• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Oktober 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA-IPB, Laboratorium Bersama Kimia, Departemen Kimia, FMIPA-IPB, dan Laboratorium Uji Biofarmaka, Pusat Studi Biofarmaka-LPPM-IPB.

Isolasi dan Kultivasi Mikrob Endofit dari Akar, Batang, dan Daun Pegagan, serta Buah Belimbing Wuluh

Tanaman pegagan yang digunakan sebagai sumber mikrob endofit berasal dari kebun koleksi tanaman obat Biofarmaka IPB dan Desa lingkar Kampus IPB Dramaga, sedangkan buah belimbing wuluh berasal dari perumahan dosen Kampus IPB Dramaga. Bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun pegagan umum digunakan untuk obat antihipertensi, sedangkan pada belimbing wuluh adalah buahnya. Isolasi mikrob endofit mengacu pada Coombs dan Franco (2003) yang dimodifikasi dalam hal konsentrasi NaOCl yang digunakan untuk sterilisasi permukaan. Sampel akar, batang, dan daun pegagan serta buah belimbing wuluh yang telah dipotong, disterilisasi permukaannya secara bertahap yaitu direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit, kemudian direndam dalam natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama 5 menit, dan selanjutnya direndam kembali dalam alkohol 70% selama 1 menit. Langkah terakhir dibilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Potongan bagian tanaman yang telah steril permukaannya digerus menggunakan mortar secara aseptik, lalu dilarutkan dalam 12.5 mM bufer fosfat (pH 7.1). Ekstrak yang diperoleh disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu ruang. Supernatan hasil sentrifugasi diambil sebanyak 0,1 ml, lalu disebar secara merata pada cawan Petri berisi media agar-agar asam humat yang mengandung vitamin B (media HV) (Lampiran 1). Media tersebut mengandung antibiotik sikloheksamida (50 mg/L media), dan asam nalidiksat (20 mg/L media). Selanjutnya cawan berisi media dan supernatan tersebut diinkubasi pada suhu ruang (28°C) selama 3 minggu agar pertumbuhan koloni aktinomiset endofit dapat diamati dengan baik. Isolasi aktinomiset endofit dilakukan dua kali pengulangan.

Untuk membuktikan bahwa koloni aktinomiset endofit yang tumbuh hanya berasal dari dalam jaringan kedua tanaman

tersebut, maka dilakukan uji kontrol negatif terhadap air sisa hasil rendaman terakhir ketika proses sterilisasi permukaan selesai, dengan cara menyebar 0,1 mL air sisa rendaman tersebut ke atas media uji, dan dilakukan tiga kali pengulangan.

Purifikasi Aktinomiset Endofit dan Pengamatan Mikroskopis

Mikrob endofit hasil isolasi yang telah tumbuh pada media HV, selanjutnya dimurnikan pada media agar-agar International Streptomyces Project 2 (ISP2) (Lampiran 2). Purifikasi aktinomiset endofit dilakukan dua kali pengulangan. Langkah berikutnya adalah inkubasi isolat yang dilakukan selama 7 hari pada suhu ruang. Setelah itu, morfologi keragaman rantai spora diamati secara mikroskopis. Isolat aktinomiset endofit yang telah diperoleh, diletakkan di atas kaca preparat dengan ditetesi sedikit air di atasnya, selanjutnya diamati pada perbesaran 400x menggunakan mikroskop cahaya, sampai tampak jelas morfologi rantai spora yang terbentuk pada masing-masing isolat.

Produksi Filtrat Kultur Aktinomiset Endofit Asal Daun Pegagan dan Buah Belimbing Wuluh, serta Pengukuran Biomassa

