• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Pasak menggunankan bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang mempunyai umur lebih dari 3 (tiga) tahun. Bambu diambil dari koleksi tananam bambu Kebun Raya Bogor. 2. LVL hasil produksi komersial PT. Sumber Graha Sejahtera (SGS) yang

diproduksi di Balaraja, Serang mempunyai tebal 5 cm dengan tiga 3 (tiga) variasi kombinasi susunan :

a. Vinir dari kayu Karet dengan perekat PF,

b. Vinir dari kombinasi kayu Karet dan Sengon dengan perekat PF, c. Vinir dari kayu Karet dengan perekat MUF.

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Universal Testing Machine (UTM) merk Shimadzu dan Tokyokoki; 2. Alat pemotong dan pembelah bambu;

3. Kempa dingin

4. Alat pembubut pasak; 5. Oven;

6. Kaliper; 7. Waterbath; 8. Neraca analitik.

Metodologi Penelitian 1. Persiapan bahan

a. Bahan untuk Pasak :

Dua jenis Bambu yaitu bambu Sembilang (Dendrocalamus giganteus) dan bambu Betung (Dendrocalamus asper) dipotong dan dikeringkan kurang lebih tiga minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ± 12%. Setiap batang bambu dihilangkan kulit dan buku. Ketebalan dinding batang bambu yang diambil adalah ± 3 – 6 mm dari dinding luar yang berhimpit dengan kulit, dengan target BJ lebih dari 0,6.

b. Bahan untuk LVL

LVL dengan 3 komposisi, merupakan produk komersial. Ketiga jenis tersebut dengan spesifikasi sebagai berikut :

1. LVL A yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat PF;

2. LVL B yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 10 vinir Karet dan 12 vinir Sengon dengan perekat PF;

3. LVL C yaitu mempunyai tebal ± 5 cm dan lebar ± 9 cm, disusun dari 17 vinir Karet dengan perekat MUF.

2. Pengujian sifat fisik mekanik bahan

a. Sifat fisik bambu yang diuji adalah kadar air (KA) dan kerapatan, berat jenis (BJ). Metode yang dipakai untuk pengujian sifat fisik berdasarkan International Standard Organization (ISO) 22157-1:2004(E) Bamboo- Determination of Physical and Mechanical Properties, Part 1: Requirements. Sifat mekanik diperoleh dengan pengujian bending yang menghasilkan Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan American National Standard ANSI/ASTM D 790- 71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials. Persiapan contoh dilakukan dengan mengambil bangian bambu ± 9 m dari mulai pangkal. Potongan tersebut menjadi tiga bagian untuk mewakili bagian bawah (B), tengah (T) dan atas (A) dengan panjang masing ± 3 m. Dari masing-masing lokasi B, T dan A diambil 2 lokasi sebagai ulangan, sehingga terdapat sebaran enam titik dari bawah sampai atas untuk pengujian sifat fisik mekaniknya. Pembuatan contoh

uji dilakukan dengan menghilangkan kulit serta bukunya yang selanjutnya disayat setebal ± 1 mm dari luar menuju ke dalam tebal dinding bambu. Semua lapisan akan diuji sifat fisik dan mekaniknya, dengan 3 kali ulangan untuk setiap contoh uji.

1. Pengujian Kadar Air (KA)

Penentuan kadar air bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 100 ± 3oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus :

... 1)

Keterangan : KA = Kadar air (%)

m = Berat awal contoh uji (g)

m0 = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g)

dengan akurasi 0,01 g 2. Pengujian Berat Jenis (BJ)

Penetapan BJ dilakukan dengan membandingkan kerapatan bambu dengan kerapatan air. Dalam perhitungan kerapatan untuk penentuan berat jenis tersebut, berat contoh uji yang digunakan adalah berat kering oven. Penentuan kerapatan bambu dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus :

……….. 2)

Keterangan :

ρ = Kerapatan (g/cm3)

m = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3) 3. Pengujian Modulus of Rupture (MOR)

Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Pengujian dilakukan dengan pembebanan terpusat pada bagian tengah contoh uji dengan menggunakan UTM merek Shimadzu dengan

m ρ = V m – m0 KA = x 100% m0

kecepatan 0.8 mm/menit. Jarak sangga yang digunakan adalah ±15 x tebal contoh uji. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 5. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :

3Pl

MOR = ... 3)

2bh2 Keterangan :

MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm2) l = Bentang (cm)

P = Beban maksimum (kgf) h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm)

Gambar 5 Pembebanan pengujian MOR dan MOE.

4. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE)

Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus : b h b Contoh uji Beban L l

L : Panjang contoh uji

l : Bentang (± 15 x tebal (cm)) h : Tebal contoh uji

Pl3

MOE = ... 4)

4bh3 Y

Keterangan :

MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm2) l = Bentang (cm)

P = Beban sebelum batas proporsi (kgf)

∆Y = Lenturan pada beban P h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm)

b. Pengujian fisik mekanik LVL berdasarkan Standar SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kadar air, kerapatan, delaminasi struktural dan non struktural, pengujian geser horizontal tegak dan datar, MOE, MOR serta pengujian emisi formaldehide. Contoh uji dipotong sesuai standar dan mempunyai masing-masing 3 ulangan.

1. Pengujian KA dan kerapatan

Pada penentuan KA dan kerapatan ini menggunakan perhitungan seperti dengan formulasi 1) dan 2)

2. Pengujian Delaminasi

Pengujian delaminasi untuk menentukan keteguhan rekat ini dilakukan dua jenis yaitu uji delaminasi non struktural dan struktural. a. Pengujian delaminasi struktural dilakukan dengan merendam

contoh uji ke dalam air dengan suhu 70oC ± 3oC selama 2 jam, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60oC ± 3oC sampai KA contoh uji kurang dari 8%. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.

b. Pengujian delaminasi non struktural dilakukan dengan merendam contoh uji ke dalam air dingin selama 24 jam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60oC ± 3oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan.

Penentuan nisbah delaminasi dalam % didapat dengan formulasi berikut :

………. 5)

3. Pengujian Geser Horisontal

Pengujian geser horisontal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban terhadap kekuatan lapisan vinir dan garis rekat. Pengujian ini dilakukan pada dua posisi, yaitu tegak dan datar seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan pembebanan tepusat seperti pada gambar 4. Contoh uji diletakkan tegak atau datar dengan jarak sangga 4 kali tebal, sedangkan panjang contoh uji 6 kali tebal. Beban yang diberikan dengan laju maksimum 150 kg/cm2 tiap menit sampai contoh uji patah. Keteguhan horizontal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

B’ = Beban maksimum (kg)

L = Lebar (cm) pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji T = Tebal (cm) pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji

4. Pengujian Modulus of Rupture (MOR)

Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan patah yang dapat ditahan dengan memberi pembebanan dua titik beban pada LVL. Contoh uji diletakkan

……… 6)

tegak dan datar (seperti pada gambar 6) dengan jarak sangga yang digunakan adalah ±21 x tebal contoh uji, sedangkan panjang contoh uji 23 kali tebal. Laju maksimum pembebanan yang diberikan adalah 150 kg/cm2 tiap menit. Posisi beban dan bentang disajikan pada Gambar 7. MOR dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm2) B’ = Beban maksimum (kgf) S = Jarak sangga/bentang (cm)

L = Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji

T = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji

P = Panjang contoh uji (cm)

5. Pengujian Modulus of Elastiscity (MOE)

Perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan

T Contoh uji Beban 1 Beban 2 1/3 S 1/3 S 1/3 S P S L

Gambar 7 Pengujian MOR dan MOE dengan dua titik pembebanan.

defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :

Keterangan :

MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm2) S = Jarak sangga/bentang (cm)

L = Lebar contoh uji (cm), pada pengujian tegak, sama dengan tebal contoh uji

T = Tebal contoh uji (cm), pada pengujian datar, sama dengan lebar contoh uji

B = Perbedaan batas atas dan batas bawah dalam selang batas proporsional

D = Defleksi pada bagian tengah jarak sangga sesuai dengan B 6. Pengujian Emisi Formaldehide

Pengukuran emisi formaldehida sesuai dengan metoda botol Wilhelm Klaunitz Institute (WKI). Prinsip dari metode ini adalah contoh uji yang berukuran 2,5 cm x 2,5 cm ditimbang untuk menentukan nilai kadar air. Kemudian, contoh yang lain dengan ukuran yang sama diikatkan pada tutup botol WKI (Gambar 8.a) yang telah berisi air dan disimpan pada suhu 40oC selama 24 jam. Setelah itu larutan dalam botol WKI direaksikan dengan larutan asetil aseton-amonium asetat kemudian dipanaskan dalam penangas air (Gambar 8.b) bersuhu 60- 70oC selama 10 menit. Larutan diukur absorbansnya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 412 nm untuk menentukan konsentrasi larutan dengan cara membandingkan dengan larutan standar formalin.

