing Parasitik dan Satwa liar perairan (Mamalia laut)

Satwa liar seperti lumba- lumba dan paus merupakan inang definitif dari berbagai jenis cacing parasitik. Walaupun cacing ini merupakan parasit yang lazim ditemukan dalam tubuh beberapa mamalia laut, pola migrasi dari lumba- lumba ataupun paus dapat menjadi sarana penyebaran cacing parasitik tersebut kepada satwa lainnya. Perairan Indonesia di sekitar Taman Nasional Komodo, P. Alor, P. Pantar, dan Lembata, Nusa Tenggara Timur merupakan jalur lintasan paus dari Samudera Pasifik dan perairan Timur Indonesia ke Samudra Indonesia dan juga sebaliknya melewati daerah ini disamping satwa setempat (residen) yang menggunakan jalur lintasan ini sebagai daerah jelajah mereka (Kahn 2001; Pet-Soede 2002). Beberapa jenis cacing parasit ini merupakan agen zoonosis karena dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas bahkan dapat pula hidup di dalam saluran pencernaan manusia (Bircher et al. 2000; Lopez-Serrano 2000).

Infestasi dan sebaran parasit ini pada ikan sangat terkait erat dengan ketahanan inang definitifnya yaitu mamalia laut. Daya tahan inang yang rendah dapat menimbulkan infestasi berlebih dan menyebabkan kerusakan pada jaringan. Dalam ekosistem laut, satwa yang menempati posisi atas dalam piramida makanan memiliki risiko terinfeksi yang tinggi oleh berbagai macam parasit apabila sumber makanan (mangsa) mereka telah terinfeksi oleh parasit.

Dengan karakteristik parasit cacing dan reaksi terhadap perubahan lingkungan yang berbeda-beda, Geetanjali et al. (2002) mengatakan bahwa cacing parasit nematoda memiliki potensi sebagai bio-indikator lingkungan, karenanya nematoda berpotensi untuk digunakan sebagai bio- indikator kondisi perairan dan juga status kesehatan satwa liar itu sendiri. Survei yang dilakukan oleh Beron-Vera et al. (2001) pada lumba-lumba Commerson (Cephalorhynchus commersonii) di perairan Atlantik Selatan menunjukkan bahwa nematoda dari genus Anisakis memiliki prevalensi yang tinggi (100% di Patagonia bagian tengah dan 87% di Tiera del Fuego) dengan rata-rata intensitas yang berbeda (21 di Patagonia dan 9 di Tiera del Fuego). Dengan demikian, nematoda zoonotik seperti Anisakis spp. memiliki potensi untuk dijadikan indikator perairan, atau kondisi kesehatan satwa liar yang ada di perairan tersebut. Siklus hidup lengkap dari nematoda parasitik Anisakis sp disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup nematoda zoonotik Anisakis sp. di ekosistem laut. f=inang definitif (mamalia laut), a=telur, b=larva yang berenang bebas, c=inang antara (kopepoda), d=inang antara (udang), e=inang transport (ikan atau cumi), g=larva pada organ pencernaan inang transport, h=larva dari inang yang mati, i&j=ikan di dasar laut. (Køie 2001)

Sebaran Cacing Parasitik di Dunia

Beberapa jenis cacing parasitik memiliki sebaran yang luas di seluruh dunia, namun ada pula beberapa jenis yang spesifik dari daerah tertentu. Selain sebaran geografis, cacing parasitik juga tersebar di beberapa jenis perairan seperti perairan air tawar, payau dan perairan laut. Berikut ini beberapa catatan mengenai jenis cacing parasitik yang ditemukan serta tingkat infeksi pada berbagai jenis satwa perairan.