Produksi filtrat kultur dilakukan untuk semua isolat aktinomiset endofit yang akan diuji. Koloni aktinomiset endofit pada media agar-agar ISP2 diambil dengan sedotan steril berdiameter 0.5 cm, lalu diinokulasikan pada media cair ISP2 dengan perbandingan komposisi koloni : media adalah 1:30, artinya dalam 30 mL media dimasukkan sebanyak 1 koloni yang diambil dengan sedotan steril. Produksi filtrat dilakukan dengan dua kali pengulangan. Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu ruang pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 120 rpm selama 10 hari. Selanjutnya, kultur aktinomiset endofit disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Filtrat kultur diambil dan disaring dengan kertas saring untuk memisahkan pelet dan supernatan. Supernatan hasil saringan selanjutnya diambil 80 µL untuk uji inhibisi ACE, sedangkan pelet diambil dan diletakkan di atas kertas saring yang sebelumnya sudah ditimbang bobot keringnya,. Selanjutnya kertas saring yang sudah berisi pelet tersebut dikeringkan dengan cara didiamkan selama 3 hari pada suhu ruang dan pada hari ketiga dimasukkan ke dalam oven suhu 60°C selama 3 jam. Setelah pelet kering, langkah terakhir

Aktivitas inhibitor ACE (%) = 100–[100 x (C–D)/(A–B)

adalah melakukan pengukuran biomassa menggunakan neraca analitik.

Uji in vitro Inhibisi Ekstrak A kt i no mi s e t E n do fit terhadap Aktivitas ACE

Pengukuran aktivitas inhibitor ACE pada penelitian ini mengacu pada metode Hayes et al. (2007) yang telah dimodifikasi dalam hal konsentrasi enzim, substrat, dan bahan pelarut lainnya yang digunakan untuk uji in vitro. Substrat enzim yang digunakan untuk uji in vitro penghambatan ACE adalah Hippuryl-L-Histidyl-L-Leucine (HHL) dari Sigma Co. Sebanyak 200 µl bufer HHL (2,5 mM HHL dalam 0,05 M bufer natrium borat, mengandung 0,15 M NaCl, pada pH 8.3) dicampur dengan 80 µl filtrat aktinomiset endofit (sampel), selanjutnya diinkubasi pada inkubator bergoyang selama 3 menit pada suhu 37ºC. Campuran antara bufer HHL dengan sampel akan mulai bereaksi setelah dilakukan penambahan 20 µl (ACE-A6778, Sigma Aldrich Co.) (0,03745 unit/mL). Selanjutnya campuran tersebut diinkubasi pada inkubator bergoyang selama 1 jam pada suhu 37ºC. Reaksi dihentikan dengan penambahan 250 µl 0,5 M HCl, dan selanjutnya ditambahkan 1,7 ml etil asetat sebagai pelarut untuk evaporasi. Evaporasi dilakukan menggunakan alat rotavapor R-205 BUCHI, heating bath B-490 BUCHI, untuk menghilangkan pelarut etil asetat dari fraksi yang dilarutkan serta untuk menghilangkan pengotor dari campuran reaksi. Fraksi sampel yang telah terpisah dari pelarut etil asetat setelah evaporasi, kemudian dilarutkan kembali dengan penambahan 1 ml air destilata. Langkah terakhir adalah pengukuran absorbansi aktivitas inhibisi ACE menggunakan spektrofotometer UV-1700 PharmaSpec SHIMADZU pada panjang gelombang (λ) 228 nm, dengan pengenceran sebanyak 15x. Pengukuran aktivitas inhibitor ACE ini dilakukan dengan dua kali ulangan.

Hasil absorbansi yang diperoleh selanjutnya dihitung menggunakan rumus:

Keterangan: A merupakan hasil absorbansi dengan ACE dan tanpa inhibitor ACE, B merupakan hasil absorbansi tanpa ACE dan tanpa inhibitor ACE, C merupakan hasil absorbansi dengan ACE dan inhibitor ACE, sedangkan D merupakan hasil absorbansi dengan inhibitor ACE dan tanpa ACE (Hayes et al. 2007). Sampel inhibitor ACE yang diuji aktivitas penghambatannya

terdiri atas captopril 0,01 mg/mL (C1) dan 0,02 mg/mL (C2) sebagai kontrol positif, media cair ISP2 (M) sebagai kontrol negatif, ekstrak kultur jaringan tanaman pegagan (EP1) asal Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB (Gambar 1), ekstrak daun pegagan (EP2), ekstrak buah belimbing wuluh (EBW), dan isolat aktinomiset endofit asal akar, batang, dan daun pegagan (AEP), serta aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh (AEB).