……… 7)

a b

3. Pembuatan pasak bambu

Pasak bambu yang akan digunakan sebagai alat penyambung terbuat dari bambu laminasi, disusun dari vinir bambu. Penelitian sifat dasar bambu digunakan sebagai dasar penentuan ketebalan vinir. Pasak disusun oleh vinir dengan ketebalan ± 3 mm serta perekat jenis polyurethane (PU) dengan berat labur 280 g/m2 menggunakan kempa dingin. Pasak yang dibuat mempunyai diameter 10 mm dan 15 mm, dengan bahan baku bambu Betung dan bambu Sembilang. Proses pembuatan pasak dimulai dengan pembuatan papan laminasi bambu dengan ukuran 400 x 400 x 12 mm, untuk pasak diameter 10 mm (Gambar 9), dan papan dengan ukuran 400 x 400 x 18 mm, untuk diameter 15 mm. Laminasi bambu ini tersusun dari strip bambu dengan tebal 3 mm, lebar 10 mm dan panjang 40 cm. Panjang strip disesuaikan dengan panjang antar buku. Laminasi bambu dibuat diawali dengan pembuatan lapisan-lapisan yang disusun vinir bambu dengan tebal 3 mm. Setelah pengeringan selama 24 jam, lapisan vinir tersebut disusun dengan sejajar arah serat dengan susunan zigzag seperti pada pemasangan batu bata sebanyak 4 lapis untuk pasak 10 mm dan 6 lapis untuk pasak 15 mm. Setelah masa pengeringan ± 1 minggu, papan laminasi dipotong-potong sejajar serat dengan lebar ± 15 - 18 mm (Gambar 10) yang selanjutnya dilakukan pembubutan sesuai diameter yang diinginkan (Gambar 11).

Gambar 9 Lembaran papan laminasi bambu, yang terdiri dari 4 dan 6 lapis vinir bambu dengan tebal masing-masing 3 mm (untuk dowel 10 dan 15 mm).

4. Pengujian pasak bambu

Pasak bambu yang merupakan produk laminasi akan diuji sifat fisik yang meliputi pengujian KA, kerapatan, kembang susut, MOE dan MOR berdasarkan SNI 01-6240-2000 Vinir Lamina dengan formulasi telah diuraikan seperti sebelumnya. Sifat mekanik dimana data yang diperoleh dipergunakan untuk mendesain sambungannya adalah momen leleh (yield moment) berdasarkan ISO/TC 165/SC N537:2007 Timbers Structures-Dowel- type fasteners-Part 1: Determination of yield moment dan kuat tumpu pasak (dowel embedding strength) berdasarkan ISO/TC 165/SC N538:2007. Timbers Structures-Dowel-type fasteners-Part 2: Determination of embedding strength and foundation values

Gambar 10 Pemotongan laminasi bambusejajar serat dengan lebar 15 – 18 mm.

a. Pengujian Yield Moment (My)

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui beban maksimum yang diterima pasak, dimana pasak akan melendut dengan sudut kurang lebih 45o. Penentuan nilai yield moment dilakukan dengan pembebanan dua titik gaya tekan pada pasak seperti pada Gambar 12, dengan ketentuan bahwa 1

dan 3 panjangnya paling sedikit 2d. Panjang 2 antara d dan 3 d. Adapun

nilai yield moment dapat diperoleh dengan perumusan sebagai berikut :

Keterangan :

My = Yield moment (kgfcm) Fmax = Beban maksimum (kgf) l = Jarak antar tumpuan (cm) l2 = Jarak antar beban (cm)

b. Pengujian Dowel Embedding Strength

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan mekanik pasak dimana hasil pengujian menunjukkan kuat batas kayu di sekeliling lubang yang terbebani tekan oleh pasak (Gambar 13). Penentuan nilai embedding strength daidapat dengan perumusan sebagai berikut :

Keterangan :

fh = Embedding strength (kgf/cm2)

Gambar 12. Pengujian yield moment dengan dua titik pembebanan

d Contoh uji Beban 1 Beban 2 1 2 3 ……… 8) ……… 9)

Fmax = Beban maksimum (kgf)

d = Diameter pasak (cm) t = Tebal kayu (penumpu) (cm)

5. Perencanaan desain sambungan

Sambungan yang dibuat adalah sambungan dengan dua bidang geser. Jumlah pasak (n) yang digunakan berdasarkan pendekatan 4 model kerusakan EUROCODE 5 dan sebagai kontrol adalah sambungan baut dengan diameter 10 mm. Empat model kerusakan EN 1995-1-1: 2004EUROCODE 5 dengan persamaan tegangan leleh yang terjadi, yaitu menggambarkan karakteristik kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada dinding geser disajikan dalam gambar 14. Persamaan pendekatan keempat model dapat dilihat pada persamaan 10 sampai dengan persamaan 13.