Filipina dan Pasifik

Menurut Arthur & Lumanlan-Mayo (1997), jenis ikan kerapu (Serranidae) terinfeksi berbagai jenis cacing parasitik yang terdiri dari: 7 genera dari phylum Plathyhelminthes dan 3 genera dari phylum Nemathelminthes. Sementara jenis ikan Ekor kuning (Caesionidae) terinfeksi oleh: 1 genus dari filum Plathyhelminthes dan 2 genera dari filum Nemathelminthes. Dari ikan jenis tuna (Scombridae) ditemukan: 7 genera dari filum Plathyhelminthes dan 2 genera filum Nemathelminthes. Beberapa genera yang ditemukan di Filipina seperti

Anisakis spp, dan Lecithocladium spp tercatat pula di perairan Indonesia. Sugawara et al. (2004) mencatat bahwa terjadi infeksi sangat berat nematoda

Anisakis simplex pada ikan salmon Oncorhynchus keta. Infeksi terjadi saat ikan tersebut bermigrasi. Berdasarkan penelitiannya, cacing paling banyak ditemukan pada jaringan otot jenis ikan salmon.

Samudera Atlantik

Williams & Bunkley-Williams (1996) menyebutkan tentang terjadinya infeksi sangat berat (> 1,000 parasit per individu) cacing trematoda dari genus Dinurus sp pada lumba- lumba di perairan Karibia. Sementara infeksi berat Dinurus sp

(250 cacing per individu) ditemukan pada lumba- lumba di India. Infeksi berat cacing nematoda Hysterothylacium sp tercatat di Puerto Rico pada ikan makerel.

Kondisi Patologis akibat Infeksi Cacing Parasitik

Menurut Williams & Bunkle y-Williams (1996), kerusakan yang berat pada jaringan tubuh inang timbul akibat infeksi berat (250 parasit per individu) dan infeksi sangat berat (> 1,000 parasit per individu). Cacing memasuki tubuh inang melalui makanan (plankton, ikan atau cumi). Larva infektif yang termakan akan tumbuh dewasa dan berkembang biak di dalam tubuh inang definitif ini. Beberapa jenis cacing memiliki antigen Ekskretori Sekretori hasil metabolit (ES) yang digunakan untuk menyerang jaringan inang dan menyebabkan luka / ulkus pada dinding saluran pencernaan. Pada usus inang, ujung anterior dari cacing genus Anisakis spp. tertanam pada ulkus. Ulkus ini dapat bersifat akut dan hemorrhagi atau kronis dimana proses persembuhan berjalan dengan adanya fibrosis dan jaringan granulasi (Duignan 2003).

Fibrosis dapat terjadi bila sel-sel platelet dari darah terlibat dalam proses penyembuhan. Dengan adanya jaringan yang rusak akibat adanya produk ES dan invasi cacing, netrofil datang sebagai bagian dari proses peradangan dan menimbulkan kondisi mirip granuloma (granulomatous). Semakin tinggi intensitas cacing parasitik, kondisi patologis yang timbul juga akan semakin parah.

Pemantauan Kesehatan Satwa Liar Perairan

Duff (2003) menyebutkan bahwa pemantauan kesehatan dan penyakit pada satwa liar merupakan hal yang penting karena beberapa spesies satwa liar dapat menjadi inang ataupun pembawa berbagai jenis penyakit. Hal ini menjadi lebih penting bila satwa tersebut memiliki pola migrasi dari satu tempat ke tempat lainnya karena satwa tersebut berperan dalam penyebaran penyakit ataupun parasit yang dibawanya. Pendugaan populasi satwa liar (predator) terestrial dapat dilakukan dengan pemantauan langsung atau memantau mangsa mereka menggunakan kamera otomatis. Metoda ini dapat memberikan perhitungan jumlah populasi yang cukup akurat (Karanth & Nichols 2002), sementara pendugaan infestasi parasit dapat dilakukan dengan menganalisa sampel tinja satwa liar tersebut. Tiuria et al. (2004) melakukan telaah endoparasit pada satwa liar badak jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai langkah

awal pemantauan kesehatan pada satwa liar tersebut. Pada populasi satwa liar perairan seperti lumba- lumba, sampai saat ini belum ada metoda pendugaan kesehatan pada populasi satwa tersebut kecuali dengan menggunakan metoda identifikasi foto untuk melihat lesio yang ada pada kulit hewan liar tersebut (Wilson et al. 2000). Metoda ini hanya dapat melihat kondisi patologis pada kulit secara makroskopik, dan memakan waktu yang sangat lama (8 tahun). Mengingat sulitnya menduga kondisi kesehatan lumba- lumba secara langsung, maka ikan pelagis dari keluarga Scombridae (tuna dan tongkol) dijadikan model karena pola makan dan penyebaran ikan jenis ini sama dengan beberapa satwa liar perairan lainnya termasuk mamalia laut. Infestasi cacing parasitik pada jenis ikan ini dapat digunakan untuk menggambarkan jenis cacing parasitik yang masuk ke dalam tubuh mamalia laut.

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Sampel ikan diambil dari beberapa lokasi yang mewakili perairan Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) yang terletak di Indonesia bagian, Barat, Tengah, dan Timur. Identifikasi spesimen dan analisa histopatologi dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Penelitian berjalan selama bulan Maret 2005 sampai dengan Juni 2006.

Bahan dan Alat Penelitian 1. Parasitologi

Bahan dan alat yang digunakan dalam teknik parasitologi terdiri dari: a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)

b. Kaca pembesar c. Mikroskop cahaya d. Mikroskop stereo e. Timbangan elektronik f. Cawan Petri g. Gelas plastik h. Botol plastik film i. Gelas objek

j. Larutan garam fisiologis k. Ethanol 70% l. Akuades m. Pewarna Acetocarmine n. KOH bubuk o. Minyak cengkeh p. Entellan q. Alkohol r. Xylol s. Kertas label

2. Patologi

Bahan dan alat yang digunakan dalam analisis patologi terdiri dari: a. Seperangkat alat bedah (dissecting kit)

b. Kaca pembesar

c. Fosfat buffer formalin 10% d. Gelas objek e. Pewarna HE f. Blok parafin g. Mikrotome h. Mikroskop cahaya i. Mikroskop video Metode

1. Pemilihan dan Pengacakan Sampel

Penelitian ini merupakan studi observasional yang dilakukan terhadap kondisi yang sudah terjadi di populasi alamiah. Untuk itu, metoda pemilihan dan pengacakan sampel dilakukan agar gambaran umum populasi tersebut dapat terwakili. Besaran sampel yang diambil didefinisikan berdasarkan dua kategori yaitu: kelompok jenis ikan dan kelompok lokasi pengambilan. Besaran sampel ikan ditentukan menggunakan formula seperti dijelaskan dalam Permin & Hansen (1998). Dengan tingkat kepercayaan 90%, dugaan prevalensi kecacingan pada 70%, dan presisi 15%, maka di setiap lokasi diperlukan minimal 26 satuan sampel ikan. Kelompok ikan laut yang diteliti terdiri dari:

• Ikan Pelagis 1 yang memiliki relung, pola penyebaran dan diet yang sama dengan mamalia la ut predator pemakan ikan (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 15-20 cm)

dunia: Animalia filum: Chordata kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Scombridae

• Ikan Pelagis 2 yang memiliki relung yang sama, namun pola penyebaran dan diet yang berbeda dengan kelompok Pelagis 1 (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 30-50 cm)

dunia: Animalia filum: Chordata kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Caesionidae

genus: Caesio, Pterocaesio

• Ikan Demersal yang memiliki relung, pola penyebaran dan pola diet yang berbeda dengan ikan pelagis 1 dan Pelagis 2 (12 satuan sampel dengan ukuran panjang 20-30 cm).

dunia: Animalia kelas: Osteichthyes ordo: Perciformes famili: Serranidae

genus: Cephalopolis, Variola, Aethaloperca,Epinephelus

Berdasarkan ketentuan di atas, ditarik 36 ekor ikan dari setiap lokasi perairan yang mewakili populasi ikan di: Ujung Kulon (untuk mewakili perairan Indonesia bagian Barat), Bali (untuk mewakili perairan Indonesia bagian

Dokumen terkait