Semua sampel diberikan perlakuan yang sama sesuai dengan prosedur di atas. Contoh perhitungan persentase aktivitas penghambatan ACE dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 1 Tanaman kultur jaringan pegagan steril mikrob endofit umur 55 hari pada media MS.

Tanaman kultur jaringan pegagan dikatakan steril mikrob endofit karena media tanam (Murashige & Skoog (MS) (Lampiran 3) dengan penambahan auksin dan sitokinin), jaringan pegagan, serta proses pengkulturan dari awal hingga akhir, keseluruhan dilakukan secara aseptik.

HASIL

Isolasi dan Kultivasi Mikrob Endofit dari Akar, Batang, dan Daun Pegagan, serta Buah Belimbing Wuluh

Total isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi berjumlah 12 isolat. Tiga isolat berasal dari daun pegagan, sedangkan sembilan isolat lainnya dari buah belimbing wuluh. Isolat aktinomiset endofit tidak ada yang diperoleh dari akar dan batang pegagan. Semua isolat yang diperoleh dapat tumbuh dengan baik pada media HV yang merupakan media selektif bagi pertumbuhan aktinomiset, sehingga adanya koloni berwarna putih yang tumbuh pada media tersebut (Gambar 2), menandakan aktinomiset endofit.

Hasil uji kontrol negatif menunjukkan bahwa pada media HV yang telah disebar air

4

a b c

d e f

g h i

j k l

hasil rendaman terakhir dari proses sterilisasi permukaan, tidak tumbuh satu koloni pun baik koloni berwarna putih yang menandakan aktinomiset endofit maupun koloni mikrob lainnya. Hal tersebut menandakan bahwa proses sterilisasi permukaan berhasil dan menguatkan dugaan bahwa aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi pada penelitian ini berasal dari jaringan tanaman bagian dalam.

Gambar 2 Koloni aktinomiset endofit pada media HV umur 3 minggu.

Purifikasi aktinomiset endofit dan pengamatan mikroskopis

Hasil purifikasi aktinomiset endofit pada media ISP2 selama 7 hari menunjukkan keragaman karakteristik morfologi koloni dan pigmentasi yang beragam. Tiga isolat aktinomiset endofit yang diperoleh dari bagian daun pegagan ialah 1, 2, dan AEP-3 (Gambar AEP-3a-c), sedangkan sembilan isolat aktinomiset endofit lainnya hasil isolasi dari buah belimbing wuluh ialah AEB-1, AEB-2, AEB-3, AEB-4, AEB-5, AEB-6, AEB-7, AEB-8, AEB-9 (Gambar 3d-l).

Berdasarkan morfologi koloni di atas media ISP2, ke-12 isolat aktinomiset endofit tersebut dapat dibedakan antara Streptomyces spp. dan non-Streptomyces. Koloni aktinomiset sebagian besar akan tampak keras seperti tumbuh akar di dalam agar-agar, berbeda dengan koloni mikrob lainnya yang tampak lunak di atas media agar. Menurut Ghadin et al. (2008) Streptomyces spp. di atas media padat akan menunjukkan miselium dengan spora aerial berwarna putih hingga abu-abu. Genus non-Streptomyces hanya membentuk miselium vegetatif, dan akan tampak lembab di atas media agar (tidak membentuk spora aerial). Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka isolat AEP-1, AEP-2, AEP-3, AEB-1, AEB-3, AEB-5, AEB-6, AEB-7, dan AEB-8 termasuk ke dalam Streptomyces spp., sedangkan isolat AEB-2, AEB-4, dan AEB-9 termasuk ke dalam non-Streptomyces.

Penggolongan 12 isolat aktinomiset endofit ke dalam Streptomyces spp. dan non-Streptomyces juga didasarkan pada pengamatan rantai spora secara mikroskopis. Karakteristik morfologi rantai spora Streptomyces spp. mampu membentuk rantai spora aerial dengan morfologi yang beragam (seperti rantai, kait, hingga spiral) (Gambar 4a), sedangkan karakteristik morfologi rantai spora non-Streptomyces, tidak membentuk rantai spora aerial dan tidak berbentuk rantai, kait, atau spiral (Gambar 4b).

Gambar 3 Keragaman morfologi koloni aktinomiset endofit umur 10 hari pada media ISP2, Streptomyces spp. asal daun pegagan (a) AEP-1, (b) AEP-2, (c) AEP-3; asal buah belimbing wuluh (d) AEB-1, (e) AEB-3, (f) AEB-5, (g) AEB-6, (h) AEB-7, (i) AEB-8;

non-Streptomyces asal buah belimbing wuluh (j) AEB-2, (k) AEB-4, (l) AEB-9.

Berdasarkan pengamatan karakteristik morfologi rantai spora, isolat AEP-1, AEP-2, AEP-3, AEB-1, AEB-3, AEB-5, AEB-6, AEB-7, dan AEB-8 termasuk Streptomyces spp., sedangkan isolat AEB-2, AEB-4, dan AEB-9 termasuk non-Streptomyces. Hal ini menguatkan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan morfologi koloni di atas media padat.

a

a

b

Granul-granul spora berwarna putih

Gambar 4 Morfologi rantai spora (a)

Streptomyces spp. dan (b)

non-Streptomyces, pada perbesaran 400x.

Produksi filtrat kultur aktinomiset endofit asal daun pegagan dan buah belimbing wuluh, serta pengukuran biomassa

Hasil produksi filtrat kultur aktinomiset endofit selama 10 hari menunjukkan keragaman warna filtrat yaitu dari kuning (seperti warna media cair ISP2) hingga merah bata (Gambar 5). Hal tersebut diduga karena sifat fisiologis masing-masing isolat berbeda-beda untuk memproduksi metabolit sekunder yang terkandung dalam filtrat.

Gambar 5 Pertumbuhan aktinomiset endofit pada media cair ISP2 selama 10 hari; (a) isolat potensi asal daun pegagan (AEP-1) (b) isolat potensi asal buah belimbing wuluh (AEB-5).

Produksi filtrat dilakukan menggunakan teknik aerasi dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang sehingga isolat

tumbuh dengan membentuk granul-granul spora berwarna putih, tersuspensi dengan media dan mengendap jika didiamkan (Gambar 5).

Tabel 1 Nilai bobot biomassa aktinomiset endofit asal daun pegagan dan buah belimbing wuluh umur 10 hari pada media cair ISP2

Jenis isolat

Bobot biomassa total

(mg/mL) Aktinomiset endofit asal

daun pegagan

Streptomyces spp.

AEP-1 0,720

AEP-2 0,926

AEP-3 1,023

Aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh

Streptomyces spp. AEB-1 0,553 AEB-3 1,686 AEB-5 5,263 AEB-6 0,883 AEB-7 0,430 AEB-8 1,467 non-Streptomyces AEB-2 1,320 AEB-4 2,426 AEB-9 2,413

Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran biomassa tiga isolat aktinomiset endofit asal daun pegagan dan sembilan isolat aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh. Bobot biomassa yang diperoleh ke-12 aktinomiset endofit menunjukkan keragaman antar isolat. Bobot biomassa isolat potensial aktinomiset endofit asal daun pegagan (AEP-1) dan buah belimbing wuluh (AEB-5) yang menunjukkan aktivitas penghambatan ACE tertinggi berturut-turut yaitu 0,720 mg/mL dan 5,263 mg/mL. Adanya keragaman bobot biomassa juga diduga karena kemampuan masing-masing isolat berbeda-beda dalam memproduksi metabolit sekunder yang terkandung dalam filtrat.

Uji in vitro inhibisi ekstrak ka s a r a kt i no mi s e t e n do f it terhadap aktivitas ACE

Gambar 6 & 7 menunjukkan keragaman hasil uji in vitro penghambatan aktivitas ACE oleh ekstrak kasar aktinomiset endofit asal daun pegagan dan buah belimbing wuluh.

6

Gambar 6 Persentase aktivitas penghambatan ACE ekstrak kasar isolat aktinomiset endofit asal daun pegagan (AEP-1, AEP-2, dan AEP-3), ekstrak kultur jaringan tanaman pegagan (EP1), ekstrak daun pegagan (EP2), captopril (C1 dan C2), dan media cair ISP2 (M).

Gambar 7 Persentase aktivitas penghambatan ACE ekstrak kasar isolat aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh (AEB-1, AEB-2, AEB-3, AEB-4, AEB-5, AEB-6, AEB-7, AEB-8, dan AEB-9), ekstrak buah belimbing wuluh (EBW), captopril (C1 dan C2), dan media cair ISP2 (M).

Gambar 6 menunjukkan bahwa persentase aktivitas penghambatan ACE yang ditunjukkan oleh ketiga isolat aktinomiset endofit asal daun pegagan (AEP-1, AEP-2, dan AEP-3) lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas kontrol negatif (media cair ISP2), dan kontrol positif (captopril). Persentase aktivitas penghambatan ACE oleh media cair ISP2 (M) sebesar 26,04%, lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas tanaman inang pegagan, ketiga isolat aktinomiset endofit asal daun pegagan, dan kontrol positif captopril.

Berdasarkan data yang diperoleh, antara captopril 0,01 mg/mL (C1) dan 0,02 mg/mL (C2) menunjukkan aktivitas yang hampir sama satu sama lain. Captopril 0,01 mg/mL menunjukkan aktivitas sebesar 61,46%, sedangkan captopril 0,02 mg/mL sebesar 66,67%. Adapun persentase aktivitas penghambatan ACE oleh isolat AEP-1 sebesar 279,17%, isolat AEP-2 sebesar 140,63%, dan isolat AEP-3 sebesar 144,79%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai persentase penghambatan ACE yang dihasilkan oleh ketiga isolat aktinomiset endofit asal daun pegagan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif, sebesar dua hingga empat kali lipat. Volume semua sampel yang diujikan besarnya sama yaitu sebanyak 80 µL dari bobot biomassa yang berbeda-beda. Aktivitas penghambatan ACE yang ditunjukkan oleh ekstrak daun pegagan sebesar 198,96%. Berdasarkan perhitungan nilai absorbansi hasil pengukuran spektrofotometri pada λ 228 nm (Lampiran 4), diperoleh persentase aktivitas penghambatan ACE oleh tanaman kultur jaringan pegagan steril mikrob endofit (EP1) sebesar -14,58% (negatif), sehingga ekstrak tersebut dianggap aktivitas penghambatannya nol persen.

Gambar 7 menunjukkan bahwa persentase aktivitas penghambatan ACE oleh ke-12 isolat aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh hampir sama dengan aktivitas yang ditunjukkan oleh ekstrak tanaman inangnya (166,67%), bahkan ada dua isolat (AEB-4 dan AEB-5) yang aktivitasnya lebih besar hingga dua kali lipat (184,38% dan 222,92%). Isolat aktinomiset endofit asal buah belimbing wuluh yang menunjukkan aktivitas penghambatan tertinggi adalah isolat AEB-5 yaitu sebesar 222,92%, sedangkan aktivitas penghambatan ACE terendah terdapat pada isolat AEB-8 yaitu sebesar 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua isolat aktinomiset endofit memiliki kemampuan untuk menghambat ACE.

Jika aktivitas penghambatan ACE yang ditunjukkan oleh Gambar 6 dan 7 dibandingkan, maka dapat dilihat adanya perbedaan aktivitas antara ekstrak daun pegagan dengan ekstrak buah belimbing wuluh. Persentase aktivitas penghambatan ACE yang ditunjukkan oleh ekstrak daun pegagan (EP2) yaitu 198,96%, sedangkan ekstrak buah belimbing wuluh (EBW) hanya sebesar 166,67%. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa aktivitas antihipertensi ekstrak daun pegagan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antihipertensi ekstrak buah belimbing wuluh.

Selain itu, aktivitas tertinggi yang ditunjukkan oleh isolat aktinomiset endofit AEP-1 asal daun pegagan sebesar 279,17% juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas penghambatan ACE tertinggi oleh isolat AEB-5 asal buah belimbing wuluh (222,92%).

PEMBAHASAN

Aktinomiset endofit asal daun pegagan dan buah belimbing wuluh menunjukkan keragaman morfologi koloni pada media ISP2 (Gambar 3), bentuk rantai spora secara mikroskopis (Gambar 4), dan aktivitas penghambatan terhadap ACE (Gambar 6 & 7). Menurut Takahashi dan Omura (2003) keragaman jenis aktinomiset yang terisolasi bergantung pada asal habitatnya, jenis media yang digunakan, dan metode isolasi yang dipakai. Media yang digunakan untuk isolasi pada penelitian ini adalah media HV yang ditambahkan antibiotik sikloheksamida (50 mg/mL) untuk menekan pertumbuhan cendawan dan asam nalidiksat (20 mg/mL) untuk menekan pertumbuhan bakteri Gram negatif.

Beberapa macam media yang dapat digunakan untuk mengisolasi mikrob endofit antara lain Tap Water-Yeast Extract agar (TWYE) (Crawford et al. 1993), media HV (Hayakawa & Nonomura 1987), Yeast Extract-Casein Hydrolysate agar (YECD), dan Flour Calcium Carbonat agar, atau Flour Yeast Extract Sucrose Casein Hydrolysate agar (Coombs & Franco 2003). Media HV, TWYE, dan YECD merupakan media yang sangat miskin nutrien, oleh karena itu efektif untuk mengisolasi aktinomiset endofit dari dalam jaringan tanaman (Coombs & Franco 2003).

8

Koloni aktinomiset endofit pada media HV tampak dominan berwarna putih (Gambar 2). Pemurnian koloni tersebut dilakukan pada media ISP2. Aktinomiset endofit yang tumbuh pada media ISP2 tampak memiliki morfologi koloni yang beragam, demikian pula dengan bentuk rantai sporanya.

Keberadaan aktinomiset di lingkungan sangat melimpah terutama di rizosfer. Aktinomiset endofit berasosiasi dengan tanaman inang dan dapat memberikan efek yang menguntungkan, serta tidak membahayakan bagi tanaman inangnya. Sharma et al. (2005) menyatakan bahwa akar lateral merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak dihuni oleh mikrob endofit. Hal ini dikarenakan mikrob endofit masuk ke dalam jaringan tanaman melalui akar lateral kemudian menyebar ke dalam ruang interseluler dan berkas pembuluh. Selain itu, mikrob endofit juga dapat masuk melalui bagian daun, bunga, batang, stomata, kotiledon, dan bagian tanaman yang terluka. Dalam penelitian ini aktinomiset endofit berhasil diisolasi dari daun pegagan, namun tidak diperoleh dari bagian akar dan batang pegagan, sedangkan pada belimbing wuluh hanya digunakan buahnya yang umum digunakan oleh masyarakat dan berhasil diisolasi aktinomiset endofitnya. Tidak diperolehnya aktinomiset endofit dari akar dan batang pegagan kemungkinan karena adanya faktor preferensi dalam hal mikrob endofit tersebut mengkolonisasi tanaman inangnya. Aktinomiset merupakan bakteri Gram positif berfilamen, dengan kandungan guanin dan sitosin (G+C) yang tinggi (>55%) di dalam genomnya (Miyadoh 1997). Beberapa senyawa bioaktif dihasilkan oleh kelompok aktinomiset. Menurut Raja dan Prabakarana (2011) aktinomiset dikenal sebagai penghasil antibiotik terbesar, karena dari 16.500 antibiotik yang telah ditemukan, lebih dari setengahnya dihasilkan oleh aktinomiset. Sebagian besar aktinomiset (95%) beranggotakan Streptomyces (Lachevalier et al. 1977). Koloni aktinomiset yang tergolong Streptomyces spp. membentuk miselium aerial dan secara mikroskopis memiliki morfologi rantai spora seperti kait, spiral atau heliks (Kudo 1997). Aktinomiset yang tidak membentuk miselium aerial atau hanya membentuk miselium dalam substrat merupakan kelompok non-Streptomyces. Genus yang digolongkan ke dalam non-Streptomyces antara lain Mycobacterium, Nocardia, Micromonospora, Microbispora, A ctinoplanes, dan Actinomadura (Miyadoh

1997). Menurut Miyadoh & Otoguro (2004) morfologi rantai spora, permukaan spora, warna miselium, serta pigmentasi dapat dijadikan dasar klasifikasi hingga tingkat spesies. Berdasarkan pengamatan terhadap karakteristik morfologi koloni aktinomiset pada media ISP2, tampak bahwa isolat AEP-1, AEP-2, AEP-3, AEB-AEP-1, AEB-3, AEB-5,

AEB-6, AEB-7, AEB-8 termasuk

Streptomyces spp. karena mampu membentuk miselium aerial dan spora berwarna putih, putih kekuningan, putih kecokelatan, hingga abu-abu (Gambar 3), serta menunjukkan rantai spora yang tersusun keriting, seperti kait atau spiral, (Gambar 4a). Isolat AEB-2, AEB-4, dan AEB-9 tergolong non-Streptomyces, karena tidak membentuk rantai spora aerial (Gambar 4b). Ghadin et al. (2008) menyatakan bahwa karakteristik Streptomyces pada media padat ditunjukkan dengan munculya substrat miselium setelah empat hari inkubasi dan formasi miselium yang lengkap setelah enam hari inkubasi, dengan warna spora aerial berwarna putih hingga abu-abu.

Interaksi antara mikrob endofit dengan tanaman inangnya merupakan hubungan simbiosis mutualisme. Koloni mikrob endofit di dalam jaringan tanaman akan memperoleh nutrisi dan perlindungan dari tanaman inangnya, sedangkan tanaman inang memperoleh senyawa bioaktif dari mikrob endofit yang dapat berfungsi sebagai antimikrob, pemacu pertumbuhan tanaman, enzim pendegradasi lignin, selulosa, hemiselulosa, kitinase, amilase, dan glukanase (Hasegawa et al. 2006). Castillo et al. (2002) berhasil mengisolasi aktinomiset endofit Streptomyces sp. strain NRRL 30562 asal tanaman Snakevine (Kennedia nigrisca) yang dipercaya suku Aborigin untuk mengobati luka dan infeksi, yang ternyata mampu menghasilkan senyawa munumbycin A-D, antibiotik peptida baru berspektrum luas.

Beberapa tanaman selain pegagan dan belimbing wuluh yang secara empiris digunakan sebagai obat hipertensi adalah boroco (Celosia argentea), ketepeng kecil (Cassia tora), mindi kecil (Melia azedarach), murbei (Morus alba), pulai (Alstonia scholaris), pule pandak (Rauvalfia serpentine), sambiloto (Andrographis paniculata), sambung nyawa (Gynura procumbens), dan tempuyung (Sonchus arvensis) (Iskandar 2007). Selain itu, beberapa tanaman lain seperti belimbing manis (Averrhoa carambola), alpukat (Persea americana), dan kumis kucing (Orthosiphon

stamineus) juga pada umumnya digunakan masyarakat secara tradisional untuk obat hipertensi. Tanaman tingkat tinggi dapat mengandung mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa bioaktif atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inangnya ke dalam mikrob endofit (Tan & Zou 2001).

Berdasarkan penelitian Tejesvi et al. (2008) pada tanaman obat Terminalia arjuna, T. chebula, Azadirachta indica, dan Holarrhena antidysenterica diperoleh isolat dominan yaitu mikrob endofit Pestalotiopsis, yang mempunyai aktivitas penghambatan ACE sebesar > 60%. Anggota aktinomiset seperti Streptomyces chromofuscus (Nakatsukasa et al. 1985) dan Micromonospora halophytica (Lima 1999) juga diketahui dapat menghasilkan inhibitor ACE.

Daya hambat aktivitas enzim ACE diukur menggunakan substrat N- Hippuril-L-histidyl-L-leucine hydrate (HHL) .yang akan terhidrolisis menjadi N-Hippuric acid dan L-histidyl-L-leucine (Kasahara & Ashihara 1981). Kondisi optimal substrat HHL untuk uji inhibisi ACE adalah pada pH 8.3 pelarut NaCl 300 mM (Cheung et al. 1980). Dalam penelitian ini, substrat HHL dilarutkan menggunakan NaCl 150 mM, pH 8.3.

ACE merupakan enzim yang dapat mengubah angiotensin I( Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe-His-Leu) menjadi angiotensin II (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe). Ondetti et al. (1983) melaporkan bahwa inhibitor ACE dapat berfungsi sebagai antihipertensi. Keunggulan inhibitor ACE sebagai mekanisme antihipertensi selain dapat berperan dalam proses diuretik, ACE-I juga dapat berperan melalui aktivitas saraf simpatik. Angiotensin II mempunyai efek

Dokumen terkait