Gambar 13 Pengujian Embedding strength.

t1 t2 t1

Gambar 14 Model (mode) kerusakan sambungan tipe pasak/baut pada dua dinding geser.

Persamaan Model I :

Persamaan Model II :

Persamaan Model III :

Persamaan Model IV :

Dimana :

F v, Rk : kapasitas beban yang dapat diterima setiap alat penyambung pada

dinding geser (kgf) t1 : tebal balok pengapit (cm)

t2 : tebal balok utama (cm)

fh : Embedding strength (kgf/cm2), bisa didapat dengan EUROCODE 5

persamaan 8.31 dan 8.32, untuk beban dengan sudut α terhadap serat

f h,0,k : Embedding strength pada sejajar serat ρ : density balok D : diameter pasak/baut (cm) ……… 10) ……… 11) ……… 12) ……… 13) ……… 14) …..……… 15)

My : Yield moment (kgfcm), bisa didapat dengan EUROCODE 5

persamaan 8.30

f u,k : tegangan tarik pasak/baut (kgf/cm2)

β : rasio perbandingan antara Embedding strength pada balok utama terhadap balok pengapit

6. Pengujian mekanik sambungan

Pengujian yang dilakukan dengan uji tarik sambugan untuk pengetahui lendutan/sesaran yang diterima oleh baut/pasak terhadap beban yang dikenakan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM) merk Tokyokoki berdasarkan ASTM D 5652 : Standard Test Methods for Bolted Connection in Wood and Wood-Based Products

Gambar 15 Pengujian tekan sambungan dengan UTM merek Tokyokoki (kiri) dan data

logger (kanan).

Analisis Statistika

a. Analisis pengujian sifat fisis mekanis LVL dan bambu

Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Sederhana (Simple Random Sampling), dengan formulasi sebagai berikut :

ij i ij

Y

=

µ

+

τ

+

ε

……… 16) ……… 17) ……… 18)

dimana :

i = 1,2,3 (jenis LVL atau bambu) j = 1,2,3 (ulangan)

Yij = respon dari jenis ke-i serta ulangan ke-j

= rata-rata umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat dari perlakuan ke-i serta ulangan ke-j

b. Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis pasak bambu

Analisis pengujian sifat fisik mekanik pasak bambu menggunakan Rancangan Faktorial dalam RAL, dengan formulasi sebagai berikut :

ijk ij j i ijk

Y

=

µ

+

κ

+τκ

( )

+

ε

Dimana : i = 1,2 (jenis bambu) j = 1,2 (besar diameter) k = 1,2,3,4,5 (ulangan)

Yijk = respon dari jenis ke-i, kelompok ke-j serta ulangan ke-k

µ = rata-rata umum

τi = pengaruh jenis ke-i

κj = pengaruh kelompok ke-j

τκ(ij) = pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

εijk = galat dari perlakuan ke-i, kelompok ke-j, serta ulangan ke-k

c. Analisis pengujian mekanik sambungan

Analisis perilaku sambungan menggunakan Linear Model The Two Stages Nested Design (Nested Design), dengan formulasi sebagai berikut :

=

=

=

+

+

+

=

r

k

b

j

a

i

y

ijk i j i ijk

,...,

2

,

1

,...,

2

,

1

,...,

2

,

1

) (

ε

β

τ

µ

……… 19) ……… 20)

dimana :

Yijk = pengamatan dari faktor A ke-i, faktor B ke-j, serta ulangan

ke-k

µ = rataan umum

τi = pengaruh faktor A ke-i

βj(i) = pengaruh faktor B ke-j tersarang dari faktor A ke-i

εijk = pengaruh acak dari faktor A ke-i, faktor B ke-j serta

ulangan ke-k

Faktor A = variasi bambu dan variasi diameter pasak Faktor B = variasi jumlah pasak dalam sambungan i = 1,2,3,4 , yaitu : 1. Betung dengan Ø 10 mm, 2. Betung dengan Ø 15 mm, 3. Sembilang dengan Ø 10 mm, 4. Sembilang dengan Ø 15 mm; j = 1,2,3,…..12, yaitu :

1. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 4, 2. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 6, 3. Betung dengan Ø 10 mm jumlah 8, 4. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 4, 5. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 6 6. Betung dengan Ø 15 mm jumlah 8, 7. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 4, 8. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 6, 9. sembilang dengan Ø 10 mm jumlah 8, 10. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 4, 11. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 6 12. sembilang dengan Ø 15 mm jumlah 8 k = 1,2,3 (ulangan)

Gambar 16 Diagram sebaran proporsi ikatan vaskuler ( dalam %).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait